25. Kualifikasi
Seperti halnya yang sudah ditunggu-tunggu oleh para kandidat gelombang pertama terkait kapan perlombaan EKSEMPELAR akan digelar secara terbuka, akhirnya tibalah hari di mana babak kualifikasi—sebagai tahapan pertamanya—serempak diselenggerakan dalam bentuk seremonial singkat di masing-masing pusat ibu kota.
Seluruh tim yang berhasil terdaftar, telah menerima undangan berkumpul pada satu titik gedung yang ditentukan sebagai tempat pertemuan. Setiap sekolahan mengirim tiga pelajar terbaiknya memperjuangkan nama almamater kebanggaan melawan kelompok lain melalui proses eliminasi yang dilakukan berdasarkan jangkauan per provinsi.
Demikian, di ruang tunggu yang cukup sesak dipenuhi oleh beragamnya keberadaan siswa-siswi, Alfa, Karin, dan Luna tampak berdiri santai setelah tenang bisa hadir tepat pada waktunya. Seragam putih dihiasi dasi merah marun, lengkap dengan spektrum warna yang sejenis bermotif kotak-kotak bergaris untuk bagian bawahnya terlihat menawan di tubuh mereka. Pakaian yang melambangkan identitas SMA Bina Bangsa menjadi pilihan utama dalam berbusana.
"Masih sisa 10 menit. Kalian dapat di ruang berapa aja?" Menilik jam tangannya yang melingkar di pergelangan, Karin bertanya menyasar selembar kertas yang ada di genggaman Alfa dan Luna.
"Aku di A-3." Luna menjawab sembari memindai netranya ke sekitar. "Pendatangnya ramai banget. Kita bisa lolos nggak, ya?"
"Luna?!" Mendengarnya, sontak bola mata Karin pun menajam. Ia meraih jemari Luna untuk digenggam. "Ingat kata-kata gue, ya? Kita ini jauh lebih jago dibandingkan mereka! Selama latihan, lo tau sendiri bagaimana kita selalu bisa mengerjakan variasi soal dari berbagai tingkat kesulitan yang berbeda. Kalau ada yang bisa jamin siapa tim paling keren di area ini, udah pasti itu adalah kita!"
Luna mengangguk. Ia menarik napasnya panjang membuang keraguan. "Oke, kita pasti bisa."
"Benar, kita pasti bisa," ucap Karin mengulangi agar Luna semakin percaya diri. "Gue dan Alfansa serahin set soal soshum ke lo, ya? Sebanyak 50% tingkat keberhasilan kita ada di tangan lo. Kalau masalah kemampuan, kita berdua nggak meragukan lo sama sekali. Tapi, barangkali ada kesalahan yang luput dari pengawasan saat pengerjaan pertama, jangan lupa ambil sisa waktu yang lo punya buat crosscheck jawabannya ulang, ya?"
"Siap!" Luna berseru. "Semangat, ya, kalian! Kita ketemu lagi di titik ini nanti." Perempuan itu lantas izin berpamitan ingin memasuki ruang pelaksanaan menimbang jalannya babak kualifikasi hanya tinggal hitungan waktu. Karin melambaikan tangannya dari kejauhan.
Di sudut koridor bernuansa klasik yang diduduki oleh barisan pot kecil bertanamkan pohon bonsai tersebut, kini tersisalah Alfa dan Karin yang masing-masing saling terdiam tak melanjutkan percakapan. Sejak awal mula keberangkatan sampai di perjalanan tadi pagi, mendadak Karin kembali merasa canggung untuk sekadar berbicara pada Alfa. Aura laki-laki itu tampak mengeruh layaknya ada suatu hal yang tiba-tiba mengganggu ketenangannya.
Lagat ramah Karin tidak berfungsi. Ketika gestur Alfa mulai berlaku sedingin itu, Karin kelewat segan untuk menelusurinya lebih jauh. Ia belum memiliki kunci yang dapat menembus tembok pertahanan Alfa terkait perlombaan tanpa memicu pertengkaran. Barangkali, mungkin memang bukan urusan Karin untuk mengetahuinya.
