08. Istana

Di depan gerbang sekolah SMA Bina Bangsa yang menjadi kawasan jemput bagi para pelajar yang tidak membawa kendaraan pribadi, Namira tengah duduk manis berusaha menyimak keluhan temanya yang sedari tadi tiada habis.

Sejujurnya, ini bukan kali pertama Namira terpilih sebagai tempat penampungan emosi Karin, lebih tepatnya selalu. Kapan pun, setiap kali Karin memiliki masalah atau pertengkaran kecil dengan laki-laki yang bernama Alfa, Namira tidak pernah absen mendengar luapan protes Karin secara berulang-ulang.

Alfa itu begini, Alfa itu begitu, bosan, sih, namun mau bagaimana lagi?

Selayaknya teman yang baik, Namira hanya mencoba untuk setidaknya ada ketika dibutuhkan. Meski tanpa dipungkiri, di sisi lain ia juga berharap agar sopir pribadinya dapat segera datang membawanya pergi.

"Maksud gue kalau dia nggak mau, dia bisa, 'kan? Menolak pakai cara yang sopan? Nggak usah marah-marah segala!"

Menghela napas, lama-lama telinga Namira bisa melar mendengar ocehan Karin. Temannya itu sangat berapi-api jika sudah membahas si juara satu Keith Farez Alfansa. "Lo kesal banget kayaknya? Memang, Alfa ngomong apa aja ke lo?"

"Ngomong?" tanya Karin dengan mata membelalak. "Alfa, tuh, nggak bisa ngomong kayak manusia, Nam! Dia menggonggong!"

"Astaga, Rin!" Namira terperanjat. Terkadang, ia suka heran. Sebenarnya, sudah sampai sejauh mana, sih, tingkat kebencian temannya itu kepada Alfa?

"Gue yakin, dia pasti sengaja sok jual mahal buat mempersulit rencana gue. Argh! Siapa, sih, orang bego yang nggak mau ambil kesempatan emas buat jadi siswa berprestasi? Nggak tertarik dia bilang? Cih, jangan bercanda!"

"Ya, kali aja ... Alfa bukan sosok yang—"

"Bukan sosok yang gimana? Lo nggak usah cari alasan buat memaklumi perilaku dia, deh! Nggak mungkin dia bisa nggak tertarik, Namira! Setiap yang memiliki kemampuan lebih, pasti selalu punya ambisi untuk dikejar!"

Mendengarnya, Namira termenung. Oke, Karin buktinya. Namira paham betul tabiat Karin seperti apa. Walaupun otak mereka berbeda level, Namira bisa merasakan kebenaran dari apa yang dikatakan oleh Karin. Sekiranya, andai Namira cerdas pula, ia tidak akan menyia-nyiakan anugerah tersebut begitu saja.

"Lo tau nggak, sih, Nam? Apa yang paling bikin gue kesal?"

Namira menggeleng. "Apa, Rin?"

"Alfa, tuh, punya semua yang gue butuhin. Dan brengseknya, dia bersikap seolah-olah semua itu nggak ada yang penting."

"Maksud lo?"

Melepas kacamata bulatnya, Karin mencebikkan bibir tak bersemangat. "Bayangin, deh, Nam. Semisal, lo punya keinginan buat tinggal di sebuah rumah yang mewah ... banget. Tapi, dengan kondisi lo yang sekarang, lo tau, lo cuma bisa hidup pas-pasan di sebuah gubug yang sederhana. Di sisi lain, lo punya tetangga yang tajir parah dan punya istana super megah mirip banget kayak apa yang lo mimpiin. Anehnya, tetangga lo, tuh, malah biarin istananya kosong berdebu gitu. Nggak ditempati sama sekali. Kesal nggak, sih, lo lihatnya? Tau begitu, dari awal nggak usah bangun istana aja sekalian."

Namira menganggukkan kepalanya. Ia paham maksud dari ucapan Karin. Secara tidak langsung, temannya itu sedang melontarkan ungkapan metafora mengenai kecemburuannya terhadap otak Alfa. Sudah jadi yang paling pintar, namun tidak pernah dimaksimalkan secara sempurna. Karin yang notabenenya mempunyai ambisi tinggi untuk mengejar tangga prestasi tentu merasa terganggu dengan perilaku pasifnya Alfa.

"Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, suka-suka dia nggak, sih, Rin, mau apain istananya? Yang pilih buat bangun propertinya dia, 'kan? Yang punya duit juga dia. Kalau rugi, ya, yang rugi dia sendiri. Kenapa lo yang repot?"

"Loh, lo, kok, malah menyalahkan gue, sih? Maksud lo, gue terlalu mencampuri urusan orang lain begitu?" sergah Karin tidak terima. Seharusnya, di saat seperti ini Namira mendukung semua opini Karin, bukan sebaliknya.

"Gue nggak menyalahkan lo, Rin. Poin ucapan gue, buat apa kita mengomentari hidup orang lain yang nggak ada sangkut pautnya sama kita?"

Mendengarnya, mulut Karin menganga. "Nggak ada sangkut pautnya gimana? Kalau ada orang yang setiap kali lo ketemu dia selalu bikin lo jengkel, apa lo bisa bersikap baik-baik aja?"

