PERTUNJUKAN KANVAS - 5/5

Chapter 5: Teraihnya Hidayah

Alaa bidzikhrika qalbi yutma'inu

Wahal bighairi dzikrika qalbul mar'i yartah

Kecuali dengan mengingat-Mu hatiku tenteram, dan bisakah hati seseorang tenteram tanpa mengingat-Mu?

Hujan sore hari, pekarangan rumah yang asri, dan lantunan suara Sami Yusuf yang tidak sengaja terputar dari Spotify, menciptakan suatu kolaborasi paling syahdu di tengah kekalutan hati seorang Naira. Perempuan itu memejamkan matanya rapat, meski begitu, setitik bening berhasil meluncur dari sudut-sudut matanya. Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram, demi Tuhan, lantunan itu seperti tepat sekali ditujukan untuknya.

Selama ini, dengan kesadaran penuh dia mengakui bahwa sedikit sekali waktu yang digunakannya untuk mengingat Allah. Yang diingatnya dan memenuhi kepalanya hanyalah urusan-urusan dunia yang menjemukan. Sesuatu yang apabila dipikirkannya, semakin sesak dadanya, kian hiruk pikuk pula hatinya. Naira tidak pernah tahu bahwa hati yang sering luput dari mengingat Allah, rasanya akan jadi sesempit itu. Bagaimana tidak? Sebagai manusia biasa, sulit bagi Naira untuk tidak memikirkan segala masalah yang datang bertubi-tubi dalam beberapa waktu terakhir. Isi kepalanya selalu berbenturan antara satu masalah dengan masalah lainnya, tanpa dia ketahui bahwa mengingat Allah bisa menjadi penenang paling mujarab.

Lalu, seperti dituntun oleh irama hujan, bibirnya mulai merapal dzikir. Naira terus berdzikir meski pikirannya seringkali mengawang pada masalah yang tengah dia hadapi, membawanya kembali pada hari itu, ketika dia memutuskan untuk kembali melukis dan menerima orderan.

Hari itu dengan keyakinan baru, Naira mengikuti saran Beno, dia kembali melukis dan mulai menyalakan kembali ponselnya setelah beberapa lama. Naira sadar bahwa tidak melakukan apapun, selain meratap, adalah suatu kebodohan yang menyengsarakan. Maka dibuatlah unggahan baru tentang ketentuan memesan lukisan, dia memutuskan bahwa mulai hari itu dia tidak akan menyanggupi melukis potret full body. Dia juga berpikir untuk mulai menerapkan konsep naturalis dalam lukisan potretnya. Seperti, dia akan menaruh kelopak bunga sebagai pengganti mata, atau membuat akar-akar tanaman rambat sebagai rambut dari subyeknya, dan barangkali dia tidak perlu menggambar telinga karena rerumputan sudah mengambil alih.

Hanya saja, sesuatu yang ada dalam kepalanya tidak bisa semudah itu dipahami dan diterima oleh klien yang terlanjur memberi cap pada Naira bahwa dia adalah pelukis potret. Sekali menjadi pelukis potret, selamanya tetap melukis potret, begitu kira-kira yang dipahami oleh para pelanggannya. Yang terjadi, ketika seorang pelanggan terlanjur memesan lukisan dengan pemikiran demikian, dia merasa ditipu, kecewa, marah, dan ingin uangnya dikembalikan. Naira tidak ingin menyalahkan siapa-siapa untuk urusan ini, perempuan itu sudah ada di titik paling pasrah atas apa-apa yang dihadiahkan semesta. Dia hanya ingin segala masalahnya terselesaikan satu persatu. Tentang cincin yang perlu segera ditebusnya, juga uang dari klien yang harus dia kembalikan.

Segala kepahitan hidup telah banyak mengubahnya, tetapi yang paling dia syukuri, masalah-masalah yang datang kali ini membuatnya tersadar tentang betapa lemahnya dia tanpa pertolongan Allah, membuatnya tidak alpa untuk melibatkan Allah dalam setiap hal yang dia arungi.

Di luar, hujan yang semula deras mulai mereda, sekarang, hujan itu pindah ke pipi Naira. Betapa dzikir dan lantunan suara Sami Yusuf sanggup semenyihir itu. Tetapi, lebih dari itu, yang membuat Naira kian hebat menangis adalah betapa bayangan tentang dirinya yang disiksa di neraka tidak kunjung hilang dari bayang-bayang. Membuat benaknya kian meranggas, awal mula masalahnya adalah karena melukis, segala kebingungan yang hadir adalah karena melukis pula, selaknat itu kah menjadi pelukis? Naira butuh jawaban.

