Empat

"SAYANG...!"

Aku tahu panggilan seperti itu tidak akan pernah ditujukan padaku dan aku juga tidak menginginkan seseorang memanggilku posesif begitu, tapi tak urung aku tetap menoleh ke sumber suara. Dari arah lift di sebelah kiri, seorang remaja tanggung bertubuh tinggi kurus berjalan cepat. Sangat cepat, nyaris setengah berlari. Aku spontan menoleh ke kanan, mencari orang yang dipanggil anak itu dengan kata "sayang". Nihil. Tidak ada orang lain. Selain anak itu, akulah satu-satunya orang yang berada di selasar hotel, di antara kamar-kamar yang tertutup.

Apakah dia salah mengenaliku sebagai orang lain? Anak itu sepertinya terlalu muda untuk keluar-masuk hotel bersama pacarnya. Apalagi ini di Bangkok, bukan Jakarta. Hebat, ternyata anak-anak zaman sekarang sudah berani liburan berdua di luar negeri. Atau, pacarnya itu adalah laki-laki dewasa. Karena itu dia salah mengenaliku sebagai pacarnya. Postur laki-laki dewasa dan remaja tanggung jelas berbeda. Itu lebih masuk akal. Kasihan, anak sekecil itu sudah sudah dieksploitasi secara seksual.

Tapi siapa aku untuk menghakimi? Aku sendiri sudah aktif secara seksual di usia yang masih muda juga. Aku bukan orang yang tepat untuk memberi nasihat pada remaja kasmaran yang masih terpukau pada keindahan seks. Para pemula cenderung tidak tahu malu dan bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Termasuk membayar hotel yang mahal kalau punya uang. Atau mengikuti pacar dewasanya keluar negeri, seperti anak ini. Jadi, biar saja dia memperluas pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia. Aku tidak akan ikut campur. Penjahat yang mendadak menjadi polisi moral hanya akan jadi bahan lelucon.

Aku melanjutkan gerakan tanganku yang tertunda membuka pintu. Aku butuh tidur setelah hari yang panjang mengikuti seminar dan gala dinner. Saking lelahnya, aku sudah kehilangan minat menikmati Bangkok di malam hari. Tapi dunia gemerlap Bangkok tidak lagi membuatku penasaran setelah pernah terkecoh oleh perempuan secantik dewi yang kutemui di kelab beberapa tahun lalu.

Risyad, Tanto, dan Dyas menertawakanku sampai kaku saat aku terbirit-birit meninggalkan kamar hotelku dan menemui mereka yang sedang ngobrol di kamar Dyas. Sang Dewi kayangan yang kubawa pulang ternyata punya belalai. Penampilan ladyboy Thailand ternyata bisa sangat menipu. Sialan! Yang benar saja, masa aku harus main anggar sih? Aku berengsek, tapi tidak bermain anggar. Preferensi seksualku sangat jelas.

"Sayang...!" panggilan itu terdengar lebih kencang. Saat aku kembali menoleh, anak perempuan itu sudah berada beberapa langkah dariku. Agak jauh di belakangnya, ada dua orang laki-laki tegap bergegas mendekat.

Sebelum aku sadar, anak itu mendorongku ke dalam kamar lalu ikut masuk dan membanting pintu dengan kuat. Pintu kamarku. Apa-apaan ini?

"Astaga, hampir saja!" Dia mengelus dada dan bersandar di belakang pintu. Dia lalu merogoh tas selempang kecilnya dan mengeluarkan ponsel.

"Gue nggak bisa nyusul lo ke situ karena nggak berhasil kabur dari bodyguard gue," katanya di telepon yang melekat di telinganya. "Sial, padahal usaha gue udah maksimal. Orang-orang kakek gue emang bukan kaleng-kaleng."

Lalu dia diam untuk mendengarkan. Setelah beberapa saat, matanya terangkat ke arahku dengan tatapan menyelidik.

"Ehm..." Anak itu berdeham. "Gue nerobos masuk kamar bule nih. Jangan khawatir, kelihatannya dia nggak berbahaya kok. Kalau dia mulai aneh-aneh, tinggal gue kasih jurus aja. Biar sabuk hitam gue ada gunanya juga." Diam lagi. "Alaaah... bule itu mainannya pistol doang, hampir nggak ada yang bisa bela diri. Tapi kalau gue sampai kalah, gue tinggal teriak aja, gue yakin bodyguard gue nempel di depan pintunya kok. Tapi gue nggak mungkin kalahlah. Jangan tertipu sama badan gue yang cuman selembar ini."

Anak itu mulai melangkah masuk ke tengah kamar sambil terus menatapku awas. Dia jelas mengawasi pergerakanku, jadi aku memilih bersandar di dinding. Ini hiburan yang lumayan menyenangkan karena anak ini tidak tahu kami menggunakan bahasa nasional yang sama.

"Maksud lu, bulenya?" Dia kembali menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Belum tua banget sih. Kayak om-om gitu."

