Dua Puluh Tiga
EMISI nokturnal adalah hal yang wajar untuk laki-laki. Aku bahkan mengalaminya saat masih rutin punya hubungan semalam. Ketika hidup selibat seperti sekarang, kedatangan mimpi erotis itu menjadi lebih sering. Mungkin otakku yang sadar akan kebutuhan biologisku memang sengaja memerintahkan saraf-saraf pencipta mimpi membuat aku mendapatkan pelepaskan dan kepuasan saat aku tertidur.
Ketika bermimpi, diriku di dunia maya itu biasanya fokus pada proses hubungannya saja. Berkonsentrasi untuk mendapatkan kepuasan yang maksimal. Pasanganku dalam mimpi-mimpi itu biasanya adalah para perempuan dengan tubuh menggiurkan, tapi jarang yang hadir dengan wajah yang jelas. Wajah tidak perlu. Tubuh yang menggigil dan berdenyut melemparku ke nirwana jauh lebih penting daripada bentuk muka yang disodorkan si mimpi.
Namun malam ini berbeda. Dalam mimpi, aku bercinta dengan seseorang yang memiliki wajah yang terlihat jelas. Sangat jelas. Terlalu jelas untuk ukuran sebuah mimpi. Apalagi itu adalah wajah yang tidak seharusnya masuk dalam mimpi erotis. Hanya meyakinkan jika aku benar-benar sudah bertransformasi menjadi seorang pedofil. Ya, Faith!
Itu mimpi yang luar biasa. Maksudku, kepuasan yang kurasakan dalam mimpi itu menakjubkan dan terasa sangat nyata. Tubuh Faith persis seperti yang kupeluk saat di dalam kolam. Dadanya sama dengan pernah menempel di telapak tanganku. Proses percintaan kami lebih detail daripada semua film biru yang pernah kutonton, atau bahkan adegan yang pernah kulakukan sendiri. Aku tidak ingat kapan dan siapa terakhir kali aku membuatkn merasa dipeluk kenikmatan seperti itu. Kurasa, desahan, makian, dan teriakan di dalam mimpi itu terlontar dari bibirku secara langsung juga karena mulut dan tenggorokanku terasa kering.
Aku terbangun dengan tubuh yang masih bergetar dan lemas. Butuh waktu beberapa saat sebelum menyadari jika orgasme yang menghantamku dengan kuat barusan berasal dari mimpi. Sial... sial... sial...!
Bukan mimpinya yang salah. Aku memang membutuhkan mimpi seperti itu. Tapi kenapa harus Faith? Dan kenapa rasanya harus seperti itu? Tidak semua mimpi erotisku memuaskan. Kadang aku malah terbangun dengan perasaan kecewa karena mimpiku tidak menjangkau penyelesaikan akhir. Aku tidak akan mengutuki diri seperti sekarang seandainya mimpiku bersama Faith berakhir dengan kekecewaan. Hambar. Itu akan membantu membunuh hasrat si Junior saat melihat Faith di luar mimpi.
Mimpi itu masih menghantuiku saat sudah berada di kantor. Untung saja aku tidak bertemu dengan Faith di meja makan saat sarapan karena dia belum keluar kamar. Tanpa kutanyakan, Bu Zoya mengatakan jika hari ini Faith tidak kuliah pagi. Baguslah. Aku butuh jeda untuk mengembalikan kewarasan sebelum berinteraksi dengan dia lagi.
"Lo jatuh dari tempat tidur sampai tulang ekor lo cedera atau mimpi buruk?" tanya Galih saat menyamperiku di ruang kerjaku. Dia menunjuk wajahku. "Kelihatannya jengkel gitu."
"Gue nggak jatuh dari tempat tidur dan tulang ekor gue baik-baik aja," sahutku malas. Aku sedang tidak ingin ngobrol.
