GERIMIS DI SUDUT KEDU - 5/5
Bab Terakhir
Jarak Antara Gerimis dan Hujan
Mas Gatra di mana? Rumah Mbah Muh geger.
Aku sontak menelepon Mas Nanang ketika sebuah pesan itu masuk. Dan dia langsung menjawabnya dengan suara gaduh terdengar sebagai latar belakang. Tanpa pikir panjang, aku bergegas kembali.
Kepulan asap dari tumpukan tembakau kering yang dibakar di depan rumah cukup menggambarkan kekisruhan yang ada. Aku lekas masuk ke rumah Mbah Muh setelah mematikan mesin mobil, lalu diikuti dengan Pak Kus yang kuajak serta.
Suasana di dalam rumah dapat dibilang jauh lebih baik dibanding sisa-sisa kemarahan yang tertinggal di halaman depan. Karpet bludru meteran tergelar di lantai ruang tamu telah penuh oleh petani dan beberapa orang penting lain. Pak RW dan Pak Kaum turut hadir di sana. Aku mengambil tempat kosong di samping Pakde. Lelaki itu tampak pucat berkeringat. Bergeming. Terlihat begitu ketakutan menjadi sasaran warga.
Pak RW sebagai juru bicara angkat suara. "Saya paham jika tradisi ini sudah berjalan turun-temurun dari leluhur kita. Bahkan mempercayakan semua hasil bumi Jayakersa kepada Mbah Muh dan Koko sebagai keturunan orang penting di Jayakersa pun rasanya tak cukup membalas utang budi di masa lalu. Namun, akhir-akhir ini kami benar-benar keberatan ketika Mbah Muh tiba-tiba selalu membawa pulang dagangan dan mengatakan semuanya tidak laku. Padahal hal ini belum pernah terjadi sebelumnya," mulainya.
"Kami juga terusik dengan harga segala macam hasil panen yang Mbah Muh berikan selalu berada jauh di bawah harga pasar. Bahkan hampir setengahnya. Belum lagi uang hasil penjualan yang harus kami tunggu berminggu-minggu. Atau kalau tanaman musiman seperti tembakau dan kopi justru bisa sampai berbulan-bulan hingga setahun. Ingin menagih pun segan karena kami sangat menghormati Mbah Muh dan Koko. Kami harap Mbah Muh bisa menawarkan solusi yang sama-sama enak. Saya kasihan sama Pak Sutrisno yang malah sering ditagihi uang."
Benar kata Pak RW. Wajah Pakde sekarang bahkan sudah sepucat dan sekusat kertas. Ia tidak berani berkutik barang sedikit. Hanya menunggu pembelaan dari Mbah Muh.
"Saya turut prihatin dengan apa yang menimpa kita belakangan ini," Mbah Muh membuka suara, "bukannya menyalahkan kehendak Gusthi Allah atau gimana, tapi kita juga sama-sama tahu kalau cuaca belakangan ini tidak menentu. Kadang kelihatannya mau panas, tapi belum sampai azan zuhur tiba-tiba sudah hujan. Saya rasa juga Bapak-Bapak sudah paham, kan, tembakau kalau wis konangan udan jadinya seperti apa? Rusak. Yang di sawah mingsri-nya hilang, yang dijemur tidak kering.
"Sebenarnya saya juga sedikit kecewa dengan tanggapan para petani. Kami, terlebih Pak Sutrisno sudah berusaha keras negosiasi dengan Koko untuk tetap menerima hasil panen dari Jayakersa. Koko pun mencoba maklum dengan menerima hasil panen kita, walau harus dimasukkan ke kelas bawah dan beberapa memang harus terpaksa ditolak karena kualitasnya yang benar-benar berada di bawah batas penerimaan. Tapi setelah semua usaha itu, kok malah seperti ini yang diterima Pak Sutrisno?
"Koko juga butuh waktu untuk bisa mengupayakan tembakau kita masuk gudang sebagai campuran. Makanya uang yang kita terima selalu telat. Ini sudah saya jelaskan berkali-kali juga. Padahal Koko mudah saja kalau mau cari pemasok lain, tapi beliau menghargai hubungan keluarganya dengan Jayakersa yang sudah dibangun beratus-ratus tahun. Bagaimana bisa kita malah menaruh prasangka buruk ke Koko setelah semua apa yang beliau usahakan?"