***

Klien yang meminta uangnya dikembalikan kian mendesak Naira, perempuan itu luar biasa bingung menghadapi yang semacam ini, dia seolah menjadi pencuri. Sebenarnya, Naira memiliki opsi untuk membuatkan lukisan persis seperti yang diminta oleh kliennya jika tidak ingin ditagih terus menerus, tetapi ketakutannya kembali menyeruak dan membuatnya mundur menjauh. Lagi, Naira dipaksa memutar otak untuk bisa mengatasi masalah tersebut.

Dalam pengamatannya, genre naturalis sangat memungkinkan untuk dipelajari lebih dalam, relatif aman, dan tentunya pasar untuk genre tersebut terbuka lebar. Seketika, Naira teringat salah seorang teman komunitasnya yang berkonsentrasi di genre tersebut. Hafsah, dia akan menemuinya segera di markas Lingkar Seni. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk cepat-cepat menemui Hafsah, selain karena desakan keinginannya untuk belajar genre baru, perempuan itu butuh jawaban dari banyak sekali pertanyaan. Sebuah pertanyaan yang dia tahu bahwa Hafsah bisa menjawabnya. Bahkan, Naira berpikir untuk menceritakan apa yang dilihatnya beberapa waktu lalu kepada Hafsah. Kemudian, ketika momentum itu tiba, Naira tidak lagi berbasa-basi.

"Hukum melukis makhluk bernyawa dalam agama kita, apa, sih?" Pertanyaan itulah yang tidak tahan dilontarkannya sedari tadi, sejak mereka tuntas berbincang soal kabar dan beramah-tamah.

"Haram, kata mayoritas pendapat ulama." Hafsah menjawab dengan keheranan yang nyata, tidak menyangka Naira akan tertarik membahas ini.

"Seharam itu?" tanya Naira lagi.

Hafsah menegakkan punggungnya, ditatapnya dalam mata Naira yang penuh minat. "Ada yang menghukumi haram mutlak, Nai. Haram, kalau di dalam hatimu timbul kesyirikan dan kesombongan. Haram, ketika kamu merasa bangga bisa menciptakan sesuatu, menyaingi Tuhan yang Maha Menciptakan."

"Jadi, selama hal-hal itu enggak muncul di hati kita, melukis aman-aman aja?"

Obrolan dua perempuan itu rupanya akan jadi diskusi yang panjang.

"Ada satu pendapat yang ngasih keringanan soal hukum melukis ini, Nai. Kalau menurut mayoritas pendapat ulama melukis adalah haram, menurut Imam Nawawi, melukis boleh-boleh aja dengan memperhatikan tujuan dari melukis itu sendiri. Kalau tujuanmu melukis adalah buat kepentingan study, itu boleh." Perempuan dengan hijab maroon itu pelan-pelan menjelaskan.

"Iya, enggak kebayang sih kalau anatomi tubuh manusia enggak digambarin, susah juga ya." Naira bergumam sambil mengaduk-aduk minumannya.

"Nah, itu salah satu contoh yang dibolehin. Terus, misal untuk kepentingannya sejarah, atau seni budaya, itu juga dibolehin. Kita perlu mengenang sosok-sosok berjasa bagi nusa, bangsa, dan agama. Karena waktu itu belum ada kamera, jadi satu-satunya yang memungkinkan untuk itu adalah lukisan, itu boleh."

"Kalau melukis buat menyambung hidup dan mencari nafkah dari sana, boleh, enggak? Kamu tau kan, akhir-akhir ini aku baru mulai merintis usaha sebagai pelukis komersial di Instagram? Jujur, aku punya pengalaman aneh, Hafsah."

"Pengalaman aneh yang gimana?" tanya Hafsah seraya merapatkan posisi duduknya supaya lebih dekat dengan Naira.

"Waktu itu aku ngerjain pesanan lukisan, terus, waktu lukis bagian mata, aku bisa ngelihat apa aja yang pernah dilihat orang yang aku lagi lukis itu. Aku juga bisa denger apa yang pernah mereka denger. Terus, aku iseng ngelukis diriku sendiri, tapi kenapa yang aku lihat malah neraka, Hafsah? Aku enggak pernah lihat neraka, dan enggak mau lihat neraka." Naira bergetar sewaktu mengatakan itu. Matanya terpejam, sesekali perempuan itu menarik napas dalam-dalam untuk memenangkan diri.

Hafsah mengelus punggung tangan Naira. "Mungkin kamu lagi halusinasi aja, Nai. Itu pasti kamu lagi capek banget, makanya ngelihat yang aneh-aneh."

Naira menggeleng. "Enggak, aku enggak lagi halu. Aku sadar. Karena, pas aku melukis potret yang sebagiannya aku mix sama naturalis, enggak ada yang aneh-aneh."