Aku nyaris memelotot. Apa, om-om? Dasar ABG labil!

Anak itu terkikik. "Nggak... nggak cakep-cakep amat. Tipikal bule pada umumnya gitu. Yang kalau kena matahari pasti langsung berubah kayak krayon merah. Jauh lebih cakep suami guelah. Nggak bisa dibandingin! Kayak bumi dan langit."

Apa, anak sekecil ini sudah menikah? Aku taksir, umurnya paling tinggi juga tujuh belas tahun. Pernikahan dini memang belum bisa diberantas. Akibatnya, anak-anak yang seharusnya masih menikmati masa remaja sudah harus menjadi ibu muda tanpa kesiapan fisik dan mental yang cukup. Gila juga laki-laki yang menikahi anak-anak seperti ini. Seberengseknya aku, aku menghindari remaja. Seks itu butuh consent, dan consent itu harus berasal dari perempuan dewasa yang sudah mengerti konsekuensi keputusan yang diambilnya. Aku tidak mau berurusan dengan penegak hukum karena seks dengan anak di bawah umur.

Aku balik mengamati anak itu. Seperti yang sudah kubilang, dia tinggi kurus. Sulit dipercaya dia punya sabuk hitam, karena sepertinya ditiup angin saja dia sudah tumbang. Dadanya nyaris rata. Cup branya pasti A. Semoga masih bisa tumbuh, karena kasihan suaminya yang pasti susah menemukan kesenangan di dada seperti itu.

Anak itu terus berjalan menjelajahi kamar seolah dialah pemilik kamar ini, dan aku tidak kasatmata. Setelah mengawasi dinding kaca untuk melihat pemandangan malam Bangkok, dia menuju ke sofa dan duduk santai di sana. Tas selempangnya dilepas dan diletakkan di atas meja.

"Lu susul gue ke sini aja. Gue yakin 99% kalau suami kita nginap di hotel ini. Kayaknya kemarin itu kita salah pilih hotel deh. Tadi gue perhatiin lagi video waktu mereka di Bangkok, dan yang ini lebih mendekati. Nanti gue buka kamar di sini. Kita bisa nungguin mereka di lobi jadi kita bisa ketemu. Kecuali kalau ada akses pintu rahasia lain sih. Duh, baru ngebayangin mau ketemu suami, gue udah deg-degan, gila!"

Percakapan telepon yang hanya kudengar sepihak itu membuatku bingung. Kenapa dia tidak tahu di mana suaminya menginap? Apakah suaminya itu sedang selingkuh dan anak ini ingin menangkap basah suaminya? Tapi ekspresi antusias anak ini tidak sesuai dengan skenario selingkuh itu. Mana ada orang yang diselingkuhi masih cekikikan dengan pandangan berbinar seperti itu?

Atau, anak ini adalah penderita skizofrenia yang sedang berhalusinasi. Bisa jadi, karena dia terlalu muda untuk telibat pernikahan. Hidup terkadang keras bagi sebagian orang, bahkan anak-anak, sehingga rentan terkena penyakit kejiwaan.

Dari sofa, anak itu bangkit dan bergerak menuju ke lemari es. Dia mengambil sebotol air mineral dan mengangkatnya ke arahku untuk meminta izin. Aku mengangguk.

Anak itu menjepit ponselnya menggunakan bahu saat membuka tutup botol. Dia minum dengan tegukan besar-besar. "Gue tunggu lo di sini ya. Kalau udah sampai, lo hubungi gue biar gue ke lobi. Gue tinggal di kamar bule ini bentaran, biar bodyguard gue yakin gue check in sama pacar bule gue yang gue susulin ke Bangkok." Dia kembali cekikikan. "Kakek gue bakal kebakaran jenggot kalau dilaporin nih."

Anak ini adalah definisi remaja tersinting yang pernah aku temui. Aku memang tidak pernah berurusan dengan remaja lagi saat sudah meninggalkan masa itu belasan tahun lalu. Ternyata dunia remaja sudah jauh lebih rusak dari zamanku dulu. Sekarang anak remaja bicara tentang suami dan check in dengan pacarnya seolah itu hal biasa.

Anak itu kembali ke sofa. Dia diam lama mendengarkan lawan bicaranya. Ekspresinya lantas berubah drastis. Dia menghela napas panjang sebelum bicara dengan nada sendu, "Gue akan sedih banget saat suami gue jadi wamil beberapa bulan lagi. Ini mungkin aja kesempatan terakhir gue lihat mukanya secara langsung sebelum dia hilang dari peredaran selama dua tahun. Gue kan tipe setia, jadi nggak mungkin selingkuh selama dia wamil walaupun banyak yang bakalan debut dan mungkin aja lebih cakep. Hati gue udah gue kasih utuh sama dia."

