AKU KEMBALI
Sudah dua minggu Ali berada di tanah kelahirannya. Selama itu juga Ali tak pernah absen memberi kabar kepada Prilly. Ali mengalami dilema yang membuat dia sulit untuk memilih.
"Ali, Papa ingin kamu melanjutkan perusahaan. Kamu anak lelaki satu-satunya dari keluarga ini," ujar Wibowo pagi itu saat mereka sedang sarapan.
Ali sudah sering mendengar permintaan Wibowo ini, namun dari Ali, tak ada ketertarikan untuk mewarisi usaha papanya.
"Tapi Pa, Ali masih terikat kerja dengan Pak Sudradjat. Ali tidak ingin dianggap lelaki yang lepas dari tanggung jawab," tolak Ali membela diri agar papanya tak selalu mendesaknya.
"Alah, itu hanya alasan kamu saja kan, biar bisa dekat dengan gadis Jawa itu," sangkal Wibowo sinis, dengan nada suara yang mulai meninggi.
Ali menghela napasnya dalam, dia meletakkan sendok garpunya, nafsu makannya seketika hilang.
"Pa, dia punya nama. PRILLY! Itu namanya!" tegas Ali yang menekan nama 'Prilly' dengan nada bicara yang tak mau kalah dengan papanya.
Wibowo tersenyum miring, seolah, dia meremehkan gadis pujaan hati Ali. Dia berlagak santai, terus menikmati sarapannya, walau sebenarnya dalam hati sudah sangat kesal kepada putranya itu.
"Nggak penting! Pokoknya kamu harus segera memimpin perusahaan Papa! Papa sudah tidak sanggup jika harus mengurusnya sendiri. Apalagi permintaan kayu jati sekarang tinggi. Belum lagi, Papa memikirkan perkebunan kelapa sawit dan karet. Memang kamu pikir mudah apa, memimpin tiga usaha sekaligus," sungut Wibowo sekilas melirik Ali yang duduk di sebelah Rosefa.
"Sudah! Kalian ini bikin pusing Mama saja! Selalu ribut. Kamu mau lihat Mama sakit lagi, Li? Terima saja tawaran Papa. Kamu tak perlu jadi kariyawan seperti di Jawa sana. Kamu bisa menjadi pemimpin perusahaan sekaligus pemiliknya. Apalagi bila nanti kamu sudah menikah dengan Miciel. Pasti perkebunan karet kita semakin luas," ujar Rosefa dengan penuh harapan membuat Ali tidak tega jika melihat ibunya jatuh sakit lagi.
Tanpa menjawab apa pun, Ali pergi begitu saja dari ruang maka. Rosefa menghela napas kecewa, sedangkan Wibowo menggerutu kesal.
"Dasar keras kepala, karena cinta membuat dia buta!" kesal Wibowo sambil melanjutkan sarapannya.
Di dalam kamar, Ali terlihat memikirkan sesuatu. Ia berdiri di depan jendela menatap kosong ke arah luar, dengan kedua tangan ia lipat di depan dada.
"Aku harus bagaimana? Aku sangat mencintai Prilly. Tapi aku juga menyayangi keluargaku? Jika aku menerima tawaran Papa, itu berarti, aku juga pasti harus menikahi Miciel. Aku tidak mungkin melakukan itu. Aku tidak ingin menyakiti gadisku." Pikiran Ali selalu berperang dengan batinnya.
Ali sangat frustrasi hingga mengacak rambutnya. Hatinya saat ini sedang kalut. Dia raih handphone-nya yang tergeletak di atas kasur dan mencari nama pada kontak.
Prilly POV
Siang ini hatiku merasa tak karuan. Galau memikirkan kisah cintaku yang rumit ini. Aku perhatikan sepasang anak manusia yang berada di hadapanku, di hati kecilku, jujur, aku iri pada mereka. Walau mereka sering ribut dan berdebat, tapi itu yang membuat mereka semakin mesra dan terlihat romantis. Aku tersenyum kecut mengingat kisah cintaku sendiri.
