04. Penawaran
Sumpah, sepanjang hidupnya menjalani peran sebagai remaja, Karin tidak pernah sekesal ini kepada seseorang. Laki-laki yang bernama Keith Farez Alfansa itu sebenarnya punya masalah apa, sih? Kenapa dari sekian banyaknya siswa yang ada di SMA Bina Bangsa, Karin harus terlibat pertikaian sengit dengannya?
"Argh! Dasar cowok gila!"
Semenjak awal kedatangannya menjadi siswi yang terbilang baru, Karin selalu berusaha untuk mengadopsi perilaku luhur sebagai junior. Mau itu kepada guru, teman sebaya, ataupun kakak kelas, Karin tidak pernah sekali pun bersikap berlebihan. Namun, ketika berhadapan dengan Alfa, Karin wajib membalasnya cukup serupa.
Jika ada yang tanya mengapa? Ini semua karena Alfa yang memulainya terlebih dahulu! Pada permulaan pertemuan mereka, Alfa tidak meninggalkan kesan yang berbekas baik terhadap Karin. Saat itu, sebagai pelajar kelas sepuluh yang pertama kalinya menyaksikan monitor keramat Bina Bangsa, Karin baru paham seperti apa rasanya jadi juara kedua. Selama duduk di bangku sekolah dasar dan menengah pertama, tidak ada sejarahnya Karin pernah dikalahkan oleh seseorang.
Sebagai hasilnya, Karin merasa tertantang. Nahas, sesaat Karin menemukan sosok rivalnya yang berhasil memutus gelar tak terkalahkan tersebut, pembicaraan mereka tidak berlangsung menyenangkan. Sebabnya? Alfa tidak menyambut presensi Karin dengan baik, padahal Karin hanya ingin menjaga persaingan yang terjalin terlihat sehat tanpa permusuhan.
Salahnya di mana? Karin juga tidak tahu. Alfa itu cowok sensitif yang tidak bisa dimengerti! Sebelum Alfa secara terang-terangan mulai menjatuhkan harga dirinya, Karin bahkan sudah terlebih dahulu menjaga sikap kepada Alfa demi membangun reputasi. Dengan jelas, Karin masih ingat ucapan pujian yang ia berikan terhadap Alfa waktu lalu.
"Hai! Lo, Alfa? Kenalin, gue Karin si peringkat kedua. Selamat, ya, udah jadi juara pertama? Orang tua lo pasti bangga banget punya anak kayak lo. Lo hebat! Mulai sekarang, kita saingan, ya? Semester depan, gue bakal berusaha lebih keras buat rebut posisi lo itu. Nyokap pasti bakal senang kalau gue berhasil memperoleh nilai ujian terbaik di Bina Bangsa. So, fair fight?"
Koreksi jika memang kurang sopan. Karin berani jamin sebanyak seratus dikali sejuta persen, kalimatnya itu tidak ada yang keliru. Sebaliknya, Alfa malah membalas ucapan Karin lewat ungkapan tegas berisyarat memperingati.
"Cih, cari perhatian banget? Jangan harap lo pernah kalahin gua 'si peringkat kedua'. Ingat itu baik-baik!"
Karin mengepalkan kedua tangannya erat. Tampang songong Alfa beserta nada bicaranya yang terdengar hina membuat kekesalan Karin semakin menumpuk berkali lipat. Maksudnya apa, sih, bicara begitu? Baginya, Karin bukanlah lawan yang sepadan? Atau perkataannya tersebut mengandung makna terselubung bahwa Alfa memiliki kekuasaan untuk mengatur susunan peringkat di Bina Bangsa?
"Dia itu anak orang kaya, 'kan?"
Semacam akses gelap? Bisa saja, bukan? Dalam daftar siswa-siswi yang kedua orang tuanya masuk ke dalam jajaran dewan sekolah, keluarga Alfa merupakan salah satu yang paling dipandang tinggi. Selain karena rajin menyumbang donasi demi kepentingan sarana prasarana pembelajaran, Alfa juga tenar lantaran kesempurnaan—palsu—nya yang berlabel tampan, royal, pintar, dan baik hati—bagi siapa pun kecuali Karin.
Namun, selama keluarga Wijaya turut andil—pula—menjadi anggota dewan yang senang membantu, Karin tidak pernah mendengar ada berita penyalahgunaan wewenang.
"Huh, gue mikir apa, sih?" Karin menggelengkan kepala. Lantaran kelewat kesal dengan Alfa, ia jadi berpikiran yang tidak penting.