"Ya, selagi dia nggak merugikan buat gue, gue nggak—"

"Masalahnya, Alfa itu merugikan banget bagi gue, Namira! Merugikan banget, banget, dan banget!" seru Karin geram sendiri. Barisan giginya menekan rapi menyalurkan emosi. Namira yang mendapati hal tersebut langsung mengurungkan niatnya untuk bicara. "Gue harus bilang berapa kali, sih, kalau kehadiran Alfa sangat mengganggu di kehidupan gue? Dia itu kelewat serakah! Semua yang dulu gue punya udah diambil semua sama dia! Setidaknya, kalau dia nggak niat ada di puncak rantai makanan, dia bisa, 'kan? Bantu gue yang jelas-jelas lebih butuh posisi itu ketimbang dia?!"

Oke, ini salah Namira. Ia lupa andai Karin tengah menyalurkan amarah, Namira dilarang untuk menanggapinya menggunakan ucapan yang bertolak belakang dengan maksud Karin. Meski begitu, di sisi lain terkadang Namira juga tidak bisa menahan untuk berpendapat bahwa Karin mungkin terlalu berlebihan dalam menanggapinya.

Alfa telah mengambil semua yang Karin punya? Namira pikir, untuk permasalahan yang satu ini, Karin kurang bersyukur. Memang apa salahnya, sih, menempati juara kedua? Namira yang berhasil memasuki urutan lima puluh besar saja senangnya sudah minta ampun. Jatuhnya kalau begini, bukannya Karin tidak beda jauh dengan sosok tetangga yang menelantarkan istana mewahnya karena dianggap 'kurang bagus'? Sedangkan Namira adalah tetangga lain yang bisanya hanya geleng kepala mendengar pemilik bangunan berkomentar buruk mengenai istananya yang didambakan banyak orang.

Oke, Namira bisa memahami perasaan Karin sekarang.

"Sorry, gue nggak akan kontradiktif lagi. Tapi, kalau boleh tau, Alfa kenapa tiba-tiba jadi galak begitu ke lo, Rin? Interaksi lo berdua biasanya, 'kan, nggak lebih dari sebatas saling lirik atau sarkas satu sama lain?"

"Tiba-tiba?!" Bola mata Karin membulat lebar. Khusus sore ini, sepertinya toleransi Karin sedang tinggi untuk bersikap dramatis. "Lo nggak lihat? Seberapa brengseknya Alfa sengaja tendang bola kaki ke gue pas di lapangan kemarin?"

Namira memiringkan pandangan. Ia menggaruk pelipisnya tidak mengerti juga tentang konflik yang dimiliki oleh mereka berdua. Yang Namira pahami dari cerita Karin, Alfa dari awal sudah membencinya tanpa sebab. Namun, hal tersebut terlalu aneh untuk diterima.

Masalahnya, pertengkaran tidak akan terbentuk andai tidak ada yang memulai. Setahu Namira, Alfa bukanlah sosok lelaki yang senang mencari perkara, hanya kepada Karin saja ia berbeda. Terbukti dari kejadian kemarin, semua yang dikeluhkan Karin mengenai sisi buruknya Alfa jelas semakin kentara. Pasti ada penyebabnya, entah Karin yang memulai dahulu atau sebaliknya.

"Gue juga nggak paham otak dia salah pasang apa gimana. Lo kenal gue, 'kan, Nam? Dari dulu, apa pernah gue cari masalah sama orang? Cuma ke Alfa doang gue begini. Dia, tuh, tiba-tiba—"

"Eh, Rin, Nam. Lo lihat Rania nggak di mana?" Mendadak dari arah belakang, Zaki yang tengah menentang tas punggungnya sembari celingak-celinguk, menginterupsi percakapan Karin dan Namira. Laki-laki itu datang menyambangi, tampak kebingungan mencari sang pujaan hati, persis layaknya tipikal remaja bucin masa kini.

"Rania tadi pergi beli minuman, Zak. Kelamaan, sih, lo datangnya," ujar Namira menimpali. Dalam hati, ia sedikit bersorak ria karena Zaki telah menyelamatkannya dari keluhan Karin.

"Sorry, gua diminta Pak Fian buat ajarin anak baru yang masuk klub taekwondo soalnya," balas Zaki menjelaskan, sebelah tangannya terangkat menggaruk tengkuk. "Gua ikut nimbrung di sini boleh, ya?"

"Boleh banget! Sini, sini!" Berkesan antusias, Namira pun segera menggeser tubuhnya untuk menyisakan ruang kosong di tengah agar Zaki dapat duduk. Tak sadar saja sejurus kemudian, senyumnya berubah menjadi canggung lantaran Karin dengan sigap menghunusnya lewat tatapan sinis yang seolah-olah mengatakan, 'Namira! Dasar lo pengkhianat! Lo sengaja, ya, mau menghindar dari gue? Awas, ya, lo!'.

"Kalian lagi bahas apa, nih? Seru banget kayaknya?"

