15. Alasan
Di satu meja bundar yang isinya penuh ditempati oleh tiga remaja perempuan berseragam putih lengkap dengan aksen pita merahnya yang senada, masing-masing terdiam menunggu salah satu di antaranya memulai topik pembicaraan.
Namira dan Rania yang saat ini paling tidak berhak menjadi pengusung kabar terkini tentu hanya diam mengamati Karin yang tidak inisiatif menggerakkan mulut. Perempuan itu tampak memikirkan sesuatu. Sesuatu yang mana membuat Namira dan Rania, jadi tidak sabar ingin tahu.
Tadi siang, saat jam istirahat telah usai dan Karin telah kembali memasuki kelas usai mengejar Alfa yang tiba-tiba beranjak pergi—entah kenapa—dari kantin, Namira dan Rania segera menyerbu Karin untuk mempertanyakan tentang kelancaran misi yang mengharuskannya mengubah sikap sebanyak 180 derajat.
Karin yang dilempari belasan hal secara berulang sayangnya tidak memberikan respons yang berarti selain menjanjikan ceritanya akan dibahas sepulang sekolah. Selama di kelas, Karin pun tampak tidak memperhatikan pelajaran seperti biasanya. Meski perempuan itu tetap mengerjakan dan terlihat membaca sebagaimana mestinya, Namira dan Rania tahu pikiran Karin ada di mana.
"Rin," panggil Namira akhirnya angkat bicara. Jika tidak diingatkan, barangkali mereka bertiga hanya membuang waktu duduk di kafe pusat kota tanpa mengulas apa-apa.
Karin yang merasa namanya disebut lantas melingak ke arah Namira. Ia membenarkan letak kacamata bulatnya, mengganti raut serius yang sedari tadi singgah sepenuhnya berubah jadi ramah. "Eh, iya? Lo mau dengar cerita gue pas nekat kejar Alfa, ya?"
Rania termenung. Ia sempat mengerutkan kedua alisnya layu. "Apa ada hal nggak enak yang terjadi selama itu, Rin?" tanyanya berhati-hati. Sebelumnya, Karin tidak pernah menampilkan emosi kecuali marah jika ditanyai mengenai Alfa. Tetapi, yang satu ini kian berbeda.
"Selalu ada hal nggak enak yang terjadi ketika gue bersama Alfa, Ra," jawab Karin tanpa basa-basi.
"Sorry semisal gue sama Namira kesannya memaksa, kalau memang nggak enak buat dibicarin, lo nggak perlu—"
"No, bukan itu maksud gue," sela Karin menggelengkan kepala. "Begini, lo berdua mungkin sama bingungnya kenapa sedari dulu gue sama Alfa selalu bertengkar sedangkan ketika bareng orang lain, kita nggak pernah buat masalah," ujarnya menggeser gelas milkshake strawberry-nya ke tepi meja. "Berkat sikap dia yang sering kali bikin gue muak, gua pikir, Alfa memang cowok yang suka cari gara-gara. Tapi, setelah melihat dari reaksi orang-orang di sekitarnya, ternyata sikap dia yang begitu cuma keluar di gue.
Semisal kalian terutama lo, Nam, masih mempertanyakan alasan gue benci Alfa, ya, semata-mata karena dia nggak pernah berlaku baik di depan gue. Secara logika, gue berhak, dong? Merasa kesal ketika direndahkan tanpa dasar yang jelas?"
Rania mendengarkan. Namira yang masih berpegang teguh atas konsep kebakaran tidak akan tercipta andai tidak ada yang bermain api kemudian menyanggah, "Yes, it's your right to hate him. But there must be a reason. Alfa nggak kelihatan seperti remaja laki-laki yang baru puber dan dilanda fase kelabilan mendadak, Rin."
"Nam, lo ingat, 'kan? Alfa bilang apa sewaktu Karin ucapin dia selamat pas pembagian ranking semester satu waktu lalu? Itu kali pertamanya Karin berinteraksi sama Alfa. Gue sebagai orang ketiga yang melihatnya secara langsung merasa nggak ada yang salah dari bagaimana Karin bersikap. Terlepas dari apa alasan Alfa bilang begitu, menurut gue, kalimat 'tanpa dasar' di sini berhak dipakai menimbang kisah dari sudut pandangnya Karin sendiri."
"Makasih koreksinya, Ra, dan, iya, tolong fokuskan ke sudut pandang gue," ucap Karin mengangguk sembari meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Tanpa mengurangi isi pendapat lo, gue juga setuju, Nam, kalau Alfa punya alasan buat bersikap begitu ke gue. Lebih dari siapa pun, lo harus tau bahwa gue merupakan orang yang paling clueless untuk menanggapi permusuhan yang Alfa usung. Selama ini, gue selalu berpikir apa jangan-jangan gue pernah buat salah ke dia?
Tapi, sejak tadi siang gue coba buat telusuri ulang peristiwa apa aja yang berpotensi menyebabkan Alfa benci ke gue, bahkan sampai ke hari perlombaan 4 tahun yang lalu, hasilnya nihil. Gue nggak menemukan apa-apa."
