24. Arti

Pulasan bertakjub jingga yang membentang ufuk panorama petang memberikan tanda bahwa sebentar lagi tuannya cahaya langit hendak menitip satu perizinan penting untuk berpulang.

Kabar menyenangkan itu tentunya disambut dengan baik oleh seluruh siswa-siswi SMA Bina Bingsa yang telah menyelesaikan satu harinya penuh menimba ilmu tanpa terhalang.

Beberapa yang merasa agendanya sudah bisa dicukupkan, tentu ingin segera melepas penat mengangkat kakinya jauh meninggalkan halaman sekolah. Belajar bagi mereka sangatlah menguras energi ternyata. Namun, teruntuk sejumput lainnya yang merasa tidak serupa, hadirnya sisa waktu luang ini justru mereka maksimalkan demi mengasah keterampilan, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler atau sekadar bercengkerama menempati titik tongkrongan beramai-ramai.

Kumpulan kaum remaja di balik seragam putih abu-abu tersebut, jarang sekali membiarkan SMA Bina Bangsa sepi sebelum gerbang utama benar-benar ditutup. Area ini merupakan sumber di mana lingkup canda dan tawa mereka dapat berangsur tak kenal sayup.

"Ugh, what a day. Gue capek, tapi belum mau balik. Kalian ada rencana nggak habis ini? Udah lama kita nggak shop—"

"Sorry, hari ini gue ada jadwal kursus musik, maybe next time kita hangout?" Sebelum sempat mendapati ajakan Rania, Namira sudah terlebih dahulu menolaknya dengan memotong percakapan. Perempuan itu menatap layar smartphone—nya sembari mengetikkan seulas pesan. "Kakak gue udah di depan, nih, gue duluan, ya. Bye girls." Tangannya melambai singkat kemudian pergi begitu saja.

"Ya, ampun! Orang-orang kenapa pada sibuk banget, sih?" Rania berkomentar. Perempuan itu merubuhkan tubuhnya kembali di atas kursi. Ia menghadap Karin. "Lo juga diborong sama perlombaan. Bukannya gue melarang, ya, but can we at least take a moment to have fun and not the otherwise? We're still young anyway."

"Nggak setiap orang punya persepsi yang sama tentang having fun, Ra." Karin menanggapi. Ia menarik ritsleting tasnya ke ujung ingin merapikan. "Iya, kita masih muda. Tapi, muda kita dalam takaran segera beranjak menuju dewasa. Nggak semuanya harus dihabiskan buat bersenang-senang. Jadi, wajar aja kalau beberapa dari kita mulai concern untuk kembangin hobi, mengasah bakat, dan segala yang berkaitan dengan self-improvement atau pengejaran cita-cita."

"I know. Mungkin gue lagi bosan aja." Rania menopang kedua pipinya menggunakan kepalan tangan. "Daily activity gue nggak se-full lo berdua karena cuma fokus kembangin akun tutorial make up di youtube. Kadang pas nggak ada kerjaan, I'd kinda feel lonely."

"Oh, Ra." Karin bergerak mendekati niat merangkul Rania. "But you do have a boyfriend on your side, right?"

"Of course, I do!" Bola mata Rania membulat. "Tapi, dia sama jenisnya kayak lo berdua. Nggak bisa sesering itu gue ajak ketemuan dia di luar sekolah. Latihan taekwondonya padat. Kalau malam juga suka nongkrong sama teman-teman cowoknya. Walau gue tau dia bakal prioritasin gue asal gue minta, tapi gue nggak mau mengeksploitasi kebebasan dia."

"You're so sweet you know that?" ucap Karin menghibur kegalauan Rania. Ia merapatkan kepalanya untuk membagi perasaan. "Here's the thing, gimana kalau sekarang kita makan puding stroberi aja di kantin belakang?"

"Mau...." Rania menangguk-angguk. "Tambah milkshake juga, ya?"

"Noted, tambah milkshake juga," ujar Karin terkekeh kecil.