Dua perempuan itu saling bersitatap. Hafsah mendadak seperti gusar dan kekhawatiran tercetak jelas dalam wajahnya.

"Hafsah, kamu pasti pernah baca hadits tentang golongan pelukis adalah golongan yang paling pedih adzabnya di akhirat nanti. Aku takut, Hafsah." Naira menduduk dalam. Dia hampir menangis lagi ketika mengingat kembali apa yang dilihatnya.

Hafsah merangkul Naira yang seperti kesulitan mengendalikan diri.

"Lalu, karena penglihatan itu kamu pengen belajar genre naturalis dan berhenti jadi pelukis potret?" tanya Hafsah yang dijawab dengan anggukan oleh Naira.

Sewaktu ketakutan-ketakutan itu mulai bisa dikendalikan, Naira tertarik mencari tahu tentang gambaran yang dilihatnya hari itu. Sebagai manusia awam yang tidak terlalu mendalami agama, membaca hadist tersebut membuat dirinya kian ciut, dan Naira perlu mencari tahu jawaban lain selain dari apa yang didapatnya hari itu.

"Naira, pertama, hadits-hadits itu perlu kita ketahui sebab musababnya. Bagaimana ia bisa ada, apa konteks yang lagi terjadi waktu itu, benar enggaknya redaksi hadits tadi? Karena, ada banyak banget hadits populer yang ternyata enggak pernah diriwayatkan Baginda Nabi secara langsung. Tapi, soal hadits yang kamu bilang tadi, kesahihannya memang jelas." Hafsah menjeda, perempuan itu ingin Naira memahami pelan-pelan.

"Setiap apa-apa yang kita baca enggak bisa kita cerna begitu aja, Naira. Kita perlu mengolahnya, menelaahnya lebih jauh. Jujur, aku sendiri khawatir ngasih penjelasan yang keliru soal ini, Nai. Kalo aku enggak salah ingat, aku pernah baca bahwa hal ihwal munculnya sebuah hadits berkaitan sama kondisi masyarakat pada zaman itu. Dulu, di zaman Nabi, ada banyak seniman pembuat patung yang jadiin patung-patung itu Tuhan mereka, syirik yang besar. Lalu turunlah ayat, kemudian diikuti hadits yang kamu sebutin tadi. Soal apakah para seniman yang melukis makhluk bernyawa disiksa sedemikian di neraka, wallahu 'alam. Yang jelas, seperti yang aku sebutkan tadi, semua itu tergantung apa yang ada di dalam hati kita. Kalau enggak ada sesuatu yang menghantarkan pada mudharat, melukis boleh-boleh aja. Yang bisa kita usahakan adalah menjauhi mudharat, Naira. Islam enggak sekaku yang kamu bayangkan, enggak cuma ada halal dan haram."

"Aku takut jadi salah satu dari mereka yang mendapat azab itu, Hafsah. Makanya, sebisa mungkin, mulai sekarang aku mau berhenti melukis potret dan beralih ke genre naturalis aja, gimana? Aku takut, meski enggak ada niat menyekutukan Allah dengan sesuatu macam apapun, tapi perbuatanku yang demikian bisa aja jadi perantara yang secara sadar kulakukan terus menerus."

Hafsah tersenyum mendengar penuturan Naira, perempuan itu mengangguk maklum.

"Naira, Allah itu indah dan mencintai keindahan. Kamu boleh kok, tetap melukis potret, lagi pula, bakat itu jadi salah satu anugerah yang perlu disyukuri dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya yang kita bisa. Tapi, misal kamu tetap mau belajar genre naturalis, boleh banget, kok." Hafsah tersenyum simpul mengahadapi Naira.

"Btw, kalau kamu perhatiin, di rumah ulama-ulama besar pun banyak lukisan potret, Naira. Kayak, potret Walisongo, guru-guru besar, atau sosok-sosok berpengaruh lainnya. Selama enggak ada kesyirikan yang timbul di hati yang memandang, itu boleh-boleh aja." Naira yang luput akan hal itu mengangguk mengerti ketika Hafsah menjelaskan.

"Naira, aku pengin bilang satu hal ke kamu. Aku selalu doain kamu supaya dapat hidayah dan disayang Allah. Jujur, aku bukannya enggak tau soal hukum melukis makhluk, dan bukannya enggak mau ngasih tau kamu dari lama. Tapi, aku takut dikira terlalu mencampuri urusan kamu. Mungkin, penglihatan itu memang bukan halusinasi semata. Itu bisa jadi memang teguran dari Allah supaya kamu nyari tau, belajar soal agama kita lebih banyak. Aku turut bahagia kalau hidayah itu bener-bener dateng ke kamu, semata-mata itu karena Allah memang sayang kamu, Naira. Bukan karena doaku aja."