"Lo di ruangan berapa?" Niat mencairkan suasana, Karin merepetisi pertanyaan yang tidak dijawab oleh Alfa.
Laki-laki itu terdiam. Kedua tangannya terlipat sempurna di depan dada sedang punggungnya ia senderkan rapat ke tembok belakang. Matanya yang menyorot tajam tampak menyisir pendek ke arah depan. Alfa mengembuskan napas berat sebelum melirik Karin hanya sekilas. Ia berucap, "Gua duluan." Singkat menegakkan tubuhnya lalu beranjak pergi meninggalkan.
"Oh, oke." Karin membisu. Ia pikir, sedikitnya ia telah selangkah ada di tahap yang lebih maju dalam menyingkap baiknya sebuah pertemanan terhadap laki-laki itu. Namun, saat ditinjau lagi, entah kenapa semua hubungan yang terjalin ini justru terasa dangkal terhalang perkembangan.
"Kita nggak perlu saling mengenal untuk kerja sama."
Sesuai pernyataan yang sangat ditekankan oleh Alfa waktu itu, Karin ternyata memang belum paham sedikit pun mengenai sosok di balik seorang Keith Farez Alfansa. Laki-laki itu seakan membangun unsur formalitas besar di balik setuju atau tidaknya ia mendekatkan diri pada Karin.
Batas berjurang luas tersebut selalu tampak ketika sesuatu di balik perlombaan mengusik keseimbangannya. Sekarang pun, dengan jelas Karin dapat melihat tangan Alfa tengah meremukkan kertas pentunjuk ruangan menjadi bentuk bola kecil sebagai sarana pelampiasannya.
"Lo sebenarnya kenapa dan mau apa, Alfansa?" Karin bertanya-tanya. Benar kata Kanova. Kerja sama menitikberatkan proses perkenalan untuk mengetahui ke mana arah dan tujuan antar rekan akan melaju. Motif abu-abu Alfa membuat seluruhnya kentara.
"Perhatian kepada seluruh peserta, mohon untuk segera memasuki ruangannya masing-masing. Sebentar lagi babak kualifikasi akan dimulai."
Pengumuman yang disuarakan lewat interkom itu membuyarkan lamunan Karin. Bersamaan dengan kerumunan yang satu per satu mulai meninggalkan titik pertemuan, Karin beranjak menuju tempat seleksinya yang terletak di lorong sebelah.
Berdasarkan lampiran surat yang Karin amati, setiap ruang berisikan sejumlah 15 kandidat yang siap bertempur mempertaruhkan taraf kecerdasannya. Bilik ujian diwakili oleh urutan huruf alfabet A sampai dengan G yang diikuti angka 1—3 di belakangnya, sehingga terdapat 105 tim yang perlu diseleksi lewat cakupan provinsi ini.
Untuk lolos pada babak kualifilasi, setidaknya sebuah tim perlu menduduki peringkat 3 teratas dari total keseluruhan. Menimbang set soal yang diberikan terbilang sedikit—sejalan dengan pengerjaan waktunya yang singkat, jelas andai ingin mendominasi, seluruh pertanyaan perlu dijawab benar tanpa adanya kesalahan.
"Silakan barang bawaan bisa disimpan ke dalam loker. Yang tersisa di atas meja hanyalah kartu identitas beserta surat lampiran ruangan yang telah diberikan selaku tanda keikutsertaan Saudara sebagai peserta."
Imbauan pengawas ruangan menuntun Karin untuk duduk di kursinya tanpa membawa apa pun selain yang diperintahkan. Lantaran semua pengerjaan dilakukan berbasis komputer, Karin tidak perlu repot-repot menyiapkan apa pun selain otak dan raganya.
