01. Rival

Seorang siswi berbingkai kacamata bulat tengah berdiri meletakkan tangannya bersedekap di depan dada. Hari ini, merupakan hari yang paling penting bagi dirinya. Jika ada yang tanya mengapa? Itu semua terjadi karena semua ambisinya dapat terwujud menjadi nyata melalui urutan ranking yang akan ditampilkan beberapa saat kemudian.

Kebanyakan dari siswa maupun siswi yang ikut berkerumun di aula juga sama, hanya beda pengharapan saja. Mungkin, hampir seluruhnya sedang mengkhawatirkan apakah kumpulan poin akumulasinya sejauh ini cukup untuk menyelamatkan diri dari seramnya amukan orang tua.

Maksudnya, remaja mana yang tidak sebal jika harus dimarahi sepanjang hari karena dinilai tidak cukup mampu untuk bersaing di sekolah? Pasti ujung-ujungnya akan dikenai hukuman. Entah itu harus mengikuti bimbingan belalar tambahan, pemotongan uang saku, penyitaan barang-barang, ataupun—yang paling menyebalkannya, ya—dibandingkan dengan anak tetangga.

Apa pun itu, singkatnya hari ini merupakan petaka bagi keseluruhan populasi siswa dan siswi. Semua hanya karena yang biasa mereka sebut sebagai monitor keramat Bina Bangsa.

"Ck, berisik banget, sih, orang-orang?"

Pertanyaan tersebut sontak mengagetkan Namira yang bahkan sudah keringat dingin sendiri menghitung waktu. Dasar orang pintar! Berempati sedikit bisa tidak, sih? "Ya, gimana nggak berisik, Rin? Hari ini orang-orang, tuh, pada di ujung tanduk semua! Gue misalnya, bisa-bisa ATM gue lenyap disita Nyokap kalau gue nggak masuk paralel lima puluh besar!"

"Gue juga." Salah satu temannya yang berdiri terlihat resah ikut menanggapi. "Gue udah janji sama cowok gue kalau semester ini bakal dapat rata-rata nilai di atas 86. Duh, kalau gagal dia kecewa nggak, ya?"

Karin memutar bola matanya malas. Ia tidak mengerti dengan motivasi belajar kedua teman dekatnya tersebut. Yang satu berusaha mempertahankan uang bulanan, sedang satunya lagi karena permintaan pacar.

"Ya, udah, pede aja kenapa, sih?" jawab Karin walau sebenarnya tidak terlalu bersimpati. "Lo berdua udah pelajarin apa yang kemarin gue suruh baca, 'kan?"

Namira dan Rania mengangguk pasi. Rautnya bersungut-sungut.

"Trust me, kalau lo berdua berhasil ikutin, targetnya pasti tercapai, kok."

"Tapi, Rin, gue tetap nggak bisa langsung—"

"Eh, itu! Peringkatnya udah muncul!"

Sontak, seluruh pasang mata yang ada langsung menghadap ke atas memperhatikan papan LED yang saat ini sedang menyala. Di pertengahan aula utama, semua berimpitan untuk mencari ruang agar dapat melihat.

Tidak seperti SMA lainnya, mayoritas pelajar Bina Bangsa memang memiliki integrasi yang cukup tinggi mengenai nilai. Mau itu sebab kompetisi, pencapaian status sosial, dan tentunya alasan pribadi, semua berlomba-lomba untuk mengusahakan yang terbaik.

Bersekolah dalam instansi elite pastinya tidak mudah untuk beradaptasi. Dikelilingi oleh banyak siswa-siswi berpotensi tinggi, kadang kala memberikan tekanan lebih agar mampu berprestasi. Andai tidak bisa bersaing, ya, taruhannya harga diri. Siapa,sih, yang mau tertinggal sendiri?

Urutan ranking pun mulai ditunjukkan satu per satu. Semula dari angka ratusan, terus menipis hingga akhirnya menyentuh nominal puluhan. Beberapa individu yang berada dalam kerumunan tampak gusar mentupi wajahnya. Sebagian mulai memberengut karena mungkin apa yang dicapai tidak sesuai dengan harapan.

"Astaga, nilai gue! Selama ini gue belajar semalaman buat apa?!"

"Mampus! Nyokap gua bisa marah seharian kalau begini caranya."

"Siap-siap ditampar pakai sendal karet! Bengkak, bengkak dah ini pantat."

"Gimana, dong? Malu banget mau nangis."

"Yang sabar, ya?"

"Nggak usah dipikirin banget, yang ada malah tambah sedih nanti."

"Cabut, yuk? Nggak mood gue di sini."

"Nyerah, gua nyerah!"

Tingkat ketegangan lantas kian memuncak. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai pergi meninggalkan keramaian, mengikis jumlah yang ada hingga pada akhirnya menyisakan puluhan siswa-siswi yang memperoleh nilai berkatogeri cukup baik.

"Aaaaa! Rata-rata ujian gue 88! Ini, sih, lebih dari apa yang gue janjiin!"

"Ya, Tuhan, gua masuk paralel 40 besar, Ra! Mimpi apa kita semalam?"

"Demi apa, sih, kita berhasil? Nam, peluk gue sini!"