"Kamu kenapa sih Pril?" Sebuah tangan mengagetkanku dan menyadarkanku dari lamunan.
Aku menghela napas kesal, entahlah, perasaanku saat ini campur aduk tak karuan. Cinta tapi benci, bercampur marah dan kecewa. Terus aku harus bagaimana?
"Nggak apa-apa kok Fiza," jawabku menatapnya yang sedang duduk di bangku seberangku.
Dia menggenggam tanganku, berusaha menghibur atau menenangkan hatiku? Tapi, saat ini, hal itu tak mempan bagiku.
"Kamu jangan bohong Pril. Aku kenal kamu itu sudah dari bayi. Jadi kamu nggak bisa bohongin aku," sahut lelaki yang duduk di sebelah Fiza.
Lelaki yang selalu menghiburku dengan tingkah konyolnya dan selalu setia mendengarkan ceritaku.
"Aku nggak apa-apa kok Kak Riky. Aku cuma sedikit kepikiran aja sama Bang Ali," jawabku jujur kepada sahabat yang sudah kuanggap kakakku dari kecil.
Saat ini kami sedang menikmati makan siang di salah satu tempat makan, yang terbuka di kawasan kampus. Suasananya lumayan ramai, saat siang seperti ini, banyak yang nongkrong. Ada yang hanya berduaan saja dengan pasangan, ada juga yang bergerombol, membuat tempat yang terbuka ini semakin ramai, tapi tidak untuk hatiku. Perasaanku tetap saja sepi selepas kepergian Ali. Bagaimana dia sekarang? Tapi, aku dilarang untuk memikirkannya sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Aku mencintainya, tapi aku harus membencinya, apa bisa?
"Ohhhh ... aku juga kangen sama bosku itu. Kapan dia balik? Katanya cuti cuma satu minggu? Ini sudah dua minggu, kok nggak balik-balik? Kerjaannya sudah numpuk. Walaupun, aku yang ngerjain sebagian, tapi IQ-ku kan nggak secerdas dia," jelasnya yang membuatku semakin sedih. Aku juga tidak tahu kenapa dia belum kembali ke Jogja lagi, apakah benar, dia sudah menikah sekarang? Entahlah, memikirkan dia membuat hatiku semakin terluka dan sangat sakit.
"Nggak tahu ah Kak! Nggak usah bahas dia dulu ya? Aku lagi nggak mau bahas dia," sangkalku pada Kak Riky, "Oh ya Fiz, kamu ada menu baru apa, buat nanti pembukaan perdana angkringanku yang di Jalan Sokowati?" tanyaku pada Fiza untuk mengalihkan pembicaraanku dengan Kak Riky, agar hatiku tidak semakin galau.
Aku sekarang sudah memiliki usaha sendiri, yang sudah aku rencanakan sejak dulu. Saat aku minat dengan melihat prospek usaha Mama, akhirnya aku membuka angkringan di beberapa titik, yang terlihat banyak peminat dan tempatnya pun strategis. Jangan kalian pikir angkringanku berdiri di trotoar dan bertenda biru. Ohh tidak! Kalian salah besar jika berpikir seperti itu. Angkringanku berdiri di atas tanah milikku sendiri, yang sah aku beli dari hasil keringatku. Walau tidak luas, tapi aku bisa mendisain sendiri tempat itu, agar nyaman untuk orang menikmati makanan dan nongkrong. Aku juga memfasilitasi angkringanku dengan WI-FI dan member pelanggan. Karena kebanyakan, pelangganku anak muda dan mahasiswa.
Aku memilih Fiza sebagai asistenku. Dia pacar dari sahabatku, Kak Riky, dan kebetulan saja dia juga teman kuliahku. Kenapa aku pilih dia?
Pertama, dia memiliki hobi yang sama denganku, yaitu memasak.