Naira benar-benar tidak bisa menahan air matanya seketika itu. Hatinya seperti dialiri sesuatu yang sejuk. "Ternyata aku terlalu menutup pandanganku dari memandang teman baik kayak kamu, Hafsah. Pandanganku cuma terpaku ke karir melukisku doang, sampai-sampai aku enggak pernah sadar punya teman-teman yang peduli sama aku. Aku terlalu individualis selama ini, aku selalu ngerasa apa-apa bisa sendiri seolah enggak butuh orang lain buat sekedar diajak ngobrol dan gengsi banget minta tolong ke siapa-siapa. Maafin aku, Hafsah."

Naira yang duduk berhadapan dengan Hafsah, seketika bangkit dan merangkul Hafsah. Mereka tidak lagi peduli di mana tempat mereka berada, keduanya hanyut dalam rasa syukur yang luar biasa. Naira bersyukur atas kehadiran teman baik seperti Hafsah, dan Hafsah bersyukur atas hidayah yang tengah menghampiri Naira.

"Kamu orang baik, Nai, jangan bilang begitu. Kamu ingat, siapa yang dulu paling effort waktu aku sakit? Yang sering nemenin aku di kost sewaktu teman yang lain pada enggak bisa? Yang merawat kucing-kucing jalanan itu? Ngasih makan mereka tiap hari."

Naira menyadari bahwa ada orang yang selalu memperhatikannya, mengapresiasi apa yang dilakukannya, dan tidak melupakan hal-hal baik yang pernah dilakukannya sementara dia sendiri hampir tidak ingat.

"Jangan pernah sungkan minta tolong ke aku, Nai. Kita teman."

"Aku enggak akan sungkan lagi, aku bakal ngerepotin kamu banyak-banyak habis ini, tolong diajarin melukis naturalis, ya."

Naira berpikir bahwa dia seharusnya tidak hanya belajar melukis naturalis, tapi juga belajar tentang agamanya lebih dalam. Dia tidak pernah menyangka bahwa penglihatannya yang mengerikan ternyata membawanya jauh mengembara pada pemahaman baru yang sama sekali tidak diketahuinya. Barangkali, jika Allah tidak menampakkan sesuatu itu, dia sama sekali tidak tergerak untuk mencari tahu lebih dalam tentang semua itu.

Hari-harinya yang sudah berlalu tidak akan disesalinya, mulai hari itu, Naira akan lebih menghargai waktunya dengan fokus pada solusi untuk menyelesaikan semua yang berantakan. Dia kian tekun belajar melukis dengan Hafsah, mereka kerap kali bertemu dan melukis bersama, obrolan-obrolan mereka penuh dengan diskusi panjang tentang Islam, pertemanan mereka layaknya seperti merawat iman di hati masing-masing.

Bakat Naira yang tidak hanya berpaku di lukisan potret, kian cemerlang di aliran naturalis. Ketika diadakan pameran kembali, Naira berani mengikutsertakan lukisannya, tanpa diduga lukisan itu laku terjual dan dia bisa mengembalikan uang klien lebih cepat dari yang dia kira.

Hafsah adalah orang dengan kontribusi besar atas cemerlangnya karir Naira di dalam aliran naturalis. Perempuan itu senang dengan perubahan sikap Naira yang kelihatan lebih enerjik dibanding saat kali pertama mereka bicara soal hukum melukis dalam Islam. Barangkali, lukisan-lukisannya yang banyak laku terjual berpengaruh banyak pada suasana hati Naira. Tetapi, lebih dari itu, tanpa ada orang lain yang tahu, Naira seperti menjadi manusia baru setelah mengalami banyak hal yang tak pernah diduganya. Kelegaannya tentang cincin yang telah berhasil diambilnya membuat hari-harinya kian baik. Perempuan itu kian pandai bersyukur, membatasi diri, tidak lagi bertindak gegabah, dan terpenting, dia selalu melibatkan Allah dalam setiap hal yang dia lakukan.

Suatu malam, Naira bermimpi bahwa gambaran yang dilihatnya pada kanvas di hati itu adalah sebab dari dilepasnya cincin yang menjadi proteksi pandangannya. Tetapi, Naira lebih percaya pada keyakinannya bahwa gambaran itu adalah teguran dari Allah untuk menyadarkannya supaya lebih berhati-hati dan suatu pengalaman yang mustahil dia abaikan. Allah menghantarkan hidayah di balik keresahan yang selama ini menggerogotinya. Hidayah itu akan dijaganya seumur hidup.

***

Alhamdulillahirabbilalamin.

Akhirnya Naira tamat jugaaa. Gimana kesannya, nih? Tolong komentar yaaa. See you. Salam hangat ❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top