FOTOSINTESIS ASA - 1/5
BAB I "Pohon terseram di dunia"
Kita harus pandai bersyukur bagaimanapun keadaan kita. Karena Tuhan akan menambah nikmat-Nya jika kita pandai bersyukur kepada-Nya.
***
[Surabaya, Masa SMA Abidzar]
"Awakmu lapo seh kok selalu gawe handsock koyok ngunu. Nggak gerah apa? Mau lomba voli ya?"
Bimo selalu heran ketika melihat temannya yang satu ini selalu memakai handsock panjang seperti yang selalu dipakai oleh ukhti-ukhti di luaran sana, padahal temannya itu laki-laki, loh. Banyak yang menanyakannya kepadanya, apa yang terjadi kepada temannya itu? Seperti makhluk aneh yang tinggal di dunia ini.
"Yo karepku lah," jawab temannya itu dengan menulis catatan Bimo yang kemarin tidak sempat dia tulis karena izin sakit.
Enaknya anak satu itu diapain ya? Selalu saja bikin orang darah tinggi dengan jawabannya yang singkat, padat, dan kadang nggak jelas. Dibuang sayang, tapi kalau dipelihara juga merugikannya.
Bimo juga nggak tau pelet apa yang digunakan Abi kepadanya. Namanya saja Abi, tapi sikapnya sama sekali tidak mencerminkan bapak-bapak. Justru Abi sikapnya masih kekanakan, namun dia memiliki magis tersendiri bagi Bimo. Meskipun menyebalkan, tapi Bimo tidak bisa menjauhinya.
"Nanti aku ikut les ya, bilang sama tante Sinta tolong siapkan porsi makan malam buat aku juga." Bimo tiba-tiba bersuara di tengah heningnya jam istirahat. Saatnya Bimo yang balas dendam. Meminta sesuatu yang tidak mungkin ditolak oleh Abi, karena mau tidak mau Abi harus menurutinya.
Bimo tahu bahwa nanti malam adalah jadwalnya Abi untuk les. Kalau menurut Bimo sih itu cuman gaya-gayaannya Abi aja. Mana mau sih Abi jika disuruh belajar. Dia aja duduknya di belakang supaya nggak ketahuan kalau selama ini pakai handsock.
Jam pelajaran berjalan seperti biasanya. Sangat membosankan menurut Bimo. Bahkan, barisan belakang ada yang tertidur. Tapi, karena Bimo adalah murid yang baik hati dan tidak sombong, maka dia tetap memperhatikan guru-guru yang sedang mengajar meskipun dia sebenarnya ingin juga pergi ke alam mimpi seperti teman-temannya yang lain.
Sampai waktu jam pulang sekolah, Bimo langsung pergi ke lapangan futsal, tentunya sudah ganti baju. Melihat banyak orang di lapangan membuat Bimo menjadi lebih bersemangat. Keberadaan mereka entah mengapa menjadi energi tersendiri untuknya. Meskipun mereka sama-sama capek dari kegiatan KBM di sekolah, tapi semangat mereka untuk ikut futsal tidak akan padam.
Selesai latihan, Bimo langsung menuju ke rumah Abi. Meminta jatah makan malamnya, sekaligus belajar bersama dengan temannya itu. Bukan belajar sih kalau Bimo, lebih ke makan cemilannya.
Selagi mbak Khanza, guru lesnya Abi belum datang, Bimo dan keluarga Abi pun menyempatkan diri untuk makan malam bersama.
"Om, bulan depan Bimo ada tanding futsal loh. Kalau nggak sibuk, nonton ya om," Bimo bersuara di tengah suasana makan malam yang hening.
"Oke. Nanti kamu chat om aja tanggalnya. Nanti om atur jadwal untuk liat pertandingan kamu," jawab Rio selaku ayah dari Abi, namun lebih akrab dengan Bimo dibanding dengan anaknya sendiri.
Tentunya Bimo yang menjadi pemantik agar tercipta obrolan-obrolan hangat. Jika Bimo terkadang mencurahkan isi hatinya selama seharian penuh, maka orang tua Abi akan menanyakan keadaan anak mereka melalui Bimo. Karena sejatinya sangat susah jika Abi harus mengoceh panjang lebar seperti Bimo.