Jujur saja, Karin tidak ragu dengan kemampuannya sama sekali. Baginya, sistem di babak kualifikasi ini masih tergolong mudah. Karin sangat percaya bahwa ia mampu menjawab soalnya dengan sempurna. Namun, yang menjadi perhatiannya sekarang adalah, lomba ini sayangnya tidak ia perjuangkan sendirian. Kedua rekannya turut memegang kunci penting apakah pada akhirnya ia tetap bisa melanjutkan perjalanan atau tidak.
Karin akui, Alfa dan Luna memang pintar. Meski begitu, kesiapan mental saat menghadapi tantangan turut menyumbang kontribusi besar atas berlangsungnya performa yang berpacu dengan ketatnya pengerjaan waktu. Apabila hati tidak tenang, laju konsentrasi dapat terganggu. Karin hanya berharap mereka berdua—khususnya Alfa—dapat mengontrol diri apa pun kecemasan yang menginterupsi agar pengerjaan dapat bekerja secara maksimal.
"Ya, gue percaya sama lo berdua," ujar Karin bersenandika.
Sebagaimana instruktor membuka perawalan lomba dengan munculnya petunjuk untuk mengoperasikan perangkat komputer dan informasi umum tentang pengisian lembar kerja beserta keterangan tambahan berikutnya, Karin pun memasukkan data dirinya sesuai arahan agar lembar jawab digitalnya dapat dikenali. Hal mendasar mengenai nama, nomor tim, dan asal sekolah merupakan unsur utama yang dimasukkan lewat papan ketik.
Tepat di atas mimbar kecil bagian depan ruangan, terdapat satu buah jam digital yang menampilkan deret angka mundur sebagai tanda kapan pengerjaan akan dimulai. Sontak, begitu garis lampu neon itu berhenti dan memulai perhitungan baru sepanjang 20 menit, Karin segera memfokuskan matanya menggulir set soal MIPA dari halaman pertama menuju akhir.
"Satu, dua, tiga, empat...." Mengingat diskusi singkat yang seminggu lalu ia bicarakan pada Alfa, apabila komposisi berdasarkan penggolongan materi tidak terdistribusi sama rata sebanyak masing-masing menerima seminimalnya 10 soal, maka yang memperoleh bagian lebih sedikit akan membantu dari nomor paling bawah agar seimbang. Kebetulan setelah ditelusuri, Karin mendapat 12 soal yang harus dikerjakan sehingga 2 dari sekian jumlahnya akan ia serahkan kepada Alfa.
"Please, I'm counting on you," ucap Karin harap-harap cemas. Semoga turunnya fluktuasi mood laki-laki itu—yang tak diketahui penyebabnya apa—tidak mengganggu jalannya perlombaan.
Keberadaan Alfa saat ini masih tak kunjung juga ditemukan. Batang hidung laki-laki itu mendadak hilang entah ke mana. Sesuai dengan perkataan Luna sebelumnya, begitu keluar ruangan, mereka bertiga seharusnya kembali berkumpul di titik temu dekat barisan pohon bonsai. Karin dan Luna sudah menunggu serta berkeliling area selama hampir 2 jam menghasilkan kehadiran yang nihil. Smartphone Alfa bahkan tidak aktif. Beberapa pesan dan panggilan yang mereka berikan gagal mengindikasikan sebuah respons yang berarti.
"Dia ke mana, sih? Pengumuman sebentar lagi mau ditampilkan, loh!" Karin menggeser gelas jus stroberinya yang sudah habis. Ia dan Luna kini sedang beristirahat di suatu kedai untuk menurunkan kadar kecemasan terhadap menguapnya presensi Alfa.
"Aku yakin dia pasti bakal balik, kok." Menggulir layar gadgetnya yang menampilkan panjang teks sekilas obrolan, Luna menghantarkan kabar gembira. "Eh, chat-nya udah centang dua, Rin!"
Mata Karin membelalak. Segera ia meminta izin untuk meminjam perangkat Luna. "Kenapa nggak dari tadi, sih? Bikin khawatir aja." Jemarinya hendak menekan ikon telepon andai saja Luna tidak menginterupsinya.