Rasanya, seluruh target pencapaian Karin selalu tersumbat oleh kata-kata Alfa yang sampai sekarang belum bisa ia bantah. Betapa inginnya Karin meruntuhkan sikap angkuh milik Alfa!
"Loh, Karin?" Tiba-tiba dari arah depan, seorang wanita berseragam motif batik marun tengah menoleh sambil menekuk ekspresinya. Ia bertanya, "Kamu kenapa? Kok, kusut begitu?"
"Eh, Bu Zahra! Nggak apa-apa, kok, Bu. Karin memang suka begini kalau sedang melamun," jawab Karin seutuhnya berbohong, padahal semua ini karena ulah Keith Farez Alfansa yang super menyebalkan!
"Oh, begitu? Jangan sering melamun, ah. Nggak baik."
"Hehe, iya, Bu. Bu Zahra mau pulang?"
Wanita berkepala empat itu tersenyum singkat kepada muridnya. Ia menjulurkan sebelah lengan ke belakang punggung Karin. "Tadinya, tapi setelah lihat kamu, Ibu pengin bicara sebentar."
"Loh? Perihal apa, Bu?" Karin bergumam. Ia berjalan pelan di sebelah guru tersebut.
"Ikut ke ruang Ibu dulu, ya? Ibu punya berita bagus yang pastinya bisa bikin kamu senang."
Jika dilihat dari paras ataupun penampilannya yang tampak sehari-hari, Karin itu sebenarnya cukup menarik untuk diamati. Seperti kata Namira sebelumnya—andai mau, Karin sebetulnya sangatlah mampu masuk ke jajaran siswi populer. Sejak dahulu, para laki-laki di Bina Bangsa suka mencuri pandang ketika Karin berjalan. Perempuan pintar berkacamata bulat kadang kala bisa terlihat manis di mata mereka.
Sayangnya, Karin tidak seperti yang mereka bayangkan. Ketika didekati, Karin selalu menjadi sosok yang tajam mulut andai mendengar seribu gombalan maut dari kumpulan kaum adam. Karin itu remaja yang cerdas, dengan otaknya yang cemerlang, ia tidak segan membalas rayuan mereka menggunakan kalimat pedas untuk menolak mentah-mentah.
Sekolah saja belum becus, gaya sekali bermain cinta?
Daripada sibuk mengisi istana putih abu-abunya dengan banyak kumpulan hati, lebih baik Karin memenuhinya oleh tumpukan piala bergelar prestasi. Itu sebabnya, dibandingkan membaur bersama teman sebaya, Karin lebih dekat terhadap guru yang senang dalam membina.
"Sini masuk. Ibu kangen banget, loh, ngobrol berdua sama kamu."
Karin tersenyum tipis. Walau Bu Zahra menyandang status sebagai kepala sekolah di Bina Bangsa, Karin dapat mengajaknya bicara tanpa harus merasa segan. "Ah, Ibu, kayak yang nggak pernah ketemu aja. Karin juga kangen, sih."
"Kamu ini. Ayo, duduk," balas Bu Zahra tak kalah ramahnya.
Biasa, bagi pelajar pintar seperti Karin yang hobinya langganan menyumbang piala bergengsi, tidaklah susah untuk merebut hati seorang guru.
"Ada apa, Bu? Tumben banget sore begini ajak Karin ke ruang Ibu?"
Di atas kursi singgahnya yang berbantalan empuk, Bu Zahra mengeluarkan setumpuk berkas dari dalam laci meja kerjanya. "Sebentar, ya. Ibu, tuh, pengin kamu baca ini."
Mendapati selembar kertas yang berhasil dipilah dari simpanan map milik Bu Zahra, bola mata Karin memicing. "Ini ... apa, Bu?"
"Jangan kasih tau siapa-siapa dulu, ya? Ibu baru perlihatkan ini ke kamu saja."
Proposal Perlombaan Cerdas Cermat
"Ekspose Ilmu Pengetahuan Pelajar Berprestasi"
(EKSEMPELAR)
"Bocoran informasi ini didapat dari rekan sejawat Ibu yang menjabat sebagai anggota komite pendidikan nasional."
"Lomba cerdas cermat?"
Bu Zahra mengangguk. "Bersama Menteri Pendidikan, mereka sedang merancang perlombaan baru untuk diselenggarakan sekitar 1 bulan ke depan."
"Apa, Bu? Menteri Pendidikan ikut turun tangan?" Karin terbelalak.
"Nggak sepenuhnya, sih, Rin. Cuma, ide awalnya memang dari beliau."
"Wah!" Mulut Karin terbuka lebar. Jika sudah begini, Karin berani jamin perlombaan tersebut pastinya berskala besar. Dapat hadiah apa, ya, kira-kira andai jadi juara?
