22. Kemajuan

Di sela-sela kesibukannya yang telah usai mengerjakan seluruh soal pemberian guru beserta rumus penting yang dapat membantunya mengerjakan perhitungan dengan lebih cepat, Karin diam-diam menulis catatan penting mengenai karakteristik Alfa di sebuah buku kecil miliknya pribadi.

Setelah hari kemarin, di mana tercipta satu momen langka ketika Alfa melunak—namun gagal Karin manfaatkan, Karin merasa hubungannya dengan Alfa mungkin memiliki peluang untuk mengalami perbaikan yang berarti.

Sejauh pada analisis yang ia dapatkan melalui pengamatan sendiri, memang gerak-gerik Alfa masih terlampau sulit untuk dipahami. Jujur, rencana sampingan ini turut mengganggu fokus Karin mengikuti perlombaan. Sebab, ketika mereka diharuskan bertemu untuk menjalani masa bimbingan atau pertemuan tambahan sebagai tim, Alfa sukar sekali terlihat bersemangat, kehadirannya hanya sebatas rupa dan pendapat saja.

Menimbang dirinyalah yang menyeret Alfa masuk ke dalam peliknya rangkaian kompetisi, Karin merasa ia perlu bertanggung jawab akan hal tersebut. Nahas, kebingungannya saat ini malah semakin menjadi lantaran beberapa data mentah yang ia kumpulan terkait Alfa mengindikasikan munculnya kontradiksi.

Karin membagi list-nya ke dua kategori utama, yaitu do's and don'ts dan things he likes and he doesn't like. Pada tabel don'ts, Karin menemukan bahwa di hadapan Alfa, ia tidak boleh banyak berbasa-basi, membuat laki-laki itu menunggu terlalu lama, mengungkapkan argumen yang berpotensi dapat memperpanjang masalah, atau membicarakan perihal apa pun yang menyebabkan fluktuasi mood-nya berantakan. Sedangkan di bawah kolom do's, Karin berpikir ketika argumen terjadi, ia perlu sesering mungkin membiarkan dirinya mengalah, mengucap terima kasih ketika lelaki itu berbuat baik dan maaf di saat dirinya bersalah, serta jangan lupa tersenyum untuk menetralkan suasana.

Sebentar, perut Karin terasa mual membayangkan apabila perilaku tersebut sering-sering ia lakukan.

Berlanjut pada tabel things he likes, laki-laki itu jelas meyukai sepak bola dan jenis olahraga tertentu. Tambahan asumsi dari kedua temannya, dahulu Alfa turut antusias mengikuti perlombaan. Tetapi, berhubung opini itu masih berupa titik permasalahan yang belum ia ketahui, Karin melabelinya menggunakan highlighter berwarna abu-abu.

Di bawah kolom things he doesn't like, Karin belum menuliskan sepatah kata pun sebab ragu apakah perlombaan patut menjadi bagian di dalamnya atau sejatinya ada perkara lain yang menyebabkan Alfa begitu tidak menyukainya? Mengenai laki-laki itu, terdapat sebuah jurang besar di satu definisi, yakni perlombaan. Alfa suka, Alfa tidak suka, Karin perlu bertanya, namun tidak boleh membahas sesuatu yang dapat mengakibatkan fluktuasi mood-nya berantakan, lalu Karin harus apa?

"Wait, do i also need to write some facts about him?" Karin bersenandika. Tangannya kemudian segera mengambil pulpen dan highliter berwarna hijau untuk menuliskan sesuatu yang bisa ia pastikan benar adanya.

Kategori baru, yaitu facts about him Karin cantumkan di catatan pribadinya. Ia menulis, sisi hangat Alfa dapat timbul ketika laki-laki itu merasa bersalah. Salah satu cara memantik rasa bersalahnya adalah dengan memicu pertengkaran.

"It does work though, tapi kayaknya terlalu ekstrem buat dilakukan." Karin menutup bukunya. Matanya pun melirik ke arah sebelah. Tak jauh di sana, seorang laki-laki yang tengah fokus membaca halaman bercetak tebal menjadi pusat perhatian Karin.

Alfa ternyata berbeda jauh dari yang ia pikirkan. Setidaknya di ruangan ini—setelah melihat kemampuannya secara langsung, Karin kini percaya Alfa memang pintar. Tidak hanya mahir berolahraga saja, namun keterampilan akademik turut pula menyertainya.

"You're so lucky, aren't you?" Karin menghela napasnya panjang. Entah kenapa, ia jadi iri. Andai ia bisa sehebat itu juga, mungkin Karin tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal tentang meratapi kekalahan. Sebaliknya, ia akan menghasilkan banyak kejuaraan yang patut untuk dibanggakan.

