20. Batas

"Aaaa ... gila! Cowok gue keren banget! Pokoknya, lo rugi, Rin, nggak nonton pertandingan bola sore tadi!" Dalam panggilan video yang durasinya sudah berjalan sepanjang 25 menit tersebut, dua remaja perempuan yang saat ini tengah berada di tempatnya masing-masing tampak tersenyum lantaran terbawa hebohnya cerita Rania yang sibuk membanggakan performa pacarnya.

"Iya, iya, kelas XI-IPA-1 menang karena Zaki cetak 2 gol di babak terakhir, 'kan? Gue menyimak, kok." Karin berkata sembari meminum jus stroberinya. 

"Tapi, serius, sih. Walau biasanya gue nggak terlalu menikmati, yang tadi itu seru banget! Gue ikut gemes sendiri masa." Lewat layar virtual itu, sebelah tangan Namira terlihat memeluk bantalnya dengan erat. Hanya pada saat tertentu, Namira bisa jadi sangat antusias mengamati permainan khas kaum laki-laki tersebut.

"Iya, 'kan? Musuhnya kelas XII-IPS-5, jangan ditanya lawan senior sengitnya kayak apa," ujar Rania kembali menanggapi.

Jujur, Karin sangat tidak berminat mendengarkan topik pembahasan sepak bola. Menurutnya, memperhatikan cowok-cowok menggiring benda bundar di tengah lapangan tidaklah menarik. "Jadi, skor akhirnya berapa banding berapa? Beda tipis?" Meski begitu, Karin tetap menimpali. Ia tidak mau merusak aura kebahagiaan yang memancar dari kedua temannya.

"Iya, tipis. Kelas Zaki kebobolan dua gol, terus tim mereka balas jebolin berapa gol, ya, Ra?"

"Tiga," jawab Rania mengonfirmasi.

"Hah, tiga? Bukannya lo bilang tadi kelas XI-IPA-1 menang karena Zaki berhasil masukin dua gol?"

Menghela napasnya panjang, Rania menggelengkan kepala singkat. "Karin ... lo tau sistem pertandingan sepak bola, 'kan? Golnya Zaki itu ada di babak kedua, sisa satunya ada di babak berapa?"

"Oh ... ya, gue tau. Cuma, lo tadi nggak cerita babak ke satunya gimana, 'kan?" Karin mengedikkan bahunya abai, mulutnya menyeruput lagi pucuk batang sedotan yang menjulur keluar gelas.

"Ih, tapi, ya, cowok kalau main bola, tuh, seram tau! Di awal, mereka agresif banget."

"Iya, kadang memang suka begitu, sih, Nam. Apalagi pas bagian rivalnya Karin di-tackle sama Kak Jihan. Satu lapangan kayak langsung mau diajak ribut tau nggak?!"

"Rival gue?" Alis Karin mengerut. "Maksud lo?"

"Ya, siapa lagi kalau bukan Alfa, Rin?" balas Rania sembari menggerai rambutnya ke belakang. "Reaksinya berlebihan! Andai saat itu Zaki nggak bantu tenangin, barangkali Kak Jihan bisa dibuat babak belur sama dia!"

"Benar, semua kaget dia sampai semarah itu. Tapi, salah Kak Jihan mainnya kasar! Kasihan tau, Rin, gara-garanya dia jadi nggak bisa ikut babak kedua dan cuma duduk di bangku cadangan. Kakinya agak keseret pas jalan ke luar lapangan. Pasti sakit."

Tak langsung memberikan respons, Karin sempat termenung membayangkan keadaan laki-laki itu. Tadi sore, kondisi fisik Alfa tampaknya baik-baik saja. Kecuali pada sisi emosinya yang menguar tak terkira. "Tapi, dia nggak apa-apa, 'kan?" tanya Karin hendak menduga. Apa perilaku menyeramkan Alfa yang tak segan menyudutkan Karin di perpustakaan sebelumnya muncul karena bekas kekesalan saat pertandingan semata?

