11. Pembiasan

Di dunia ini, selama hampir usianya menginjak 18 tahun melalui banyak percobaan, Alfa hanya mengetahui terkait dua hal yang mampu membuat suasana hatinya menjadi lebih tenang andai ia tengah mengalami penurunan mood secara tiba-tiba. Pertama, Alfa senang menghabiskan waktunya untuk mengasah otak dengan belajar mengerjakan soal-soal atau sekadar memperoleh pengetahuan baru lewat setumpuk buku yang ia baca. Kedua, Alfa gemar berolahraga melatih otot-otot tubuhnya dengan mengkoordinasikan gerak kinestesis yang baik hingga panas mengubah semua langkah penatnya membentuk tenaga.

Jika ada yang bertanya kenapa dua hal itu menjadi rupa kegiatan yang begitu spesial untuk Alfa, jawabannya sangatlah sederhana. Setiap kali Alfa melakukannya, ia memperoleh kepercayaan diri akan sosoknya yang ternyata banyak dikagumi. Disoraki dengan berbagai pujian atas kecerdasan dan postur fisiknya yang melebihi standar ideal, membuat Alfa merasa lebih tinggi dibandingkan remaja lainnya.

Remaja yang ia anggap biasa-biasa saja.

Sombong, ya? Alfa paham betul kesannya begitu. Tetapi, untuk seukuran dirinya yang memiliki banyak kelebihan, hal tersebut sebetulnya tidaklah perlu disembunyikan.

Menurut jalan berasaskan logika, opsinya hanya ada dua, Alfa dapat menunjukkan segudang talentanya pada khalayak besar—yang mungkin tidak akan segan menggunjingnya di belakang sebab iri—atau ia bisa menyimpannya dalam diam—untuk menghindari permasalahan. Yang mana, daripada memilih salah satu di antara keduanya, Alfa mempunyai opsi tersendiri, yaitu dengan membiaskannya.

Sebuah frasa tunggal yang digunakan untuk menyimpang kejadian yang benar faktanya, menjadi ilusi semata.

Selama ini, Alfa tidak pernah bersikap berlebihan apabila ia berhasil meraih sesuatu atau menjadi pusat perhatian. Justru, sebisa mungkin ia selalu mengabaikan pencapaiannya agar dipandang rendah hati dan dinilai sopan.

Terlahir dengan bakat besar bukan berarti ia memiliki jaminan untuk disegani oleh setiap pribadi. Karena andai ia berlaku sebaliknya, sudah jelas label sebagai remaja arogan akan diterimanya akibat percakapan sekumpulan orang-orang dengki.

Rahasia menjadi anak populer yang sudah diberkati oleh banyak keunggulan sedari kecil seperti Alfa? Cukup dengan bertindak sewajarnya saja. Seraya menampilkan keterampilan tanpa sedikit pun membanggakan diri sedemikian rupa, orang-orang pasti jatuh pada pembawaannya yang sempurna—secara statistik maupun karakteristik.

Andai sudah begitu, presensi Alfa dan etiket hak istimewanya pun bakal bersanding erat di bawah gelar favoritisme. Sehingga, tidak ada celah bagi siapa pun untuk menyerang kokohnya identitas seorang Alfa.

"Demi kedua mata lo yang masih jernih nggak ada plus nggak ada minus, gue nggak habis pikir. Kenapa, sih, lo nggak bisa memaksimalkan penggunaan alat indra lo?!"

Sayangnya, satu dari sekian ratusan siswa-siswi yang bersekolah di SMA Bina Bangsa, pembiasan Alfa tidaklah berguna bagi seorang remaja perempuan yang tengah berdiri di hadapannya sekarang. Sosok yang Alfa sendiri tidak mengerti mengapa ia sering hilang kendali apabila terlibat urusan dengannya.

Padahal, sore ini ia baru saja mencetak hattrick yang berhasil membawa timnya menuju babak semifinal turnamen sepak bola antar angkatan. Namun—lantaran hanya mendapati eksistensi gadis tersebut, secepat itu pula perasaan ringan yang bersemayam di dada Alfa langsung membuncah bergantikan amarah.

"Barangkali masalahnya ada di lensa kacamata lo yang terlalu buram. Yang matanya cacat itu sebenarnya lo atau gua?"

Karin membuka rahangnya tidak terkira. Sumpah, kalimat sarkas yang baru saja dilontarkan oleh Alfa berhasil membuat taringnya seakan memanjang hendak mengoyak habis laki-laki tersebut. "Lo yang tabrak gue, lo yang jatuhin minuman gue, terus gue yang salah begitu?"

"Ck." Alfa mendenguskan napasnya kasar. Wajah laki-laki itu sontak berpaling menghindari Karin disertai alisnya yang menukik dalam. Dari penggambaran raut wajahnya saja, siapa pun tahu Alfa sedang malas untuk berdebat. Sayangnya, gestur Karin yang menuntut respons permohonan maaf menghalangi pergerakannya untuk pergi secara sepihak. "Maksa banget salahin orang lain?"

"Badan lo itu jauh lebih besar dari gue, Keith Farez Alfansa! Kalau memang otak lo yang selalu merasa paling benar itu nggak mampu buat paham kondisinya, sekarang gua minta lo pakai penglihatan lo buat menilai, siapa di sini yang paling berantakan akibat tabrakan tadi?"

