27. Reaksi
Di pertengahan hari menjelang siang Senin ini, SMA Bina Bangsa sedang mendapati kabar gembira yang begitu diharapkan bagi para siswa-siswinya. Terbiasa menimba ilmu dalam kurun waktu penuh dari pagi hingga sore, tentunya membuat mereka sangat menghargai sebuah berita akan hadirnya momen 'pulang lebih cepat'. Tanpa adanya bocoran informasi oleh anggota organisasi intra sekolah, tiba-tiba saja kelas dihentikan untuk mengimbau murid segera belajar di rumah sebab guru-guru perlu menjalani urgensinya sebuah rapat.
Karin yang menjadi sasaran empuk lantaran tidak adanya pertemuan EKSEMPELAR lantas langsung diminta Rania ikut berbelanja sekaligus bermain bersama melakukan apa pun yang bersifat menyenangkan. Namira yang sebelumnya sudah berjanji ingin meluangkan aktivitasnya demi melancarkan agenda tersebut, kemudian membantu Rania perihal membujuk persetujuan Karin.
Awalnya, Karin agak meragukan. Menghadapi babak penyisihan pastinya memerlukan persiapan yang jauh lebih matang daripada sekadar kualifikasi. Namun, berhubung kemarin Alfa dan Luna telah bekerja keras sedemikian rupa, mungkin selaku ketua, adalah hal yang bijak bagi Karin memutuskan bahwa biarlah khusus beberapa jam ini, mereka libur sejenak memikirkan perlombaan. Sebagai remaja, menghibur diri di sela-sela sibuknya kegiatan wajib itu sangatlah penting, bukan?
Menginjakkan kaki ke beberapa daftar tempat tujuan serunya versi Rania, Karin dan Namira tidak banyak mengeluh selain menikmati kebersamaan yang terjalin di antara pertemanan mereka bertiga. Pertama-tama dan yang paling utama, Rania membawa mereka berbelanja ke pusat mall ternama demi mendapatkan sekian produk kosmetik yang akan dijajahnya agar rencana konten youtube terbarunya mengenai bahasan review make up bisa terlaksana. Meski tidak memborong layaknya Rania, tanpa dipungkiri Karin dan Namira yang juga peduli terkait penampilan turut membeli—satu sampai dua—alat rias menyesuaikan warna kulit masing-masing.
Usai barang-barang tersebut berhasil dibayar dan dikemas secara cantik, Karin, Namira, dan Rania pun mulai menguasai ruang karaoke untuk melepas penat dengan bernyanyi beramai-ramai. Di antara mereka bertiga, jelaslah kecerdasan musikal Namira melampaui tinggi sehingga suara merdunya menang telak menandingi Karin atau Rania yang pas-pasan. Di dalam sana, Rania dominan memilih lirik yang menceritakan tentang indahnya kisah percintaan. Sebaliknya, Namira malah bergalau ria perkara dilema memulai suatu hubungan. Alih-alih dapat meluapkan emosi lewat kumpulan lagu yang mampu mewakili suasana hati, Karin hendaknya ikut-ikutan saja lantaran tidak terlalu memahami kasmaran itu bentuknya seperti apa.
Puas melukis peristiwa melalui kalimat panjang yang berbentuk sebuah nada tersebut, mereka bertiga lalu lanjut menduduki suatu restoran waralaba demi mengisi perut yang kosong. Seraya mengonsumsi makanan dan minuman yang telah dipesan, mereka menyambung percakapan yang belum selesai seutuhnya.
"Tapi, ya, Nam, menurut gue Halim oke juga, kok, anaknya. Gue pernah sekali dua kali ngobrol sama dia, sih, di circle-nya Sesil. Orangnya humoris, terus outfit sehari-harinya trendy juga buat dijadiin gandengan. I say, let's give it a try?"
"Iya, gue setuju kalau masalah itu. The problem is, gue masih butuh waktu buat kenal sifatnya dia. Lo tau, 'kan? Terakhir gue putus karena apa? Gue nggak suka cowok yang kekanak-kanakan. Soalnya ... ... ...."
