KLANDESTIN - 1/5

Assalamu'alaikum.
Selamat Malam, semua! Kenalin, aku Huruna. Cerita berjudul Klandestin ini tergabung dalam Antologi Cerita Ramadan di Remember Me.

Aku mau ngucapin terima kasih buat Kak Sahlil Ge (yang sudah kasih aku kesempatan untuk nyelip di platform Wattpad-nya ^^) dan makasih juga buat teman-teman yang sudah berkunjung ke cerita ini.

Oh, iya. Mau tanya, dong.
Kalo peringatan mau ada film baru tuh disebut apa, sih? Segera Sayang, ya? :D

Enjoy the story, guys!

Nb:
- Kalau bisa, jangan terlalu sebel sama Bilal, ya. ^^
Kalau bisa aja. Kalau nggak, ya, nggak apa-apa juga.
- Cerita ini belum disunting secara profesional

***

Bab 1
Sosok Penyusup

Samar-samar kulihat banyak sosok putih berkumpul mengelilingiku. Aku mencoba membuka mata lebih lebar, tapi kelopak mata ini tidak sanggup melakukannya dengan sempurna. Kepalaku terasa seperti habis diguncang lindu.

Tak lama kesadaranku perlahan  kembali dan seketika ingatan terakhir muncul. Bukannya aku tadi sedang meringkuk di bilik kakus? Tanpa pikir panjang, segera kupaksa kakiku berlari menerobos kerumunan meski masih lemas. Aku menatap sekitar dengan gamang.

Ini di mana?

Hanya hamparan tanah coklat yang tampak jelas, sedangkan yang lain masih buram. Udara dingin dan perasaan cemas menyusup secara bersamaan. Tubuhku gemetar hebat. Kakiku kehilangan tenaganya, kemudian berjongkok sambil meremas rambut. Jangan-jangan aku mati!

"GUE GAK MAU MATI?! KENAPA GUE MATI?! KENAPA HARUS SEKARAAANG?!" teriakku sekencang-kencangnya.

***

"Bilal. Jangan lupa bentar lagi kita meeting."

"Oke," kataku yang masih mengetik.

Dia masih berdiri di hadapanku, memastikan aku tidak asal menjawabnya.

"'Oke' gue yang barusan itu beneran. Bentar lagi ini selesai," aku meyakinkannya.

Biasanya bila tidak diingatkan seperti itu, aku akan lupa waktu. Aku paling tidak bisa membiarkan pekerjaan menumpuk. Ada banyak hal yang harus kutangani, salah satunya aku mewajibkan diri untuk update soal berita-berita terbaru dari berbagai lini.  Karena bekerja di tim kreatif ini membutuhkan tanggung jawab tinggi, dituntut untuk perhatian pada detail, dan harus selalu mempunyai ide-ide segar untuk konten bos yang seorang influencer–dia aktif di kanal Youtube dan Instagram.

Pekerjaan ini kulakoni kurang lebih sudah jalan tujuh tahun, sejak keluarnya surat ceraiku dari pengadilan agama. Awalnya hanya 'iseng-iseng berhadiah' karena aku tidak terlalu berharap diterima. Itu kulakukan untuk memperkecil rasa kecewa jika ditolak. Tapi memang sudah hoki, mau dikatakan apalagi. Aku dipercaya menempati posisi tersebut. Ini seperti sebuah keajaiban bisa bekerja dan berteman cukup akrab dengan orang terkenal.

Dan siapa sangka, dari iseng menjadi ambisi. Selalu ingin melakukan yang terbaik. Itu bukan sekadar omong kosongku saja, aku benar serius. Walaupun tekanannya juga banyak. Tapi masih oke, bisa kuterima, selama bos konsisten untuk bersikap royal. Dia juga pernah mengatakan secara rahasia mengenai gajiku yang berada jauh di atas karyawan lainnya. Dan yang paling penting adalah aku termasuk salah satu aset berharga dari rumah produksinya. Artinya, karirku aman.

Sebenarnya penasaran juga kenapa bisa perbedaan nominalnya sejauh itu. Tapi kemudian aku lenyapkan pemikiran itu, karena yang namanya uang, tidak perlu lagi dipertanyakan alasannya. Taksiranku sudah jelas, hal ini tidak lepas dari besarnya usaha dan loyalitasku selama ini. Aku tipe orang yang visioner, dan kemampuan tersebut bagiku adalah sebuah keuntungan yang mempermulus jalanku. Makanya, tidak heran kalau aku dapat memprediksi pasar apa yang akan banyak diminati orang untuk kedepannya. Buktinya? Bisa dilihat di luar sana. Program yang kubuat selalu menjadi pionir untuk konten kreator lainnya. Terlebih respons dari warganet juga memuaskan.

