28. Sinyal

Dokumentasi tentang tata laksana persiapan babak penyisihan telah beredar pagi tadi. Adapun, masa bimbingan EKSEMPELAR masih berjalan menggunakan metode seperti biasanya. Alfa, Karin, dan Luna belum mempunyai perencanaan tambahan agar keperluannya menguasai materi dapat difasilitasi lebih baik oleh para guru. Sebab, satu perbedaan penting mengenai babak penyisihan hanya terletak pada penyelenggaraan yang mengambil banyak waktu sehingga memerlukan izin untuk tinggal sementara. Sistem penilaian tergabung menjadi dua ronde utama yang harus diikuti selang 2 hari periode berlangsung. Dahulu, Karin pun pernah menyampaikan kompetisi ini sejatinya memang berbentuk sebuah permainan yang bersifat menegangkan.

"Surat pengantarnya gue bagi sekarang, ya. Malam nanti, kalian izin dulu ke orang tua masing-masing buat minta pernyataan persetujuan sekalian tanda tangannya biar absensi nggak berantakan. Besok kumpulin ke gue, oke?"

Tampak termenung menerima selebaran miliknya, Luna sempat melirik ke arah Alfa yang segera membalikkan kertasnya tak berminat. Perempuan itu mengajukan pertanyaan, "Kalau nggak memungkinkan kasih perizinan secara tertulis, tindak lanjutnya diserahkan ke siapa, Rin?"

Merapikan draf perlombaan, Karin menjawab, "Semisal berhalangan, bisa kabarin ke Bu Zahra, ya. Pastikan aja ada bukti valid dari wali murid yang memang memperbolehkan. Sisanya, biar beliau yang urus."

Sekilas menilik ke seberang, Luna mendapati Alfa tengah mengangguk kecil sebagai ungkapan terima kasih. Luna tersenyum tipis.

"So, kita coba petakan dulu strategi mainnya?" Sibuk melipat halaman, Karin pada akhirnya memusatkan atensi memperhatikan Luna, namun sebisa mungkin menghindari kontak mata terhadap Alfa. Ia membuka diskusi meski tahu fokusnya kini terpisah berat sebelah. "Ada yang mau coba berpendapat duluan?"

Tahap selanjutnya berlangsung sekitar 2 minggu lagi. Lewat kurun sesingkat itu, Karin wajib memastikan Alfa dan Luna telah matang bertempur menyambangi dua jenis kategori permainan babak penyisihan. Aturan seleksinya tidak berubah, yaitu tim yang memperoleh akumulasi poin tertinggi akan maju ke tingkat semifinal. Dalam tantangan pertama, peforma individu masih menjadi tolak ukur andalan sebab berdasarkan draf, disebutkan setiap peserta perlu menelusuri 'kotak penentuan' yang bertujuan mempertemukan mereka dengan satu lawan dari anggota kelompok lainnya lalu masing-masing harus berebutan memecahkan soal yang ditampilkan demi mencetak skor.

Kandidat yang dikalahkan lantaran kurang cepat atau salah memberikan jawaban tidak dibolehkan masuk ke ruang berikutnya oleh karena itu, potensi menambahkan nilai untuk kelompok dapat terancam. Dengan kata lain, setiap anggota jelas butuh sebanyak-banyaknya mengeliminasi pion lawan sehingga kesempatan mengeksekusi bilik lainnya mampu terbuka lebar. Tersisih di awal permainan merupakan pantangan terbesar yang baik Alfa, Karin, maupun Luna setujui agar bisa mendominasi lajur persaingan. Demikian, sesuai keahlian berdasar data akademik yang diketahui, Luna tetap memegang mata pelajaran soshum sedangkan Alfa dan Karin melingkupi rumpun MIPA.

Diskusi meninjau sistem permainan pun terus memanas sampai mereka mulai membahas ronde kedua. Tidak ada lagi petunjuk yang bisa dipecahkan kecuali Alfa, Karin, dan Luna perlu melatih kekompakan dan ketangkasan perihal menjawab sebagai kesatuan tim.

"Last game konsepnya battle royal. Gue rasa dari awal perlombaan ini memang nggak memaksa perserta butuh memelajari semua materi karena pada dasarnya bisa dibagi-bagi." Karin berujar. Ia membenarkan letak kacamatanya menanggapi.

"That's why we need to get work on team play to win the competition."

"Iya, teamwork-nya bermakna implisit. Yang nggak paham atau panik duluan pasti bakal kacau."

"It doesn't matter. Bagaimana orang lain memahaminya, itu nggak usah kita pikirkan." Sembari meletakkan drafnya, Alfa menolehkan kepala menghadap Karin. "Yang penting analisis kita tepat sasaran. Just focus on the things that should take our concern, okay?"