Terdiam sejenak, Alfa melucuti pandangannya untuk melakukan pemindaian singkat akan penampilan Karin dari atas sampai ke bawah. Saking abainya akibat pertengkaran tadi, Alfa tidak menyadari bahwa kemeja dan kain rok Karin setengah basah direndam minuman berwarna merah menyala.

"Udah sadar siapa yang seharusnya minta maaf?" tanya Karin sengaja menggerakkan sepatu kanannya mengetuk aspal jalanan.

Kesan yang ditunjukkan oleh Alfa setelah menerima sindiran Karin? Tentu laki-laki itu merasa gengsi. Kedua tangannya, bahkan masih tersimpan ke dalam saku. Tidak sedikit pun membuka peluang untuk bersimpatik atau menampilkan rasa bersalahnya meski secuil—walau sebenarnya ada.

"Tau nggak, sih? Sikap lo yang kayak gini itu adalah hal yang paling nggak gue suka!" Mengambil langkah berbalik, Karin pun beranjak pergi meninggalkan Alfa yang masih tidak ia pahami bagaimana pola pikirnya dapat bekerja.

Selepas perbincangan sumbangnya tadi dengan Luna—terkait Alfa—berhenti di tengah jalan, Karin memutuskan untuk mengakhiri perjumpaannya secara ramah—entah Luna menyadari kebohongannya atau tidak. Sebagai ketua, Karin tidak ingin terlihat awam dalam urusan mendekatkan diri terhadap para anggotanya. Namun, akibat kontestasi picik yang baru saja diciptakannya bersama Alfa, Karin jadi menyadari bahwa hal tersebut—mungkin—merupakan salah satu kelemahan terbesarnya.

Bukan sekadar perkara merekrut Alfa. Tetapi, Karin tidak habis pikir andai nanti—misalnya ia berhasil membujuk Alfa dan—ia benar-benar berada di dalam satu tim bersama laki-laki tersebut. Alur kekompakan timnya bisa dibentuk sampai mana? Lomba cerdas cermat itu butuh teamwork! Bukan sekadar adu cekcok!

Lagi pula, kenapa, sih? Jalan menuju lapangan belakang dan perpustakan utama dibuat bertemuan pada satu jalur persimpangan? Mengapa juga waktu pulang antara dirinya dan Alfa sore ini harus serupa kemudian disambung oleh peristiwa menyebalkan?

"Bete banget ... gue bete banget!" seru Karin sewot sendiri turut melepas dasi berpola pita yang terikat pada kerah baju. Kedua tangannya risih membersihkan pakaiannya dari bagian perut ke bawah yang basah akan tumpahan cairan manis. Masalahnya, noda minuman yang menempel di satu set seragam putihnya tersebut berwarna merah. Karin tidak ingin orang-orang yang melihatnya jadi salah paham lantaran perpaduan corak kontrasnya begitu meresahkan.

"Haa ... gue nggak bawa ganti, bawahan gue basah semua lagi! Sial banget, sih, gue hari in—"

"Silence." Mendadak dari arah belakang, kepala Alfa tiba-tiba menyembul di samping telinga Karin.

Karin yang tidak siap akan pergerakan tersebut lantas langsung membeku terdiam di tempat. "L—lo, lo mau apa?"

"Jangan banyak gerak." Lewat penuturan yang tak banyak disampaikan itu, Alfa seakan meminta izin kepada Karin sebelum membayar bentuk tanggung jawabnya.

Tak merasakan adanya perlawanan, sebelah tangan Alfa lalu menyisihkan tali tasnya yang menyampir di sebelah bahu untuk kemudian mengambil hoodie-nya yang tergantung di sana. Laki-laki itu kemudian melingkarkan panjang lengannya demi mengikatkan kain outerwear tersebut ke sekitar area pinggul Karin yang ramping.

Dalam jarak sedekat ini, Karin dapat mendengar deru napas Alfa beserta hawa panas yang masih menguar dari tubuh laki-laki itu selepas berolahraga. Sebelumnya, privasi Karin sebagai seorang perempuan tidaklah pernah diinvasi sejauh ini oleh lawan jenisnya.

"Selesai masalahnya?" tanya Alfa jemu tengah memastikan bercak merah yang mengotori pakaian Karin tertutup sempurna diselimuti jaket putihnya.

"Lo! Apa-apaan, sih?!" Selesai masalahnya? Karin tidak paham jawaban apa yang diharapkan dari pertanyaan laki-laki itu. Namun jelasnya, apa yang baru saja Alfa lakukan benar-benar telah membuat Karin hilang keseimbangan. "Ewh, gross! Just stay away from me!

Tanpa berbalik mengucap terima kasih, Karin lantas melenggang pergi seraya menyapu permukaan kulitnya yang sedikit lembap karena bersentuhan dengan lengan Alfa yang masih basah akan keringat. Langkah kakinya sangatlah cepat setengah berlari. Sehingga tepat di posisi berdiri Alfa yang tak banyak perubahan, laki-laki itu hanya mampu mengalihkan pandangannya tak mengerti. 

"Right, just stay away."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top