Hanya saja beban beratnya ada di jam kerja yang tidak menentu. Kumpulan tanggal merah di kalender tidak berarti apa-apa, karena hari libur bisa sangat acak. Aku bisa bekerja lebih dari empat belas jam sehari, apalagi kalau sedang banyak endorse atau sponsor yang bekerjasama. Bahkan bisa seminggu penuh bekerja tanpa libur kalau harus ikut ke luar negeri–kami menyebutnya kondisi khusus. Lumayan menyenangkan, sih, kerja sekaligus jalan-jalan. Tapi jalan-jalan yang dikejar waktu. Kurang bisa dinikmati. Dan kalau sudah begitu, di waktu senggang aku akan pergi ke klub malam atau bar untuk sekadar melepas penat yang tertumpuk berhari-hari. Self-reward, gitulah. Kesehatan mental harus dijaga, kan?

Kalau ditanya apakah aku seorang muslim? Hm, ya, di KTP tertera dengan jelas; islam. Lalu kenapa minum khamr? Ya, kenapa tidak. Toh kalau ibadah, aku ibadah, kok. Misal puasa, sedekah, zakat, yang gampang-gampang pasti aku kerjakan kalau ingat. Kecuali salat. Sudah lama kutinggalkan. Aku rasa hidup ini sudah rumit, jadi sudah seharusnya dibuat santai. Tidak perlu sekaku orang-orang yang sok taat. Sok suci.

Aku tahu pertanyaan selanjutnya pasti 'kenapa' lagi.

Kalau dipikir-pikir, selama ini terlalu banyak pertanyaan 'kenapa' di hidupku. Sudah seperti slogan empat sehat lima 'kenapa?' sebagai penyempurnanya, bukankah itu konyol? Padahal biar saja semua mengalir tanpa harus susah payah mencari jawaban. Atau pilihan yang kusukai, abaikan dan kubur dalam-dalam. Anggap pertanyaannya tidak pernah ada dan aku  memang enggan membahasnya.

Setidaknya untuk tujuh tahun ini, aku bersyukur dengan hidupku yang aman dan menyenangkan. Tidak ada aturan kaku yang membelengguku setiap saat. Aku bebas melakukan hal yang kusukai. Tapi tenang saja, aku masih tahu batasan baik dan buruk.

Terlebih di sini tidak ada yang ikut campur urusan orang lain, kondisinya sangat kontras jika dibandingkan dengan di kampungku. Coba bayangkan, betapa tidak masuk akalnya para warga kampung yang panik bukan kepalang, hanya karena melihatku lewat membawa satu botol bir di depan mereka. Dan sejak itu perlakuan mereka berubah terhadapku. Aku tidak akan pernah lupa bagaimana mereka memandangku seperti kriminal yang harus dijauhi, dikucilkan.

Rumor kalau aku adalah seorang pemuda yang suka mabuk-mabukan merebak sampai ke kampung lain. Label sebagai penyakit generasi muda kampung tertulis secara tak kasat mata di jidatku. Selain itu masih banyak sebutan-sebutan aneh yang harus kudengar. Barangkali menurut mereka, aku ini setara dengan virus menular. Karena mereka yang separanoid itu, ya sudah, kukabulkan dengan menambah jumlah botol yang kuminum. Tapi catat. Aku tidak pernah mengajak  siapapun untuk minum bersama. Apalagi anak-anak tetangga yang memang bersih–belum pernah mencicip alkohol.

Sebenarnya aku tidak habis pikir, apa urusannya dengan mereka? Padahal orang tuaku saja bersikap santai dan tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya pernah suatu kali aku dihampiri oleh ibu sebelum mengecup botol bir yang kesekian di kamarku.

"Mas Bilal, Ibuk percaya Mas ini orang yang baik." Hanya satu kalimat, tetapi mendengarnya mengatakan itu dibarengi senyum lembut, hatiku serasa ditusuki jarum-jarum kecil. Logikaku mempertanyakan, apakah dengan meminum alkohol lantas aku menjadi orang yang buruk? Tidak, kan?

Inilah kenapa kota besar menjadi banyak serbuan dari orang-orang sepertiku. Mau mabuk, silakan. Bebas. Tanpa ada penilaian yang berlebihan dari orang-orang sekitar selama tidak merugikan mereka.

Seperti hari ini, aku menghampiri meja bar dan menyapa bartender yang kukenal.

"Bir," kataku sambil mengacungkan telunjuk.

