PERTUNJUKAN KANVAS 4/5
Chapter 4: Sang Hamba
Ada gusar yang tak terbahasakan dalam hidup Naira Swastamita semenjak kanvasnya menampakkan pemandangan 'neraka' yang mengerikan. Perempuan itu tak lagi mampu memandang dunia sebagaimana sebelumnya. Hari-harinya tidak lebih dari suatu kumpulan mimpi buruk yang harus dihadapinya tanpa dia bisa mengelak, dan yang paling mengerikan dari mengalami mimpi buruk adalah ketidaktahuan kapan mimpi itu berakhir.
Dia tidak bisa beranjak barang selangkah dari sana, dari kubangan rasa ngeri yang kian menghimpitnya. Bayangan tentang neraka yang menyala dan membakar serta menyiksanya, seolah melumpuhkan seluruh sendi dan semakin nampak ketidakberdayaannya sebagai manusia. Lukisan terakhirnya seperti hantu yang membayangi dirinya di setiap sudut kamar, sebuah trauma besar telah tercipta tanpa pernah diduga, dan satu-satunya keinginan Naira saat ini adalah melupakan apa yang pernah dilihatnya hari itu.
Dia perlu mengalihkan pikirannya dari kengerian tersebut, dengan ratapan yang menyayat, disebutnya nama Tuhan, Allah. Kian deras air matanya mengalir, kian sesak dadanya bernapas. Sudah berapa lama dia melupakan Sang Maha? Mungkinkah apa yang tengah dialaminya kali ini adalah semata-mata agar dia kembali menyerahkan segenap hati, pikiran, jiwa dan raganya untuk Sang Maha yang telah ditinggalkannya begitu lama?
Dalam derasnya air mata penyesalan, Naira tersadar bahwa selama ini dia terlalu sibuk dengan hidup yang melenakan, dengan kesombongan yang tanpa disadari telah bertunas di hatinya, dengan dunianya sebagai pelukis amatir yang naif —yang berharap bisa menggantungkan hidupnya dari melukis— lalu dalam sekejap semesta menjungkirbalikkan segalanya. Semenjak hari itu, dia tidak ingin melihat lukisan-lukisan yang pernah menjadi kebanggaannya lagi, seluruh kebanggaan yang pernah bertengger di dadanya seolah luruh begitu saja oleh kengerian yang sangat. Dia memutuskan menjadikan kamarnya steril dari segala sesuatu yang berbau lukisan. Dengan susah payah, dia melepaskan segala yang menggantung di dinding kamarnya lalu menaruhnya di gudang rumahnya yang berdebu. Tetapi, apa yang dilakukannya hari itu tetap tidak mampu mengusir kengerian yang terlanjur menancap di alam bawah sadarnya.
Empat hari Naira mengisolasi diri, menghilang dari eksistensi seolah dirinya tidak pernah muncul dalam peradaban. Satu-satunya yang dia inginkan saat ini adalah ketenangan. Sambil mengingat-ingat apa yang pernah dipelajarinya dahulu, Naira melaksanakan salat yang kiranya akan dapat meredam segala macam gundah yang berkecamuk dalam dirinya. Perempuan itu luruh dalam sujud yang panjang, bibirnya bergetar mengucap tasbih, rupanya ada rindu yang selama ini dia abaikan dengan teramat sangat. Dia rindu menghamba, jiwanya adalah Sang Hamba dan selamanya akan tetap begitu.
Salam terakhirnya dalam salat ditutup dengan perasaan haru yang mendalam. Air matanya luruh lagi, isakan yang teramat menyayat keluar dari mulutnya yang tidak berhenti mengucap istighfar. Dalam tangisannya yang mengharu biru, Naira bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apakah dia satu-satunya manusia yang pernah begitu marah kepada Tuhan? Lalu amarah itu membuatnya ingin meninggalkan segala sesuatu yang diperintahkan Tuhan. Kemudian kesombongan jiwanya membawanya tersungkur kembali di hadapan-Nya, meratap dengan penuh iba agar diakui kembali sebagai hamba.
"Astaghfiruka waatubu ilaih," lirih Naira.
Sedu sedan yang tak kunjung berkesudahan seolah kembali melempar ingatannya pada hari di mana sang ayah dijemput maut. Naira tidak pernah membayangkan kemungkinan itu, dia selalu mengusirnya jauh-jauh. Ayahnya segar bugar, lagipula masih terlalu muda untuk mati, pikirnya. Tetapi, maut memang tidak mengenal angka, syarat mati tidak selalu harus tua. Mata Naira dipaksa terbuka pada kenyataan bahwa dia harus menjadi yatim di usia remaja, musabab sang ayah menjadi korban kecelakaan tunggal di penghujung malam dengan hujan deras kala itu.