"Itu dari sudut pandang lo. Dari sisi Alfa gimana? Lo yakin? Lo nggak ada salah ucap pas di koridor semester 1 waktu itu?"
"Lo, kok, malah pro ke Alfa, sih, Nam? Di sini lo lagi bela siapa, sih?"
"Aduh, Ra, ini bukan masalah gue pro ke Alfa atau kita lagi bela siapa. Masalahnya, pertengkaran Alfa sama Karin itu terlampau nggak biasa! Umumnya, nggak etis, 'kan? Lo berantem begitu aja sama seseorang tanpa ada pemicunya?" Namira membalas kembali menggarap pertanyaan yang sama. Ia terlalu ragu untuk menegaskan, sehingga poin yang ingin ia sampaikan barangkali tidak tercetus di benak Karin dan Rania.
"Gue yakin gue nggak ada salah," kata Karin percaya diri yang lantas membuat Namira menundukkan kepalanya menyerah. "Justru saking gue yakinnya, gue jadi kepikiran suatu hal yang mungkin merupakan penyebab kenapa Alfa benci sama gue."
"Hah?" Rania yang sedari tadi banyak mendukung opini Karin pun beranjak mendekati kursinya. Ia penasaran. "Apa, Rin?"
"How if, it's not me who is the problem? But he is?"
"Wait, I don't get it. Maksud lo?"
Karin menghela napasnya. Penjelasannya kali ini bisa jadi akan terdengar sedikit panjang. "Belakangan ini, semenjak Bu Zahra kasih tugas ke gue buat rekrut Alfa masuk ke dalam tim, interaksi gue sama dia jadi lebih dari sebatas gestur sinis atau ucapan sarkas yang membuat kita seolah-olah terlibat perang dingin sebagai rival sengit perebut ranking di Bina Bangsa.
Tapi, setelah gue bicara lebih banyak sama dia, gue baru sadar. Di mata Alfa, gue bukan sekadar pesaing di ranah akademik. No, not even close." Karin menggelengkan kepala. "Gue, bahkan nggak yakin apakah dia menganggap gue sebagai rivalnya atau bukan. Selama ini, spekulasi gue cuma berputar di sekitaran Alfa merupakan sosok laki-laki sombong yang nggak rela jatuhin mental pesaingnya. Gimana kalau sebenarnya ada yang lebih daripada itu?"
"Let me clear this one. Jadi, lo berpikir alasan kenapa Alfa bersikap begitu ke lo bukan karena nilai? Tapi, ada sesuatu yang lain?"
"Right." Karin mengangguk. "Benci nggak selalu jelas terbentuk lewat sikap yang disengaja atau nggak disengaja kita lakukan, bukan? Ada kalanya, benci bisa tercipta lewat persepsi kita sendiri yang membentuk rasa tidak suka?"
"Ah!" Rania membuka mulutnya lebar. Pertikaian antara Karin dan Alfa cukup menarik perhatiannya sedemikian rupa. Pantas saja Karin meminta waktu tambahan untuk membahas perkara ini di luar jam sekolah. Memang, diskusi kali ini cukup menggerakkan otaknya bekerja keras. "Barangkali, ini ada hubungannya ke perlombaan lo sama dia 4 tahun yang lalu?"
"Yes!" Kembali masuk ke dalam bahasan, Namira mencoba untuk mempertajam kalimatnya lebih asertif. "Once again, di sini gue nggak coba untuk membela siapa-siapa, ya? Maksud gue cuma pengin mencerahkan situasi Karin terhadap Alfa. Kalau memang selama di Bina Bangsa lo nggak memicu apa-apa, 4 tahun yang lalu, lo pernah buat salah nggak sama dia, Rin?"
Terdiam sejenak, Karin termenung niat membuka loker memori yang tersimpan dalam benaknya. Namun, setelah memutar banyak peristiwa yang ada, jawabannya tetaplah sama. "Seriously, I don't. Gue berani jamin, Nam. Pada saat itu, gue bahkan nggak kenal siapa itu Alfa yang mana hal tersebut memperkecil kemungkinan gue pernah berinteraksi sama dia di luar Bina Bangsa. What possibly could go wrong?"
"Perhaps, lo membuat kesalahan yang nggak terlihat dan cuma dianggap begitu ketika disangkutpautkan menggunakan persepsi Alfa sendiri? Seperti ... lo kalahin dia yang mana artinya lo telah menghancurkan rekor 100% persentase kemenangannya?"
"Secetek itu?" Namira menjengitkan kedua alisnya. "Oh, please, that is so much for revenge," lanjutnya kemudian memutar bola mata dengan malas.