Tring Tring Tring

Bel istirahat jam pertama yang berdering melalui saluran interkom pun berbunyi.

"Baik, kita akhiri sampai di sini. Akurasi jawaban kalian berdua sudah sangat bagus, tapi jangan terlalu percaya diri. Kita sambung lagi 2 hari ke depan. Bapak akan beri soal baru dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi." Pak Heru selaku penanggung jawab mata pelajaran matematika menutup pertemuan. Ia menoleh ke arah Bu Yuliana yang menguasai sejarah Indonesia untuk mempersilakannya berbicara.

"Luna juga sudah baik. Nanti dibaca lagi, ya, modul yang Ibu berikan. Barangkali ada detail yang terlewat dan berpotensi dikeluarkan sebagai soal pada babak kualifikasi nanti," ucapnya menyasar Luna.

"Paham, ya. Saya rasa sudah cukup. Mari, Bu, kita biarkan anak-anak istirahat dulu."

Karin dan Luna—namun tidak dengan Alfa—mengucap salam kepada Pak Heru serta Bu Yuliana kemudian merapikan alat tulisnya. Di sela-sela kegiatan itu, kembali Karin mendapati Alfa tampak termenung di posisi. Ekspresi wajahnya terlalu sulit untuk ditebak. Karin tidak mengerti.

"Aku duluan, ya, semua. Doain, semoga ujiannya lancar."

Kalimat itu tiba-tiba menarik atensi Karin secara penuh. Ia mengembangkan senyumannya. "Eh, iya, Lun. Semangat, ya! Pasti lancar, kok, kalau kamu yang kerjain." Selepas istirahat, katanya kelas Luna akan menghadapi ulangan harian ekonomi.

"Makasih, Rin!"

Tidak mendengar adanya kalimat penyemangat dari laki-laki yang duduk berjarak dua kursi di sampingnya, Karin pun menyongsong tubuhnya bergeser untuk menyikut pinggang Alfa. Laki-laki itu sontak terperanjat membuka matanya lebar menatap Karin. Namun, sebelum memberinya kesempatan untuk sempat berkomentar, Karin mendahuluinya dengan berbisik seraya merapatkan jari-jemarinya melindungi percakapan. "Diam aja? Kasih semangat, dong, buat Luna."

Alfa dibuat termenung melihatnya. Tak lama kemudian, ia membuang muka berniat menghindari Karin. "Iya, semangat, Luna."

Karin mengulum senyum. Tanpa suara, ia mengulang cara Alfa berbicara lewat ekspresi yang sedikit dilebih-lebihkan. Laki-laki itu merespons dengan mengerutkan kedua alisnya sembari bersedekap tepat di depan dada.

"Pasti! Selamat istirahat, ya, kalian." Melambaikan tangan, Luna pada akhirnya pergi keluar ruangan.

Tak butuh lama usai kejadian itu berlangsung, Alfa lalu menyusul membawa buku dan alat tulisanya dalam satu genggaman. Karin yang merasa masih perlu berkeskperimen lebih lanjut untuk mendekati seorang Keith Farez Alfansa lantas buru-buru ikut membereskan perlengkapan.

"Habis ini, lo mau ke mana?" tanya Karin berjalan menjajari laki-laki itu menuju pintu keluar ruangan.

Alfa tidak langsung menjawab. Butuh beberapa detik bagi Karin hingga pada akhirnya ia dapat mengetahui tujuan laki-laki tersebut. "Kantin," katanya singkat. "Ada apa?"

Berusaha mengingat kembali rangkuman catatan don'ts yang seharian ini telah ia buat, Karin teringat bahwa Alfa tidaklah menyukai percakapan yang berbau basa-basi. Jika ingin bicara pada laki-laki itu, maka Karin harus menerapkan konsep straight to the point. "Oh, kantin. Sama, dong, gue juga mau ke sana. Bareng, yuk?"

Mendadak, Alfa terhenti. Kepalanya merunduk mengamati air wajah Karin dengan sebelah tangan yang ia simpan ke dalam saku. Karin yang masih segan atas sikap Alfa yang satu itu lantas ikut terdiam mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"What's next? Think, Karin!" Perang batin Karin berujar.

Sayangnya, semua isyarat non-verbal yang ditunjukkan Alfa tidak menimbulkan adanya reaksi yang berarti. Laki-laki itu kembali melanjutkan perjalanan. Karin ditinggal sendirian.

"A simple companion is not working, huh?" Karin menggigit bibir bagian bawahnya jemu. Usahanya jelas ditolak Alfa secara mentah-mentah, padahal Karin telah banyak belajar tentang caranya memulai sebuah hubungan dari situs internet maupun buku kesayangan milik Kanova. Namun, di hadapan Alfa, tampaknya semua tidaklah semudah itu.

"Hm?"