"Bim, nanti pulang ya, nak. Kasihan mama kalau sendirian di rumah," Sinta selaku bundanya Abi ikut bersuara setelah melihat suasana hati Bimo membaik untuk dibujuk.
"Iya, agak maleman tapi. Besok ada pr banyak yang harus dikumpulkan soalnya," balas Bimo tanpa minat. Sebenarnya itu hanya sebuah alasan yang dirancang oleh Bimo.
Jika boleh jujur, Bimo ingin sekali diadopsi oleh Rio dan Sinta sehingga menjadi saudara tiri Abi. Nggak masalah jika dia disuruh membantu pekerjaan rumah. Nyuci baju, nyapu, ngepel, bersih-bersih pun dia sudah terbiasa melakukannya. Hal tersebut hanya sebuah angan yang tak akan terwujud. Jika memang Bimo sudah tak memiliki orang tua lagi, Rio dan Sinta dengan senang hati menjadikan Bimo sebagai bagian dari keluarga mereka. Namun, Bimo masih memilikinya, ya meskipun tidak utuh.
Setelah Khanza datang, Abi dan Bimo langsung menyiapkan buku pelajaran mereka. Beruntung sekali menjadi seorang Abi, mempunyai Rio dan Sinta sebagai orang tua, serta kakak perempuan yang sekarang sedang mondok di Jombang. Bimo kadang merasa iri melihatnya. Namun, Sinta selalu mengajarkannya untuk kita harus pandai bersyukur bagaimanapun keadaan kita. Karena Tuhan akan menambah nikmat-Nya jika kita pandai bersyukur kepada-Nya. Sehingga sebisa mungkin Bimo mencoba bersyukur meskipun dengan orangtua yang tidak bisa bersatu kembali.
Les kali ini Bimo lebih memilih diam mendengarkan Khanza. Biasanya mereka memanggilnya dengan sebutan 'mbak' bukan dengan 'buk'. Jangan anggap mereka berlaku tidak sopan, karena memang Khanza masih terlalu muda untuk dipanggil ibu, umurnya saja belum menyentuh angka 25 tahun. Cantik sih, tapi bukan tipe Bimo sekali. Khanza seperti ukhti-ukhti untuk Bimo yang penampilannya saja seperti preman. Sangat tidak cocok jika harus menjadi pasangan.
Khanza ini tipe orang yang pendiam, namun sekalinya dia berbicara, seolah menghipnotis lawan bicaranya. Seakan semua yang dititahkan olehnya, pasti dituruti oleh siapapun yang diajak bicaranya. Abi saja sampai tidak berkutik kalau Khanza sudah berbicara. Tapi, akhir-akhir ini ada yang aneh dengan Abi. Dia selalu menatap mata Khanza, seakan ada yang mau ditanyakan kepada Khanza.
Semenjak insiden minggu lalu, yang menyebabkan Abi dan Khanza tidak sengaja berpegangan tangan. Bukan berpegangan seperti orang mau menyebrang sih, cuman si Abi yang memegang punggung tangan Khanza. Membuat Abi selalu menatap Khanza, seolah ada yang aneh dari guru lesnya itu.
"Ada yang ditanyakan, Abi?," Khanza bersuara ketika Abi kumat melihatnya terus menerus.
"Enggak," jawab Abi langsung mengalihkan pandangannya ke objek yang lain.
Selalu saja begitu. Abi yang selalu menghindar jika ketahuan menatap Khanza dengan berlebihan. Apa Abi suka ya dengan Khanza? Makanya dia menghindar agar tidak ketahuan. Jika sampai orangtuanya tau, maka Khanza akan diganti dengan guru laki-laki. Sebegitu ketatnya memang Sinta dan Rio dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya.
Les kali ini berjalan selama kurang lebih 2 jam. Mulai dari pukul 7 hingga pukul 9 malam. Ternyata pr banyak yang dibicarakan Bimo benar adanya. Besok ada 5 pelajaran, dan kelimanya ada pr semua. Terutama ekonomi dan sosiologi, yang pr nya bikin tangan orang kebas saking banyaknya. Sepertinya besok Bimo harus berangkat pagi untuk menyontek sisa pr yang belum dikerjakan kepada teman sekelasnya.