"Pesannya udah dibaca. Mungkin dia lagi nggak pengin diganggu. Kita tunggu aja sampai dia datang, ya? Lokasinya udah kita kasih tau, 'kan?"
Karin menghela napasnya. Ia menyerahkan kembali benda berukuran persegi empat tersebut kepada Luna. Kedua tangannya melipat lesu di depan perut. "Lun, sebenarnya Alfa itu kenapa, sih? Kayaknya lo kenal dia lebih lama daripada gue, deh. Lo tau sesuatu nggak?"
Mendengar pertanyaan tersebut, refleks Luna menurunkan pandangannya tampak sayu. Gadis itu termenung sejenak sebelum berbicara, "Ada sejarah kenapa Alfa agak sensitif terkait perlombaan. Makanya di perpustakaan waktu itu, aku sempat tanya apa kamu dekat sama dia atau nggak." Sebersit ucapan Luna membentuk senyum tipis yang tidak nyaman untuk dilihat. Kalimat selanjutnya menegaskan rona kekecewaan. "Aku tau kamu bohong, Rin."
"Lun, maaf." Mendadak, seonggok perasaan bersalah timbul dalam hati Karin. Keegoisannya untuk membangun tim kala itu menyebabkan ia hampir menghalalkan segala cara termasuk memanipulasi kepercayaan. "Tapi, gue udah berusaha banget buat dekatin dia, kok."
"Aku tau. Mendapati Alfa yang pada akhirnya berhasil kamu bujuk untuk ikut lomba, bagiku itu udah cukup. Di luar ekspektasi, bahkan aku malah terkejut," ujar Luna menampakkan lagi ekspresinya yang melembut. "Masalahnya apa, mungkin bukan jangkauan aku untuk memberitahukannya ke kamu. Satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah, mungkin Alfa melihat sesuatu yang menarik dari diri kamu. Jadi, kalau kamu mau tau, saran aku pelan-pelan, ya, pahami kondisi dia? Tunggu sampai dia siap berbagi sama kamu."
Usai Luna mengungkapkan banyak kalimat yang mengandung makna tersirat itu, Karin tidak menyambung percakapan apa pun selain menggigit bibir bagian bawahnya lantaran bingung dan kesal menanggapi usulan. Tentu, ia tidak bisa memaksa Luna untuk menjelaskan segala. Rahasia tersebut pastinya bersifat privasi yang cukup mendalam.
"Seseorang nggak mungkin berucap setuju begitu aja tanpa ada yang mau dia kejar, 'kan?"
Meski Rania pernah menerangkan sebuah petunjuk, jujur saja Karin masih merasa seperti orang bodoh lantaran bergerak maju tanpa tau nilai upayanya bisa dibawa ke arah mana. Sejatinya, Karin mengajak Alfa memenangkan kejuaraan atau apa? Gestur pasif agresif Alfa tidak membantu Karin sama sekali untuk memahami. Karin muak memegang kepedulian tanpa adanya sikap kooperatif dari laki-laki itu.
Bunyi decitan kursi kayu yang tiba-tiba digeser dengan kasar memusatkan atensi Karin dan Luna ke arah seberang. Alfa merubuhkan tubuhnya di depan mereka tampak santai. Laki-laki itu menyenderkan punggungnya seperti perilaku abai tersebut tidak memberikan efek buruk pada siapa-siapa.
Karin menasehatinya. "Jangan kayak begini. Kalau mau sendiri kabarin dulu."
Malas menanggapinya, Alfa pun membuang muka menghindari Karin. Laki-laki itu mendenguskan napasnya berat bermaksud tak mengindahkan. "Gua cuma jalan-jalan sebentar. Bukan masalah besar."
