SATU KERLIP LAGI - 1/5

Oleh: Annisah Tanziela


Bab 1 : Takdir Konyol dan Kejadian Aneh Pertama

***

Mas, nanti kalau sudah sampai, Masnya pura-pura jadi kerabat saya, ya. Sok akrab aja nggak apa-apa.

Rafid melirik ponselnya yang berada di dasbor saat pesan tersebut masuk. Sengaja ponsel itu disangkutkannya menggunakan phone holder agar bisa dengan mudah memperhatikan maps sembari kedua tangannya sibuk memutar kemudi. Setelah meminggirkan mobil dan menarik rem tangan, Rafid mengetikkan pesan balasannya pada seseorang di seberang sana.

Siap. Saya sudah sampai ya. Platnya sesuai sama yang di aplikasi.

Tentu saja Rafid mengiyakan. Dalam posisi ini bahkan tanpa diminta pun ia akan berinisiatif sok kenal sok dekat layaknya bertemu kerabat yang sudah bertahun tidak jumpa. Selama beralih profesi menjadi supir taksi online, Rafid sudah sering menerima pesan serupa ketika mendapatkan penumpang dengan titik jemput bandara. Berita yang sempat menjadi perbincangan tahun 2019 lalu tentang supir taksi online yang dikeroyok supir taksi argo di salah satu bandara Indonesia nampaknya cukup melekat diingatan orang-orang.

Sebenarnya peraturan setiap bandara dalam menangani persoalan taksi online ini berbeda-beda. Bandara Hang Nadim yang berada di Batam malah telah membuat pengumuman secara resmi mengenai kerjasama yang mereka jalin dengan salah satu provider taksi online. Entah bagaimana regulasi jelasnya di bandara-bandara lain, yang pasti salah satu cara yang selalu ampuh digunakan untuk menghindari kerusuhan yang tidak diinginkan terjadi ialah dengan kesepakatan berpura-pura menjadi kerabat antara supir dan penumpang.

Rafid menyandarkan badannya pada sisi mobil sembari mengawasi orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Selain jalan raya utama di tengah kota, ternyata bandara juga menjadi salah satu tempat yang mana kehidupan di dalamnya tidak pernah terasa mati. Maksudnya, selama 24 jam dalam sehari akan selalu ada orang-orang yang berlalu-lalang, entah mereka di sini dengan tujuan mau pergi ataupun pulang.

Seketika Rafid terkekeh kecil. Lucu bagaimana ia baru menyadari fakta itu setelah beralih profesi menjadi supir taksi online. Padahal, profesi lalunya sebagai auditor sebuah perusahaan retail mengharuskannya hinggap di berbeda-beda bandara setiap enam bulan sekali, mengaudit store cabang mereka. Namun sepertinya saat itu ia tidak punya waktu untuk menyadari hal receh semacam "ternyata bandara tengah malam masih seramai ini, ya". Pikirannya sudah cukup penuh.

Laki-laki muda dengan setelan formal setengah lusuh terlihat berjalan menuju Rafid. Dari jauh Rafid sudah dapat menebak kalau sosok itulah yang sedari tadi bertukar pesan dengannya melalui fitur obrolan di aplikasi.

Saya pakai kemeja biru muda dan celana dasar dongker ya, Mas.

Oh iya, koper saya warnanya hitam putih.

Persis sekali.

"Maaf ya, Mas, jadi nunggu gini. Tadi lumayan lama nih ngantri kopernya." Bersamaan dengan senyum ramah, kalimat tersebut menjadi kalimat pertama yang Rafid terima.

Rafid menegakkan badannya yang masih bersandar pada badan mobil, melempar senyum tak kalah ramah. "Santai. Gimana tadi flight-nya? Aman sentosa?" balasnya sembari meraih koper untuk ia pindahkan ke dalam bagasi mobil.

"Alhamdulillah lancar. Walau tadi sempat delay juga sih satu jam karena cuaca. Untungnya setelah itu lancar-lancar aja."

"Alhamdulillah."

Rafid menutup pintu bagasi sampai terdengar bunyi "Brak!" yang cukup keras pertanda telah tertutup rapat. "Koper sudah beres. Langsung cabut aja, nih, kita?"