Seisi ruangan mendadak hening selepas Mbah Muh mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini dipendamnya. Namun, entah Mbah Muh ini dasarnya terlalu polos atau wajah dan tuturnya yang terlalu hebat dalam sandiwara, semua orang di sana justru merasa iba. Seperti murid ngajinya yang tertangkap basah melakukan kesalahan, mereka mulai tak yakin dengan semua tuntutan yang sempat diandarkan. Dan, ini tentunya tak dapat lagi dibiarkan.
"Mbah Muh dari dulu selalu saja seperti ini," belum sempat aku membuka mulut, Mas Nanang lebih dulu bersuara, "Mbah Muh selalu memutarbalikkan keadaan. Selalu memperdaya kita dan memanfaatkan rasa hormat dan cerita masa lalu agar kita sungkan untuk menolak semua yang beliau bicarakan dan lakukan. Ini sama saja dengan penjajahan, tapi kita tidak pernah menyadarinya."
Ini tidak terlalu bagus. Memang benar apa yang dikatakan Mas Nanang, tetapi terlalu emosional.
"Gimana maksud Mas Nanang? Memanfaatkan keadaan bagaimana?"
"Mbah Muh selalu saja membawa-bawa leluhur Mbah Muh dan Koko. Jayantaka, Sunaryo, atau siapa itu. Gila akan penghormatan dan akhirnya berlaku sewenang-wenang."
"Mas Nanang." Kali ini Pak RW yang menegur.
Tanggung. Mas Nanang tetap melanjutkan apa yang sudah sangat mengganjal di hatinya.
"Bagaimana Mbah, jika semua orang tahu kalau semua yang Mbah Muh ceritakan itu salah? Kalau sejarah islamisasi Jayakersa, Jayantaka dan Sunaryo atau siapa itu hanya bualan belaka yang sudah diturunkan dari tahun ke tahun?"
Mas Nanang menjatuhkan bom. Bukan hanya Mbah Muh, semua orang di ruangan ini tampak sangat terkejut.
"Mas Nanang ini bicara apa?" Berganti putra Mbah Muh yang bersuara, "Mulai ikut-ikutan yang di Facebook itu? Atau jangan-jangan malahan orang itu Mas Nanang? Yang menyebarkan fitnah tentang Bapak dan leluhurnya."
"Memang itu perbuatan saya."
Ngawur. Kalau benar Mas Nanang pemilik akun anonim itu, orang yang selama ini aku cari, dia benar-benar berani. Jelas-jelas catatan itu masih ada di surau ketika aku sampai di Jayakersa dan Mas Nanang tampak terkejut ketika kuberi tahu bahwa aku menemukan sebuah catatan kuno. Bahkan belum genap kuceritakan apa yang ada di atas kertas itu, tapi Mas Nanang sudah begitu yakin bahwa Mbah Muh terlibat di dalamnya. Atau jangan-jangan selama ini Mas Nanang sudah tahu? Atau Mas Nanang yang menyimpan catatan itu di bawah ubin surau?
"Saya mungkin masih bisa menahan diri kalau ada orang yang memberikan ujaran kebencian kepada saya, tapi tidak kalau sudah menyangkut soal leluhur. Orang yang sudah begitu berjasa untuk Jayakersa, saya tidak bisa diam, Mas. Saya begitu menghormati leluhur kita, bagaimana bisa Mas bilang kalau selama ini yang kita percaya adalah dusta?" Air muka Mbah Muh mengeras. Tersulut oleh perkataan Mas Nanang.
Mas Nanang menoleh ke arahku dan aku tahu betul apa yang dia maksud.
"Saya menemukan bukti yang dapat mematahkan semua cerita yang selama ini Mbah Muh sampaikan," suaraku sedikit bergetar, tapi aku berusaha keras melanjutkan, "memang ada lukisan besar seorang tokoh yang tersimpan di surau juga silsilah keluarga Mbah Jayantaka, tapi itu tidak cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa beliaulah orang pertama yang mengenalkan Islam di Jayakersa."
"Lukisan itu sudah ada sejak dulu dan apa yang Mbah terima ini cerita turun-temurun, Mas," sangkal Mbah Muh.
"Ini masalahnya, Mbah. Sedari dulu cerita ini kita terima, tapi kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan catatan ini, mengatakan yang sebaliknya kepada kita. Terkait apa yang terjadi di Jayakersa," kataku selagi menunjukkan catatan yang kudapatkan di surau. Aku menyerahkan bukti itu kepada Pak RW dan Pak Kaum. Beberapa orang di kanan-kiri mendekat untuk turut membaca deretan akasara di sana.