Di tengah asiknya curhatan dua gadis belia mengenai perizinan sebuah hati dan sesosok laki-laki yang boleh mendapatinya tersebut, Karin banyak terdiam tak menanggapi kecuali benar ditanya. Entah mengapa, Karin merasa begitu asing dan kuno sebab percakapan ini sangatlah tidak terbayang di kehidupannya. Biasanya, apabila Rania dan Namira ingin membahas perihal laki-laki, Karin tidak akan segan mengkritik terkait dangkalnya sebuah hubungan remaja akibat minimnya tingkat kedewasaan. Tetapi, anehnya demikian baru saja, sebersit pikiran melintas di benak Karin tentang menjalin status berpacaran terhadap lawan jenis itu esensinya bagaimana.
Tring
Bunyi notifikasi smartphone membubarkan lamunan Karin. Ia membuka layar yang terkunci dan menemukan adanya sebuah pesan masuk.
From: 081xxxxxxxxx
Karina?
16.25 PM.
Karin termenung. Kedua alisnya yang menggaris tipis sempat mengerucut niat mengindentifikasi uniknya gaya bahasa. Satu-satunya orang yang menyebut Karin menggunakan nama depannya secara lengkap hanyalah Keith Farez Alfansa.
To: 081xxxxxxxxx
Yes, Karina is here. Ada perlu apa?
16.25 PM.
Balasan terkirim. Netra Karin memindai sekitar sembari menunggu sambungan obrolan yang tidak diduga mendatanginya. Tak lama berlangsung, begitu lampu LED menyala disertai dering yang menandakan munculnya respons dari seberang, Karin segara kembali menatap gadgetnya.
From: 081xxxxxxxxx
Nothing. I just want to make sure.
16.26 PM.
"Huh? Cuma itu?" Karin mendengkus. Ia meletakkan perangkatnya di atas meja. Rona antusias yang tadi merayapi tubuhnya mendadak kabur bergerak mengudara. Karin pun melipat kedua tangannya di depan dada. Tidak tahu mengharapkan apa.
From: 081xxxxxxxxx
Save my number.
16.27 PM.
Permintaan yang dilihatnya melalui kejauhan tersebut sontak membuat Karin tersenyum sendiri entah kenapa. Sesuatu di dalam dadanya terasa mengganjal seperti ada gumpalan kapas yang bersemayam. Karin menggigit bibir bagian bawahnya menetralkan suasana. Ia benar-benar menyimpan kontak lelaki tersebut dengan nama 'Alfansa'.
To: Alfansa
Sure. Lo dapat nomor gue dari siapa?
16.28 PM.
Setelah pertanyaan itu tersampaikan lewat tanda notifikasi, Namira tiba-tiba menginterupsi hendak menyenggol lengan Karin. Ia berkata, "Lagi lihatin apa, sih? Seru banget kayaknya?"
Mengunci layar smartphone begitu saja, Karin lantas meladeni sambaran temannya itu. Ia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dada. "Oh, sorry gue nggak fokus sama cerita kalian. Di beranda ada video kucing yang bikin gemas," ucapnya mengutarakan alasan palsu. Karin mulai memusatkan atensinya. "Jadi, bahasannya lagi ke mana sekarang?"
"Obrolannya udah selesai." Namira merapikan barang bawaan. Meski gerak-gerik Karin cukup mencurigakan, ia memilih untuk tidak menginterogasi lebih lanjut. "Next, mau apa kita, Ra? Karin nggak dengar kayaknya."
"Well, Karin ... tadi gue sama Namira udah setuju, sih. Tinggal lo, nih." Menggerakkan jemarinya menggelitik di depan dagu, Rania pun menyampingkan kepalanya ingin menyiratkan ajakan melalui kedipan sebelah mata. "It's been such a long time since the last one we've done this. Kita dress up bareng di rumah gue, yuk? Lo mau nggak?"
Jejak riasan di beberapa titik bagian wajah Karin dan Namira dibiarkan menempel selepas aktivitas menyenangkan mereka telah lengkap usai berpulang dari kediaman Rania. Lewat akun instagram perempuan itu yang merupakan salah satu primadonanya SMA Bina Bangsa sekaligus memiliki sejumlah belasan ribu pengikut di dalamnya, mereka bertiga banyak memposting foto berkonsep sebelum dan sesudah transformasi berlangsung menggunakan make up pilihan Rania.
