23. Perenungan
Hari-hari demikian terus berlalu. Berjalan dikelilingi padatnya pertemuan kelompok, mengerjakan variasi latihan soal, hingga memelajari jalan pintas perhitungan baru, tak terasa permulaan babak kualifikasi hanya tinggal menunggu waktu.
Sepanjang bergantinya pagi, siang, dan sore yang mayoritas selalu ia habiskan di lingkup sekolahan, Alfa merasa beberapa periode singkat yang turut menyambutnya tersebut, telah memengaruhi beberapa bagian dalam dirinya sejak ia memutuskan untuk mengikuti perlombaan.
Baik itu di ruang tenang, di kantin, maupun di kelas, tidak jarang pikiran Alfa melayang bebas hendak berkeliaran melewati batas.
Jujur, sejauh 4 tahun usai berlangsung, Alfa sudah lama tidak membuka apa pun yang berpotensi membentuk sumber kemurkaannya tersebut. Tanpa diberi tahu pun, Alfa merupakan orang yang paling paham semua ini akan menyebabkan dirinya kembali menjadi kacau.
Oleh karena itu, memasuki fase remaja yang ia tahu bahwa hadirnya gejolak emosi dapat memperburuk kondisinya semakin berantakan, Alfa sebisa mungkin selalu menjaga ketenangannya dengan mencukupi semua urusan yang berkaitan atas peristiwa tersebut. Lukanya masih terasa basah setiap kali ia bersinggungan terhadap kata-kata yang mampu membuka kunci loker menuju memori kelamnya.
Alfa terlalu benci pada dirinya waktu itu. Alfa benci pada sebuah perantara yang mengakibatkannya berlaku semenyedihkan itu.
Sebagai seorang anak laki-laki yang lahir dengan seperangkat naluri dan nilai yang mengikat ke seluk jiwanya tanpa syarat, Alfa pikir, adalah hal yang tidak adil baginya untuk merasakan semua pengalaman pahit tersebut. Tidak jarang, identitasnya mengalami distorsi sehingga pantas ada kalanya ia kebingungan harus melaju ke arah mana.
Satu poin penting selama ia menjalani konseling singkat bersama Mba Diana atas bantuan Zaki di awal masa pubertasnya dahulu adalah, sejatinya manusia akan terus berkembang terlepas dari tidak atau terpenuhi kebutuhan umumnya di masa kecil asal ada kemauan. Pernyataan itu cukup memberi alasan bagi Alfa agar terus bergerak maju tanpa berlarut meratapi kesedihan.
Namun, mengakhiri sesi pentingnya begitu saja tanpa mendengar catatan lain yang barangkali dapat membantunya mengarahkan perilaku lebih baik, Alfa sekarang baru menyadari bahwa sisi ego dan naifnya—yang lewat dibiarkan tumbuh—mungkin menjadi dasar mengapa ia sulit untuk sembuh.
Percakapan dengan Zaki malam itu telah memukul batin Alfa telak terkait kadar sensitivitas yang dimilikinya. Alfa pikir, selama ini ia sudah berhasil mengontrol emosinya secara sempurna, padahal kenyataannya, Alfa hanya terus berlari karena tidak mau diajak membahas perkara.
"Lo yakin? Menghindar adalah cara yang tepat untuk menghadapi segala hal yang sebenarnya lo suka, Fa?"
Iya, sekuat hati, dahulu Alfa meneguhkan diri untuk tidak boleh kembali menghampiri kotak yang tak segan menggaris lukanya besar-besaran. Namun, susunan kalimat yang pernah Zaki utarakan perlahan-lahan membuat Alfa berpikir, bagaimana sebuah luka bisa sembuh jika yang bisa mengobati selalu ia suruh pergi jauh-jauh?
"Ada kalanya, kita harus memerangi luka terbesar kita untuk mendapatkan apa yang ingin kita tuju, Fa. Gua mau lo menemukan itu."
"Hah ... nggak kerasa, ya, sebentar lagi perlombaan mau dimulai."
Sekilas, serba-serbi ucapan yang utuh dikeliling rona antusias tersebut membubarkan perenungan Alfa secara penuh. Laki-laki itu menolehkan kepalanya menyamping, mendapati seorang perempuan berkacamata dengan nama lengkap Karina Garda Kusuma tengah menjulurkan tangannya sembari tersenyum sering-sering.
"Karin ... kamu, kok, bisa ceria begitu, sih? Aku aja kelewat deg-degan bayanginnya." Komentar dari Luna membuka seutas percakapan.