"Tuh, 'kan? Muka kamu langsung semringah begitu," ucap Bu Zahra menarik kembali proposal tersebut. Muridnya yang bernama Karin memang murni senang berkompetisi.
"Ehm, kenapa Ibu tunjukkin kertasnya sama saya, Bu?" Karin bertanya pura-pura tidak mengerti. Ya, sudah jelas, bukan? Gurunya tersebut mau apa?
"Berhubung surat pengajuannya sudah hampir disetujui, Ibu mau kamu bersiap-siap."
"Maksud, Ibu?" Karin membenahi letak kacamatanya. Iya, iya, Karin paham, kok. Percepat saja kalau bisa.
Menjengitkan kedua alis antusias, Bu Zahra akhirnya menjawab, "Ibu mau kamu jadi ketua tim dalam lomba cerdas cermat ini, Karin."
"Ah, yang benar, Bu?" Sudah paham sekarang? Reputasi Karin di mata guru SMA Bina Bangsa setinggi apa? "Ini perlombaan besar, loh, Bu! Karin merasa belum pantas."
"Karin...." Bu Zahra pun memajukan tubuhnya melirik ke arah lemari kaca yang berisi jajaran piala bertaraf nasional. Beberapa di antaranya, terpampang nama jelas Karin. "Buktinya sudah sebanyak ini dan kamu masih merasa belum pantas? Kamu harus percaya diri, Karin. Ibu yakin sama kamu."
Mendengarnya, tentu Karin tersipu malu. Sederhana ada yang mengakui kemampuan otaknya, Karin bisa jadi kelewat senang. "Baik kalau begitu. Karin akan berusaha, Bu."
"Nah, begitu, dong. Masa, iya, kamu mau tolak penawaran eksklusif dari Ibu?" Bu Zahra tersenyum tipis. Ia melipat tangannya di atas meja.
"Mengenai timnya sendiri, apa telah ditentukan, Bu?"
Bu Zahra mengangguk pasti. Pilihannya tidak perlu diragukan kembali. "Ibu sudah mencari rekan yang pas untuk bertanding bersama kamu. Meskipun EKSEMPELAR merupakan kejuaraan baru yang khusus diadakan tahun ini, persyaratannya tidak jauh berbeda dengan perlombaan cerdas cermat pada umumnya. Hanya saja, mata pelajaran yang diujikan adalah gabungan dari pengetahuan IPA dan IPS."
"Gabungan IPA dan IPS?" tanya Karin menjengitkan alis.
"Iya, satu kelompok berjumlah tiga anggota yang masing-masing perlu membangun kerja sama untuk membagi materi yang tercakup."
"Memang apa saja yang diujikan, Bu?"
"Nanti, kamu bisa lihat sendiri dalam proposal. Saat ini, Ibu ingin membahas masalah pembentukan tim dengan kamu."
Karin termenung, sepertinya berat, tetapi ia tidak mungkin membuangnya mentah-mentah. "Baik, Ibu mau saya bagaimana?"
Mendapati beberapa tumpukkan kertas yang terkait sebuah klip, Karin menempatkan fokusnya pada barisan ranking kelas IPS yang disuguhkan oleh Bu Zahra. Pada lembar pertamanya, nama seorang siswi yang menduduki peringkat dua puluh besar terlihat dilingkari pulasan pena sorot berwarna merah.
"Yang pertama namanya Luna. Walau bukan juara satu paralelnya IPS, nilai hafalan dia selalu yang paling tinggi di setiap semesternya."
Bola mata Karin mengikuti gerak jari telunjuk Bu Zahra. Di atas meja, deretan data nilai sudah berjejer dari kelas sepuluh sampai dengan sekarang. Tampaknya, pertimbangan Bu Zahra sudah sangat matang.
"Sayang, akumulasi poin dia kalah di bagian perhitungan wajib. Meski begitu, bersama kalian berdua, kelemahan Luna pasti akan tertutupi."
Dahi Karin mengernyit. Kalian? Mungkin maksud Bu Zahra merujuk ke satu anggota lagi yang belum diketahui. "Memangnya, Luna mau diajak lomba, Bu? Karin nggak pernah lihat nama dia masuk tabel pelajar berprestasi?"
"Kamu nggak perlu khawatir sama Luna, dia itu anak yang baik. Selagi kegiatannya bersifat positif, Ibu yakin Luna setuju untuk berpartisipasi. Sebaliknya, Ibu mau kamu bujuk si aset yang belum tersentuh ini."