"Justru ini perlu jadi 'masalah besar' karena gue khawatir sama lo!" Nada Karin yang terdengar meninggi beberapa tingkat tersebut, membuat laki-laki itu menjengitkan sebelah alisnya. Kelopak mata Karin mengerucut tanda tak suka. "Tolong, ya, percakapan kita di hari pertama pas pertemuan EKSEMPELAR waktu itu diterapkan." Ia menggerakkan tangannya meraih bungkus sandwich serta sekotak susu UHT varian cokelat dari dalam tasnya untuk diberikan kepada Alfa. "Sambil tunggu pengumumannya keluar, lo makan dan minum ini dulu buat ganjel perut. Gue tunggu di aula gedung."
Sedetik kemudian, Karin pun melengos pergi setelah mengirim isyarat pada Luna untuk menemani Alfa dan menyusulnya nanti usai laki-laki itu selesai menyantap kudapan. Saat ini, Karin sedang marah. Biar laki-laki itu berintrospeksi membenarkan kesalahannya. Karin kesulitan melazimi tingkah laku Alfa yang selalu ingin bertindak seenaknya.
Aula utama yang dijadikan sebagai tempat pengumuman lolos atau tidaknya melewati babak kualifikasi, telah ramai dikerumuni oleh seluruh anggota tim yang berpartisipasi. Alfa dan Luna—beberapa menit yang lalu—sudah berkumpul bersama Karin di urutan baris paling depan. Berkat data pengerjaan diolah perangkat digital berbasis teknologi canggih, hasil skor yang dibutuhkan untuk menentukan kandidat mana yang berhasil maju ke tahap berikutnya bisa langsung dikeluarkan dalam waktu yang singkat.
Bersama dua orang pemandu yang menuntun jalannya acara di atas panggung pegeleran, mata Karin sedari tadi tidak bisa berhenti menatap layar besar yang menjadi saksi ketercapaian. Namun, di tengah keseriusan itu, tiba-tiba Alfa menginterupsi. Samar-samar Karin dapat merasakan, tubuhnya tengah bersentuhan dengan lengan laki-laki itu.
"Karina," panggil Alfa tampak segan menatap Karin dari mata ke mata. Gerak-geriknya mengisyaratkan gestur tertutup dengan menyimpan kedua tangannya ke dalam saku. Laki-laki itu sempat berdeham sebelum melanjutkan. "Maaf."
Jujur, Karin ingin tertawa bangga sekarang juga. Hatinya terasa menggelitik mendengar Afa menurunkan ego meski sedikit. Ini kali pertamanya bagi Karin mendapati Alfa tengah mengalah secara gamblang. Sayang, bukan? Andai momen langka tersebut tidak dimanfaatkan?
"Hah? Lo ngomong apa?" Pura-pura tidak mendengar, Karin menangkup telapak tangannya berbentuk setengah cawan di belakang telinga. Tubuhnya sedikit berjinjit hendak mendekati mulut Alfa berada. Matanya memicing membutuhkan penegasan.
"Gua ... mau minta—"
"Minta apa? Mau susu kotak lagi?" tanya Karin memasang raut culasnya. Ia menggeleng. "Udah nggak ada. Habis ini aja kita beli."
Alfa mendengkus. Kedua matanya sempat menutup sejenak sebelum maniknya yang tajam berani menghunus Karin dalam-dalam. "Gua bilang gua minta maaf, Karina. Gua minta maaf karena udah buat lo khawatir."
Karin termenung. Ucapan tersebut entah kenapa mengakibatkan sesuatu di dalam dadanya terasa berdesir. Buru-buru Karin meluruskan pandangannya ke arah depan. "Iya, gue maafin."
Tak lama setelah itu, pembawa acara pun mulai menghitung mundur sesaat di mana layar digital berukuran besar akan menampilkan nomor kelompok tim mana yang berhasil maju ke tahapan berikutnya. Sorak ramai dari para peserta yang menguar gempar membuat Karin bergeser sedikit hendak menggenggam tangan Luna untuk menghadapi penentuan bersama-sama. Ketika detik yang tersisa habis dituntun pelan menuju akhir, suasana lantas menjadi hening diisi redumnya lantunan pengeras suara dari efek animasi sederhana yang muncul di tampilan layar.