Kedua, aku sudah cocok dengannya, dari dulu saat pertama kami kenal di kampus, hingga dia aku kenalkan pada Kak Riky dan akhirnya sekarang mereka berpacaran. Kepuasan tersendiri di hati melihat mereka semakin saling mencintai dan saling menjaga. Ketiga, aku ingin membantunya, karena dia berasal dari keluarga biasa. Dia kuliah dengan mendapat biasiswa dan masih harus membantu ibunya mencari nafkah untuk kedua adiknya yang masih duduk dibangku SMA dan SMP.
Aku salut dengan Fiza yang tidak pernah mengeluh dan tidak malu saat membantu ibunya jualan nasi lalapan di pinggir jalan. Dengan bermodalkan tenda biru, dua kursi panjang yang menghimpit satu meja panjang, gerobak dan kompor yang sederhana. Saat pelanggannya ramai, terkadang sampai mereka rela menggelar tikar di trotoar, namun itu kenikmatan tersendiri bagi mereka saat makan malam, berteman dengan keramaian kota Jogja.
Terkadang Kak Riky juga sering membantunya. Mereka pasangan yang membuatku iri. Walau keluarga Fiza semua perempuan, dengan kehadiran Kak Riky dalam kehidupan Fiza, tidak membuat mereka terusik. Justru mereka senang karena merasa terlindungi. Yang aku dengar, ayah Fiza sudah meninggal beberapa tahun lalu.
"Sudah aku dapatkan dan aku juga sudah eksperimen di dapur beberapa hari lalu. Besok aku coba masakin kamu ya? Biar kamu bisa menilainya sendiri. Layak atau tidak," jawab Fiza yang terlihat selalu ceria walau dalam kekurangan.
Aku selalu berkaca darinya. Dia saja bisa melewati kerasnya hidup, kenapa aku harus rapuh? Aku pasti bisa kuat menghadapinya.
"Oke. Aku mau ke Sri Rejeki. Kalian mau ikut aku?" tawarku pada mereka.
"Maaf Pril, kita langsung pulang saja. Ini sudah jam dua. Aku harus bantu ibu untuk bersiap jualan," tolak Fiza yang dapat aku pahami.
Memang setiap hari dia seperti ini, kecuali jika ibunya libur berjualan, baru dia ada waktu untuk bermain bersamaku.
"Baiklah. Aku duluan ya? Sudah tidak ada mata kuliah lagi kan kita?" tanyaku memastikan sebelum aku pergi dari kampus
Aku merapikan bawaanku dan menyedot es susu coklat yang masih tersisa seperempat cup plastik.
"Tidak ada lagi. Pulanglah. Aku juga mau langsung bantu Ibu," jawabnya. Aku segera bangkit dari dudukku. Dan sebelumnya aku sudah menelepon Pak Min untuk menjemputku.
"Baiklah. Kak Riky aku pulang dulu ya? Jagain temen aku bener-bener ya? Awas kalau sampe lecet atau tergores sedikit pun, aku bakalan cincang kamu di dapur rumahku!" ancamku dengan nada bercanda.
Dia bukannya takut, malah tertawa. "Iya ... iya adik kecil. Aku pasti jagain dia kok. Kamu tenang saja ya?" jawabnya sambil memeluk sayang Fiza. Aku balas dengan anggukan kepala dan senyuman manis.
Aku berpamitan dengan mereka dan keluar dari kampus, menunggu Pak Min di depan gerbang kampus. Saat aku sibuk memainkan handphone-ku, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depanku. Aku masih mematung berdiri di samping mobil itu. Aku lihat dari kaca jendela pintu mobil, tapi gelap, tidak bisa melihat siapa orang yang ada di balik kemudi. Saat kaca mulai diturunkan, jantungku berdetak kencang, kaget melihatnya. Aku sangat terkejut melihat lelaki yang duduk menggenggam kemudi tersenyum manis kepadaku. Wajahnya yang tampan ditambah lagi dia memakai kaca mata hitam. Membuatnya semakin sempurna. Orang yang sangat kurindukan.
"Abang ...."