Semakin kudengarkan, aku semakin bingung. Lebih baik ke kamar mandi untuk buang air. Membiarkan kandung kemih membengkak penuh gara-gara mendengarkan ocehan bocah sinting itu sangat tidak layak.

**

"Kenapa Pak Jenderal minta lo ketemu dia?" tanya Galih tanpa intro saat menerobos masuk dalam ruanganku. "Lo udah pernah ketemu dia setelah di restoran dua minggu lalu? Apa dia bersedia invest?"

"Pak Jenderal minta ketemu gue?" Aku balik bertanya dan spontan bangkit dari kursiku. "Kenapa nggak sama elo saja? Kan penjajakannya lo yang rintis. Gue nggak pernah ketemu dia lagi setelah waktu itu."

"Makanya gue bingung." Galih menyugar resah. "Soalnya mereka spesifik minta lo yang ketemu Pak Jenderal, bukan kita berdua. Tapi mudah-mudahan kabar baik. Buruan, lo ditungguin sama orang-orang Pak Jenderal tuh. Katanya Pak Jenderal mau ketemu lo sekarang."

"Ini pasti kabar baik." Aku menepuk pundak Galih bersemangat. "Gue nggak punya urusan lain sama Pak Jenderal selain investasi itu. Jangan lepas ponsel lo, mungkin aja kita akan tanda tangan MOU hari ini juga. Alasan apa lagi kalau bukan MOU sampai dia bela-belain kirim orang untuk jemput gue, kan?"

Kami lalu beriringan menuju lobi, tempat dua orang pria tegap suruhan Pak Jenderal menunggu.

"Naik mobil kami saja, Pak," kata salah seorang di antara mereka saat aku menanyakan alamat tujuan kami untuk bertemu Jenderal Rawikara. "Nanti akan kami antar kembali ke sini."

Nada perintah yang kental itu membuat perasaanku tidak enak. Tapi demi bisnis yang kubangun dengan keringat sendiri, aku berusaha mengenyahkan perasaan itu.

Tidak ada percakapan yang terjadi dalam perjalanan. Obrolan yang coba kubangun tidak ditanggapi oleh kedua pria bertubuh tegap dengan penampilan seperti tentara itu. Jenderal Rawikara memang sudah lama pensiun, tapi dia tetap saja membangun tembok pengawalan yang kuat untuk dirinya dengan menempatkan orang-orang seperti yang bersamaku dalam mobil ini sebagai benteng pertahanan.

Setelah perjalanan satu setengah jam yang terasa seperti tiga abad karena dilalui dalam keheningan, akhirnya kami memasuki sebuah rumah berpagar tinggi. Kemungkinan besar adalah rumah sang Jenderal.

Tujuan ini tentu saja di luar dugaanku. Aku pikir Pak Jenderal akan menemuiku di restoran, atau tempat umum lain, bukan di kediaman pribadinya.

Rumahnya tentu saja mewah. Tapi kemewahan tidak membuatku terkesan. Rumah orangtua teman-temanku juga mewah. Orangtuaku bisa saja punya rumah mewah kalau ibuku mau. Tapi ibuku sudah mengadopsi kesederhanaan. Saat pindah ke Bali dan jatuh cinta dengan atlet surfing miskin, dia tidak lagi tergiur dengan kemewahan yang ditinggalkannya di Denmark sebagai anak seorang pengusaha kaya raya yang tinggal di sebuah kastil.

Ibuku adalah definisi dari "cinta itu buta" karena dia meninggalkan hidupnya yang mapan di tanah kelahirannya untuk bersama laki-laki miskin yang tertatih-tatih dia ajari berbisnis.

Aku dipersilakan menunggu di ruang tamu yang luas oleh orang yang menjemputku di kantor. Dia lalu pergi.

Hening. Yang terdengar hanyalah tarikan napasku sendiri. Perasaan tidak nyaman semakin menghantuiku. Entah kenapa, aku punya firasat jika alasanku berada di tempat ini tidak ada hubungannya dengan investasi.

Kalau perjalanan tadi terasa seperti tiga abad, menunggu sepuluh menit sekarang terasa seperti lima abad. Kalau di dalam film, aku pasti sudah bereinkarnasi selama tujuh generasi.

Pak Jenderal akhirnya muncul juga saat aku kehabisan bacaan receh di aplikasi berita di ponselku. Tidak ada senyum di wajahnya. Tidak jauh di belakangnya, menyusul bocah sinting tinggi kurus yang kutemui di Bangkok beberapa hari lalu.

Mata anak itu membelalak saat menatapku. Dari sorot matanya, aku tahu dia tidak menyukai kehadiranku di sini. Ada apa ini?

Aku masih bingung. Ada apa sebenarnya? Pak Jenderal mungkin punya hubungan kekerabatan yang dekat dengan bocah sinting itu, tapi aku tidak melihat hubungannya denganku.

**

Buat yang pengin baca cepat, bisa ke Karyakarsa ya. Beli koin di web aja karena lebih murah. Tengkiuuu....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top