Tidak ada rasa penasaran sama sekali yang tertampang di wajah Mbah Muh. Mukanya lebih menyiratkan pertanyaan tentang bagaimana catatan itu dapat berada di tanganku. Pun, aku dapat menangkap Mbah Muh yang sedikit-sedikit melirik Pakde. Beberapa kali mencoba berkomunikasi dengan isyarat mata dan jari.
"Saya pergi ke Kedu untuk memastikan apa yang saya temukan di surau. Saya juga mendapat banyak informasi dari Pak Kus yang membenarkan jika Ki Ageng Makukuhan memang pernah menyebarkan Islam di daerah sini. Bahkan ada juga surat yang dikirimkan ke Kedu yang ditulis oleh pemilik catatan itu, Retnaningtyas, putri Aryasatya. Seorang yang sebenarnya menyebarkan Islam di bumi Jayakersa," terangku di tengah diskusi yang tiba-tiba muncul.
"Surat ini sudah disimpan oleh leluhur saya ratusan tahun dan tulisan serta kertasnya sama persis seperti yang Mas Gatra temukan," Pak Kus turut mengeluarkan surat yang disimpannya.
Semua orang di sana saling pandang setelah menghabiskan beberapa menit untuk saling meyakinkan bahwa mereka memiliki kesimpulan yang sama.
"Apa Mbah Muh sudah tahu sejak lama adanya bukti ini dan memilih untuk menyembunyikannya?" Pak RW mengajukan pertanyaan.
Mbah Muh menyangkal, "Demi Allah, saya tidak tahu apa yang tengah dibicarakan. Dan catatan itu, saya baru melihatnya."
Hening beralih menguasai suasana. Aku menghela napas panjang berkali-kali sebab merasa begitu sesak. Kepolosan Mbah Muh masih tersimpan dengan baik di wajahnya. Dan pada saat-saat seperti itu, ketika kami mulai saling pandang dan memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang menyembunyikan fakta itu selama ini, suara Pakde terdengar begitu jelas dari sebelah kananku.
"Saya rasa sudah cukup semua kebohongan yang Mbah Muh berikan," katanya dengan suara bergetar.
Aku sontak beralih memandang Pakde yang belum berani mengangkat pandangannya.
"Saya sudah bekerja dengan Mbah Muh bertahun-tahun dan sudah paham sifat serta watak asli beliau."
Itu pertanyaan yang cukup membuat kami terkejut.
"Benar bahwa semua yang dikatakan Mbah Muh adalah dusta. Mbah Muh sudah tahu jika selama ini, cerita yang selama ini dipegang oleh leluhurnya adalah karangan belaka. Mbah Muh pernah membaca catatan yang Mas Gatra temukan dan meyakini isi di dalamnya adalah kebenaran. Makanya beliau begitu ketakutan dan meminta saya untuk menghilangkan barang bukti tersebut. Mbah Muh tidak tahu jika catatan itu saya sembunyikan di surau dan beberapa waktu kemudian Mas Gatra menemukannya." Pakde menjabarkan apa yang sebenarnya terjadi.
"Saya kira Mbah Muh akan berubah seiring dengan usai beliau yang kian sepuh, tapi apa yang terjadi kian hari, malah semakin menjadi-jadi." Pakde menjeda kalimatnya barang sesaat untuk mengambil napas panjang.
"Benar jika Mbah Muh sering memainkan harga panen semaunya. Dan yang membuat saya tak tahan lagi, Mbah Muh dan Koko bahkan memanfaatkan kepercayaan dan keseganan petani Jayakersa dengan menukar tembakau mereka di gudang. Tembakau-tembakau yang selama ini dipulangkan adalah tembakau lain yang rusak selama penyimpanan di gudang Koko akibat pemeliharaan yang tidak benar. Berjamur bukan karena tidak kering saat dijemur, tapi karena kecelakaan penyimpanan di gudang Koko. Mas Nanang bisa menjadi saksi atas hal ini karena dia sudah membuntuti saya berhari-hari dan tahu betul apa yang terjadi di Parakan."
Mbah Muh mengepalkan jemarinya kuat-kuat. Menahan amarah akan semua yang Pakde utarakan.