"Lanjut!"

Sesaat setelah duduk di kursi masing-masing, keduanya kemudian menertawakan akting mereka yang terasa sangat amat natural. Sebenarnya tidak sepenuhnya akting juga. Pada dasarnya memang Rafid tipikal orang yang tidak kaku saat bertemu dengan orang baru. Hanya saja kondisi tadi terasa lebih lucu karena keduanya sudah terlebih dahulu membuat kesepakatan untuk berpura-pura menjadi kerabat demi mengecoh supir taksi argo.

"Tadi itu ceritanya saya pesan pakai aplikasi sebelah, Mas. Eh malah pesanannya dibatalkan terus sama driver. Pas coba download dan pesan di aplikasi yang ini langsung banget, tuh, dapat Mas-nya. Kayaknya udah takdir aja saya ketemu Mas yang baik banget mau bantu angkatin koper. Badan saya kerasa remuk nggak kuat lagi soalnya," cerita si penumpang.

Sisa-sisa tawa Rafid kini berubah menjadi segaris senyum tipis yang lumayan sulit untuk dimaknai. Selipan kata takdir yang digunakan oleh penumpang tersebut menjadi alasannya. "Kebetulan aja itu, mah. Tadi saya baru selesai antar penumpang ke sana juga, Mas. Aplikasi biasanya langsung baca driver dengan lokasi terdekat dengan titik jemput."

Sudah cukup lama sejak Rafid tidak menyukai kata takdir terselip di percakapannya dengan orang-orang, atau saat kata itu sekadar ia dengar sekilas dari narasi film di televisi, atau radio, atau media apa pun yang bisa sampai di indera pendengarannya. Sudah cukup lama sejak Rafid skeptis dengan apa yang namanya takdir dalam kehidupan sehari-harinya.

Masih terbayang jelas di kepala Rafid bagaimana dulu ia percaya saat orang-orang menyebut pertemuannya dengan Halna sebagai takdir. Rafid yang saat itu berumur 24 tahun bertemu Halna pada meeting gabungan perusahaan untuk membahas festival besar di kota mereka. Perusahaan tempat Rafid dan Halna bekerja saat itu sama-sama menjadi sponsor utama. Entah bagaimana cerita jelasnya sampai Rafid dan Halna kemudian menjadi dekat, yang pasti obrolan mereka saat itu terasa nyambung, kepribadian pun seolah saling melengkapi satu sama lain. Akhirnya keduanya memutuskan untuk menikah, mereka dikaruniai dua orang anak dan hidup layaknya pasangan biasa yang hangat namun tetap dibumbui konflik-konflik kecil sebagai pemanis.

Sampai konflik besar datang menyapa rumah tangga mereka. Konflik yang menyebabkan Halna meminta cerai darinya.

"Aku mau kita pisah, Mas. Tolong tanda tangani suratnya."

"Na? Yang serius kamu?" Rafid memandangi surat cerai di atas meja ruang tamu dengan rasa tidak percaya luar biasa. Secara bergantian ia menatap wajah istrinya."Kasih aku penjelasan paling masuk akal yang bisa aku terima, Na. Nggak bisa secara tiba-tiba gini kamu buat keputusan mau cerai. Aku nggak mau."

"Keputusan ini nggak aku buat secara tiba-tiba, Mas. Aku juga melewati perdebatan panjang sama diri aku sendiri sampai akhirnya berani mengambil keputusan seperti ini."

Rafid menyisir rambutnya ke belakang dengan gerakan kasar. Rasa pening tiba-tiba mendera kepalanya. "Ya terus kenapa? Alasannya apa? Aku bahkan nggak tau, loh, kapan kamu mulai ngurus semua surat-menyurat ini, Na."

Dengan suara getir Halna menjawab, "Kamu memang banyak nggak tahunya, Mas. Kamu banyak nggak sadarnya."

Rafid terdiam, berusaha memaknai kata-kata Halna yang terdengar sangat ambigu baginya. Tak lama kemudian dia kembali bersuara, "Apa karena sampai sekarang aku masih belum dapat pekerjaan yang mumpuni kayak dulu?"