***
Ali POV
Aku ambil handphone di atas ranjangku. Lalu aku cari nama Miciel dan meneleponnya. Tak butuh waktu lama, akhirnya dia menjawab.
"Hallo Dek, kamu sibuk nggak?" tanyaku pada Miciel saat dia sudah menjawab panggilanku.
"Nggak Bang. Ada apa Bang?"
"Aku butuh bantuanmu, aku ingin balik ke Jawa. Kamu bisa membantuku?" Aku segera mengutarakan niatku pada Miciel.
"Apa yang bisa aku bantu untuk Abang?" sahutnya terdengar siap membantuku. Justru aku dengar dia menyambutnya antusias.
"Kamu ikut denganku. Biar Mama dan Papa mengizinkan aku kembali ke Jawa," jelasku padanya.
"Baiklah Bang. Aku akan ikut denganmu. Tapi kamu juga harus membantuku?" ujarnya kegirangan.
Kenapa justru dia balik meminta bantuan padaku? Ya ... sudahlah, urusan belakang itu. Yang penting aku bisa kembali ke Jogja untuk menemui gadisku. Aku sudah sangat merindukannya.
"Oke! Kamu minta bantuan apa sama Abang?" tanyaku penasaran.
"Entar aja kalau kita sudah sampai di Jawa. Baru aku akan jelaskan. Abang bersiaplah. Aku akan datang menjemputmu sekarang." Aku heran, kenapa dia yang justru antusias dan bersemangat untuk ke Jawa?
"Baiklah. Aku siap-siap dulu."
Aku putuskan teleponku pada Miciel dan bersiap untuk berangkat menemui bidadari yang sangat kurindukan itu.
***
Lega rasanya aku bisa kembali ke Jogja. Aku sudah yakin, jika aku membawa Miciel, pasti orangtuaku mengizinkanku untuk pergi ke Jawa. Dengan embel-embel, aku ingin mempelajari bisnis keluarga yang sekarang sedang dipegang Miciel. Sekarang kami sudah sampai di bandara Jogja.
"Kita ke rumah joglo dulu ya? Ambil mobil," ajakku pada Miciel. Dia hanya menganggukan kepalanya.
Aku segera mencari taksi untuk mengantar kami ke rumah Pak Reza. Aku tahu, jam segini bidadariku pasti masih di kampus. Aku sengaja tidak memberi tahunya, jika aku akan kembali ke Jogja hari ini. Aku ingin memberinya kejutan. Senyum tidak lepas dari bibirku. Aku melirik Miciel yang duduk di sebelahku. Aku heran padanya. Aku yang ingin bertemu dengan cintaku, mengapa dia yang terlihat bahagia? Aku pun curiga padanya.
"Heh! Kenapa kamu sedari tadi senyum-senyum sendiri?" Aku senggol lengannya saat kami sudah berada di dalam taksi.
"Siapa yang senyum-senyum. Abang tuh yang sedari tadi, aku perhatiin senyum-senyum nggak jelas," elaknya, tapi aku bisa melihat dia sedang membohongiku.
"Ya ... iyalah! Jelas! Sebentar lagi kan Abang bertemu dengan pujaan hati. Lah kamu?" ledekku yang masih juga penasaran dengan sikap Miciel.
Dia berusaha menutupi sesuatu dariku, tapi apa?
"Cieeee yang nggak sabar ketemu sama cintanya?" Miciel justru balik meledekku dengan menowel pipiku.
Taksi yang kami naiki telah berhenti di depan rumah, yang tak asing lagi bagiku. Terlihat Mila dan Kevin baru saja keluar dari mobil. Aku menghampiri mereka.
"Hey Mil, Kev," sapaku saat sudah berdiri di belakang Mila dan Kevin.
Mereka membalikan badan, terkejut melihatku.
"Hey ... kamu kapan balik, Li?" tanya Kevin ber-highvife denganku dan memelukku.
"Barusan Kev, aku sampe. Kalian dari mana?" tanyaku balik sambil menjabat tangan Mila.