"Tumben," balas bartender dengan mimik penasaran. Aku paham. Hampir jarang sekali aku memesan minuman berkadar alkohol rendah kalau ke sini.

"Gue besok kerja pagi. Jadi yang ringan-ringan aja biar gak pusing," jelasku dengan suara agak keras. Di sini bising. Bising oleh musik yang dimainkan DJ, juga suara orang-orang yang mengobrol. Anehnya, suasana seperti ini membuatku lebih hidup. Merasa kita semua sama. Butuh hiburan untuk melepas semua stres tanpa penghakiman.

Tujuan utamaku malam ini sebenarnya untuk mencari wanita yang sekiranya butuh pasangan satu malam. Aku mulai menyasar satu per satu pelanggan yang menghampiri meja bar. Tak lama, ada satu wanita yang kemudian menarik perhatian dan kuputuskan mendekatinya dengan  mentraktir segelas cocktail. Semua proses pendekatan berjalan lancar tanpa perlu banyak mengumbar gombalan. Setelah itu,  kita berakhir di kamar hotel.

Salatlah!

Mendadak aku terbangun. Jantungku berdetak kencang karena terkejut. Aku yang masih setengah mengantuk, melepaskan rangkulan dari wanita itu untuk mencari HP di nakas samping kasur. Tampak di layar masih jam empat subuh. Masih ada waktu satu jam lagi sebelum pulang.

Salatlah!

Hah? Kenapa rasanya ada yang aneh? Kata-kata itu seperti muncul dari dalam hati. Seluruh tubuhku merinding yang teramat sangat. Seketika aku bangkit dari kasur. Menegakkan diri dan menyapu pandang ke seluruh ruangan. Tidak ada apa-apa. Kunyalakan lampu utama, kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri lalu berpakaian.

Kupastikan sekali lagi. Memeriksa apakah ada kamera tersembunyi atau apa pun yang mencurigakan. Aku yakin tidak ada siapa-siapa selain kami. Tapi bulu kuduk tetap meremang. Dengan terburu-buru aku meninggalkan kamar dan membiarkan wanita yang tidak kutahu namanya itu tetap tidur lelap sendirian tanpa ada ucapan perpisahan atau sejenisnya.

Aku mau minggat secepatnya. Firasatku mengatakan akan ada sesuatu yang buruk jika tetap berada di sini.

Saat taksi yang kupesan tiba, aku bergegas masuk. Semakin perasaan khawatir ini kuabaikan, justru malah makin terasa ganjil. Ini aneh, kataku dalam hati. Bagaimana, ya, cara menjelaskannya? Oke, begini, aku merasa ada 'sesosok' yang tidak bisa kulihat wujudnya sedang berada di dekatku. Terasa sekali keberadaannya yang sedang duduk di kursi kosong sebelah kiriku pas. Padahal di mobil ini cuma ada aku dan sopir taksi, sudah. Namun ada energi lain yang membersamai.

"Pak, ngerasa merinding gitu gak, sih?" tanyaku pada sopir taksi. Hanya sebagai penegasan untuk diriku sendiri apakah perasaan ini dialami juga oleh orang lain.

"Merinding gimana, Mas?"

"Ya, merinding. Tubuhnya merindiiing," jawabku sambil bergidik yang sepertinya tidak cukup memberi gambaran.

"Oh, AC-nya terlalu dingin, ya? Waduh ... maaf, Mas. Lupa saya naikkan suhunya. Hehe."

Waah ... ada yang salah di sini.

Ternyata memang cuma aku yang merasakannya. Pikiranku sudah dipenuhi berbagai praduga buruk. Sampai berselang beberapa waktu, mobil mengerem mendadak. Aku hampir saja tersungkur ke kursi depan.

"Astagfirullah! Mas nggak apa-apa?" tanya si sopir dengan khawatir. Dia berbalik ke belakang untuk memastikan keadaanku.

"Nggak. Nggak apa-apa, aman," kataku. "Tapi ada apa, Pak? Kok ngerem mendadak gitu?"

"Itu Mas, tadi ada kucing tiba-tiba muncul di depan. Duh, maaf ya, Mas. Saya kurang hati-hati."

Salatlah!

Kata itu muncul lagi. Aku menoleh lagi ke samping dan mata ini seolah bersitatap dengan sesuatu. Lagi. Aku tidak bisa melihatnya, entah mengapa keberadaan sosok ini tak terjangkau oleh mata.  Dan kata 'salatlah!' itu muncul di hati, tanpa suara sama sekali. Seolah aku  yang mengatakannya. Padahal bukan.