Kedua gadis itu lantas melepas pelukan lalu beranjak dari kelasnya mengarah ke tempat tujuan. Sebuah bilik terbuka yang biasa menjadi sasaran paling empuk ketika bel istirahat berbunyi, kini menjelma bangku-bangku sepi yang hanya disinggahi oleh sebagian kecil siswa-siswi. Beberapa stan penjual makanan besar telah tutup di jam seperti ini. Sisa deretan bilik yang masih terjamah sekadar berisi minuman penyegar atau kudapan ringan pengganjal perut.

"Lo mau rasa apa?" Berjalan mendekati kios yang menyediakan beraneka ragam jajanan manis, Karin bertanya pada Rania.

"Stroberi aja, deh, sama kayak lo. Millshake-nya juga, ya."

Karin mengangguk. Pesanan pun ia sampaikan kepada Bu Ranti selaku pemilik dagangan. Mereka berdua menunggu di depan.

"By the way, Rin." Di tengah heningnya suasana, tiba-tiba Rania membuka rasa penasarannya yang tak tertahankan terkait suatu hal. Ia berucap, "Ehm ... resek nggak kalau gue mau tanya tentang pertemanan lo sama Alfa?" 

Menoleh singkat, Karin menjengitkan alisnya. "Nggak sama sekali. These days, things are going fine between us. Ada apa?"

Rania tersenyum tipis. Sejak kejadian di kantin waktu itu, tidak ada lagi hari di mana Karin mengeluh tentang kekesalannya pada seorang Alfa. Sebaliknya, belakangan ini Karin tampak nyaman saja berada di dekat lelaki tersebut seperti sebelumnya tidak pernah ada persoalan di antara mereka berdua.

Jujur saja, ketika Karin pertama kali meminta bantuannya untuk mendekatkan diri terhadap Alfa, Rania tidak mengira perkembangannya akan sampai ke tahap ini dalam waktu yang terbilang singkat. Tentu, bukan Karin namanya jika saat memecahkan perkara, ia tidak menggunakan kerangka berpikirnya semaksimal mungkin. Namun, di sisi lain, Rania rasa, tidaklah cukup kontribusi Karin bekerja secara sepihak. Sesuatu dalam dirinya mengatakan, Alfa turut memegang kunci di balik berfungsinya hubungan mereka berdua sekarang.

"Bukannya gue meragukan tingkat kedewasaan lo berdua atau apa, ya. But don't you think? Semua perubahan ini progresnya berlangsung terlalu cepat?"

"Maksud lo?" Karin terlihat mengerut kebingungan. Ia membenarkan letak kacamatanya.

"Ya, dulu lo berdua, tuh, fiery enemy banget. Saling benci atas perkara yang nggak kasat mata, terus lewat satu lonjakan besar berjudul perlombaan, suddenly kalian baik-baik aja sekarang."

Karin terdiam. Ia tidak dapat menebak laju percakapan Rania ingin dibawa ke mana. "Well, that's a good start, isn't it?"

"Yeah, totally." Rania mengedikkan bahunya menyetujui. Pelan-pelan, ia mengontrol alur gagasannya agar tidak mengejutkan Karin. "Tapi, bukannya agak nggak make sense, ya? Tiba-tiba aja lo berdamai sama seseorang yang kadarnya udah lo benci?" Sebelah alis perempuan itu terangkat ke atas. Raut wajah Karin pun mengalami perubahan sepenuhnya. Rania meluruskan sebelum Karin sempat protes. "Bukan lo, gue tau dasar motif yang lo punya. Kalimat yang tadi itu buat Alfa."

"Oh, okay?"

"It's not okay. Terlepas dari bagaimana pun pandangan lo ke dia sekarang, menurut gue, Alfa itu masih punya sesuatu yang sifatnya masih belum jelas. Dari kelas sepuluh, loh, dia bersikap arogan setengah mati sama lo. Ditambah dengan fakta bahwa dia punya impresi ganjil terhadap perlombaan, janggal nggak, sih, pada akhirnya dia mau terima permintaan lo setelah sekian kali dia menolak? Logikanya, seseorang nggak mungkin berucap setuju begitu aja tanpa ada yang mau dia kejar, 'kan?"

Karin tampak termenung. Jemari perempuan itu terangkat renggang menutupi bibir. "Yeah, it does. Kira-kira alasannya apa, ya?"