"'Dia nggak apa-apa'? Gue nggak salah dengar, Rin? Lo ... peduli sama dia atau—"

"Apaan, sih, Ra?!" menyela begitu saja, wajah Karin lantas mengerut sedemikian rupa. Respons tubuhnya menggeliat sedikit sebab tak suka. "Bahasa lo bikin geli tau nggak? Gue cuma mau memastikan semua anggota tim gue dalam keadaan prima selama masa bimbingan EKSEMPELAR."

"Santai, perihal begituan bagi cowok, tuh, biasa, Rin. Sebelum turun ke lapangan, mereka pasti udah siap buat terima segala konsekuensinya."

"Eh, berhubung lagi bahas Alfa dan di sekolah tadi lo sibuk banget, sekarang cerita, dong, kenapa tiba-tiba Alfa mau gabung ikut lomba bareng lo, Rin?" Di tengah keseruannya membahas perseteruan tentang sepak bola, secara natural Namira mengganti topik ingin membayar rasa ingin tahu yang telah dipendamnya sejak siang hari. Baginya, hal ini jauh lebih menarik.

"Gue nggak tau, padahal gue udah niat kabarin ke Bu Zahra kalau gue gagal bujuk dia. Tebak apa? Entah datangnya dari mana, itu cowok mendadak ada di ruangan Bu Zahra buat konfirmasi terkait kesediannya. Aneh, tapi jujur gue lega. Senang, tapi gue juga kesal karena sikap dia nggak mencerminkan adanya niat sama sekali." Seraya mengaduk minumannya dalam suasana hati yang memburuk, Karin jadi teringat kembali serba-serbi tindakan Alfa yang pandai perihal mengeksekusi.

"Maksud lo 'nggak mencerminkan adanya niat sama sekali'?"

"Ya, seperti biasa, dia menyebalkan," jawab Karin lugas, tidak tebersit keraguan. "Semakin ke sini, dia berkali lipat lebih jauh menyebalkannya! Alfa itu ... cowok paling nggak konsisten yang pernah gue kenal! Di depan Bu Zahra, dia bereaksi seakan-akan kita berdua bisa jadi rekan yang hebat! Ternyata di belakang itu, sikap dia masih sama. Nggak punya nurani, keras kepala," tangan Karin mengepal erat di atas meja, "dan satu hal yang paling nggak gue suka, dia, tuh, hobi banget luapin emosinya ke gue tanpa menjelaskan perkaranya apa! Bahkan saat pertemuan pertama EKSEMPELAR tadi, gue dibikin kayak orang bego yang harus turutin permintaannya."

"Sikap Alfa ke lo, tuh, misterius banget nggak, sih, Rin?"

"Gue lebih suka pakai kata minus daripada misterius." Karin menimpali. Netranya membulat memberi konfirmasi. "Iya, kepribadian dia itu minus parah! Di dekat dia, gue merasa semacam ... samsak yang bisa dia pukul kapan aja di saat suasana hatinya sedang nggak baik tau? Bedanya, ini lewat verbal." Menundukkan kepalanya sedikit, karin menggeleng pelan tampak sulit menyanggupi. "Gue capek Ra, Nam, dia nggak bisa melakukan itu ke gue kapan pun mood-nya lagi buruk, 'kan?"

"Begitu pula sebaliknya," kata Namira sembari mengubah posisi duduknya menjadi tengkurap di atas bantal. "Perhaps, lo juga harus berhenti bikin fluktuasi mood-nya Alfa berantakan."

"Hah?" Secara bersamaan, Rania dan Karin memicingkan pandangan seolah membentuk tanda tanya besar.

Namira yang mendapati kebingungan tersebut, sontak memutar bola matanya malas. "Kalian berdua ingat nggak, sih, satu kalimat yang paling sering kita ucapin terkait masalah ini? Sikap Alfa yang begitu, seharusnya cuma timbul di hadapan Karin. Satu hal aneh yang terjadi pada hari ini, untuk pertama kalinya selain pada Karin, sifat agresifnya Alfa muncul ke orang lain, yaitu Kak Jihan. Setelah gue pikir-pikir lagi, reaksi berlebihan yang Alfa tunjukkan di lapangan tadi, mungkin semata-mata bukan karena dia di-tackle pas pertandingan melainkan sebatas perantara. Layaknya sebuah bom, emosinya yang udah menumpuk sejak dia terima tawaran lo buat ikut lomba meledak begitu aja ketika terpantik. Don't you guys think? Semua berakar dari bergabungnya Alfa ke dalam EKSEMPELAR?"