Sumpah! Aku tidak mengada-ada. Rasanya ada orang lain di dalam tubuh ini selain diriku.

Kemudian pandanganku tertuju pada masjid yang ada di luar jendela. Ternyata taksi ini terhenti di depan gerbang masjid. Kebetulan macam apa ini?

"Masnya mau salat dulu barangkali?"

"Oh, nggak. Kita lanjut aja."

Setelah hari itu, tidak ada hal aneh yang mengikuti kecuali perasaan seperti 'ditemani' sesuatu. Kemungkinan itu cuma halusinasi sesaatku karena kesibukan selama ini atau memang kamar hotel itu memang angker.

Meski kejadian itu masih bercokol di kepalaku, tapi kujalani rutinitasku seperti biasanya. Dan sekarang ini sedang hectic. Kondisi khusus. Undangan datang untuk menghadiri Paris Fashion Week. Semua tim mempersiapkan ini itu untuk mendukung kegiatan bos selama di Paris. Kalau bukan karena bos adalah salah satu wajah baru dari rumah mode dunia yang juga tampil di acara tersebut, jangan harap dapat undangan. Bahkah majalah-majalah fesyen kenamaan saja sulit mendapatkannya. Kecuali kalau sudah kenal baik dengan pemilik rumah mode atau sebangsanya–semacam orang dalam.

Singkat cerita, terbanglah kami ke sana bersama tim. Acaranya berlangsung sembilan hari, tapi kami berangkat tiga hari sebelumnya untuk memantau segalanya. Selama bekerja dengan bos, bisa kuklaim ini adalah rekor jam kerja terlama. Lima belas hari penuh. Istirahat hanya saat jam makan. Waktu tidur kacau, hanya 2-3 jam perharinya. Bisa dibayangkan mata sayu dan muka kuyu, seolah tidak ada kehidupan di dalamnya. Tapi diminta tetap menjaga penampilan. Badan rasanya sudah akan remuk karena skedul dari manajer yang super padat, jadi harus gerak lebih cepat lagi untuk memastikan semua berjalan sesuai konsep. Setelah semua selesai, di malam terakhir, semua tim ditraktir bos ke sebuah lounge mewah.

Percaya tidak percaya, ini adalah awal kegilaan yang terjadi di hidupku. Bingung juga mau mendefinisikannya sebagai apa. Hukumankah? Sepertinya tidak mungkin. Aku ini memang suka alkohol, tapi tidak pernah melakukan tindakan kriminal. Entah itu mencuri, menipu, memerkosa, membunuh, apalagi narkoba. Mm, oke kalau yang terakhir itu aku cuma pakai XTC sesekali. Itu juga kalau lagi party.

Malam itu aku mabuk parah. Mungkin karena kelelahan yang berlebihan, rasanya aku sangat bernafsu pada minuman yang tersaji di meja. Kalap. Teman-teman lain sudah mengingatkan untuk minum dengan perlahan.

"Bil, pelan-pelan. Jangan sekaligus gitu. Lo bisa mati."

"Iya, Bang. Berhenti dulu. Jeda sama makanan."

Semua yang mereka katakan tidak ada yang sanggup menembus telingaku. Aku tidak bisa berhenti. Kuhabiskan setengah gelas vodka tanpa es batu dalam sekali teguk, dan setegukan lagi. Begitu terus sampai melewati batas toleransi alkoholku. Seolah hanya minuman itu yang dibutuhkan lambung. Sistem saraf pusat otak perlu ditenangkan. Seperti anak kecil, aku tidak rela membagi minumanku barang setetes pada yang lain.

Beberapa saat berlalu dan tubuhku mulai bereaksi tidak biasa. Aku segara keluar dari ruangan dan pergi ke toilet dengan sempoyongan. Tubuhku kedinginan seperti mau membeku rasanya, perut mual, semual-mualnya. Sudah tidak tahan ingin muntah. Ditambah lagi napas yang sesak. Susah untuk menghirup oksigen dengan benar. Aku tidak tahu mana yang harus ditangani duluan.

Apa ini yang disebut keracunan alkohol, ya? Badanku kepayahan menahannya sampai yang tampak hanya kegelapan.
...

Samar-samar aku mendengar keriuhan di sekitar, kucoba membuka mata untuk memastikan ada apa. Kepalaku masih sakit. Tapi untungnya rasa dingin di tubuh sudah lumayan berkurang. Pandanganku hanya mampu menangkap gambaran sosok-sosok putih mengelilingiku yang sedang menyandar pada sesuatu.