Tema yang dipakai adalah tentang gejolak muda dan feminitas budaya remaja. Kostum pertama menyorot seragam kehidupan anak SMA yang diisi berbagai tips terkait jenis-jenis riasan tipis agar tetap terlihat cantik tanpa bernilai mencolok di lingkup sekolahan sedangkan busana kedua mengandalkan outfit bergaya modern dan cukup berani menurut segi pengaplikasian touch up untuk standar berpakaian acara non-formal.
Selaku orang pintar yang kesibukannya dipenuhi dengan kegiatan bersifat mengejar prestasi akademik, jujur saja jika bukan karena Rania atau Namira, sampai saat ini mungkin Karin belum siap belajar atas pentingnya menata penampilan diri. Dahulu, sebelum mereka berkenalan dan menjadi dekat di lingkungan SMP, Karin itu termasuk jajaran perempuan yang abai sekali perihal bersolek.
Wajar setiap mengikuti agenda penting keluarga Wijaya, pesona Karin sering tertutupi oleh karismanya seorang Kanova yang meski ia adalah laki-laki, kakak kembarannya itu tetap memedulikan keseluruhan titik yang mampu mengangkat daya tariknya. Jika dipikir kembali, sejatinya Karin bukanlah tipe yang senang memegang pusat perhatian. Meski begitu, lewat hal tersebut Karin jadi belajar bahwa bagaimana cara ia merawat rupa ternyata bisa meningkatkan derajatnya di mata banyak orang.
"Lo nggak upload juga, Rin? Bagus-bagus, loh, hasilnya."
Menyedot minuman berperisa stroberi kesukaannya, Karin terdiam sejenak hendak merespons ucapan Namira. "Masih bingung mau pilih yang mana. Gue nggak suka spam posting-an," katanya sembari menggulir layar smartphone.
Saat ini, Karin dan Namira tengah mampir sejenak di outlet susu dekat kompleks perumahan Rania. Energi mereka, sepertinya telah banyak terbuang sehingga memutuskan untuk membeli cairan segar sebelum berpisah menutup hari. Ketika diajak tadi, Rania menolak bergabung karena sedang menjalani program diet mingguan. Jadilah, walau tidak lengkap, Karin dan Namira tetap bersantai mengembalikan ketenangan.
"Yang ini, oke, nggak?" Karin memperlihatkan foto pilihannya pada Namira. Menimbang sebentar, Namira mengangguk memberikan konfirmasi. Karin pun menekan simbol tambah yang berfungsi membagikan gambar ke laman utama. "Sip! Gue post yang ini aja kalau begitu."
Selang sekian menit Karin mengunggah hal tersebut, sebuah notifikasi berlambang setengah tubuh manusia yang muncul tertumpuk di sebelah puluhan tanda cinta mengunci atensi Karin. Ia tersenyum kecil mendapatinya.
K.Alfansa started following you.
Buru-buru, Karin mengetik susunan teks demi menanggapi komunikasi yang terhubung lewat media virtual tersebut. Mengenai seorang Keith Farez Alfansa yang sejak siang hari tiba-tiba menghubungi Karin melalui sebuah pesan, percakapan tersebut masih terus bersambung sampai sekarang.
To: Alfansa
Tadi minta simpan kontak. Sekarang apa? Mau di-follback?
19.30 PM.
Karin menekan profil beridentitas @K.Alfansa. Kontras dengan Rania yang sama-sama mempunyai pengikut berjumlah banyak sekali, manifestasi akun Alfa tidak terlalu ramai dipenuhi unggahan. Kurang lebih, Alfa menampakkan sekitar lima foto diri saja yang diambil secara tidak sengaja. Karin pikir, mungkin inilah perbedaan yang dapat ditemukan. Perempuan biasanya cenderung mudah menganggap sesuatu membosankan sehingga perlu memperbarui tampilan berandanya secara berkala sementara laki-laki sebaliknya. Adapun—dibandingkan laki-laki, perempuan mengungguli keleluasaan perihal mengekspresikan diri sehingga wajarlah kontur Alfa terlihat demikian sederhana.