Jiwanya seperti dicabut paksa, semangatnya tidak lagi begitu membara dalam menjalani hidup setelahnya. Dia marah kepada Tuhan. Rasanya hidup sudah terasa sulit, kini semakin pelik karena ayah tidak lagi bisa jadi teman yang setia seperti yang pernah dijanjikannya dulu. Kesadarannya belum terbuka, bahwa makhluk memang bisa kapan saja meninggalkannya.
Kini, Naira berpikir bahwa penglihatan itu hadir sebagai alarm yang sengaja ditampakkan agar membuat kesadarannya terbangun. Barangkali, matanya memang tidak pernah melihat neraka yang menyala-nyala dan menyiksa sedemikian rupa, tetapi, mata hatinya yang tertutup daripada segala sesuatu yang menjadi garis takdir Tuhan, justru bisa jadi adalah sebab terbesar penglihatan itu muncul.
Naira tidak lagi memandang peristiwa itu sebagai musibah, di titik kesadarannya kini. Perempuan itu memandangnya sebagai anugerah, tanda betapa Tuhan sungguh welas asih terhadap hambanya. Tidak peduli dosa segunung apa yang pernah diperbuat. Perempuan itu semakin ingin berlama-lama menyendiri, bercengkrama dengan Tuhan yang berusaha keras dihadirkannya, untuk menebus waktu-waktu yang telah berlalu tanpa munajat apa-apa.
***
Detak hidup Naira terasa lebih lambat dari sebelumnya. Entah karena menyendiri memang memunculkan perasaan yang demikian, atau memang detaknya tidak pernah semenggebu yang perempuan itu kira. Tetapi, di luar dari itu, seseorang yang menjadi bagian dari detak hidup Naira justru memiliki ritme detak yang berbeda. Adalah Beno, seorang aktivis kampus yang luar biasa sibuk dengan urusan-urusannya yang merepotkan. Lelaki itu hampir tidak pernah punya waktu senggang untuk setidaknya satu minggu sekali bertandang ke rumah Naira. Setidaknya, pada hari-hari biasa. Tetapi malam ini Beno dengan wajah gusarnya berdiri di depan pintu rumah Naira, tak sabar ingin sang empunya rumah segera membuka pintu kayu itu dan membiarkannya masuk.
Ketika pintu dibuka, tanpa basa-basi ditanyakannya segera kabar perempuan yang membuatnya gusar.
"Kabar buruk. Melukis itu ternyata enggak cuma bikin Naira jadi pemalas, tapi juga hampir bikin dia gila." Begitu kata Emmy —ibu Naira— ketika Beno bertanya tentang putrinya.
"Maksudnya gimana, Bu?" tanya Beno.
Nadanya benar-benar khawatir mengingat beberapa hari ini ponsel Naira sama sekali tidak bisa dihubungi, dan Beno baru memiliki waktu hari ini untuk memastikan keadaan Naira. Tetapi, kekhawatiran itu tidak pernah muncul dalam ekspresi maupun nada bicara wanita paruh baya di hadapannya.
"Naira sudah empat hari mengunci diri di kamar, baru keluar tadi sore, itu juga cuma buat ke kamar mandi. Dia enggak bantu-bantu kerjaan rumah, enggak peduli Ibu repot sendirian. Hobinya itu sudah enggak pantas disebut hobi lagi, dia udah keterlaluan." Emmy mencoba untuk meredam amarahnya atas sikap Naira, tanpa pernah tahu alasan di balik sikap sang anak. Sementara Beno sudah memikirkan banyak hal buruk yang berkemungkinan dialami oleh Naira.
"Saya boleh ketemu Naira, enggak? Saya perlu bicara sama dia." Beno perlu melihat dengan mata kepalanya sendiri, gila seperti apa yang dimaksud Emmy. Emmy mengangguk mempersilakan.
Beno segera mendatangi kamar Naira dan mengetuk pintunya. Beberapa jenak, tidak ada sahutan dari dalam kamar, membuat Beno kian frustasi dan tidak tahan untuk mendobrak pintu kayu itu. Tetapi, ketika lelaki itu tengah mengumpulkan tenaga untuk melancarkan niatnya, pintu terbuka perlahan dan menampilkan Naira dengan wajah muramnya yang kentara.
