12. Dokumentasi

Tepat di depan meja belajarnya, lengkap dengan buku-buku perhitungan matematika sekaligus menyambar habis ke mata pelajaran fisika, Karin tengah berusaha setengah mati menghilangkan sisa-sisa pemikiran tidak penting atas peristiwa yang—beberapa jam lalu—terjadi antara dirinya terhadap Alfa.

Semua seharusnya berlangsung biasa-biasa saja. Tetapi, Karin tidak dapat memungkiri bahwa sesuatu di dalam dadanya memercik suatu gejolak saat Alfa bergerak hampir memeluknya erat.

"Dia udah gila, ya?!" Membanting pensil mekanik yang bergelayut di antara jemarinya tanpa aba-aba, Karin mengacak rambutnya frustasi seraya menundukkan kepala menuju permukaan telapak tangan kirinya. "Bisa, 'kan? Kalau mau apa-apa izin dulu? Nggak tiba-tiba langsung begitu!"

Jujur saja, sekujur tubuh Karin masih terasa menggelitik andai ia mengingat kembali serba-serbi peristiwa sore tadi. Sepenuh hati Karin meyakini, itu merupakan reaksi yang wajar atas ketidaknyamanan akibat disentuh oleh seorang laki-laki. Maksud Karin, perempuan mana yang tidak memiliki ruang privasi? Masuk akal, bukan? Apabila ritme jantungnya berdetak lebih kencang karena pergerakan Alfa dianggap sebagai respons ancaman oleh sistem mekanisme di tubuhnya?

"Setiap malam, sekarang kerjaan lo misuh terus, ya? Buku yang lo baca memang mengulas topik tentang cara meluapkan emosi secara responsif atau bagaimana sebetulnya?"

Mendengar celotehan dari kembarannya tersebut, Karin pun melirik sinis menghadap Kanova. Tak lupa, ia mengerutkan wajah sebalnya sedemikian hingga. "Lo yang selalu menumpang di kamar gue buat sekadar berantakin kasur tanpa diberesin lagi nggak usah resek, deh, ya?! Mau? Gue usir?"

Diberi ultimatum atas kesalahannya yang tak terelakkan, Kanova pun meringis kecil sembari merapatkan kedua telapak tangannya memohon ampun kepada Karin. Sepasang saudara kembar keluarga Wijaya itu memiliki pranata unik ketika berada di dalam rumah.

Dahulu, tatkala masih kecil, Kanova dan Karin tidak memiliki banyak waktu untuk bermain lantaran harus belajar dan mengikuti kegiatan yang bersifat ekspansif terkait talenta. Satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan demi menghibur diri—selain memanfaat kesempatan emas dengan bersosialisasi saat memasuki area sekolah atau di tempat akademi yang serupa—adalah saling mendekatkan presensi memberi kehangatan.

Bangunan tempat tinggal keluarga Wijaya sejujurnya sangatlah megah. Berkat luas hampir menyentuh dua per tiga hektar tersebut, Karin dan Kanova merasa perlu bersama-sama—entah melakukan apa saja—agar tidak merasa sepi di tengah kekosongan rumah. Baik di antara keduanya, Kanova dan Karin saling setuju bahwa kebiasaan menyendiri di kamar masing-masing, padahal terdapat anggota keluarga di satu tempat, sebisa mungkin perlu untuk dihindari. Jadilah, konsep menggemaskan yang dimiliki sejak itu bertahan hingga sekarang.

"Iya, iya, gua nggak akan ganggu. Silakan dilanjutkan proses marah-marahnya, Kanjeng Ratu," ujar Kanova akhirnya menyerah. Laki-laki itu kembali menatap layar ponselnya yang menampilkan puluhan kotak masuk dalam aplikasi sosial media.

Satu hal yang tidak adiknya ketahui, Kanova sebenarnya memiliki alasan lain tentang kenapa ia rutin sekali berkunjung ke kamar Karin. Sesungguhnya, Kanova terlalu malas merapikan tempat tidurnya sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan sesudah bangun tidur. Sehingga daripada membiarkan tubuh jenjangnya memberantakkan seprai serta bantal guling ranjangnya sendiri di luar jam istirahat, Kanova memilih untuk menggeliat memorak-porandakan sarang ternyaman milik Karin.

