GERIMIS DI SUDUT KEDU - 3/5

Bab 3

Suara dari Retnaningtyas

Aku benar-benar pergi ke surau sore itu. Bahkan sebelum azan asar terdengar—sedangkan kegiatan mengaji dilakukan bakda asar, aku sudah menjadi penunggu pertama.

Surau sudah tampak sangat tua. Namun, untuk orang-orang sepertiku, bangunan seperti inilah yang justru banyak menyimpan nilai sejarah. Ubin surau tampak kelabu dan dinding putih yang mengelilingi bangunan itu tetap berwarna putih kusam kendati dibersihkan dan dicat lagi berulang kali. Hanya karpet hijau meteran yang terlihat baru di sana.

Tak lama berselang, Mbah Muh datang. Beliau setengah terkejut mendapati kehadiranku. Kemarin kami tak sempat bertemu sebab saat aku ke rumah Mbah Muh, beliau sedang berada di surau. Kami hanya bertukar sapa seperlunya karena Mbah Muh memintaku bersiap untuk mengumandangkan azan. Aku menurut. Seiring dengan panggilan salat yang terlantun, satu per satu orang mulai berdatangan. Namun, di antara beberapa orang yang berada di sana, bahkan setelah komat, kedatangan gadis itu tak tertangkap oleh netraku.

Aku sudah mengundur kepulanganku untuk mendapat pencerahan dari rumor-rumor yang beredar. Ibu sudah dua kali menelepon, tapi kuabaikan. Karena aku tahu yang akan dia tanyakan antara kapan aku akan pulang atau bagaimana informasi terbaru dari Mas Nanang. Dan aku enggan membahasnya. Yang terpenting bagiku sekarang adalah masalah yang menyakut tentang Mbah Muh. Kalaupun rumor yang beredar benar, aku harus tahu sebanyak apa rahasia yang guru ngajiku itu sembunyikan. Kalaupun salah, setidaknya aku harus dibuat paham mengapa ada golongan orang yang tega memfitnah orang suci seperti Mbah Muh.

Untunglah, gadis itu datang. Aku tidak sadar kapan munculnya sosok itu, tapi seingatku ketika jamaah mulai bubar, ia belum tiba di surau. Barulah ketika murid-murid Mbah Muh manata dampar dan duduk rapi di belakangnya, aku tersadar jika gadis itu sudah duduk sendirian di barisan paling belakang. Tengah tadarus Qur'an. Aku berasumsi bahwa ia mungkin salah satu pengajar di sini.

Suasana sore yang dilingkupi suara orang-orang mengaji seperti ini masih persis seperti tujuh tahun lalu. Hanya saja, penghuni surau tak lagi seramai dulu. Aku masih ingat bagaimana harus berdesak-desakan dan berebut tempat duduk agar dapat meletakkan mushaf di atas dampar panjang. Namun, sekarang beberapa meja yang biasa digunakan untuk mengaji itu bahkan tersimpan rapi di pojok ruangan.

"Pakdemu bilang katanya mau pulang ke Semarang hari ini, ta, Mas. Kirain kalau Mbah Muh enggak akan sempat ketemu kamu." Mbah Muh menghampiriku setelah selesai mengajar mengaji. Beberapa muridnya memilih langsung pulang sedangkan sisanya masih tinggal di surau selagi menunggu azan magrib. Yang terpenting bagiku adalah gadis itu masih aman di tempatnya.

"Rencananya begitu, Mbah, tapi kalau belum sowan Mbah Muh kok rasanya ada yang kurang," jawabku. Biarlah berbohong sedikit. Meskipun orang yang kutunggu hampir dua jam di serambi masjid sebenarnya bukan beliau.

Mbah Muh terlihat puas dengan jawabanku. Terlihat dari senyumnya yang merekah di antara wajah teduhnya.

"Gimana kabar Bapak dan keluargamu di Semarang? Sehat-sehat, kan?"