"Jadi mimpi buruk macam apa yang bikin lo bete gitu? Lo jadi manusia terakhir yang ada di bumi dan harus berhadapan sama gerombolan zombie untuk bertahan hidup? Beneran yang terakhir sampai nggak disisain manusia lain yang berjenis kelamin perempuan untuk bercinta dan berkembang biak demi menambah populasi supaya bisa menambah pasukan memberantas zombie?"
"Nggak lucu." Aku mengibaskan tangan, mengusir Galih yang terkekeh mendengar lelucon garingnya sendiri.
Alih-alih pergi, Galih menarik kursi dan duduk di depanku. "Masih lanjutan kejadian di kelab minggu lalu?" Kali ini nada dan ekspresinya tampak lebih serius. "Masalahnya masih berlanjut sampai sekarang? Lo ribut sama Faith?" pertanyaannya beruntun seperti ledakan petasan.
Aku mendengus.
"Lo tahu apa bedanya pasangan sama orang yang sekadar teman aja?" tanya Galih lagi.
Aku kembali mengibaskan tangan. "Gue nggak butuh konseling tentang hubungan pagi-pagi gini. Sebaiknya lo balik ke ruangan lo dan kerja. Menjadi bos yang produktif bagus untuk bisnis."
"Kadang-kadang kita bertengkar sama pasangan dan itu wajar banget." Galih mengabaikan permintaanku untuk keluar dari ruangan. "Orang yang tinggal serumah dan komunikasinya intens pasti ada aja yang diperdebatkan karena sudut pandang nggak mungkin sama untuk melihat semua hal."
"Teman juga bisa ribut," gerutuku. Inti dari pertengkaran adalah ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dan menemukan titik temu. Tidak ada hubungannya dengan status sebagai teman atau pasangan. Ribut ya ribut saja. Titik.
"Oke, baiklah, teman atau pasangan memang bisa bertengkar, tapi cara kita menghadapinya sangat berbeda. Dengan teman, kita bisa masa bodoh dan memutuskan hubungan ketika kita merasa tidak cocok lagi setelah pertengkaran itu. Tapi kita nggak bisa melakukan hal itu kepada pasangan karena dia adalah bagian dari hidup kita. Kita nggak bisa pergi karena kita marah padanya. Kita harus tinggal dan menyelesaikan masalah kita sampai ke akar-akarnya. Karena itulah kita stres dan bete kalau lagi ada masalah sama pasangan. Kayak elo sekarang. Sebelum lo sama-sama Faith, lo nggak pernah bete kayak gini di tempat kerja. Kantor adalah taman bermain yang paling lo suka. Lo bisa aja ngomel-ngomel karena terjebak macet parah atau ketika bertemu klien yang nyebelin, tapi biasanya omelan lo langsung hilang setelah lo kerja lagi."
Menyadari diriku kemungkinan besar sedang mengalami transformasi menjadi seorang pedofilia jauh lebih menyebalkan daripada sekadar terjebak kemacetan panjang atau menghadapi klien yang membosankan. Tapi aku tidak ingin berbagi hal itu dengan Galih. Aku hanya akan menjadi bahan tertawaannya.
"Gue beneran nggak ada waktu untuk dengerin ceramah lo itu. Kerjaan gue banyak. Lagian, hubungan gue dan Faith nggak seperti hubungan lo sama istri lo yang penuh bumbu-bumbu cinta itu."
"Lo nggak bosan mengulang kalimat yang sama? Gue yang dengar aja sampe pengin menguap. Perasaaan orang berubah, bro. Apa yang lo rasakan hari ini tentang Faith bisa berbeda dengan perasaan lo beberapa bulan lalu. Itu manusiawi karena perspektif kita dinamis dan menyesuaikan dengan kondisi pikiran dan perasaan. Kalau itu yang terjadi, nggak perlu malu untuk mengakuinya."