Definisi orang yang suka rapi, namun enggan bersih-bersih.

"Ka, gue mau tanya sesuatu, deh." Di tengah keheningan yang baru saja tercipta, Karin tiba-tiba berucap hendak memastikan keyakinannya pada Kanova. Saat ini, pandangan Karin masih lurus menghadap buku bacaannya. Setelah beberapa detik berlalu tanpa adanya balasan dari yang diajak bicara, barulah perempuan itu melemparkan penghapus baloknya ke kening Kanova.

"Duh! Apa, sih?!" ujar Kanova protes sembari mengusap permukaan dahinya yang tertimpuk padatan karet.

"Gue bilang, gue mau tanya sesuatu!"

Menghela napas sejenak, Kanova pun meletakkan gadgetnya asal di atas kasur bernuansa merah muda tersebut. Laki-laki itu duduk menyila di hadapan Karin, sebuah posisi yang biasa ia tampilkan ketika Karin mulai serius meminta pendapatnya. "Iya, lo mau tanya apa?" jawab Kanova sabar.

"Kenapa, sih, semua cowok itu brengsek?!"

"Wah!" Kanova membuka mulutnya lebar. Pernyataan Karin yang langsung menembakkan asumsi tanpa adanya opini terlebih dahulu membuatnya terkesima tak terima. "Dari kecil, otak lo udah diasah sedemikian kerasnya sampai sekarang, lo masih bisa percaya sama doktrin generalisasi super cetek begituan?"

Karin mengerucutkan bibirnya sebal, ia mengalihkan pandangannya rajuk menghindari Kanova.

"Kenapa? Hm? Alfa lagi?" tanya Kanova kali ini lebih pelan. Meski sempat tersinggung akibat identitasnya selaku kaum laki-laki mudah sekali disimpulkan, Kanova tetap mengalah mencairkan perdebatan. Sejatinya, Kanova sadar Karin tengah mengalami ledakan emosi. Setiap kali kombinasi antara pengaruh hormon dan kekesalannya berada di puncak peredaran, Karin selalu berucap asal tanpa mau berpikir panjang. Biasalah fenomena perempuan, barangkali adiknya itu sedang datang bulan sekarang.

"Bukan! Lo nggak usah sok tau, deh!" jawab Karin mengelak besar-besaran.

Kanova yang sudah sering mendapati reaksi tersebut tentu langsung memutar bola matanya jemu seakan tak peduli. Laki-laki itu merubuhkan tubuhnya mundur ke atas kasur, sebelah tangannya memijat pelipis tak karuan. "Rin, semisal lo mau cerita atau minta pendapat ke gua, setidaknya lo perlu jujur tentang siapa dan apa titik permasalahannya. Nah, kalau respons lo aja kayak gini, gimana gua bisa mengerti?"

Karin termenung. Dalam kondisi layaknya kini, seharusnya Karin sudah lantang mengucapkan segudang ungkapan makian—seperti yang biasa ia curahkan kepada Namira maupun Kanova. Masalahnya, sebagai kakak laki-laki yang lahir beberapa detik lebih dahulu dari Karin, Kanova cukup protektif mengenai persoalan cinta dan kontak fisik merugikan yang melibatkan Karin terhadap lawan jenisnya. Sejauh ini, permasalahan yang Kanova ketahui antara Karin dan Alfa hanyalah sekadar persaingan antara dua anak pintar yang kadang kala pasif, namun bisa jadi sangat agresif secara verbal.

Andai Karin kelepasan berkata bahwa alasan mengapa ia kesal setengah mati saat ini adalah karena Alfa baru saja menyentuhnya tanpa persetujuan, bisa-bisa Kanova naik pitam.