Mendengar gumaman bernada berat, Karin memfokuskan netranya ke arah depan. Ia menemukan laki-laki itu tengah berhenti di persimpangan jalan.

"Kenapa? Nggak jadi?"

Oh, seorang Keith Farez Alfansa baru saja menunggunya? "Jadi, kok, ayo." Mempercepat langkahnya mengejar posisi Alfa, Karin pada akhirnya dapat bersisian dengan laki-laki itu.

"Jangan lama."

"Iya, sabar. Tadi gue lagi cek ada barang yang ketinggalan apa nggak," jawab Karin beralasan. Benar, mengacu pernyataan nomor dua pada kolom don'ts, jangan membuat laki-laki itu menunggu terlalu lama. Meski dirinya sedikit kewalahan mengimbangi kaki jenjang Alfa, Karin tetap senang taktik pertamanya berhasil dilakukan.

"Ngomong-ngomong, lo suka makan apa kalau di kantin?"

"Karin! Di sini!"

Hadirnya satu seruan serta ayunan tangan yang melambai ke udara, membuat Karin segera menyadari Namira dan Rania telah mengambil tempat di ujung sana. Ia berbalik, hendak memberi kabar pada laki-laki yang berdiri di sebelahnya. "Gue duluan, ya. Teman-teman gue ada di situ."

Alfa mengangguk. Sejurus kemudian, mereka berdua terpisah menuju kelompoknya masing-masing.

"Hey, you guys! Please, gue udah lapar banget," kata Karin meletakkan alat tulisnya di atas meja sembari menyampirkan rambut sebahunya.

Namira yang sudah mengantisipasi hal tersebut pun menyodorkan mangkuk keramik berisi penuh potongan buah segar. "Here, kita udah pesanin menu salad kesukaan lo."

"Aww, Thanks! You two are literally the best." Karin menjengitkan kedua alis. Ia segera melahapnya.

Di tengah kehangatan dua orang teman yang sedang memenuhi kebutuhan satu sama lain, Rania tiba-tiba mengulas sebuah pertanyaan sempit yang menyebabkan Karin hampir tersedak. "Lo ... ke sini bareng Alfa?" ucapnya bernada skeptis.

Karin menenggak segelas air terlebih dahulu sebelum menjawab keterkejutan Rania. "As you can see, gue rasa kita udah ada kemajuan." Entah kenapa, bibir Karin menggaris lekukan tipis. Ia tampak sangat bahagia. "Meski cuma sekian persen, sih."

"What?!" Rania berseru. Netranya membelalak tidak mengira. "Kemajuan lo bilang?"

"Apaa, sih, Ra? Lebay banget, deh. Iya, gue udah ada kemajuan sama dia, as a friend."

"As a friend, huh?" Kepala Rania mengangguk-angguk. "Lo nggak sadar begitu lo masuk ke sini sama Alfa, anak-anak langsung lihatin lo berdua kayak paparazi?"

"Please, tell me you're not one of them, Ra." Karin memutar bola matanya malas. Ia sadar, pula Alfa. Makanya, agenda bincang-bincang yang tadinya sempat berjalan mulus di satu per tiga perjalanan menuju kantin, mendadak langsung jadi canggung sebab bisikan orang-orang di sekitar. "Kebiasaan, deh, anak muda jaman sekarang. Apa-apa dicurigai bepacaran. Memang nggak boleh, ya? Kita berinteraksi sama lawan jenis?"

"Boleh-boleh aja, Rin. Cuma maksud gue—"

"Right, please, don't be one of them, Ra," sela Namira penuh penekanan seraya menyentil lengan kiri Rania tanpa sepengetahuan Karin. Bibir Rania mengerucut. Ia jelas memposisikan diri pada tim yang berbeda dengan Namira. "Jadi, udah sejauh mana kemajuannya? Kok, bisa, sih?" pancing Namira lagi.

"You're so not gonna believe this. Di samping berfokus sama emosinya dia yang kita semua tahu semenyebalkan apa, barusan aja, gue menemukan kalau sebenarnya dia, tuh, juga lagi berusaha buat damai sama gue."

"Hah? Kenapa begitu? Bukannya dia nggak melakukan apa pun selain marah-marah ke lo?" Rania berkomentar.

"I know! Kulit luarnya memang begitu, tapi gue rasa, dia, tuh, tipe-tipe cowok yang ... agak sulit mengungkapkan ekspresinya," ujar Karin menyerok lagi salad buah menggunakan sendok. "Analogi singkatnya kayak, dia suka ngomong A, tapi sebenarnya B. Tingkahnya C, tapi dalamnya D."

"Duh, lo lagi ngomong apa, sih?" Memicingkan matanya sinis, Rania menyurai rambutnya pelan lantaran tidak mengerti.