Seketika itu juga, di saat Karin menyusun kata-katanya membentuk kalimat tanya, Rania berniat ingin menjuruskan andai Karin tidak sadar bahwa ia memiliki sesuatu yang diam-diam menyebabkan Alfa tertarik. Namun, pengakuan Karin berikutnya mengurungkan intensi tersebut.

"Ah, I have once given him a letter."

"A letter?" Kelopak mata Rania mengerucut. Ini menarik. "Isinya apa?"

"Well, sesuatu yang sangat menyedihkan. Gue lagi hopeless dan banyak marahnya waktu itu. Lo taulah sedongkol apa gue sama kelakuannya dia." Kedua lengan Karin terlipat di depan dada. Ia malas mengingatnya. "In the other hand, i do need him. Gue bilang sama dia, gue butuh banget kontribusinya di dalam tim. Dan somehow, gue jabarin alasan gue ikut lomba supaya dia tergugah. Sentimental, sih." Karin mengafirmasi kalimatnya seraya menggelengkan kepala. "In the end, gue bilang ke dia, kalau gue capek terus bertengkar nggak ada habisnya. Jadi, untuk mengakhirinya baik-baik, gue mau kita nggak usah saling berinteraksi kalau memang nggak ada kebutuhan lain."

Satu jejak yang Karin tinggalkan di dekat akhir kalimatnya, sontak membuat Rania menjentikkan jemarinya seakan menemukan petunjuk yang sedang ia cari. Ia berkata, "Semacam, lo bakal jauhin dia untuk selama-lamanya?"

"Iya, semacam gue dan dia saling berjauhan untuk selama-lamanya," jawab Karin seraya mengambil serta memberikan pada Rania wadah berisi mangkuk puding dan gelas milkshake yang sudah jadi. Mereka berdua pun beranjak pergi menuju tempat duduk.

"Tau nggak, Rin. Tapi, lo jangan kaget, ya?"

"Hah? Jangan kaget apa?" Pandangan Karin masih memindai hendak menentukan lokasi yang pas. Ia tidak begitu fokus memperhatikan ucapan Rania.

"Gue, jadi kepikiran sama yang lo bilang waktu itu. Tentang Alfa dan tipe karakteristiknya yang lo tebak sulit buat ungkapin perasaannya, mungkin nggak, sih, kalau sebenarnya dia itu nggak pernah benar-benar benci sama lo? Menimbang alasan dia buat ikut lomba itu terlalu abu-abu dan semua persetujuannya berawal dari sebuah surat, pernah terlintas nggak di kepala lo kalau jauh di lubuk hati Alfa, dia, tuh, sejatinya su--"

"Rania my sweetheart!"

Panggilan berkesan manis itu tiba-tiba melolong dari ujung koridor depan pintu masuk area kantin. Seketika mengenali pemilik suara yang bergema di pendengarannya, Rania sontak langsung berjinjit kegirangan. "My baby!" Senyumnya mengembang secepat itu hanya karena melihat pujaan hatinya berada di seberang.

Buru-buru Zaki mengejarnya. Tidak langsung memeluk Rania seperti biasa. Ia meletakkan jari telunjuknya di dekat hidung. "Duh, gua jadi bingung. Ini lebih manis makanannya apa pacar gua, ya?" Ia tampak termenung. Sedetik kemudian, ia menyambar Karin. "Rin, lo bisa bantu gua jawab?"

"Ah, udah, deh, sana pergi lo berdua!" seru Karin berdecak sebal.

Momen persahabatannya dengan Rania seketika rusak begitu saja hanya sebab kehadiran Zaki. Teman perempuannya itu jelas tak bisa mengontrol kadar kasmarannya di hadapan Zaki. Karin yang tahu persis akan hal tersebut lalu mengizinkan Rania untuk mengambil waktu bersama Zaki. Mereka berdua memilih tempat duduk sedangkan Karin dibiarkan sendirian. 

"Ugh, virus bucin! Please jauh-jauh dari gue! Awas, ya, lo, Ra!" bisiknya hendak protes habis-habisan. Karin menghela napas panjang. Nampannya yang ditampungi makanan dan minuman manis, kini harus ia habiskan tanpa ada seseorang yang bisa diajak berbicara. Karin pun membalikkan tubuhnya ingin mengganti incaran tempat duduk yang nyaman disinggahi.