Mendengarnya, Karin tertegun. Kalimat Alfa yang selalu berkesan tegas dan memancarkan tingginya rona kepercayaan diri membuat Karin terkesima. Entah sejak kapan—dalam pandangannya, seseorang yang memiliki karakteristik tersebut sangatlah berkarisma. Bukan maksud Karin mengagumi Alfa secara personal, melainkan proposisi itu sifatnya menggeneralisasi. "Roger that. Ada lagi yang mau disampaikan?"

Tak mendapati adanya balasan setelah netranya memindai kepada Luna kemudian bergantian menuju Alfa yang hanya dilakukan sepersekian detik—karena jantungnya masih berimplikasi aneh sejak peristiwa kemarin malam, Karin pun menutup pertemuan disertai senyumannya yang menghangatkan ruangan.

Mereka bertiga lantas sama-sama merapikan barang bawaan hendak pulang meninggalkan area sekolahan. Satu masalah yang menganggu Karin selain Luna yang bergerak begitu cepat adalah, Karin tidak sadar peralatannya banyak terkapar berantakan di atas meja sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk berkemas.

Di seberang sana, Alfa yang sudah selesai menenteng tasnya di sebelah bahu, tetapi tak kunjung beranjak seperti halnya Luna yang segera membuka pintu keluar dengan semangat menghadiri sanggar melukisnya, justru meningkatkan ketegengan suasana. Dalam situasi tersebut, insting Karin yang sedari awal mengatakan bahwa ia perlu menyeimbangi kegesitan Luna untuk kabur mengosongkan tempat, seketika hancur ketika satu panggilan bernada berat memanggil namanya.

"Karina."

Terlambat mengatur alur jemarinya yang buru-buru menarik ritsleting agar Alfa tidak sempat mengajaknya berkomunikasi, Karin mengambil napas sejenak niat menenangkan diri meladeni laki-laki itu dengan santai. Berkali-kali Karin mengucap dalam hati, ini bukanlah gambaran dirinya sama sekali. Sosok yang berdiri di depannya saat ini cuma seorang Keith Farez Alfansa. Tentu, tidak ada alasan bagi Karin untuk bersikap berlebihan.

"Iya, ada apa?" Membalas percakapan, Karin memberanikan diri mendongakkan kepala menatap laki-laki itu tanpa ragu. Kedua tangannya ia sembunyikan di belakang tubuh. Karin ingin membuktikan kalau Alfa bukanlah sumber di balik besarnya efek yang memengaruhi detak jantungnya kian aktif berdebaran. Namun, kesimpulan tersebut sayangnya tidak berbuahkan ketenangan. Pasalnya, berkat satu ajakan belaka yang keluar dari mulut laki-laki itu, keseimbangan Karin langsung dibuat jatuh terdiam seribu bahasa.

"Mau ke depan bareng? Biar gua temani sampai lo dijemput."

Seonggok bantal yang tertumpuk berantakan di sampingnya kini ia remas sebagaimana perasaannya sedang bercampur aduk tak karuan. Jujur saja, Karin tidak mengerti kenapa dirinya mendadak salah tingkah ketika berhadapan dengan Alfa. Karin benar-benar awam mengenai persoalan Alfa yang tidak ia ketahui motifnya apa, namun bergerak semakin berani mendekatinya.

Seratus persen Karin meyakini, hubungannya terhadap Alfa tidaklah lebih dari sekadar rekan perlombaan. Sebaliknya, laki-laki itu pasti juga menganggapnya serupa.

"Ini pasti gara-gara gue keseringan dengar curhatannya Rania, deh. Pokoknya, nggak banget!" Karin mengeratkan pejaman matanya. Ia berusaha keras membuang sisa pemikiran dangkalnya jauh-jauh. "You're just confused, Karin. All you have to do is, don't even think about it ever again!"

Selepas Alfa mengajukan diri untuk meminjamkan waktunya demi menawarkan sebuah kebaikan bernilai sederhana, Karin langsung menolaknya mentah-mentah lewat ungkapan klasik, yaitu tidak mau merepotkan lalu meninggalkan laki-laki itu terdiam sendirian. Sekilas, saat Karin melewati tubuh Alfa, Karin dapat melihat raut wajah lelaki itu tampak tidak senang dengan jawaban Karin. Mengacu pada catatan tentang serba-serbi seorang Keith Farez Alfansa yang terus diperbaruinya, sejatinya Karin paham Alfa tidak menyukai penolakan. Namun, selain daripada menghiraukan kenyataan tersebut, Karin butuh menjaga kedamaian hatinya.