"Alhamdulillah sehat, Mbah." Bahkan dalam perang dingin yang begitu lama, Mbah Muh masih mempertanyakan kabar Bapak. Aku tak tahu apakah itu sekadar basa-basi, tapi dibandingkan Bapak yang selalu terus terang memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Mbah Muh, respons Mbah Muh terhadap hubungan mereka jauh lebih baik. Ini yang membuatku memilih untuk menjadi pihak netral. Mencoba untuk tidak terpengaruh oleh Bapak, pun membatasi diri agar tidak seutuhnya terhasut oleh Mbah Muh.

"Sepertinya sekarang yang ngaji di sini enggak sebanyak pas saya kecil dulu, ya, Mbah?" Aku membuka percakapan. Alasan saja agar aku dapat menoleh ke dalam masjid. Memastikan gadis itu belum keluar dari surau. Mungkin dia canggung jika kami bertemu di tempat ibadah seperti ini. Tapi jika benar begitu, aku tak tahu apa yang dia pikirkan hingga sedari awal memilih tempat ini. Padahal kami bisa bertemu besok pagi saja bersamaan dia pergi ke pasar, atau bagusnya lagi, kami selesaikan diskusi itu siang tadi.

"Biasanya enggak, Mas, belakangan ini aja," jawab Mbah Muh.

Aku menyadari adanya hal tersembunyi di balik kata-kata Mbah Muh. Terlebih karena beliau hanya memberi jawaban seperlunya tanpa adanya alasan ke mana perginya murid-muridnya. Kalau saja saat ini musim turnamen, aku bisa memaklumi jika mereka membolos untuk mendukung tim kesebelasan favorit mereka. Karena aku dulu juga pernah begitu. Namun, setahuku pertandingan sepak bola antar-RW yang diselenggarakan oleh kelurahan biasanya diadakan setelah lebaran.

"Apa karena Mbah Muh, ya, Mas, jadi anak-anak enggak mau berangkat ngaji." Suara Mbah Muh terdengar getir, tapi beliau mencoba menyamarkannya selagi tersenyum sumbang, "Mas tahu, kan, kalau lagi ada omongan kurang enak tentang Mbah?"

Berpura-pura tidak tahu apa-apa pun percuma karena Mbah Muh sudah tahu jawaban dari pertanyaannya. Semua warga sudah dengar terkait rumor itu. Hanya saja separuhnya langsung percaya sedangkan sisanya masih setia kepada Mbah Muh. Kalau aku, biar kulihat dulu bukti dan pendekatan mana yang paling bisa diterima.

"Mbah Muh enggak ngarani siapa-siapa orangnya. Tapi eman kalau mereka enggak mau berangkat ngaji karena perkara yang tidak benar. Ini yang tetap berangkat ngaji juga kebanyakan cucu-cucunya teman Mbah Muh. Orang-orang yang masih percaya sama Mbah."

Aku merasa ngeri. Ternyata satu omongan yang menyebar dari mulut ke mulut dapat berdampak sebesar itu. Aku tak bisa membayangkan kalau ternyata semua hal yang dituduhkan kepada Mbah Muh sebatas ujaran kebencian, bagaimana orang-orang itu akan mempertanggungjawabkan fitnah yang telah disebarluaskan.

Lagi, aku menoleh ke dalam surau. Dan gadis itu masih ada di sana. Apa benar Mbah Muh benar-benar tidak tahu satu dua orang yang menjadi jembatan untuk sampainya kabar burung itu ke seisi Jayakersa? Atau selama ini Mbah Muh sadar jika gadis yang selalu bersamanya di surau, yang hampir setiap hari ditemuinya, adalah salah satu dari penyebar berita itu, tapi beliau memilih tetap diam? Terkadang orang terdekat memang dapat menjadi sosok yang paling membahayakan.

"Setengah jam lagi magrib, Mas," Mbah Muh menyadarkanku ketika pikiran ini mulai liar, "mau bantu beres-beresin surau? Itu ada beberapa meja yang sudah rusak kena rayap, mau Mbah Muh pindah ke gudang belakang."

Aku mengangguk. Lantas bergegas membantu Mbah Muh memindahkan meja yang dimaksud sedangkan beliau pergi ke belakang untuk membuka gudang.

Aku berpapasan dengan gadis itu tepat di depan pintu. Bersiap untuk pulang. "Mbak kita belum sempat—"

"Sudah mau magrib, Mas. Saya harus pulang."