"Oops, sorry!" Tidak siap mengantisipasi, Karin tidak sengaja hampir menabrak perawakan seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul dari arah belakang. Karin mendongakkan kepala. "Eh, lo?" Air wajahnya tampak terkejut.

Tepat di hadapan Karin, berdirilah seorang Alfa yang tengah mengeluarkan tangannya yang tersimpan dari dalam saku untuk kemudian membawakan nampan Karin. "Jalannya hati-hati biar nggak ketumpahan minuman lagi. Hari ini gua nggak bawa hoodie."

Karin mencebik. Lelaki itu sudah pandai menyindir ternyata. Ia melirik di kediaman Zaki dan Rania berada. "Semisal niat lo ke sini sebelumnya adalah karena pengin nongkrong bareng sama Zaki, lupakan. Mereka berdua susah dipisahkan kalau udah ketemuan," ucapnya kembali menatap Alfa. "I guess, selamat datang di persatuan obat nyamuknya korban bucin sobat terdekat?"

Alfa mendengus kecil. Laki-laki itu mengatupkan kelopak matanya.

"So, shall we take a seat?" ajak Karin kepada Alfa. Seperti biasa, lelaki itu tidak menjawab. Karin yang sudah paham maksudnya apa lalu segera mendekati sebuah meja dekat kios tempat ia membeli makanan sedangkan Alfa mengikutinya. "Stroberi, vanila, cokelat? Lo suka rasa apa?"  

"Chocolate for sure."

"Ah, typical." Karin mengangguk. "Bu, mau puding sama milkshake-nya satu lagi, ya, rasa cokelat," katanya memesan satu kudapan baru.

Melihatnya, sebelah alis Alfa terangkat tinggi. Ia sedikit terkejut. "Habis dua?"

"Ya, nggaklah," tangan Karin mengibas santai. Ia duduk mencari posisi nyaman. "Itu buat lo."

Alfa terdiam. Ia tidak berkomentar apa pun sampai pada akhirnya hidangan itu tersajikan di mejanya lengkap dengan pertanyaan baru dari lawan bicaranya.

"Udah pernah coba ini? Enak banget, loh." Karin membuat potong kecil menggunakan sendok mininya. 

Alfa melakukannya serupa. "Belum."

"Seriously?" Tangan Karin berhenti bergerak. "Ini salah satu menu yang paling sering gue pesan kalau mood gue lagi berantakan. Konsumsi yang manis-manis katanya bisa bikin kita jadi happy. Well, bukan sekadar katanya, sih, tapi memang scientifically approved."

Alfa mengedikkan bahunya. Ia tahu kebenaran tersebut. "It just that, i don't eat sweet too much."

"Oh?" Mulut karin menganga. Ia salah langkah. "Sorry gue nggak tau. Biar gue aja yang menghabiskan. Mau pesan yang lain?"

Alfa menggeleng. Ia menarik piringnya menjauhi tangan Karin yang hendak mengambilnya. "Bukan berarti gua nggak suka."

"Terus?" Terdiam sejenak, Alfa menggerakkan ekor matanya untuk menitik beberapa bagian tubuhnya. Karin mengangguk-angguk. "Of course, you're on diet."  Ia akui, bentuk badan Alfa sangatlah atletis. Tidak mungkin laki-laki itu mampu mendapatkannya tanpa kontrol diri yang terjaga. "Benar nggak apa-apa, 'kan? Sekali lagi, biar gue yang menghabiskan kalau ini berpotensi merusak lifestyle sehat lo."

"It's not a big deal. Gua belum pakai jatah cheating day di minggu ini."

"Good," jawab Karin sambil tersenyum. Wajahnya yang tak kuasa menahan lezatnya potongan puding pertama ia tunjukkan kepada Alfa. Karin membuka percakapan kembali. "Anyway, Alfansa."

"Alfansa?" Dahi laki-laki itu mengerut.

Karin memastikan. "Iya, Alfansa. Gue capek sebut lo pakai nama lengkap."

"Semua orang panggil gua pakai sebutan 'Alfa'."