"Seru?" batin Namira berujar. Menyeramkan, iya. "Bukan apa-apa, kok, Zak. Karin tadi lagi cerita tentang—"

"Eh, Zak, bilangin, ya, ke teman lo yang sok jago itu! Nggak usah belagu, deh, di depan gue! Baru segitu aja gayanya udah selangit! Kalau di dunia ini ada yang jual cobek seukuran manusia, mau gue bikin sambel tau nggak itu anak?!" Tanpa diminta ataupun memberi peringatan sebelumnya, Karin langsung menyembur mengalihkan intonasi dari suara Namira yang berniat ingin memperhalus topik pembicaraan.

Zaki yang serta merta dihardik tanpa tahu apa-apa, lantas menggerakkan bola matanya ingin bertanya kepada Namira lewat bahasa tubuh. Namun, Namira memilih untuk tidak menjawabnya selain menundukkan kepala merasa lelah. Sebelah tangannya pun menepuk bahu Zaki sebanyak dua kali pengulangan. Tubuh Zaki tiba-tiba jadi merinding. Gestur non-verbal mereka ajaibnya berhasil berkomunikasi satu sama lain.

"Nah, mampus lo, Zak, singa betinanya ngamuk lagi. Sekarang giliran lo, ya, yang jadi pawangnya? Gue tarik napas dulu." Kira-kira itu yang sedang Namira sampaikan.

"Ehm ... sebentar, maksud lo teman gua yang mana, nih, Rin? Gua nggak—"

"Ya, menurut lo siapa lagi? Lo nggak usah pura-pura nggak tau, deh, Zak! Jangan bikin gue makin bad mood, ya?!"

Oke, sekarang Zaki kelabakan. Memegang status pacar kebangaan dari si cantik Karenina Rania Putri membuat Zaki secara tidak langsung turut berteman dengan Karin dan Namira. Sejak awal masuk SMA Bina Bangsa, mereka bertiga itu sudah satu paket. Dahulu, sebelum mereka berpacaran, Rania meminta Zaki untuk mengakrabkan diri terlebih dahulu terhadap dua sohib dekatnya sebagai bentuk persetujuan terakhir andai mau diterima. Zaki tentu menuruti.

Mengenal seorang Namira yang baik hati, namun sedikit lugu sebetulnya menambah keuntungan tersendiri bagi Zaki. Misalnya, jika Rania sedang terjebak di dalam fase 'Semua cowok sama aja!', Zaki pasti akan lari ke Namira untuk meminta penjelasan. Zaki pikir, mungkin Rania meminta hal tersebut karena sebetulnya ia telah mempertimbangkan bahwa Namira akan menjadi teman yang sangat suportif menjembatani hubungan mereka.

Tidak tahu dengan Karin. Setiap kali Zaki meminta pendapat, perempuan itu hanya akan menjawabnya dengan kalimat 'Mana gue tau? Tanya sendirilah ke Ranianya!' atau 'Cowoknya Rania itu lo apa gue, sih? Lo bikin gue bingung!' atau sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, Karin menyela dan mengganti topik pembicaraan baru tentang perdebatan serunya dengan Alfa, seperti saat ini.

"Ada apa sama Alfa, Rin? Dia ganggu lo lagi?" tanya Zaki terdengar jenuh. Sejujurnya, Zaki tidak terlalu mengerti mengapa sobatnya itu senang sekali mencari gara-gara dengan Karin. Kenapa di setiap waktu, selalu ada yang diributkan oleh mereka berdua? Padahal baru tadi pagi mereka bertengkar, sekarang sudah memulai babak baru kembali.

"Coba, deh, lo yang ajak dia ngobrol. Gue nggak paham bahasa teman lo. Udah secara baik gue tawarin dia buat ikut lomba. Eh, dia malah bentak gue."

Seraya menganggukkan kepalanya, Zaki mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan oleh Karin. "Oh, jadi penyebab utamanya karena lo habis tawarin Alfa buat ikut lomba?" tanya Zaki mengonfirmasi. Alis laki-laki itu sedikit mengerut, merasa ada yang janggal, namun masih belum menemukan masalahnya apa.

"Nggak jelas banget, 'kan? Kenapa coba dia harus marah ke gue, padahal niat gue ba—"

"Sebentar, Rin. Lo habis tawarin Alfa buat ikut apa tadi? Lomba?" Sontak, setelah menemukan apa yang salah, Zaki mendadak mencondongkan tubuhnya ke arah depan. Nada bicaranya yang santai berubah menyeru. Rautnya pun ikut terkejut. "Maksudnya, Alfa barusan habis ditawarin buat ikut lomba sama lo?!" 

Karin yang berada persis di sebelah Zaki, spontan langsung memundurkan kepalanya berlawanan. Dalam jarak yang minim itu, dua pasang bola mata mereka sama-sama membulat lebar. Karin menjaga batas privasinya di hadapan laki-laki, sedangkan Zaki frustasi sendiri mengusap permukaan wajahnya meratapi.

"Iy—iya, lo kenapa, sih? Kok, heboh banget?"

"Astaga, Karin! Lo gila, ya?! Mana bisa lo ajak Alfa buat ikut lomba?!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top