Timbunan HVS lain yang menggesar susunan ranking IPS tiba-tiba mengakibatkan kedua mata Karin terbelalak lebar. Tangannya yang berada di bawah meja seketika langsung mengepal erat saat membaca nama yang tertera di depannya tersebut.
"Kamu tentu sudah kenal Alfa. Kalian berteman baik, 'kan?" ujar Bu Zahra sembari merapikan mejanya yang berserakan barang-barang. "Dulu sewaktu masih sekolah, teman-teman Ibu juga sekalangan semua dengan yang pintar."
Karin menyengir ringkas menanggapinya. Iya, dirinya dan Alfa memiliki hubungan pertemanan yang baik sekali. Baik dalam urusan membenci!
"Sejujurnya, Ibu kelewat bingung kenapa Alfa selalu menolak jika ditawari ikut lomba, padahal Ibu yakin Alfa tidak jauh berbeda sama kamu. Kalian berdua merupakan pelajar terpintar di angkatan tahun ini. Maka dari itu, barangkali jika bicara dengan orang yang setipe, kamu dapat membuat Alfa berubah pikiran."
Diam, merapal beragam jenis kalimat penyalak dalam hati, Karin tidak sabar ingin segera pergi. Sumpah, jika dari awal Karin tahu bahwa rencana ini akan melibatkan Alfa di dalamnya, Karin tidak mungkin mau menyetujui. Melihatnya barang satu detik saja Karin sudah malas, apalagi menjadi rekan satu kelompok?
"Sebagai tugas awal selaku ketua, Ibu berharap kamu dapat menarik minat Alfa dan Luna untuk bergabung ke dalam tim. Saran Ibu mengenai Luna, kamu hanya perlu menjelaskan seluruh persyaratan dan informasi perlombaan saja selengkap yang kamu bisa. Jangan lupa beri tahu keuntungan yang didapat juga andai menjadi juara. Luna pandai menilai mana yang baik dan buruk bagi dirinya sendiri."
Luna, ya? Agaknya membujuk perempuan itu terdengar mudah. Meski belum kenal, Karin rasa Luna bisa diajak bekerja sama. Lain lagi dengan laki-laki satunya yang terkenal angkuh di mata Karin.
"Perihal Alfa, Ibu tidak bisa memberikan bocoran apa-apa. Yang Ibu pahami ketika berinteraksi, Alfa itu anaknya lugas dan cerdas, pembawaannya juga bagus. Sepengetahuan Ibu mendengar pendapat teman-temannya, sih, Alfa merupakan sosok yang royal dan menyenangkan. Jadi, kurang lebihnya, semua Ibu serahkan kepada kamu, ya?"
Segala penilaian yang merujuk bahwa Alfa tervalidasi layaknya siswa teladan benar-benar membuat hati Karin dongkol. Apa, sih, yang istimewa dari Alfa? Kenapa orang-orang begitu buta bahwasanya laki-laki tersebut sangatlah menyebalkan?
Karin memiliki satu juta argumen untuk membalas ucapan Bu Zahra. Harapannya andai diutarakan, Bu Zahra dapat menimbang kembali keputusannya memilih anggota. Namun, sebelum sempat Karin membuka mulut, Bu Zahra menyegel niatnya agar tidak menghancurkan kesempatan emas.
"Kamu tau hadiah utama perlombaan ini apa? Tiga pelajar yang terpilih akan mendapat beasiswa penuh menjalani program studi sarjana di dalam negeri sampai menempuh kelulusan. Rumornya, Menteri Pendidikan menjalin hubungan kerja sama dengan universitas se-Indonesia sehingga melalui rujukan sertifikasi siswa berprestasi yang diberikan, para pemenang akan mendapat jalur undangan khusus menuju fakultas pilihan sesuai rumpun yang tergabung. Gimana?" tanya Bu Zahra usai membaca kalimat yang tertulis dalam proposal EKSEMPELAR. "Kamu tidak perlu mengikuti ujian seleksi perguruan tinggi lagi, Karin. Menarik, bukan?"
Masa bodolah dengan Alfa dan seluruh untaiannya yang mengesalkan. Bu Zahra terlalu pandai menarik hati Karin yang haus akan kejuaraan. Sampai-sampai saking tergugahnya, Karin membuat sebuah janji yang tidak seharusnya ia utarakan.
"Ah, urusan Alfa itu gampang! Pokoknya, Bu Zahra tenang aja. Karin janji bakal bikin Alfa masuk ke dalam tim!" sorak Karin bersemangat.
Tidak tahu saja resiko apa yang akan mendatangi ke depannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top