Aku membuka mulut lebar-lebar, pura-pura menguap. "Pidato lo beneran bikin gue ngantuk. Gue nggak punya perasaan apa pun sama Faith, atau sama perempuan mana pun di muka bumi ini. Tidak sampai gue mati. Lo keluar sekarang, atau mau tunggu sampai gue lempar?"
Galih menepuk mejaku kuat-kuat dan bangkit. "Kebanyakan orang itu menyesali kesombongannya setelah terlambat. Contohnya ada di sinetron hidayah tontonan nyokap gue. Saran gue, ambil waktu untuk berpikir jernih dan lihat ke dalam hati lo. Pikirin baik-baik, mau di bawah ke mana arah rumah tangga lo. Tetap jadi kesepakatan yang menurut lo win-win solution itu, atau dijadiin permanen."
"Tentu saja gue dan Faith akan berpisah," jawabku cepat. "Nggak lama lagi."
"Kalau begitu, lo seharusnya nggak perlu menyeret dia pulang waktu lihat dia bersama laki-laki lain. Sikap lo di kelab itu nunjukin kalau lo merasa tersinggung karena perempuan yang seharusnya menjadi milik lo didekatin orang lain. Lo nggak pernah bersikap seperti itu sebelumnya." Galih mengibaskan tangan saat aku membuka mulut hendak menjawab. "Simpan aja pembelaan diri lo itu untuk meyakinkan diri lo sendiri. Bukan gue yang seharusnya lo yakinkan." Dia berbalik meninggalkan ruanganku.
Aku menatap punggungnya sebal. Kadar kekesalanku langsung melonjak drastis. Kenapa sih semua orang tidak bisa menghargai pilihan hidup orang lain? Hanya karena mereka sudah memantapkan diri menikah dan punya pasangan tetap, tidak berarti mereka juga mengharapkan aku akan mengadopsi prinsip hidup seperti itu.
Aku mengalihkan perhatian pada ponsel ketika mendengar nada notifikasi.
Mau ketemu?
Yang mengirim pesan itu adalah Crystall. Dia adalah teman yang lumayan dekat dan paling sering menghabiskan malam bersamaku. Crystall adalah versi perempuan dari aku, jadi kami cocok. Dia juga tidak membutuhkan seorang laki-laki untuk menjadi pasangan permanen. Kami tidak butuh kerumitan seperti itu. Yang kami butuhkan hanya seks yang menyenangkan. Itu saja.
Mau ketemu? sudah menjadi semacam kode ajakan untuk saling menghangatkan dan mengurangi jumlah kondom yang ada di dalam dompet. Itu bukan ajakan bertemu untuk sekadar ngobrol atau makan bersama. Bisa saja memang diawali dengan obrolan atau makan, tapi ujung-ujungnya, kami akan berakhir di tempat tidur.
Aku menatap pesan itu lama-lama. Aku akan menjawab "Sori, nggak bisa" kalau tidak dihantui mimpi semalam. Aku tidak merasa sedang membutuhkan seks. Tapi sekarang keadaannya berbeda. Pesan yang dikirimkan Crystall seperti jawaban dari masalahku. Bertemu dan menghabiskan waktu dengan Crystall pasti bisa menghapus bayangan mimpi yang menyebalkan itu. Seks di dunia nyata dengan di alam mimpi pastilah berbeda. Terutama ketika melakukannya dengan Crystall yang sarat ilmu dan pengalaman tentang seks. Wajah dan tubuh Crystall sempurna untuk fantasi seksual semua laki-laki di planet bumi.
Oke. Nanti malam, kan?
Aku membalas pesan itu. Sekarang tinggal memikirkan cara bertemu dia secara aman sehingga aku masih akan memiliki kepala dan nyawa setelah keluar dari kamar hotel.
**
Rakha akan terbit bersama Melukis Asa dan akan open PO dalam waktu dekat. Pantengin Instagram @titisanaria dan @belibuku.fiksi untuk info PO ya. Tengkiu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top