Lama mereka saling menatap tanpa ada satu pun yang bicara. Beno melangkah perlahan ke dalam kamar yang kini begitu polos tanpa ada satu lukisan pun di dinding. Bayangan tentang kamar Naira yang berantakan dengan noda cat di mana-mana, sama sekali bertolak belakang dengan apa yang dilihatnya sekarang.
"Maksudnya apa, Nai? Kenapa?" tanya Beno dengan kerongkongan yang seperti tercekat.
"Kenapa apanya, Beno?" timpal Naira dengan suara yang sama seraknya. Empat hari dia tidak bicara dengan siapa pun.
"Kenapa kamu seolah enggak pernah menganggapku, Naira?" Diraihnya pipi perempuan di hadapannya, dipandangnya lamat-lamat wajah yang nampak lelah itu, ditelusurinya mata Naira yang sembab dengan harapan mendapat jawaban dari sana.
"Kamu ingin dianggap dengan cara yang kayak gimana, Ben?" Pelan, Naira menurunkan tangan Beno yang membelai pipinya. Mereka saling bersitatap dengan gejolak perasaan yang seperti akan pecah.
"Kasih aku kabar, Naira. Jangan hilang, jangan pernah menanggung bebanmu sendirian, kamu punya aku buat diajak bicara soal apa saja!" ujar Beno tegas dan membuat air mata Naira luruh lagi.
Menurutnya, apa yang dialaminya kali ini tidak untuk dibagikan kepada siapa-siapa termasuk Beno. Naira bukan tipe perempuan yang sanggup menahan beban sendirian, tetapi untuk urusan ini, sekuat tenaga dia akan tetap menjaganya agar tetap menjadi rahasia. Sebab, jika dia bicara sekalipun, belum tentu ada orang lain yang mengerti.
"Ibumu bilang kamu mengurung diri dan hampir gila karena melukis, tapi kenapa yang aku temui cuma kamar polos tanpa kamu melukis sama sekali? Maksudnya apa?"
"Mulai sekarang aku udah bukan pelukis lagi, Ben. Udah cukup," ujar Naira mantap.
Beno menatap Naira dengan tatapan tidak percaya. "Kamu boleh berhenti sejenak kalau emang capek, tapi bukan gini caranya, Naira. Bilang, kamu butuh apa? Alat-alat melukis yang gimana yang kamu mau?" Beno meletakkan tangannya di bahu Naira dan memaksa perempuan itu untuk menjawabnya. Naira menggeleng dengan matanya yang kembali berkaca-kaca.
"Aku cuma mau menjalani hariku yang tenang tanpa berurusan sama lukisan-lukisan itu lagi, Ben. Kamu enggak akan ngerti gimana capeknya jadi aku yang menghabiskan banyak waktu buat melukis dan enggak menghasilkan apa-apa. Waktuku terlalu berharga buat dihabiskan sia-sia kayak gitu, Ben. Aku enggak mau jadi bego lagi, aku mau realistis aja mulai sekarang. Melukis itu memang pekerjaan percuma."
Ada hening yang menggantung di antara mereka berdua. Beno seolah tidak percaya pada apa yang didengarnya, dan Naira mati-matian untuk mengarang alasan yang masuk akal tanpa harus memberitahu alasan sebenarnya. Dia tidak mungkin mengatakan trauma dengan sepotong kanvas.
"Oke, Naira. Sekarang aku mau tanya, ke mana perginya semua lukisan kamu itu?"
"Aku simpan di gudang." Beno mengunci rapat bibirnya.
Lelaki itu mengedarkan pandangannya sekali lagi pada dinding kosong yang pucat, sepucat wajah Naira yang berdiri tanpa mempersilakannya masuk lebih jauh. Beno memohon supaya dia diizinkan untuk duduk dan bicara lebih lama.
"Pasti ada sesuatu yang bikin kamu melakukan ini, kan? Aku enggak akan mendesakmu buat bicara kalau memang kamu nggak ingin. Pesanku cuma satu, mimpi-mimpi kamu harus tetap diperjuangkan sampai kapanpun, Naira. Tidak peduli sebanyak apapun kesia-siaan yang kamu rasakan, perasaan itu hakikatnya cuma sesuatu yang muncul untuk menguji seberapa yakin kamu dengan usahamu. Aku tahu, kanvas-kanvas itu adalah hidupmu dan menghilangkan mereka sama aja kayak kamu mencoba mematikan diri sendiri. Aku enggak ingin kamu begini, demi Tuhan." Beno menggenggam tangan Naira, menyalurkan hangat yang sempat hilang dalam hari-hari perempuan lemah itu.