"Biasa! Ngecek barang dan sekalian cari percetakan buat disain undangan," jawab Mila yang belum menyadari keberadaan Miciel di belakangku.
Author POV
Kevin memicingkan matanya saat melihat Miciel berdiri di belakang Ali. Kevin memberi isyatat kepada Ali dengan menaikan sebelah alisnya, seakan bertanya 'siapa dia?',
Ali baru tersadar dan menoleh ke belakang.
"Ohhh maaf, aku lupa," ujar Ali sambil menepuk dahinya.
"Sini Dek!" pinta Ali melambaikan tangan ke Miciel agar mendekat padanya. "Ini kenalin temen Abang." Ali memperkenalkan mereka.
Dengan saling menjabat tangan bergantian dan tersenyum ramah, Miciel memperkenalkan diri.
"Miciel."
"Kevin."
"Mila."
Kevin dan Mila tampak terkejut dan menatap Ali dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Sudah, entar aku jelasin di dalam. Kita masuk dulu. Tante dan Pak Reza ada nggak, Mil?" tanya Ali saat mereka melangkah ke teras rumah utama.
"Papa masih di kantor, Mama jam segini masih di restoran," jawab Mila sambil membuka pintu.
"Kalau my angel?" tanya Ali saat sudah di ruang tamu dan menghempaskan tubuhnya di sofa.
"My angel?" tanya Kevin yang tidak mengerti maksud Ali.
"Iya, my angel!" jawab Ali santai, bukan menjelaskan justru semakin membuat Kevin bingung. Mila yang melihat wajah tunangannya tampak bingung hanya terkekeh.
"Aduh Yang, kamu tuh nggak tahu apa yang dimaksut Ali? 'My angel' itu Prilly. Angel itu nama tengah Prilly, Sayang," jelas Mila. Ali hanya terkekeh.
"Ooohhh ...." Kevin menanggapi hanya 'Oh' saja dengan kepala manggut-manggut.
"Dia masih di kampus dong Li," lanjut Mila, "Li, jadi Miciel ini impal kamu? Jangan bilang kamu datang ke sini mau antar undangan pernikahan kalian ya?" tuduh Mila yang mencurigai Ali.
Ali dan Miciel saling berpandangan dan seketika mereka tertawa bersamaan.
"Ya nggaklah Kak. Aku datang ke sini hanya mengantar abangku ini, buat ketemu cintanya. Aku nggak tega kalau setiap hari melihatnya galau dan melamun. Aku membantunya keluar dari penjara di rumahnya sendiri," jelas Miciel kepada Mila dan Kevin.
"Aku juga mau sekalian mengajukan resigh Kev. Papa sudah mendesakku untuk membantunya menjalankan usaha keluarga," lanjut Ali sedih yang sebenarnya belum ingin keluar dari pekerjaannya saat ini.
"Ya sudah, entar kamu ketemu Pak Reza sendiri aja," ujar Kevin merasa berat hati jika harus kehilangan patner kerja terbaiknya.
Saat mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Prilly datang dengan menggandeng tangan lelaki muda, tampan, bertubuh tegap dan merangkul sayang bahu Prilly.
Pandangan Ali dan Prilly saling beradu, tatapan mereka tersirat rindu dan saling mencurigai. Prilly menatap Miciel yang duduk di samping Ali dengan tatapan tidak suka. Sedangkan Ali menatap lelaki yang bersama dengan Prilly seakan ingin memukul wajahnya dan menarik gadisnya dari tangan kekar orang itu. Ali sudah memancarkan amarah dari tatapannya. Prilly masih bertahan dengan rasa cemburunya pada Miciel.
###########
hayyyooo jangan menjadi pembaca gelap dong.
Hargai jerihpaya author yang olahraga jempol. Hehehehehe
Vote dan komentar yaaaa sayang? Merevisi cerita itu lebih susah. Karena harus berpikir dan mengingat kembali alur ceritanya.
Terima kasih. Muuuuuaaaccchhh
Cium jauh dari aku.😘😘😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top