"Nam, gue tau lo adalah orang yang sangat memperhatikan sebab, akibat, dan semua yang melatarbelakanginya. Tapi, perlu gua garis bawahi, dia bergabung atas dasar kemauannya sendiri. Gua nggak memaksa dia, kok."

"Dulu, lo pernah bilang lewat Zaki dan Luna, Alfa adalah orang yang menghindari perlombaan. Lo tau fakta itu dan lo tetap berusaha buat rekrut dia. Iya, pada akhirnya Alfa memang bergabung atas keputusannya sendiri, tapi gue rasa hal tersembunyi yang kita bahas di kafe waktu itu benar adanya. Mungkin, seperti yang lo bilang sebelumnya, dia nggak berniat untuk masuk secara sukarela. Pada dasarnya, ketika lo melakukan kegiatan yang sejatinya nggak pengin lo ikutin, wajar, 'kan? Lo, jadi sensitif? Apalagi jika itu berdampak besar pada kehidupan lo."

"Permintaan ini berfungsi sebagai jaminan atas kesalahan gua karena telah mengambil opsi lain dari isi surat yang lo tawarkan. Sesuai kata 'sepakat' yang lo sebutkan, dengan begini salah satu dari kita nggak akan ada yang menyesal nantinya."

Karin termenung. Runtutan kalimat yang Alfa ucapkan sore tadi berhasil diterjemahkan secara jelas setelah Namira mengungkapkan kerangka pemikirannya. Meski begitu, ada beberapa bagian yang masih tidak ia mengerti. Jika memang Alfa sebegitu bencinya mengikuti lomba, kenapa dia tidak menolak tawaran Karin dibandingkan menerima? Kemudian apa yang dimaksud laki-laki itu dengan menyisipkan poin 'menyesal' menjelang akhir pernyataannya?

"Kalau diamnya lo di sini mengartikan bahwa sepenuhnya lo udah sadar, gue cuma mau bilang apa yang lo lakukan itu egois, Rin." Namira yang terpaksa berucap tajam tersebut lantas menghela napasnya sebelum melanjutkan. "Sorry I have to say that, gue mau lo membuka pandangan dengan nggak lagi menyalahkan Alfa secara sepihak. Apa yang Alfa lakukan ke lo pun juga nggak bisa dibenarkan. Sekarang inti permasalahannya bukan lagi tentang siapa yang harus disalahkan. Semua udah terlanjur. Lo butuh Alfa dan entah apa yang mendasari Alfa untuk mengikuti lomba, kalian harus bekerja sama andai mau menang."

"Oh God, Nam, what a word! Sejujurnya, gue nggak terlalu simpatik sama apa yang mendasari perilaku Alfa. Bagi gue, dia tetap brengsek! Tapi, kalau memang perlombaan ini sebegitu pentingnya buat lo, Rin, gue rasa lo harus take step lebih jauh lagi buat baikan sama dia. Clearly, you need to solve the problem that is rooting it."

"Serius banget kelihatannya? Lagi pada bicarain apa, nih?" Tiba-tiba dari arah seberang, seorang laki-laki yang baru saja memasukkan dompet kulitnya ke dalam saku ikut menimbrung ke dalam pembicaraan. Itu Kanova.

"Hi, Ka, apa kabar?" Rania yang paham betul suara kembarannya Karin akibat sering bermain ke rumah lantas menyapanya meski sebatas media virtual.

"Baik. Selagi adek gua yang cerewet ini nggak curhat dengan gayanya yang super menyebalkan, gua yakin gua baik-baik aja," ujar Kanova sambil tersenyum. Ia mendengar sesumbar Rania dan Namira yang tergelak.

"Haha, so funny, Ka." Menggerakkan netranya malas ke arah atas, Karin pun membalikkan layar smartphone agar kedua temannya dapat melihat keberadaaan Kanova.

"Let me guess, Alfa?"