Halna bergeming.

Perusahaan tempat Rafid bekerja memang sudah terseok-seok semenjak pandemi Covid-19 menyapa negeri. Pada pertengahan tahun 2020 lalu perusahaan retail tersebut secara resmi mengumumkan kebangkrutannya dan menutup setiap cabang mereka di kota-kota di Indonesia tanpa sisa. Semua pegawai baik yang bekerja di kantor maupun di store diberhentikan. Rafid yang telah memasuki umur kepala empat resmi menjadi seorang pengangguran.

Satu, empat, dan enam bulan sejak hari itu terasa berjalan lebih lambat dari tahun-tahun sebelumnya. Keadaan rumah mereka di bulan ke tujuh mulai terasa gerah. Halna yang sementara waktu menjadi tulang punggung keluarga seringkali menerima lembur untuk menutupi kekurangan biaya bulanan mereka hingga keduanya tidak punya banyak masa untuk berbicara. Sedangkan Rafid yang saat itu telah terkikis rasa percaya dirinya mulai tidak merasakan kehadiran Halna lagi sebagai support systemnya. Pertengkaran dan perselisihan terjadi semakin sering di antara keduanya. Sampai kemudian lima belas tahun pernikahan mereka kandas begitu saja difaktori permasalahan ekonomi.

Rasanya konyol bagaimana orang-orang yang dahulu menyebut pertemuannya dengan Halna sebagai takdir juga menyemangatinya atas perceraian yang terjadi dengan kalimat, "Yang sabar ya, Fid. Namanya juga takdir, kita sebagai manusia cuma bisa menjalani." Lagi-lagi takdir. Sangking konyolnya Rafid sampai bingung mau tertawa keras-keras atau tertawa miris.

Dibandingkan "takdir", rasanya lebih tidak menyakitkan apabila setiap hal yang terjadi di hidupnya Rafid sebut sebagai sebuah kebetulan. Kebetulan saja 16 tahun lalu ia bertemu dengan Halna, kebetulan dalam waktu singkat mereka saling jatuh cinta, kebetulan mereka kepikiran untuk menikah, dan secara kebetulan pula Rafid menjadi pengangguran hingga membuat Halna meminta cerai darinya. Sama seperti bagaimana aplikasi ojek online mempertemukannya dengan penumpangnya malam ini.

Kebetulan saja.

Empat puluh lima menit perjalanan tidak terasa akibat Rafid yang terlalu tenggelam dengan lamunan masa lalunya. Tugu besar yang mobil Rafid lewati barusan menjadi penanda bahwa mereka telah memasuki area di mana rumah penumpang tersebut berada. Rafid sebenarnya agak bingung bagaimana cara mendeskripsikan kawasan ini. Orang-orang sering menyebutnya sebagai komplek, nyatanya ini bukan seperti komplek yang secara umum kita ketahui. Mungkin akan lebih tepat jika disebut sebagai kawasan yang dibuat dengan konsep kota terpadu di mana berpuluh dan bermacam jenis hunian berkumpul menjadi satu.

"Nah, itu Mas. Perumahan saya yang di sebelah kanan depan. Rumah ketiga setelah gerbang."

"Ini, Mas?" Rafid memastikan.

"Iya. Benar, benar."

Rafid bisa langsung menemukan rumah yang dimaksud berkat petunjuk jelas dari penumpanganya. Tanpa mematikan mesin dan hanya menarik rem tangan saja, Rafid lekas-lekas turun untuk mengeluarkan koper dari garasi mobil. Diserahkannya koper itu kepada si pemilik.

"Ongkosnya sudah pakai e-wallet ya, Mas."

Rafid memeriksa ponselnya yang menunjukkan detail perjalanan di laman aplikasi. "Iya, Mas. Sudah. Jangan lupa bintang limanya ya, Mas."

"Wah siap, siap. Semoga rezeki Masnya lancar terus, ya!"

Mungkin Rafid terlihat alakadarnya saat mengamini doa itu, namun hatinya diam-diam berharap paling serius. Semoga rezekinya lancar terus. Semoga dia bisa segera mengirimi uang bulanan untuk anak-anaknya.