"Sudah lama saya ingin mengatakan hal ini, tapi tidak bisa. Di tengah keyakinan saya yang goyah akan iming-iming sawah yang Mbah Muh tawarkan jika terus tutup mulut, saya juga ingat bagaimana Sulistyo, bapaknya Gatra dikucilkan karena pernah melawan Mbah Muh. Saya tidak punya cukup keberanian untuk hal itu. Makanya, saya meminta bantuan Mas Nanang untuk menghubungi adik saya, Sulis di Semarang."
Jadi, semua ini bukan ketiba-tibaan. Mas Nanang yang tiba-tiba mengajak berbisnis, rumor yang ramai beredar di Facebook, dan kedatanganku. Semua sudah diatur.
"Saya rasa, Sulis atau putranya yang mampu membongkar ini semua kepada dunia." Pakde menatapku. Dapat kutemukan ketulusan yang begitu kentara dalam ucapan dan tatapan Pakde.
"Maafkan saya, Mbah Muh. Saya tidak bisa lagi menjadi abdi setia Mbah Muh. Tidak tahan lagi untuk meneruskan semua dusta yang selama ini diwariskan turun-temurun."
Untuk kali pertama, aku dapat melihat kilat kemarahan yang besar di wajah Mbah Muh.
***
Pengakuan Pakde sebulan lalu meruntuhkan semua kepercayaan terhadap Mbah Muh. Bapak berkenan kembali ke kampung halaman dan bersedia mengikuti saran Mas Nanang. Sudah tiga minggu ini, Bapak wira-wiri Jayakersa – Kudus menggantikan pick-up Mbah Muh yang tak lagi mengangkut tembakau. Seperti dugaan Mas Nanang, Bapak sukses besar. Bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga untuk petani-petani Jayakersa.
Distribusi komoditas pertanian itu berjalan lancar. Kuakui, Bapak memang ahlinya dalam berdagang. Entah kenalannya yang mana, yang ia mintai bantuan hingga dapat memasukkan barang mentah ke salah satu pabrik kretek besar di Kudus. Setidaknya, uang penjualan tembakau bisa turun tiga hingga lima hari atau paling lama seminggu sudah sampai di tangan petani. Tak perlu menunggu berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan terkadang lupa dibayar.
Sebagai ucapan rasa syukur, pesta panen digelar besar-besaran di malam selikuran. Surau di dekat jalan mulai direnovasi dari infak para warga. Pun, kami akhirnya menemukan ketiga makam yang berada di bawah rumpun bambu dengan nama Aryasatya, Siti Syarifah, dan Retnaningtyas tertulis jelas di atasnya. Sebagai bentuk tanda hormat kepada sosok yang berperan penting dalam islamisasi di Jayakersa, makam-makam tersebut dibenahi dan belakangan secara rutin ramai diziarahi.
Mbah Muh tidak pernah lagi terlihat, kecuali setiap menunaikan salat jamaah di hari Jumat. Barangkali menghindar dari sengketa tanah wakaf yang tak usai-usai. Alasan-alasan semacam batas-batas yang tak jelas, sebagian besarnya sudah dijual, diwariskan menjadi petakan-petakan kecil, serta bukan ia seorang keturunan dari Sunaryo, terus diulang-ulang. Dari sanalah aku menyadari bahwa di usianya yang sudah begitu renta, Mbah Muh masih pandai bicara dan berdalih. Pantas aku pernah dibuat percaya olehnya.
"Mas mau tahu kenapa Bapak dulu nekat berdagang padahal sadar kalau bakalan ditentang Pakde dan Mbah Muh?" Bapak berucap setengah bergumam pada sebuah sore yang tenang.
Orang-orang yang turun dari pesarean untuk mencuci kaki di sendang hanya tersisa satu dua. Maka Bapak bersiap mendapatkan giliran sembari membersihkan tanah yang menempel pada cangkul—yang sebelumnya Bapak gunakan untuk mengubur sampah dedaunan—dengan sejumput rumput belulang.
"Kenapa, Pak?" tanyaku. Jarang sekali Bapak lebih dulu membuka percakapan. Apalagi berniat bercerita seperti ini.