Menanggapinya tanpa ragu, Rania dan Namira lalu membentuk macam-macam ekspresi remeh yang seolah-olah mengatakan, "Ya, siapa lagi? Kita semua tahu cuma dia yang bisa bikin Karin jadi seheboh ini."

"Right, gue memang nggak bisa lihat jawaban senyap apa yang lo berdua buat, tapi membaca raut wajah kembaran gue yang sekarang lagi menyeringai tipis sambil menengok ke samping buat tutupin hal konyol itu dari gue, jawaban kalian pasti menyebalkan. Oke, gue tutup video call-nya, ya. Kita ketemu besok."

"Rin—"

Tut

Sambungan terputus.

"Puas ketawanya?" Kanova membuka telapak tangannya menghadap Karin mengisyaratkan 'sebentar'. Karin menghela napas. "Gue nggak tau kenapa gue merasa perlu menjelaskan ini, tapi serius mereka duluan yang pertama kali bahas Alfa ke dalam percakapan."

"Well, you don't have to," jawab Kanova setelah berhasil menenangkan esens humornya. "It's okay, if you want to talk about him."

Karin menumpu kedua pipinya menggunakan kepalan tangan. Bibirnya sontak ikut maju ke arah depan lantaran adanya dorongan yang disebabkan. Ia benci perlu membantah argumennya sendiri. "Ka, mungkin nggak, sih, lo bisa bekerja sama tanpa perlu berkenalan dengan rekan yang terlibat?"

Mengangguk pelan, Kanova tampak memikirkan sesuatu sebelum menjawab, "Ingat? Dulu kita pernah bolos kursus musik buat pergi ke pasar malam tanpa sepengetahuan Mamah? Itu kali pertamanya kita bekerja sama buat rencana melarikan diri yang sangat beresiko. Kalau gua tanya kenapa ide itu bisa terbentuk, lo tau jawabannya apa?"

Karin menggeleng. Ia tidak tahu.

"Adalah hal yang sederhana, dasarnya karena kita saling mengenal. Gua paham lo bosan setengah mati dan butuh hiburan dari keseharian jadwal kursus yang Mamah buat sewaktu kita kecil. Sebaliknya, lo juga melihat kejenuhan tersebut di dalam diri gua. Kalau kita bukan sepasang kembar fraternal yang saling peduli dan dekat antar satu sama lain, apa momen membahagiakan di masa lalu itu bisa terjadi?"

"I don't think so." Jemari Karin melingkupi masing-masing lengannya. Selintas memori itu entah kenapa membuatnya hangat.

"I hope you get the point. Kerja sama itu memerlukan tujuan, Rin, kalau lo nggak kenal dengan siapa lo bekerja, apa yang ingin lo capai lewat hadirnya dia?"

Selepas pertanyaan retorik itu diluncurkan, Karin tidak membalas satu patah kata pun untuk menyambung pembicaraan. Sejenak, ucapan lain yang Alfa lontarkan beberapa waktu lalu terus berputar di kepalanya.

"Kita nggak perlu saling kenal untuk kerja sama."

Tidak perlu? Jika apa yang Kanova katakan itu benar, satu hal yang bisa Karin simpulkan berdasarkan pernyataan tersebut adalah, sejatinya Alfa tidak peduli dengan perlombaan ini.

Bila memang itu kenyataannya, Karin tidak ingin menjadi orang egois lantaran telah menyeret Alfa demi kepentingannya sendiri, seperti apa yang dikatakan Namira. Karin paham, ini pula bukan sepenuhnya salah dia karena Alfa pun sama-sama seorang remaja yang seharusnya bisa mempertanggungjawabkan keputusannya.

Andai kata ini bukanlah tentang siapa yang sepatutnya perlu dijuluki kambing hitam atas pertengkaran yang sudah terjadi, mungkin Karin harus berhenti membahas perkara dan mulai memegang kendali atas diri seutuhnya.

Entah bagaimana dengan Alfa, namun Karin siap mengenal laki-laki itu lebih dalam. Malam ini, secara lapang terbesit pikiran dari Karin untuk mengubah status musuh yang lama dipegangnya terhadap Alfa menjadi sesuatu yang berbeda.

Sesuatu yang bersifat tidak lebih dari sebatas teman, tentunya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top