"Salah satu alasan yang bikin aku tetap bertahan membersamai kamu adalah mimpi-mimpimu, Naira. Aku pengin jadi orang yang terlibat dalam prosesmu mewujudkan mimpi-mimpi itu. Jadi, kalau kamu sendiri menyerah atas semua itu, mungkin aku perlu mempertanyakan alasan apa lagi yang sanggup bikin aku bertahan di samping kamu?" Beno mencoba menatap Naira yang terus menunduk dengan genangan air mata. Naira sama sekali tidak bicara atau berani menatap Beno.
"Naira, aku mencintaimu tanpa syarat, aku cuma enggak mau jadi pihak yang terus memotivasi tanpa pernah dipertimbangkan pendapatnya. Jadi penyemangat bagi seseorang yang enggak pernah mau disemangati, dan jadi yang paling vokal bicara soal mimpi ketika kamu sendiri bahkan membunuh impianmu. Maksudku, tolong pikirkan lagi keputusanmu itu."
***
Dalam beberapa pekan terakhir, Naira selalu dihadapkan dengan banyak sekali pertimbangan, tetapi kali ini dia benar-benar kepayahan dalam mempertimbangkan kalimat-kalimat Beno. Lelaki itu benar, dia tidak boleh menyerah pada mimpi-mimpinya, kanvas-kanvas itu adalah memang hidupnya tidak peduli seburuk apapun gambaran yang pernah dilihatnya di sana.
Butuh waktu berapa lama lagi untuknya mengambil jeda dari berurusan dengan cat dan kuas? Naira tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Perlahan, Naira kembali membersihkan alat-alat melukisnya yang penuh debu di sana-sini. Prinsipnya sekarang adalah dia akan tetap melukis, untuk urusan komersial maupun tidak, tetapi dia tidak akan melukis wajah manusia lagi sebagai antisipasi.
Antisipasi dari melihat segala macam sesuatu yang tidak diharapkannya. Karena, selain karena penglihatannya sendiri, yang banyak mengubahnya adalah juga penglihatan-penglihatan milik orang lain. Naira tidak ingin terlalu jauh.
Rekan-rekan sesama pelukisnya yang menyadari Naira hilang beberapa hari, ramai menanyakan kabarnya ketika Naira kembali menyalakan ponsel. Naira hanya mengatakan bahwa paket datanya habis dan baru terisi kembali. Yang tidak diduga oleh Naira, ternyata masih ada orang yang ingin memesan lukisan. Naira kembali didera dilema.
Sebenarnya, yang tengah dihindarinya adalah bukan melukis, tetapi menggambarkan mata dan telinga. Barangkali, jika dirinya tidak melukis mata dan telinga, maka tidak akan terjadi apa-apa dan hidupnya akan normal-normal saja. Maka dengan gagasan baru, Naira menerima permintaan kliennya.
Kebetulan sekali, pemesan yang sekarang adalah orang yang sama dengan yang memesan lukisan anak perempuan untuk hadiah ulang tahun.
"Saya percayain sama Mbak, deh. Mau dikasih sentuhan naturalis, kek, apa, kek, bebas. Hasilnya udah pasti bagus. Yakin banget."
"Mungkin hasilnya bakal sedikit beda sama lukisan yang pernah dipesan waktu itu, Bu." Naira kembali menjelaskan kepada kliennya. Mereka berbincang di WhatsApp.
"Ah, iya, enggak apa-apa," ujar wanita itu yakin. "Saya transfer sekarang, ya. Nomor rekeningnya masih sama, kan?"
Sudah tidak ada celah untuk Naira menolak. Kesepakatan dibuat, transaksi berlangsung. Tanpa berlama-lama Naira kembali berkutat dengan cat dan kanvas. Hidupnya terasa kembali bergairah. Naira tidak lagi menghitung berapa jam yang dihabiskannya untuk menyelesaikan lukisan itu. Intinya, dia benar-benar lega karena tidak ada hal aneh ketika dia melukis kali ini. Potret seorang wanita sempurna terlukis di atas kanvas. Sempurna dalam persepsinya. Namun, lukisan itu adalah malapetaka bagi pemesan lukisannya.
***
Untuk siapapun yang sedang memperjuangkan mimpi, tetaplah melangkah. 💖💖💖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top