Sesuai janjinya kepada Sinta, Bimo langsung pulang ke rumahnya. Sebenarnya rumahnya dan rumah Abi berada di perumahan yang sama, namun hanya berbeda blok. Jika memberikan izin untuk sering menginap di rumah Abi, tentunya mamanya tidak mengizinkannya. Tapi, yang namanya Bimo pasti akan berontak. Diizinkan atau tidak, dia tetap menginap ke rumah Abi.
"Assalamu'alaikum, Bimo pulang," Bimo bersuara setelah membuka pintu yang kunci cadangannya dia bawa. Untuk pagarnya memakai gembok angka, sehingga dia bisa masuk karena sudah menghafal sandinya.
Rumahnya sudah sepi. Seluruh lampu pun sudah dimatikan. Mungkin mamanya sudah tidur jam segini. Bimo pun langsung menuju ke kamarnya. Masih sama seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah, mungkin yang berubah hanya terlihat lebih rapi. Mungkin mamanyalah yang merapikannya.
Sebenarnya Bimo tak tega meninggalkan mamanya sendirian. Bimo melakukannya pun sebagai bentuk kecewa karena mamanya sudah membiarkan papanya pergi. Mungkin papanya pergi dengan selingkuhannya? Tapi mengapa mamanya hanya diam?
Sudahlah Bimo ingin tidur. Siapa tahu di dalam mimpinya dia bisa berkumpul kembali dengan keluarganya. Tak apa hanya mimpi, yang penting rasa rindunya terobati. Namun, Bimo lupa memasang alarm untuk bangun besok. Tentunya hal itu membuatnya kesiangan.
Untungnya dia datang sebelum bel berbunyi. Bimo langsung menuju kelas dan meminjam buku temannya untuk dicontek pr nya. Di kelas mereka, hal ini sering terjadi. Saling kerjasama jika ada yang belum mengerjakan pr. Terlalu solid atau terlalu mudah dimanfaatkan, sama saja. Yang penting pr mereka sudah tergarap semua.
"Endi bukumu, tak kumpulno sekalian," Bimo meminta buku kepada teman sebangkunya. Meskipun temannya itu pelit tidak mau membagikan pr nya, namun Bimo tetap sayang padanya. Karena temannya itu adalah Abi. Memang, sesetiakawan itu Bimo kepada Abi.
"Nih," Abi pun menyerahkan bukunya. Dia terlalu malas untuk mengumpulkannya sendirian.
Saat menyerahkan buku, tangan Abi tak sengaja memegang tangan Bimo. Seketika Abi membeku dan memejamkan matanya. Ada apa dengan anak itu? Kesurupan, kah? Ini masih pagi btw. Bimo pun langsung menepuk pundaknya untuk menyadarkan temannya itu. Dia tak mau terjadi apa-apa dengan Abi. Dia harus bilang apa ke Rio dan Sinta ketika anak mereka sedang tidak baik-baik saja?
***
Udara di sini terasa dingin mencekam. Dimana lagi sekarang dia, ya Allah? Tak ada apa-apa di sini selain pohon-pohon yang berdiri tegak dan terasa menyeramkan. Tanah tempatnya berpijak pun terasa becek. Apa tadi selesai hujan?
Kenapa di sini bulu kuduknya berdiri semua? Seolah ada yang mengawasi dari berbagai sudut. Mau bergerak pun tak bisa. Dia takut terpeleset, sangking licinnya tanah yang dia injak. Dia harus apa sekarang untuk bisa kembali ke dunianya?
'Tolong,' rintihan kecil itu tiba-tiba terdengar.
Entah berasal dari mana suara itu, yang Abidzar yakini bahwa rintihan itu memohon agar dapat keluar dari sini. Apa ada yang menjebaknya ya? Jangan-jangan, salah satu pohon yang ada lah yang mencegatnya agar orang itu tetap berada di sini.
***
Catatan penulis : Di episode depan kita akan bertemu dengan Khanza, si paling ukhti-ukhti, kalau kata Bimo. Kira-kira Khanza memiliki pohon seperti apa ya?
Hallo, aku Novika, mahasiswi yang sukanya ngerjain tugas mepet deadline. Aku bakalan nemenin 5 hari kalian bersama Abi, Bimo, dan Khanza. So, kalau kami berbuat salah, mohon hujatan yang membangunnya.
Sekian, terima gaji. Menerima segala macam pembayaran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top