Sebentar ... apa alasannya? Ini aneh. Benar-benar terasa konyol untuk seorang yang sudah menunggu berjam-jam meminta bukti dan penjelasan, mengabaikan telepon Ibu, dan membatalkan untuk pulang, tapi gadis itu malah berniat pergi. Seolah kehadirannya di surau hanya untuk memastikan kalau aku benar-benar datang dan tak kabur. Gadis itu dan Mas Nanang sama saja. Selalu memberikan informasi tak utuh yang membuatku seperti orang bingung mencari kebenaran ke sana kemari. Sendiri.

"Mas, gudangnya sudah Mbah buka." Suara Mbah Muh terdengar.

Aku mengabaikan gadis itu. Memilih patuh kepada Mbah Muh dan segera memindahkan meja panjang yang sudah reyot ke gudang sebelum disusul azan magrib. Mbah Muh memberikanku kunci dan berpesan untuk menutup gudang setelah aku selesai.

Jujur, aku sedikit terkejut ketika Mbah Muh menyebut ruangan itu sebagai gudang. Ini jauh lebih rapi dibanding tempat penyimpanan barang bekas pada umumnya. Pun, yang tersimpan di sini bukan lagi barang-barang tak bernilai, tapi justru barang-barang peninggalan nenek moyang yang terawat dengan baik.

Ada satu lukisan cukup besar tertempel di dinding sebelah selatan. Lelaki bersorban dengan rambut, kumis, dan jenggot panjang yang sudah memutih. Di bagian bawah lukisan itu tertera nama 'Jayanta' beserta masa hidupnya. Jadi, ini sosok yang sering Mbah Muh ceritakan dulu. Seorang Tionghoa yang penuh keberanian datang ke Jayakersa untuk menyebarkan agama Islam lewat perantara dagang.

Di samping kiri lukisan terdapat silsilah keturunan Mbah Jaya—begitu saja kusebut biar mudah, mulai dari anak pertamanya sampai pada Koko yang ada di Parakan. Mbah Muh memang orang yang sangat menghormati leluhur. Karena nenek moyangnya keturunan murid Mbah Jaya, keluarga Mbah Muh secara turun temurun selalu menjaga cerita itu sampai anak cucunya.

Satu hal lagi yang menarik perhatianku adalah ubin di sudut ruangan tampak berbeda dari yang lain. Sedikit lebih timbul dan ketika kuangkat, benar-benar terlepas dari lantai. Aku terkesiap. Ada sedikit ruang yang digunakan untuk menyimpan sebuah kotak kayu berbungkus plastik. Jadi begini cara orang zaman dulu menyimpan barang sebelum mengenal brankas, pikirku.

Sulur-sulur timbul menghiasi permukaan atas kotak berbahan kayu jati itu. Tampak begitu tua dengan gembok yang sudah berkarat mengunci tutupnya. Telanjur penasaran, aku membukanya dengan kunci paling kecil di antara beberapa kunci yang Mbah Muh berikan. Dan untunglah pas.

Berlembar-lembar kertas kusam kecokelatan tersimpan di sana. Pun, deretan aksara jawa tercetak cukup tebal bahkan hingga dapat diterawang dari belakang.

Jayakersa, 1 Pasa 883H

Malam sahur Kedu begitu ramai. Sama seperti tahun-tahun lalu. Ning jadi penasaran bagaimana Bapak memulai puasa di tanah baru. Meskipun sisanya adalah kekhawatiran-kekhawatiran kalau saja apa yang Bapak sampaikan tidak dapat diterima oleh orang-orang Jayakersa. Namun, semua itu terpatahkan ketika Ki Ageng pulang dan menyampaikan bahwa keadaan di sana baik-baik saja.

Aku mengernyit. Beberapa kali kubaca seratan itu. Beberapa kali juga kupastikan ulang bahwa tanggal yang tertera di sana tidak salah kubaca. Saat ini sudah 1430 hijriah, tapi yang tertera di sana 883 hijriah. Lima abad yang lalu.