"Waktu itu, Bapak mimpi kalau di depan sendang, di sawah depan yang lagi kamu pandangi itu ada kolam ikan yang airnya jernih sekali. Di mimpi itu lagi musim kemarau. Entah dari mana datangnya air karena sendang pun cuma terisi separuh, tapi air di situ tingginya sampai sepinggang. Orang-orang berebut ikan di dalamnya yang bermacam-macam. Ada ikan mas, mujahir, gurame, bahkan lele di dalam satu kolam," terang Bapak. Seolah benar-benar mengingat detail mimpinya delapan tahun yang lalu.
"Bapak dapat ikan gurame warna emas besar sekali. Panjangnya bahkan sampai selengan Bapak," Bapak sedikit tertawa mengingat mimpinya, "tapi sayangnya Bapak enggak bawa wadah. Dan saat Bapak membopong ikan itu untuk mentas dari kolam, ada orang yang nawarin buat Bapak minjam keranjangnya. Tapi Mas tahu keranjang apa yang ditawarkan?"
Aku penasaran, tetapi memilih untuk tetap diam.
"Keranjang tembakau," jawabnya sendiri, "orang itu bilang kalau bakal minjamin keranjangnya, tapi Bapak dimintai tolong satu hal. Beliau minta Bapak menjualkan semua ikan ke Kudus, termasuk ikan-ikan milik warga lain yang masih jadi rebutan di kolam."
Aku tak bisa menahan senyum mendengar cerita Bapak.
"Dan paginya setelah bangun, Bapak langsung ke Parakan kredit pick-up," Bapak menertawakan dirinya sendiri, "padahal waktu itu yang Bapak pakai buat bayar uang muka, tabungan kamu buat SMA. Pulang-pulang langsung dimarahi Ibu."
"Berani banget Bapak," komentarku.
"Iya, ta? Bapak juga ingat gimana senangnya kamu diantar sekolah pakai mobil pick-up padahal di belakangnya Bapak dimarahi habis-habisan sama Ibu."
"Bapak udah kepikiran buat mau dagang sayuran waktu beli mobil itu?"
Bapak mengangguk mantap. "Iya. Makanya Bapak senang ngantar kamu dan teman-teman yang sekolah di Parakan buat lihat-lihat harga. Habis itu, enggak lama, kan, Bapak mulai ambil kembang kolnya tetangga."
Aku mengangguk-angguk. Turut bernostalgia bersama Bapak. Termasuk menghadirkan kenangan ketika Bapak ditentang oleh sebagian besar warga yang dimotori oleh Pakde dan memilih pindah ke Semarang.
"Bapak jadi ngerasa kalau semua itu memang terjadi disengaja, Mas. Bukan kebetulan Bapak mimpi dapat ikan dan tiba-tiba kepengin dagangan sampai beli pick-up. Bapak baru sadar itu saat Mas cerita tentang Aryasatya."
"Sadar gimana, Pak?"
"Orang yang ada di mimpi Bapak dulu, yang minta Bapak jualan ikan ke Kudus, beliau bilang kalau namanya Aryasatya."
Aku terkesiap hingga tak dapat berkata-kata.
"Bapak sudah menjalankan dawuh itu. Walau sekarang kita tinggal di Semarang, Bapak tetap akan ngambil sayuran dari Jayakersa. Nanti misal enggak muat, kan bisa kamu bantu tawarin ke grup-grup Facebook. Barangkali ada yang butuh."
Memang jiwa bisnis Bapak di atas rata-rata. Aku bahkan belum pernah terlintas pikiran semacam itu.
"Dan yang paling penting, ayo dikejar skripsinya. Sejarah tanpa catatan bisa musnah." Bapak bangkit dari duduknya. Menepuk pundakku sebelum berlalu meninggalkan aku yang masih duduk termenung di pinggiran pematang.
Lebaran tinggal besok dan hampir tiap minggu aku pulang-pergi Semarang – Jayakersa selama bulan puasa, tetapi gadis itu belum lagi kutemui. Pertemuan terakhir adalah sehari sebelum malam sahur pertama. Setelah orang beramai-ramai nyekar dan aku menjadi orang terakhir yang mencuci kaki di sendang.
Udara terasa lebih dingin dan awan mendung menggantung sangat rendah. Aku lekas meninggalkan sendang selepas mencuci sapu dan sendal. Sama seperti kali pertama bertemu, gadis itu muncul dari bilik wanita. Ia memakai pakaian serupa, pun menenteng ember yang berisikan ikan yang telah dicuci dan disiangi. Refleks bibirku bergerak membentuk senyuman sebagai bentuk sapaan.