Tok Tok

"Cie ... yang baru pertama kali malam mingguan diantar pulang sama teman cowoknya!"

Mendengar suara pintu yang terbuka, Karin salah sangka jika menganggap presensi Alfa yang jauh dari peredaran mampu menghentikan dilemanya. Sejak kemarin, kakaknya yang kehilangan bentuk kewarasan tidak segan menjahili Karin.

"Bilangnya musuh, padahal berteman? Ngakunya berteman, aslinya gebetan? Cie, adik gua!" Kanova menukas dengan bahagia. Ia meletakkan jemarinya di depan mulut menurunkan antusiasme. "Wait, sorry lancang. Si cowok ini punya nama, 'kan? Kalau nggak salah Alfa, ya? Tapi, khusus lo sebutnya Alfansa karena panggilan kesayangan?"

Tak kuasa menahan batas kesabaran, Karin pun melempar satu per satu benda empuk yang mengisi kamar tidurnya. "Kanova! Lo resek gue tendang, ya!" Karin membentak. Ia masih kesal menyangkut fakta kala Kanova lupa menjemputnya di restoran 2 hari yang lalu, kembarannya itu bukannya meminta maaf malah hobi menggodanya habis-habisan.

Karin heran mengapa saat itu Kanova harus terbangun untuk segera menuju lokasi sedangkan di luar tepat sekali mobil Alfa tengah berpapasan mampir di halaman rumah. Sebutan Alfansa spontan Karin keluarkan lantaran mulai terbiasa ketika ia harus merujuk percakapan Kanova yang perlu membawa identitas laki-laki tersebut.

"Jadi, bagaimana? Udah ada kemajuan?" Puas membuat Karin cemberut, Kanova pun duduk di sebelahnya.

Karin melengos. "Apa, sih, Ka? Jangan norak, deh! Lo mempermalukan diri lo sendiri dengan menyorot sisi gentle-nya dia ke gue yang sebetulnya, titik permasalahan dari kejadian itu adalah, lo lalai memegang tanggung jawab!"

Membuka telapak tangannya lebar, Kanova mengacak puncak kepala Karin. Laki-laki itu tersenyum menampakkan lesung pipinya. "Iya, iya, gua minta maaf, ya?" 

"In that case, berhubung lagi bahas 'kemajuan'," Karin mengangkat jemari Kanova agar berhenti mengacaukan volume rambutnya, "lo sama Pelangi apa kabar?"

"We're good. Dia terima ajakan gua buat dinner tadi pagi."

"What? Seriously?" Sontak, Karin ikut gembira entah kenapa. Pelangi merupakan cinta pertama Kanova yang sampai detik ini perjuangannya sukar sekali akibat satu dan lain halnya. Terutama perihal perjodohan. "I'm so happy for you!" 

"Gua senang kemarin lo ketemu Pelangi. Berkat curhatan singkat yang sempat lo berdua obrolin tentang dia yang lagi bingung cara ungkapin kepeduliannya ke cowok yang dia suka, gua semakin percaya diri sekarang. Finally, I might have a chance you know?"

"Well, lucky for you. Don't miss it, okay?" Sembari meninju lengan Kanova, Karin menyenderkan kepalanya menghampiri bantalan kasur. Ia mengingat cerita di mana padamnya hubungan Kanova dan Pelangi bisa dijembatani oleh pengakuan sebuah puisi yang tertempel pada majalah dinding SMA Aksara.

"Sekali lo dapat sinyal tanda ketertarikan, lo nggak bisa menyia-nyiakan kesempatan tersebut, bukan?"

"Sinyal ... tanda ketertarikan?" Karin kebingungan. Ia melirik Kanova.

"Iya, ketika lo interest dengan seseorang, respons tubuh lo bakal bereaksi yang memberikan isyarat bahwa lo sebenarnya suka sama dia." Kanova melipat lengannya ke atas untuk menyangga kepala. Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan jawaban. "Misalnya, lo jadi sering memikirkan dia, jantung lo berdebar nggak karuan kapan pun lo ketemu dia, atau barangkali, lo merasa pengin terus-menerus mengenal dia lebih dalam." 

Karin termenung. Beberapa contoh yang Kanova paparkan terasa familiar meski ia sulit meyakini seluruhnya.

"Makanya, cowok semisal udah jatuh hati ke satu cewek, dia bakalan berusaha keras sebesar dan sekecil apa pun untuk mendekati sosok istimewa tersebut. That's what i do. So, andai nanti lo merasakan hal itu, atau lo sadar ada cowok yang berlaku begitu ke lo, jangan tutup mata, ya? Sayang kalau terbuang percuma."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top