Nomor demi nomor kelompok timbul berwujud dua dimensi yang dibingkai menggunakan bangun persegi panjang secara acak dalam urutan posisi. Hingga tidak ada lagi nama yang perlu ditampilkan sebab demikian sudah terwakili semua, sistem lalu mengubah sebagian besar identitas tim yang tertera di situ menjadi berwarna buram keseluruhan.
Karin pastikan, hal tersebut merupakan tanda bahwa mereka tidak dapat lanjut ke babak berikutnya. Sedangkan sebuah nada tinggi yang disertai munculnya sinar di sekitar bingkai kotak pemajangan nomor kelompok mengindikasikan sebaliknya.
"Rin, aku deg-degan," kata Luna meremas jemari Karin erat.
Karin tidak menanggapinya. Netra perempuan itu masih menunggu hasil yang didapatkan sebab bingkai nomor kelompoknya belum menerima efek tambahan sama sekali. Jika sebelumnya Luna berhasil menjawab keseluruhan soal dengan benar dan Alfa mampu mengatasi bagian yang tidak sempat Karin jawab seutuhnya, seharusnya kotak mereka tidak bersinar redup seperti partisipan lainnya yang gagal meneruskan perjuangan.
Sampai di satu titik, para peserta terkejut akibat menggemanya denting baru bertirukan deringan lonceng disertai animasi mewah pada sebuah bingkai spesial berhiaskan mahkota besar di atasnya. Itu milik SMA Bina Bangsa.
"Karin!" Mengetahui kecemasannya berbuah kemenangan, Luna tentu berseru bahagia. Karin yang tengah menyimpan bungah dalam hatinya sontak mengubah raut wajahnya ceria sembari berjingkrak mengajak Luna berlompatan seru.
Pembawa acara menjelaskan, sebanyak tiga bingkai yang bersinar itu merupakan kelompok yang berhasil maju ke tahapan berikutnya. Adapun, tim yang mendapatkan mahkota emas adalah mereka yang sukses mendominasi babak kualifikasi dengan menduduki peringkat pertama.
Mengetahui timnya adalah yang terhebat dalam skala provinsi ini, Karin kemudian menarik Luna berjajaran tertib di dekat Alfa. Ia berucap, "Gila kita keren banget!" Barisan gigi manisnya ia tunjukkan di tengah hiruk-pikuknya suasana.
Alfa menimpali, "Ini baru tahap pertama, nggak usah berlebihan." Laki-laki itu mengedarkan pandangannya tak berminat.
Mendapati tanggapan berkesan dingin tersebut, Karin mencebik. "Semua keberhasilan patut dirayakan, Alfansa. Kita nggak sekadar lolos, loh, tapi perolehan skor kita juga sempurna. Lihat, deh," telunjuknya mengacung ke arah layar tempat dua digit angka kecil bersemayam di samping pertengahan garis nomor kelompok dan identitas asal SMA.
Alfa melipatkan kedua tangannya di depan dada. "Perjalanan kita masih jauh, terlalu awal membanggakan performa cuma akan menciptakan harapan yang nggak berguna, Karina."
"Well, ini bukan 'membanggakan diri', tapi memberi apresiasi." Karin menggaris kelopak matanya tipis yang memancing penuh perhatian Alfa. "Kita nggak boleh meremehkan progres sekecil apa pun yang udah dilalui. Terlepas siapa yang jadi juara, dukungan antar sesama itu penting, 'kan, Alfansa?" kata Karin membuat lelaki tersebut tertegun menghadap depan.
Tak lama kemudian, pembawa acara pun meminta kepada tiga tim yang lolos untuk maju ke podium utama demi menunjukkan kehadirannya. Selaku ketua, dengan langkah sigap lantas Karin menggerakkan kakinya maju disertai senyumannya yang melebar bahagia tak tertandingi. Ia berseru, "Gue senang banget punya lo berdua! Malam nanti, kita diner bareng, ya? Gue yang traktir!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top