Rafid sudah hendak memasuki mobil kala penumpang tadi kembali memanggilnya dan berkata, "Oh iya, Mas. Kayaknya Mas pulangnya nggak usah keluar lewat jalan tadi, deh."

Rafid menoleh. "Gimana, Mas?"

"Iya. Kalau sudah jam segini mending muter belakang aja, walau agak jauh tapi lebih aman karena ramai orang jualan makanan. Nah, nanti keluar dari gerbang perumahan ini Mas bisa langsung belok kanan, ketemu pasar terus belok kiri, setelahnya lurus terus aja sampai tembus ke tugu yang tadi."

Sejujurnya Rafid juga berpikir demikian. Jalanan yang tadi mereka lewati untuk mencapai perumahan ini memang sepi sekali. Bayangkan saja mereka memutari danau, yang secara logika tidak akan ada lagi orang yang ingin duduk-duduk di sana tengah malam seperti ini. Dibandingkan takut akan dedemit, Rafid lebih takut akan kemungkinan munculnya sekomplotan begal dari semak-semak dan tidak ada seorang pun yang dapat ia pintai pertolongan.



Rafid mendumel tanpa henti sepanjang mobilnya melewati jalan "belakang" yang tadi sempat ditunjukkan oleh si penumpang sebelum Rafid pergi.

Aneh.

Rafid bisa saja berpikir positif saat tidak menemui satu pun orang yang berjualan makanan. Mungkin sudah tutup, atau mungkin juga hari ini ada imbauan yang tidak memperbolehkan para pedagang berjualan entah dengan alasan apa. Namun Rafid tidak bisa lagi berpikir positif pada kata "agak jauh" setelah lima belas menit dia berputar-putar melewati jalanan gelap dengan bermodalkan pencahayaan lampu mobil dan secuil tekat untuk tidak berbalik arah. Benar-benar hanya bermodalkan lampu mobil yang jarak pandangnya tidak seberapa.

"Itu orang mau nipu apa gimana, sih? Kalau sejauh ini harusnya bilang jauh aja nggak usah pakai "agak" segala." Rafid mendecak. Kesal bukan main dia.

Diliriknya arloji berumur di tangan kirinya yang memancarkan cahaya luminus setengah redup itu. Jarum-jarumnya menunjukkan pukul setengah satu malam. Untuk sekelas kawasan dengan sekumpulan perumahan, wajar saja kalau jam segini tidak ada lagi kendaraan yang berkeliaran.

"Ini kanan kali, ya," gumam Rafid pelan pada dirinya sendiri.

Kali ini Rafid dihadapkan dengan tiga persimpangan. Setelah beberapa detik berpikir akhirmya ia pasrah mengikuti kata hati dan membelokkan setir mobil ke arah kanan. Rafid bisa sedikit bernapas lega kala mendapati adanya penerangan di lorong tersebut yang meneruskan jarak pandang dari lampu mobilnya. Tanpa ragu namun tetap harap-harap cemas, Rafid mengikuti penerangan yang terasa memandu mobilnya menyusuri pemukiman untuk menuju suatu tempat. Harapan Rafid dia bisa segera sampai di tugu utama dan bersegera keluar kembali ke jalan raya.

Namun harapannya segera kandas tepat setelah penerangan tersebut tiba-tiba terhenti. Bukan hilang atau mati, tapi terhenti. Seakan dari tadi penerangan tersebut bukanlah berasal dari lampu dengan tiang yang cahayanya rata menerangi jalan, melainkan bergerak bak lampu sorot panggung konser yang mengikuti kemana objeknya pergi. Dalam hal ini objeknya ialah mobil milik Rafid.

Dan lagi, alih-alih bertemu tugu utama, mobil Rafid malah sampai di depan pagar hitam tinggi yang mengelilingi sebuah rumah minimalis tingkat dua berwarna putih. Entah rumah milik siapa, Rafid tidak paham juga. Yang Rafid tahu pasti ialah bagaimana jantungnya kemudian terasa ingin merosot ke perut, satu detik setelah suara lirih minta tolong wanita sampai ke indera pendengarannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top