Namira dan Rania pun berjingkrak kegirangan akibat berhasil mencapai—bahkan melebihi—target yang telah ditentukan. Sembari menari di tengah perkumpulan yang sama mengutarakan kebahagiaannya, mereka salah jika mengira bahwa ini adalah akhir dari segala.

Pada kerumunan yang tersisa sedikit itu, Karin masih mendongak mendapati perangkat LED yang terus menyala. Namira dan Rania berhenti berloncatan. Mereka paham betul apa yang sedang ditunggu oleh temannya yang kelewat pintar tersebut.

Berbeda dengan Namira dan Rania yang memiliki alasan sederhana untuk melihat urutan peringkat, Karin mempunyai maksud lebih untuk diam mengamati. Gadis berkacamata itu punya satu ambisi. Satu saja yang sedari dulu ingin ia raih, namun anehnya tidak pernah berhasil.

Namira dan Rania yang ikut merasakan kegelisahan lantas memegang masing-masing tangan Karin. Papan LED itu mulai masuk menunjukkan ranking dua puluh besar. Mereka meneguk ludah. Penantian Karin selama lebih dari 1 tahun membuat jantung mereka jadi turut serta berdebar kencang.

"Percaya, pasti lo yang paling atas, Rin. Semester ini, lo udah berjuang keras banget," ucap Namira memberi ketenangan.

"Gue yakin, nama lo yang bakal muncul, kok. Lo aja berhasil bikin target kita berdua tercapai. Masa punya lo sendiri nggak?" timpal Rania menanggapi.

"Lama banget, sih, ini?"

"Sabar, Rin." Namira membalas. Laju alat elektronik itu memang sengaja diatur semakin lambat ketika mendekati peringkat terkecil.

Sesungguhnya, Karin tidak menghiraukan dengan jajaran lain yang ditampilkan. Yang ia pedulikan hanya satu, yaitu siapa yang jadi juara pertama dan siapa yang jadi juara kedua. Kenapa? Karena Karin sangat percaya diri namanya hanya akan muncul pada kisaran itu.

"Jantung gue. Pegang, deh." Perlahan, Rania mengangkat sebelah tangan Namira untuk menyentuh bagian dadanya sendiri. Seharusnya, saat ini ia sudah lega. Namun, apa yang tertanam di sana malah berlaku sebaliknya.

"Iya, ih, gue juga. Yang pengin menang siapa, yang deg-degan siapa."

"Ssst! Berisik," desis Karin merasa terganggu. "Mau masuk sepuluh besar, nih!"

"Sorry," jawab Namira dan Rania berbarengan. Pada akhirnya, mereka memilih diam.

Detik berlalu, papan LED itu kemudian memunculkan deretan murid berprestasi yang berhasil menduduki peringkat teratas. Nama-nama pelajar yang menempati ranking tiga sampai dengan sepuluh, saling bertukar posisi di setiap semesternya.

Kompetisi di lingkaran itu berjalan dengan wajar, kecuali dua urutan terakhir yang tersisa. Sepasang siswa dan siswi yang berada di sana tidak pernah sekali pun meninggalkan kursi singgahnya.

Huruf digital berwarna merah tersebut lantas berhenti untuk menunjukkan selisih peringkat terakhir. Layar LED itu berubah menjadi hitam sepenuhnya, menghapus data yang sebelumnya telah disisipkan untuk kemudian khusus mencetak nama dengan gaya tulisan besar demi juara satu dan dua.

"Rin, deg-degan banget sumpah!"

"Gue nggak tau! Gue nggak mau lihat!"

Namira dan Rania sama-sama mengalihkan pandangan, sedangkan Karin tetap mendongak berharap ia dapat memutus rantai kutukan yang ada. Seraya memegang erat jemari kedua temannya tersebut, Karin membelalakkan mata.

Ucapan selamat tertera pada bagian atas papan LED yang tergantung di pertengahan aula, diikuti oleh dua nama terakhir yang tetap mempertahankan tradisi untuk tidak saling bertukar posisi.

Peraih Nilai Tertinggi:

1. Keith Farez Alfansa

2. Karina Garda Kusuma

"Argh!" Gigi Karin saling bergemelutuk kencang membaca peringkat yang tampil di depan sana. Geram karena berulang kali ia selalu gagal menjatuhkan barisan.

Namira dan Rania yang pada akhirnya berani membuka mata, turut kecewa dengan hasil yang didapatkan. Mereka memilih diam karena takut menyinggung Karin. Temannya itu sangat sensitif perihal peringkat dan nilai, tidak tahu persis alasannya apa.

Membalikkan tubuh ke arah belakang, Karin lantas mendapati sang juara pertama tengah bersender membelakangi bagian semen yang menjadi pembatas antara lapangan depan dan beranda aula. Laki-laki itu tampak santai menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Akibat kerumunan kian menyepi, ruangan terbuka itu menjadi lengang mempertemukan mereka berdua. 

Sepasang rival itu lalu melemparkan pandangannya tanpa segan-segan. Bukan yang terkesan ramah, melainkan memberi kesan sinis seakan silih membenci satu sama lain.

Puas memperoleh peraihannya, Alfa kemudian beranjak pergi sembari memasang iPodnya di masing-masing telinga. Tanpa acuh meninggalkan Karin dengan lagak cueknya, seperti sudah menyangka perempuan tersebut tidak akan mampu melampauinya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top