Aku berusaha berdiri semampuku dan lari dengan tenaga yang masih tersisa. Aku berjongkok dan berteriak sekencang-kencangnya karena tidak mau mati. Tadi aku ada di kakus, sekarat! Tapi sekarang aku di mana? Di alam kubur atau di mana?! Rasa cemas meningkat. Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak pernah kusangka nanti akan ada headline berita tentang seorang laki-laki ditemukan mati dalam bilik kakus karena keracunan alkohol. Hancur. Hancuuuur semuanyaaa!

"Nak, kam ... mas ... dup." Ada yang bicara. Tapi tidak terdengar jelas. Terpotong-potong. Aku masih gemetaran karena takut. Pundakku diguncang pelan, tidak tahu oleh siapa.  Apa itu malaikat Munkar sama Nakir? Atau malaikat Izrail? Aku belum siap. Siapapun, tolong aku!

"Nak, kamu masih hidup." Gimana? Aku tidak salah dengar, kan? Aku mendongak dan melihat laki-laki paruh baya dengan lilitan surban di kepalanya, wajahnya bersih dan tenang. Wewangian yang menyeruak darinya masuk dengan sopan ke hidungku dan menenangkan. Seolah kegusaranku dibawa menguap bersama aromanya di udara.

"Ini bukan akhirat?" tanyaku dengan bibir bergetar dan suara lemah.

"Bukan, Nak. Kita sedang di depan masjid pesantren," jawabnya seraya tersenyum tipis. Aku berusaha menenangkan diri dan membaca papan nama masjid itu. Suara orang di sekitar mulai terdengar jelas dengan bahasa daerah khas jawa timuran.

Aku di Indonesia? Kok bisa? Ini kan tempatku mondok dulu.

Saat itu juga kuseret kakiku untuk berlari menuju gerbang keluar.

Aku yakin tidak akan ada yang percaya kejadian selanjutnya. Aku kembali ada di bilik kakus dengan suara dering HP yang berbunyi. Jono membuka pintu biliknya. Dia mencariku karena sudah tiga jam tidak melihat batang hidungku, katanya. Dan semua sudah lebih dulu pulang ke hotel.

Aku benar-benar gila.

Dalam bopongan Jono, aku mengatakan, "Jon, barusan gue ada di Indonesia. Gue kira kita udah balik. Eh, sekarang kenapa gue di sini lagi, ya?"

"Iya, iya. Gue percaya lo barusan ke Indo, terus balik lagi ke sini kayak dr. Stanger, kan? Gue percaya 100% lo masih mabok, Bro." katanya sambil ketawa kecil.

"Tapi ..." aku tidak melanjutkan kalimatku. Ragu karena mungkin benar kata Jono, aku masih mabuk.

Sampai di kamar hotel–yang sekamarnya diisi empat orang ini–, aku meracau di kamar mandi. Hanya ingin membuktikan sesuatu.

"Woi, lo makhluk apa? Setan? Jin? Atau lo siluman kiriman orang? Kalo iya, siapa orang yang ngirim?"

Aku diperintahkan sang Maha Pengasih untuk mendampingimu sampai waktu tertentu.

Tunggu. 'Mendampingi sampai waktu tertentu' itu maksudnya bagaimana? Jangan-jangan dia malaikat maut. Mampus aku! Artinya sebentar lagi aku akan benar-benar mati? Innalillahi? Ah, aku tidak bisa terima kalau berakhir begitu saja. Aku belum keliling Eropa dengan naik pesiar. Sial, hidupku kenapa bisa berakhir seperti ini?

Hei! Tampakin wujud, lo! Kali ini aku mengucapkannya dalam hati dengan perasaan yang masih gusar.

Yang Maha Kuasa tidak mengijinkannya.

Ternyata ada tanggapan. Kalau begitu, apa ini yang dinamakan bahasa batin? Ah, sekarang bukan waktunya untuk takjub. Kembali pada  tanggapannya, aku mendengus kasar. Sepertinya aku harus tidur dulu agar tidak berhalusinasi lagi.

Kupikir cara itu akan berhasil, tapi sia-sia saja. Tidur tidak menjadikan kondisiku lebih baik. Karena masih dalam satu hari yang sama, aku yang sudah duduk nyaman di kursi pesawat untuk pulang ke Indonesia. Seperti simsalabim! Dalam satu kedipan mata, keberadaanku berpindah ke  dalam sebuah masjid. Di saf pertama, tepat di belakang imam.

Salatlah!

Aku yang panik langsung berlari keluar.

***
Wah, makasih sudah baca sampai akhir.
Gimana, nih, Bilal?

Next chapter: Bilal bin Suwarno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top