"Namira benar," jawab Karin berpikiran terbuka. Walau umumnya ia selalu senang jika dibela Rania perihal apa pun terkait urusannya dengan Alfa dan segala hal yang membuatnya kesal, ucapan Namira yang kadang kala cenderung kontras dapat memberikan perspektif baru dalam permasalahannya. "Coba kita lihat lagi foto ini," ujar Karin menampilkan kembali gambar di mana dirinya dan Alfa berada di satu podium kemenangan yang sama lewat smartphone-nya. "Muka Alfa nggak terlihat seperti kesal karena dikalahkan oleh gue. Sebaliknya, pandangan dia malah beralih ke gue sambil senyum begitu."
"Oh, iya, dia senyum tipis," balas Rania ikut tercengang sesaat menyadari hal tersebut.
"See? Dibandingkan dengan benci, Alfa di sini justru terlihat amaze terhadap gue. Bukannya gue mau sombong atau apa. Tapi, maksud gue, adalah hal yang wajar bagi kita buat merasa takjub ketika menemukan lawan yang seimbang atau setingkat di atas kita setelah menang berturut-turut lamanya.
Gue pun merasa begitu, kok, sewaktu pertama kali ranking gue turun dan tahu bahwa ada laki-laki yang benama Keith Farez Alfansa berhasil mengalahkan gue. It gave us a purpose to do better. Makanya, gue mengucapkan selamat ke dia waktu itu dan bermaksud ingin bersaing secara sehat."
"Tapi, bukannya menyambut lo dengan baik, dia malah—"
"Bilang gue nggak usah caper dan bermimpi bisa kalahin dia," sergah Karin memotong kalimat Rania. "Lo berdua lihat, 'kan? Siapa yang mulai duluan dan apa yang menyebabkan pertengkaran gue sama Alfa 'terlampau nggak biasa' sekarang?"
Namira yang sebelumnya teguh berpendapat bahwa Karin pernah membuat kesalahan yang—entah apa—memicu kemarahan Alfa, lantas terdiam lantaran tidak bisa menerima fakta jikalau Alfa benar membenci temannya tanpa sebab. Melihat sosok Alfa yang terlalu cerdas dan karismatik, rasanya itu tidak sesuai akan gambaran sosok laki-laki arogan dalam benaknya.
"Belakangan ini, dia suka mengucapkan hal-hal yang nggak masuk akal tau nggak?"
"Nggak masuk akal? Maksud lo, Rin?"
"Ya, gimana jelasinnya, ya, Ra?" Karin menekuk lengannya menumpu dagu. "Dari awal, dia langsung bikin statement kalau gue itu caper cuma karena pengin berusaha jadi juara satu. Kedua, beberapa hari yang lalu saat gue bujuk dia ikut lomba, dia malah katain gue kurang kasih sayang yang gue sendiri nggak paham maksudnya apa. Ketiga, barusan tadi aja, dia bilang selama ini gue mempersulit hidupnya dia. Does it even make any sense?"
"Lo serius, Rin?" tanya Namira tidak menduga. Ia tidak tahu bahwa ada hal lain kecuali kompetisi di antara Karin dan Alfa.
"Gue dengar sendiri, Nam! Nada dia, tuh, mengintimidasi, kayak yang udah lama nggak suka sama gue tau nggak? Bukan sekadar benci yang biasa aja, tapi ini benci yang seakan-akan gue pernah bikin hidupnya kacau!" Karin mengepalkan tangannya erat menghentak meja. "Sumpah, gue nggak pernah kelewat batas apa pun di depan dia. Mentok, ya, paling gue marah pas dia kurang ajar. Masa gue mau diam aja ketika dia bersikap semena-mena di hadapan gue?"
"Andai ini bukan tentang persaingan semata, berarti dugaan lo sebelumnya barangkali memang benar, Rin? Ada hal lain yang buat Alfa benci sama lo?"
"Tapi, apa?" sambung Namira dilanda kebingungan. Pola pikir logisnya tidak dapat menemukan apa yang menjadi asal mulanya jika yang dicari bukanlah sebuah perilaku.
"Hari pertama kali gue ketemu sama Alfa adalah saat di mana gue berhasil kalahin dia di perlombaan waktu itu. Yang mana, setelahnya Alfa nggak pernah ikut kompetisi lagi sampai dengan sekarang. Selain itu, Zaki dan Luna sama-sama punya penegasan yang cukup jelas kalau Alfa bukan sekadar berhenti melainkan menghindari perlombaan. Semisalnya alasan Alfa benci ke gue adalah karena gue pernah kalahin dia waktu itu nggak cukup buat menjelaskan keanehan ini, berarti tinggal tersisa satu lagi kemungkinannya."
Terdiam menunggu Karin berbicara, Namira dan Rania pun saling bertukar tatap tak mampu menebak kata. Apa yang mengikat di antara pertengkaran Karin dan Alfa ternyata lebih dari segala yang pernah mereka kira. Jika kemudian yang dicari sebenarnya bukanlah perihal yang ada di depan mata, tentu sebuah kotak misteri yang disembunyikan tak tahu di mana, perlu ditemukan demi menjelaskan perkara.
"Gue yakin, suatu hal yang besar terjadi di hari itu. Peristiwa yang berdampak buruk pada kehidupannya Alfa dan entah bagaimana ... gue terlibat di dalamnya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top