Telunjuk Karin lantas menekan satu per satu kolase galeri instagram milik Alfa. Sembari memperhatikannya dengan saksama, tanpa sadar bibir Karin menggaris lekuk tipis mendapati bermacam-macam pose Alfa menguasai lapangan sepak bola. Ada kala di mana laki-laki itu sedang beristirahat di rerumputan menyangga tubuhnya menggunakan telapak tangan, dua lainnya menunjukkan Alfa yang berlari menggocek lawan hendak menendang ke arah gawang, bagian keempat menampakkan sisi Alfa yang tampak lelah menyugar rambutnya ke belakang.
"Sok keren," batin Karin berujar konotasi negatif bermaksud mengakui. Tak membohongi masih menjejal penasaran, Karin terus melanjutkan agenda penelusurannya menuju gambar terakhir yang tersedia. Pada tampilan layar tersebut, persona cerdas Alfa yang tengah serius membaca sebuah buku di suatu ruang perpustakaan semakin menimbulkan reaksi yang tak umum terhadap Karin.
Entah mengapa, tubuh Karin mendadak jadi panas, detak jantungnya berdebar tak karuan, dan yang paling aneh, isi kepalanya tak bisa berhenti memproyeksikan bayangan seorang Keith Farez Alfansa dalam benak. Berusaha berdistraksi, Karin lalu memejamkan mata. Ia tidak pernah merasakan hal ini hanya karena seorang laki-laki sebelumnya. Sebenarnya, ini ada apa?
"Gestur lo setiap lihat HP lucu, deh, hari ini. Kadang senyum manis, kadang gelisah sendiri." Namira menilik air wajah Karin. "Kenapa? Semua gara-gara video kucing yang bikin gemas lagi?" katanya pura-pura berlagak bodoh. Sejatinya saat muncul kesempatan, diam-diam Namira sering mengintip smartphone Karin yang menyala. Tentu, Namira tahu itu semua terjadi lantaran Alfa.
"Bukan kucing!" jawab Karin sedikit tersentak. Setelah menyadari responsnya berlebihan, Karin segera menetralkan intonasi suaranya. "Ada hal selain kucing."
"Hal ... selain kucing?"
"Iya, hal selain kucing." Sejenak, Karin termenung. Kalimatnya terdengar bodoh. Kedua alisnya menekuk layu. "Sorry, ya? Ceritanya nggak bisa sekarang."
"Hei, Rin. Gue nggak memaksa lo buat bercerita, kok," balas Namira menurunkan ketegangan. Ia menggenggam jemari Karin bersifat memahami. "Silakan lo proses dulu apa yang lagi lo rasain. But I want you to know that, kapan pun ada yang pengin lo tanyain, jangan sungkan sharing ke gue atau Rania, ya?" Namira mengulas senyum tipis. Ia beranjak butuh membayar minuman usai Karin mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
"Nam, besok biar gue yang traktir di kantin, ya?"
"It's not a big deal."
Karin mengalah. Syukur Namira tidak memperpanjang masalah. Lantas ia meninggalkan kursi duduknya hendak menghilir udara ke pinggir jalan. Tangannya sengaja ia ayunkan ke sembarang arah ingin mengusir persoalan yang membingungkan. Namun, seulas notifikasi yang muncul kembali dari seberang membubarkan tujuannya.
From: Alfansa
Only if you want. But if by any chance you already look up my profile, you know what to do.
19.35 PM.
"How did you?!" Jemari Karin terangkat menutupi mulut. Tebakan Alfa sukses meringkus jejak tersembunyinya. "Calm down, Karin! He's just being confident! Selaku teman, ini tindakan yang wajar, bukan?" ujarnya bersenandika. Bersikap santai, akhirnya Karin memutuskan untuk mengikuti akun lelaki tersebut.
Menyudahi dilema yang berujung saling berbalasan, tak sengaja di sebelah kanan posisinya, Karin menangkap seorang perempuan tengah berjongkok menarik rambutnya berantakan. Mata Karin sontak memicing, sepertinya ia mengenali sosok tersebut. "Pelangi? Itu lo, 'kan?" Yang disahuti lantas mendongak ke atas. Sesaat Karin mampu mendeteksi wajahnya familiar terhadap pengenalan, ia berucap memastikan, "Masih ingat sama gue?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top