"Banyak sekali ikannya, Mbak," kataku. Musim kemarau belum berakhir, tetapi sudah kutemui belut dan ikan lain yang banyak dijumpai pada saat musim tanam padi mengisi ember hijau yang dibawanya.
"Alhamdulillah, Mas."
Aku tersenyum lagi. Kalau tidak salah hitung, ini adalah pertemuan keempat kami. Pertama kali ketika di sendang ini, kedua saat berdiskusi dengannya di mobil pick-up seusai dari Parakan, ketiga di suatu sore ketika aku menemukan sebuah catatan kuno, dan kali ini benar yang keempat.
"Mas Gatra kapan kembali ke Semarang?" tanyanya dalam keramah-tamahan. Agaknya setelah itu kami tidak perlu memperdebatkan islamisasi yang terjadi di Jayakersa karena secara tidak sengaja ia telah menjawab semua pertanyaanku. Kalau saja aku tidak datang ketika ia memintaku ke surau, mungkin saat ini aku masih bergulat dengan keingintahuan yang belum juga usai.
"Insyaa Allah besok setelah subuh sudah pulang ke Semarang, Mbak, daripada nanti bertemu tarawih di jalan. Atau kalau enggak, palingan lusa. Awal puasa gini biasanya rame."
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Saya sebenarnya agak kesal waktu kemarin Mbak tiba-tiba meninggalkan saya di surau." Aku mengarahkan pembicaraan pada hari sebelumnya.
Dia hanya terkekeh. "Yang penting sudah bertemu jawabannya, kan?"
"Alhamdulillah," jawabku, "seolah hari itu memang sudah ada yang menuntun agar saya bisa menemukan jawaban. Kenapa Mbak tidak langsung saja memberitahu saya?" Dilihat dari bagaimana gadis itu merespons, ia pasti sudah tahu kebenaran yang sesungguhnya sebagaimana Pakde dan Mas Nanang.
"Tugas saya hanya sebagai perantara. Biar Mas Gatra sendiri yang temukan jawabannya karena Mas mampu." Ia tersenyum.
Dan aku kikuk.
Kami tidak lagi berkomentar satu sama lain. Menghabiskan perjalanan dalam diam selagi angin berembus semakin kencang. Saat itu kami sama-sama tahu jika hujan deras sebentar lagi akan datang, tetapi masih saja menghemat langkah. Hingga akhirnya, kami sampai di persimpangan jalan.
Ia tak langsung masuk ke jalan setapak. Padahal aku ingin segera tahu belokan sebelah mana yang biasa ia gunakan untuk menghilang. Sesaat dirinya justru memandang langit. Memastikan bahwa hujan sebentar lagi akan turun. "Bagaimanapun, saya bersyukur bahwa apa yang terjadi di Jayakersa bukanlah hujan badai, tapi gerimis. Mungkin perlu beratus-ratus tahun untuk menyingkap kebenarannya, tapi alhamdulillah ... setelah gerimis berhenti, kebenaran itu tidak turut larut di dalam air yang dibawanya. Terima kasih, Mas Gatra, karena sudah banyak membantu kami."
Aku menggeleng. "Tidak banyak. Saya hanya mendapat jawaban dari apa yang membuat saya penasaran. Saya yang justru berterima kasih kepada Mbak ...." Aku menggantung kalimat.
Lantas ia melengkapi dengan menyebut namanya, "Retnaningtyas."
Kemudian, ia berlalu. Aku hanya dapat berdiri di persimpangan jalan, mengantarkannya dengan pandangan. Air benar-benar turun sebelum gadis itu menyelesaikan setengah dari jalan setapak yang ia lewati. Deras lajunya membuat punggungnya tak lagi dapat kujamah.
Setelah waktu itu, figurnya benar-benar hilang. Tak lagi kuingat wajah dan suaranya. Lenyap. Seolah terbawa oleh hujan.
-Selesai-
***
Alhamdulillah ... akhirnya kita sudah berada di ujung cerita. Terima kasih banyak untuk Teman-Teman yang sudah menemani Gatra hingga cerita ini selesai.
Gimana nih, endingnya? Boleh yuk, komentar sebanyak-banyaknya .... semoga kita bisa bertemu di lain kesempatan ....
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ditulis dengan penuh kasih oleh Linda Lidiasari, @lyndia_sari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top