"Lupain, gue udah nggak mood!" ucap Karin terpaksa lantas membuat Kanova tambah jengkel. Walau lirih, Karin dapat mendengar gumaman Kanova yang merapalkan kalimat "Dari awal, mending nggak usah ajak ngomong gua, Sial*n!".

Tring

From: My Headmaster

Karin,  gimana kabar tim EKSEMPELAR-nya? Ibu menemukan informasi bagus! Coba kamu lihat sebentar.

20.55 PM.

Mendadak, lantaran nada dering menampilkan sebaris notifikasi chat yang isi pesannya tertera pada layar bagian atas ponsel Karin, spontan mengakibatkan atensinya teralih mengamati perangkat elektronik tersebut. Tidak biasanya Bu Zahra menghubungi di waktu malam begini? Informasi bagus macam apa yang dimaksud oleh Bu Zahra?

To: My Headmaster

Ini apa, Bu?

20.56 PM.

Usai mengetikkan pertanyaan itu, ekspresi Karin menunjukkan kebingungan tinggi mendapati lampiran sejumlah foto berupa seorang anak laki-laki dan segudang kejuaraan yang pernah diraihnya. Entah kenapa, sebagian titik di wajahnya terasa familiar. Kendati begitu, kesan ceria beserta senyum lebar yang ditampakkan oleh bocah kecil pada foto terkait membuat Karin tidak yakin apakah sosok yang terbayang dalam benaknya adalah benar.

From: My Headmaster

Sejak kemarin, Ibu penasaran dan berujung cari informasi mengenai seluk-beluk prestasi Alfa dari SD sampai dengan sekarang. Masa, sih? Anak sepintar dia nggak pernah mengikuti lomba? Sesuai dugaan Ibu, dahulu Alfa aktif sekali memenangkan kejuaraan. Bukan hanya di bidang akademik saja, melainkan Alfa juga banyak memperoleh piala lewat sektor olahraga. Yang bikin Ibu pangling, persentase kemenangannya itu hampir menyentuh 100%! Tetapi, setelah dikalahkan untuk pertama kalinya dan menduduki posisi kedua di kompetisi terakhir, Alfa tidak pernah mendaftarkan diri dalam perlombaan lagi.

21.01 PM.

"Hah?! Ini, 'kan?" Selepas membaca pesan panjang dari Bu Zahra, kedua mata Karin pun terpaku menuju satu gambar yang tertumpuk di urutan paling bawah. Menyangkut lomba terakhir yang diikuti oleh Alfa sekaligus piala juara duanya, mulut Karin dibuat menganga saat melihat dokumentasi foto dirinya semasa SMP turut terpampang di barisan podium para pemenang.

"Apa mungkin?" Sontak, Karin lalu bergegas menuju almari kayu tempat di mana ia menyimpan seluruh koleksi trofi kejuaraannya yang pertama hingga sekarang. Tanpa disadari, ternyata dirinya dan Alfa pernah mengikuti satu perlombaan yang sama. Sebatang piala utama berlapiskan perak yang kini sedang ia genggam menjadi bukti bahwa ia pernah mengalahkan Alfa beberapa waktu silam.

From: My Headmaster

Berkat ini, setidaknya kita jadi tahu. Dulu, Alfa pun gemar mengasah bakat keterampilannya. Terlepas apa yang mendasari dia selalu menolak untuk mengikuti perlombaan saat ini, tolong kamu bantu dia temukan minatnya kembali, ya? Segera jika Ibu boleh menyarankan, agar kita bisa cepat memasuki masa bimbingan intensif mempersiapkan EKSEMPELAR. Semangat, Karin!

21.07 PM.

Sekilas, pesan terakhir yang dikirimkan oleh Bu Zahra lantas menyebabkan Karin menghela napasnya panjang berupaya tenang. Setumpuk permintaan yang mengharuskannya melekatkan diri dengan seorang laki-laki bernama Keith Farez Alfansa, jelas menuntut Karin perlu berbenah ulang demi menyusun strategi matang.

"Dear God, give me strength." Ya, besar harapan Bu Zahra agar Alfa mampu bergabung ke dalam tim membuat Karin tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top