Aku membolak-balikkan kertas yang kupegang. Meraba permukaan kertas yang kasar dan lembap. Mirip kertas karton, tapi setipis kertas dodol. Dari aromanya yang sedikit apek, aku yakin jika kertas-kertas ini sudah lama disimpan. Tapi, apa iya, sampai 500 tahun lebih?

Aku mengambil kertas yang lain, tapi tanggal yang tertera di sana masih dalam kurun waktu yang sama. Sekitar 880-an hijriah.

Jayakersa, 27 Jumadilawal 888H

Ini mungkin akan menjadi catatan terakhir dan terpanjang yang Ning tulis. Kerinduan kepada Sang Khalik benar-benar telah membuncah. Keinginan kembali berkumpul bersama Bapak, Ibu, dan Kangmas telah menjadi hari yang sangat Ning impi-impikan. Sebab saat ini, ketika Ning mengingat kematian, yang terlintas adalah kebahagiaan serta ketenangan yang dirasakan. Semogga Allah menanggalkan semua kebencian yang pernah Ning berikan kepada dunia.

Sungguh, Ning tidak berhenti berharap jika dalang yang menjebak Kangmas bukanlah Mas Jayantaka. Namun, ketika Ning tanyakan kepadanya, ia bahkan tiada sedikitpun berniat memberi pernyataan pertentangan. Diam seakan membenarkan ucapannya yang Ning dengar selepas pemakaman Ibu. Mas Sunaryo tiada mau bersaksi ketika Ning menangkap basah mereka, dan yang menjadi kecewa, kebencian akan fitnah keji yang Mas Jaya dan Mas Sunar sebarkan menjadikan orang-orang tak lagi peduli akan apa yang menimpa keluarga kita.

Tanah di belakang masjid yang Bapak wakafkan bahkan sudah dibagi-bagikan: setengahnya diambil oleh Mas Jaya, seperempatnya diberikan kepada Mas Sunar, sedang seperempat lagi sisanya dibagikan kepada petani dengan dalih ganti rugi dari tembakau yang Kangmas bawa pergi. Ning sudah mengingatkan, bahwa tanah wakaf bukanlah kepemilikan ahli waris Bapak yang dapat dibagi-bagikan. Namun, kegilaan akan harta kepemilikan membuat tiada seorang pun yang hendak mendengarkan. Semoga mereka dijauhkan dari kemurakaan Allah dan Allah senantiasa melindungi Jayakersa, tetap menjadikan tanah itu subur dan makmur untuk memenuhi pangan penduduknya, dan mereka tetap menjunjung ajaran tauhid.

Semoga apa yang pernah Bapak dititipkan di tanah ini menjadi amal ibadah yang mengantarkan Bapak ke tempat terbaik di sisi Allah, kendatipun Ning masih berharap satu-dua di antara mereka masih terus mengingat dan mendoakan Bapak. Meskipun mereka mulai melupakan Bapak, Ning harap, semua yang terjadi hanyalah sebatas gerimis yang jatuh pagi itu. Seberapa banyak tetesnya, tidak pernah menghilangkan mingsri di daun-daun tembakau. Walaupun begitu banyak kebencian yang coba digunakan untuk menghanyutkan kenangan akan Bapak, semoga tidak menjadikan kebenaran larut di dalamnya.

Tertanda oleh Retnaningtyas.

Lidahku kelu. Napas memburu. Jika Jayantaka yang tertulis di seratan itu adalah Jayantaka yang sama, yang lukisannya terpasang di ruangan ini, apa yang diceritakan Mbah Muh berbanding terbalik dengan yang tergambarkan di kertas-kertas itu. Dengan cepat kubuka dan kubaca catatan kecil yang lain. Dan semua catatan itu saling berhubungan, menunjukkan tragedi besar yang pernah terjadi di Jayakersa.

Kedu, Jayakersa, Jayantaka, Ki Ageng, Retnaningtyas ... semua kata kunci itu berkumpul di kepala dan membuat sesak. Malam itu, aku benar-benar tak dapat terlelap.

***

Hm ... gimana nih, chapter ini menurut Teman-Teman? Boleh dong komentarnya

Bab selanjutnya: Pembenaran

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top