"Ih, gini, loh. Kesimpulan dari banyak diskusi kita sebelumnya banyak mengerecut kalau di masa yang sekarang, Alfa itu nggak suka ikut lomba terlepas dulunya bagaimana. Terus, egoisnya gue adalah, gue full effort banget ajak dia bergabung yang mana seharusnya nggak gue lakukan. Tapi, berhubung gue nggak memaksa dan dia menerima tawaran gue secara sukarela, salah atau nggaknya dia bergabung, semua keputusan ada di tangan dia, 'kan?"

Namira mengangguk. Jari-jemari perempuan itu merekat erat untuk menopang dagunya mendengar analisis Karin sangat antusias.

"Nah, mungkin salah, mungkin benar, gue nggak tau. Ada apa antara megahnya sebuah perlombaan dan seorang Keith Farez Alfansa gue masih nggak tau," kata Karin menggunakan kosa kata lebaynya. "Yang perlu digarisbawahi di sini sesuai cerita video call kita kemarin lusa adalah, dia marah ke gue. Fluktuasi mood-nya berantakan karena pada akhirnya dia take chance buat ikut lomba, tapi semua dia lampiasin ke gue. Pertanyaannya, apakah tindakannya tersebut bisa diterima? Tentu, nggak. Dan dia tahu itu. Makanya, selama di EKSEMPELAR, diam-diam dia juga mulai ambil jarak supaya nggak terus-terusan bentrok sama gue. Lihat ini."

Karin membuka catatan pribadinya yang merujuk ke bagian facts about him. Namira dan Rania pun terkesima mendapatinya.

"Kemarin, merupakan kali pertamanya dia mengalah duluan untuk nggak memperpanjang perdebatan. My bad, gue tendang kaki dia buat hancurin lagak sok kuatnya." Bola mata Karin menjuntai ke atas. "But guess what? Alih-alih ribut seperti biasa, dia malah ambil napas panjang. Bentuk paling umum buat redain diri kalau kita lagi emosi."

"Oh, wow!" Namira membuka mulutnya lebar. Ia meyakini, hal tersebut menunjukkan adanya sebuah perubahan besar. "Now, there is a progress."

"Yes." Karin mengulum senyum. Beberapa ekspresi wajah Alfa yang tampil kikuk berputar seru dalam bayangannya. "Terus, gue tadi iseng jahilin dia. Reaksinya lucu, nggak ada marah-marahan. Ya, udah positive thinking, gue lanjut ajakin dia ke kantin bareng. Dan ... selesai."

"Aww, I'm so happy for you!" Kedua tangan Namira bertepuk singkat meramaikan cerita Karin. Sekilas, ia menatap tajam menuntut baiknya perilaku Rania.

"Cheers, if that what makes you happy," balas Rania ogah-ogahan.

Karin merasa tersanjung. Ia melentikkan bulu matanya manis, menggoyangkan jari-jemarinya berulang kali, seperti baru saja memenangkan sebuah kontes kecantikan. "Thank you, thank you."

"So, cukup dengan Alfa. Perlombaan lo kapan dimulai?"

"Sekitar 3 minggu dari sekarang."

"Hah 3 minggu? Cepat banget? I'm gonna miss you."

"Oh, relax. Babak kualifikasi nggak memakan lebih dari 1 hari. Nggak tau, ya, kalau yang lain."

Karin dan Namira pun melanjutkan perbincangan, namun tidak dengan Rania. Perempuan itu masih menimbang-nimbang munculnya kemajuan kecil yang diakibatkan oleh pergeseran sikap antara teman dekatnya dan juga Alfa.

Sontak—hendak membuktikan sesuatu, Rania lantas menggerakkan bola matanya ke samping niat memindai meja di mana geng pacarnya duduk bercengkerama. Detik demi detik ia lalui, secara bergantian, Rania turut memperhatikan hal lain agar gerak-geriknya tidak kentara. Sampai tibanya di satu titik, apa yang Rania tunggu akhirnya datang juga. Sekilas, Rania dapat melihat ekor mata Alfa turut mengarah ke tempat dirinya berada. Buru-buru, Rania memutus kontak.

"Oh, no!" 

Rania tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di antara mereka bertiga, jujur mengenai klisenya soal percintaan, Karin berada di titik terbawah lantaran mempunyai sebutir nol pengalaman manisnya masa remaja. Menelusuri alur pembicaraan sebelumnya, Karin jelas tidak mengetahui apa resiko yang tengah ia kerjakan. Di sisi lain, Namira yang paham betul atas potensi tersebut, malah menuntun kepolosan Karin menuju ke arah sana.

"This can't be." Memejamkan matanya erat, Rania menggelengkan kepala.

Tidak lucu, bukan? Andai hal itu benar terwujud ke depannya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top