"Ya, gue nggak mau jadi bagian dari semua orang itu. Lo juga panggil gue dengan sebutan 'Karina' dibandingkan 'Karin'. Jadi, daripada sekadar 'Alfa', gue maunya 'Alfansa'. Lebih ganteng. Boleh, 'kan?"

Tak beresonansi memberikan gestur yang mengartikan adanya persetujuan, laki-laki itu malah mengalihkan pandangannya menghindari Karin. Sedetik kemudian ia berkata, "Boleh."

"Yay, thank you!" Karin bertepuk tangan singkat. Ia sepakat bahwa beberapa esensi yang malu-malu ditunjukkan laki-laki itu cukup menggemaskan jika dilihat-lihat. "Eh, gue tadi mau tanya."

"Tanya apa?" balas Alfa balik menghadap Karin. Ia menyerok pudingnya masuk ke dalam mulut. 

"Ehm ... soal ini." Karin menggantungkan kalimat seraya menggigit bibir bagian bawahnya ragu-ragu. Pembicaraan dengan Rania sebelumnya, membuat Karin jadi ikut penasaran tentang alasan di balik Alfa yang pada akhirnya memutuskan untuk mengikuti perlombaan. Apabila dipikir lagi menggunakan logika, memangnya apa yang ingin laki-laki itu dapatkan lewat kompetisi kejuaraan? Bukankah dahulu Alfa telah menegaskan bahwa ia tidak tertarik?

"Gue boleh tau nggak alasan lo terima tawaran gue buat berjuang di EKSEMPELAR? Arti perlombaan untuk lo apa, sih?" Demikian, usai pertanyaan itu berhasil dilontarkan, Karin secara jelas dapat mendeteksi perubahan ekspresi di wajah laki-laki itu. Raut yang sebelumnya menggambarkan esensi ketenangan, sekarang memberikan sedikit rona ketegangan. "Semisal keberatan, nggak perlu dijawab," kata Karin menyesali. Ia baru saja melanggar list dont's buatannya sendiri. Jelas daripada menyukai, mungkin di balik definisi perlombaan ada sesuatu yang Alfa benci.

"Lo sendiri?"

"Gue?" Telunjuk Karin tepat mengacung. Entah kenapa, ia merasa harus tunduk agar tidak memperburuk suasana hati laki-laki itu. "Bukankah udah pernah gue kasih tahu lewat surat waktu itu?"

"Gua mau mendengarnya secara langsung," titah Alfa tak terbantahkan.

Karin mengembuskan napas. Kuasa dominasi Alfa merajalela. "Well, sejujurnya gue agak lupa apa yang gue tulis di situ. Arti pelombaan bagi gue, ya? Jawaban formalnya, perlombaan selalu jadi ajang di mana gue bisa membuktikan diri kalau gue itu berguna di mata orang-orang. Lo tau rasanya menang bagaimana. Melebihi kesenangan gue sendiri, terkadang melihat bahagia yang muncul di wajah mereka yang support gue ketika tau gue juara, itu sangatlah memuaskan," ucap Karin mengambil jeda sejenak seraya menolehkan kepalanya ke arah samping. 

Semburat jingga yang membentang luas di pekarangan langit menyebabkan suasana hatinya sedikit mengeruh. Senyum Karin terbilas sendu. "Tapi, sejalan dengan hal itu, ketika orang-orang mulai expect satu sampai beberapa tingkat yang jauh lebih tinggi dari kemampuan lo, dan kemudian mereka berhenti peduli selain daripada lo yang berhasil menang atau nggak, rasanya itu bukan merupakan alasan buat gue ikut perlombaan lagi." Karin mengaburkan pandangan. Jari-jemarinya mengikat erat di setiap sekatnya. 

"Karina?" Menyadari ada yang berbeda, Alfa pun menyentuh permukaan tangan Karin hendak menenangkan. Kepala laki-laki itu menilik hati-hati dari arah samping. 

"Ah, ngomong apa, sih, gue?" Karin yang tersentak kaget lantas menarik diri sembari tersenyum menyembunyikan. Ia membuka kelopak matanya lebar agar genangan air yang tersimpan tidak dibiarkan berjatuhan. "All i want to say is, apa pun alasan lo, gue cuma berharap, semoga lewat ini semua hal tersebut bisa lo temukan, ya. Semangat, Alfansa!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top