Karin menjawabnya tanpa merasa keberatan. "Gue juga deg-degan, kok, Lun. Deg-degan yang disambung nggak sabaran," katanya menyilangkan lengan tepat di atas meja. "Truely, I'm so excited for this. Segera datang sebuah hari di mana kita bakal berjuang sebagai satu tim untuk memperebutkan kejuaraan. Kalau fokusnya dipusatkan ke arah sana, khawatirnya bisa dibayar pakai semangat, 'kan?"
Luna mengangguk. Rautnya mendadak jadi sedikit lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Lantas, untuk mengembangkan suasana, ia pun menjahili Karin. "Beda banget, ya, mental senior dan junior di ranah akademik. Aku harus menang berapa kompetisi supaya bisa kayak kamu?"
Karin terkekeh. Ia menggerakkan bola matanya ke atas tampak menimbang sesuatu. "Ya, nggak banyak, sih, Lun. Kira-kira cuma perlu isi satu lemari penuh pakai piala aja mungkin?"
Luna tertawa. Karin turut mengikuti pula sembari mengibaskan tangannya bermaksud bercanda.
Sebagai pengamat yang dominannya banyak mendengar dibandingkan ikut meramaikan, Alfa dibuat termenung terhadap eksentriknya pembawaan Karin mengulas topik pembicaraan. Dugaannya benar ternyata. Karin merupakan sosok sempurna dari apa yang ia dambakan. Apa pun yang dikerjakan oleh perempuan itu, entah kenapa semua selalu terlihat ringan tanpa beban. Berbeda dengan dirinya yang bahkan untuk datang ke sini saja harus berupaya mengontrol emosinya pelan-pelan.
"Kalau lo sendiri bagaimana? Senang nggak? Tinggal menghitung hari menuju eksekusi babak kualifikasi?"
Belum siap mengantisipasi, pertanyaan itu tiba-tiba dilempar Karin tanpa aba-aba. Alfa sontak mengalihkan pandangannya ke arah depan. Tangannya mengepal erat di bawah meja. "Itu cuma perlombaan. Nggak perlu dilebih-lebihkan."
"Dih, gaya banget." Karin mencibir. Mulutnya sengaja dimajukan beberapa senti hendak meledek kalimat Alfa. Namun, di saat yang tepat ketika Alfa menangkap pergerakannya, perempuan itu malah tersenyum.
"Fokus kerjain soalnya, Karina."
"Iya, Keith Farez Alfansa, iya...," balas Karin jemu memutar bola matanya malas menghadap Luna ingin mengadu. Di situ, Luna tampak mengangguk-angguk layaknya memaklumi setiap keluhan yang dibisikkan oleh Karin.
Alfa pun berdeham untuk menghentikan perbuatan picik tersebut. Karin mencebik.
Bagi Alfa, cukuplah hubungannya dengan Karin terbentuk sampai sebatas ini. Mau bagaimanapun juga, Karin tidak akan mengenal siapa diri Alfa yang sesungguhnya.
Alfa tahu apa yang Karin harapkan dari dirinya tentu bukanlah sebatas bercengkerama melainkan memenangkan perlombaan. Di satu titik, ketika Alfa mulai rela menurunkan pertahanan demi membuat hubungannya dengan Karin usai berputar atas khidmatnya kuasa pertengkaran, Alfa justru kewalahan menitih prediksi bahwa utopia yang diberikannya pada Karin tidak akan bertahan lama sebab ia tidak mampu mengorbankan dirinya lebih jauh daripada sekarang.
Kesenjangan yang tercipta di antara mereka berdua terlampau sengit berjauhan. Ambisi Karin dengan dosis tertingginya—tanpa mencari tahu terlebih dahulu tentang sejarah laki-laki itu—datang membius ketenangan Alfa, sedang Alfa terlalu takut untuk sekadar diam menerima kenyataan bahwa Karin mungkin tidak pernah sengaja bermaksud menyakitinya.
Jujur saja, semua keputusan singkat yang Alfa buat atas jangka waktu 3 hari sebelumnya, sangatlah tidak cukup ia pertimbangkan secara matang. Berulang kali, Alfa berpikir, keberadaannya di ruang ini hanya akan menjadi bom perusak yang dapat meledakkan tim EKSEMPELAR kapan pun ia berkehendak.
Kala itu, Alfa sangat kesal mengapa Karin harus menuliskan surat yang menawarkan tenggat antara perpisahan atau ancaman yang wajib ia pilih dan bersifat menguntungkan sebelah pihak. Di bagian lain, Alfa sadar sisi kasarnya telah berlebihan menakuti Karin sehingga patutlah perempuan itu menamparnya dengan sebuah kalimat perjanjian bersyarat satu kesempatan terakhir.
Jika Alfa bisa kembali dan berkata jujur terhadap pertanyaan yang beberapa detik lalu dengan santainya Karin ajukan maka secara lugas Alfa mau menjawab, dirinya tidaklah siap mengikuti perlombaan melebihi siapa pun. Alfa ingin keluar dan janganlah Karin mengejarnya demikian keras.
Hendak menjawab pertanyaan Zaki malam itu pula, Alfa tidak tahu apa yang harus ia temukan demi memenuhi tujuannya. Sesulit itu rasanya sekadar berharap menjadi seorang anak laki-laki yang baik dan kuat, seperti kata Nenek.
Tidakkah seharusnya sudah? Alfa lelah terus bermarahan atau menyakiti orang-orang sebab dendamnya masih sulit untuk dikendalikan?
Namun, seonggok lara yang setia menyangkut di lubuk hati Alfa masih memaksa peperangan ini terlalu dini untuk kemudian dapat lapang ia hadapi.
"Jangan dipikirkan. Bukan salah siapa-siapa demikiannya hal itu telah terjadi," batin Alfa menenangkan diri. Sisa keberaniannya ia taruhkan di atas mutlaknya penyesalan Karin.
"Nek, Alfa mau berhenti ikut lomba."
Pernyataan seru berimplikasi tegas, namun sebaliknya dilontarkan begitu sendu itu mengagetkan kediaman Nenek yang sedang menemani cucunya menyimpan sebatang trofi hasil kejuaraan terbaru. Nenek termangu. "Kenapa Alfa mau berhenti ikut lomba?"
Anak laki-laki itu tampak termenung mengatur pola napasnya sebelum mulai berbicara. Kepalanya mendongak menghadap Nenek. "Semuanya sia-sia bukan, Nek?" Kedua alisnya yang menggaris panjang, saling bertaut menguraikan esensi kekecewaan. "Harus berapa kotak lagi yang Alfa sumbang ke dalam gudang ini supaya Mamah sama Papah tau atau setidaknya bangga sama Alfa?"
Kelopak mata Nenek mengerut layu. Tangannya yang ringkih berusaha mengelus rambut cucu kesayangannya itu tanpa ragu. "Alfa yang sabar, ya? Di dunia ini, nggak ada niat baik yang bernilai percuma. Semua usaha butuh waktu. Kamu hanya perlu lebih pandai dalam menunggu."
"Nenek jangan bohong sama Alfa!" Anak laki-laki itu menyentak tangan Nenek secara kasar. Ekspresi wajahnya tidak salah lagi menggambar satu makna akan timbulnya kemarahan besar. "Nenek bilang kalau Alfa rajin, Mamah sama Papah bakal luangin waktu mereka buat Alfa. Tapi, nyatanya nggak! Alfa masih sendirian. Alfa nggak pernah dibuatin bekal sama Mamah atau diantar Papah ke sekolah kayak teman-teman yang lain! Kenapa Mamah sama Papah nggak peduli sama Alfa, Nek?" Pada akhirnya, wajah anak laki-laki itu dibanjiri penuh oleh tangisan.
"Nenek sudah pernah bilang, bukan? Kalau Mamah sama Papah kamu itu sibuk sekali kerjanya?" Nenek merunduk. Ia menyeka air mata cucunya yang tak kunjung berhenti terisak lekit. "Mereka itu orang-orang hebat. Duta besar yang saking dibutuhinnya sama negara, mereka harus bulak-balik pergi ke luar negeri." Nenek tersenyum. Cucunya itu tidak terkagum lagi dengan kalimat pancingan tersebut. Ia sudah besar ternyata. "Oleh karena itu, wajar perjuangan kamu ndak mudah untuk mendapat perhatian mereka. Terus mengeluh ndak akan menghasilkan apa pun, Alfa."
"Terus Alfa harus bagaimana, Nek?" Kepala anak laki-laki itu tenggelam bersama pelukan Nenek. Suaranya terdengar menggembung dibalut dekapan. "Alfa cuma pengin Mamah sama Papah perlakuin Alfa kayak Nenek."
"Nenek tau," ujar Nenek menyudahi momen sendu yang seharusnya bisa dilengkapi dengan menempatkan hilangnya kepingan kasih sayang tersebut. "Saat besar nanti, Alfa harus jadi anak laki-laki yang lebih kuat, ya? Cukuplah untuk saat ini, Nenek yang bangga sama kamu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top