Dua Puluh Empat

TERKADANG, rencana yang sudah kita susun matang dan sempurna tanpa celah ternyata dibatalkan oleh kejadian tak terduga.

Aku sudah menyepakati pertemuan dengan Crystall, sudah memintanya mereservasi tempat (aku tidak mau meninggalkan jejak kalau aku yang melakukannya), dan sudah menemukan cara bagaimana sampai di tempat itu tanpa ketahuan orang-orang Pak Tua seandainya mereka masih mendapat perintah membuntutiku untuk meyakinkan bahwa aku adalah seorang suami setia yang tidak akan membuat Faith menangis. Walaupun aku tidak terlalu yakin Pak Tua masih mengawasiku seketat itu setelah yakin bahwa hubunganku dengan Faith baik-baik saja, tidak ada salahnya berjaga-jaga.

Aku tahu jika bertemu dengan Crystall tidak bisa dikategorikan sebagai pengkhianatan karena hubunganku dengan Faith bukanlah pernikahan sebenarnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesetiaan, tapi tetap saja ada rasa was-was, antusias, dan keraguan yang bercampur menjadi satu. Mungkin karena ini adalah kali pertama aku akan tidur bersama seseorang setelah hidup selibat akibat pernikahan. Jangan lupakan risiko yang akan kutanggung kalau sampai ketahuan oleh Pak Tua atau Jessie. Nyawaku adalah taruhannya. Wajar kalau aku merasakan berbagai emosi di saat yang sama.

Setengah jam sebelum aku meninggalkan kantor, Bu Zoya menelepon. Katanya, "Faith sakit perut dan muntah-muntah, Pak. Demam juga. Sekarang saya akan membawanya ke rumah sakit." Dia menyebutkan nama rumah sakit yang dituju sebelum menutup telepon.

Aku tidak punya pilihan selain membatalkan pertemuan dengan Crystall. Aku bukan orang suci. "Berengsek" bahkan sudah menjadi nama tengah dan trade mark yang dipakai orang-orang untuk menggambarkan karakterku. Tapi standar moralku yang sangat tipis itu pun tidak bisa membenarkan tindakanku mengabaikan Faith yang tinggal satu atap denganku hanya untuk bertemu Crystall demi mendapatkan beberapa detik orgasme dan membuang sesendok sperma.

Gue ada emergency nih. Kita jadwal lain kali ya. Aku mengirimkan pesan itu dalam perjalanan menuju tempat parkir.

Emergency-nya berambut panjang atau pendek? lo yakin lebih pilih dia daripada gue?

Lo tahu kalau gue nggak akan menukar yang terbaik dengan orang lain yang performanya masih tanda tanya. Sementara ini, lo masih yang terbaik. Gue beneran ada emergency, kalau tidak, nggak mungkinlah gue batalin last minute kayak gini.

Untung gue nggak pernah percaya pujian yang keluar dari mulut seorang buaya.

Aku meringis membaca pesan itu. Aku lalu mengantongi ponsel dan bergegas menuju rumah sakit tempat Bu Zoya membawa Faith.

Saat aku sampai di IGD, aku mendapati Faith berbaring di ranjang. Jarum infus terpasang di punggung tangannya yang kurus. Bu Zoya pamit menunggu di luar karena keluarga yang diizinkan untuk menunggui pasien memang tidak boleh lebih dari satu orang.

Aku berdeham dan menarik kursi untuk duduk di samping tempat tidur Faith. Aku tidak pernah menunggui orang sakit sebelumnya. Biasanya aku ke rumah sakit untuk pemeriksaan kesehatan atau sekadar menjenguk.

"Kamu jajan apa sih di kampus sampai muntah-muntah kayak gini?" tanyaku. Bu Zoya sangat memperhatikan kebersihan dan pengolahan makanan, jadi saluran pencernaan Faith tidak mungkin bermasalah kalau hanya mengonsumsi makanan di rumah.

"Tadi makan siomay abang-abang gerobak," jawab Faith lemah. Dia pasti sudah kehilangan banyak cairan karena tidak pernah kelihatan selesu itu. Kulitnya yang putih tampak memerah. Suhu tubuhnya pasti di atas normal. Aura ceria dan jailnya raib. "Katty juga makan, tapi dia nggak apa-apa. Apa mungkin karena sambalnya ya? Dia nggak pakai sambal, sedangkan aku ngasih sambal banyak banget."

"Daya tahan tubuh kalian terhadap kuman juga nggak sama. Lain kali jangan jajan sembarangan lagi. Ini bukti kalau perut kamu itu lemah sama bakteri."

Faith tidak menjawab. Dia memejamkan mata. Aku hanya bisa mengawasinya karena tidak tahu harus melakukan apa.

Aku pernah menjenguk Kayana setelah dia melahirkan. Yudis yang selalu berada di sisi istrinya itu nyaris tidak pernah melepaskan tangannya dari Kayana. Kalau tidak mengusap kepala, menggenggam tangan, dia akan membelai punggung Kayana.

Aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu pada Faith. Aku tidak terbiasa menyentuh perempuan kalau konteksnya di luar hubungan seksual.

Aku sedang memikirkan apa yang akan kuucapkan pada Faith ketika Pak Tua mendadak menguak tirai pembatas tempat Faith dirawat. Kedatangannya membuatku lega. Itu artinya aku bisa keluar dan punya waktu untuk memperbaiki setelan otakku. Tidak biasanya aku kehilangan kata-kata saat berhadapan dengan seseorang.

**

Setelah diobservasi di IGD, Faith kemudian dipindahkan ke ruang rawat inap. Peraturan di VIP tempatnya dirawat lebih longgar sehingga dia bisa ditunggui lebih dari satu orang. Ruang rawatnya lebih mirip suite hotel daripada rumah sakit. Yang membedakannya adalah berbagai alat kesehatan yang ada di situ.

Hasil pemeriksaan laboratorium Faith sudah keluar. Dia didiagnosis menderita demam tifoid yang artinya dia akan dirawat cukup lama dan diharuskan bed rest untuk mempercepat proses penyembuhan.

Bu Zoya menemani Faith selama 24 jam. Dia yang menyuapi, mengelap tubuh, dan mengganti pakaian Faith. Gesturnya lebih menyerupai gestur seorang ibu daripada pengasuh. Tampak jelas kalau dia sangat menyayangi Faith. Dia betah duduk berjam-jam di sisi tempat tidur Faith untuk mengusap-usap punggungnya, atau memijat kakinya.

Aku tidak terbiasa dengan peran sebagai suami berdedikasi yang penuh cinta, dan kurasa Faith juga tidak butuh diperlakukan seperti itu. Jadi aku akan datang ke rumah sakit sepulang kantor, setelah mampir di apatemen (karena kebetulan kulewati saat ke rumah sakit) untuk mandi dan berganti pakaian. Aku akan nginap di rumah sakit bersama Bu Zoya dan kadang Pak Tua atau Tante Rose.

Semakin mengenalnya, aku tahu jika di balik kecerewetan dan kata-katanya yang tajam, Tante Rose juga tulus menyayangi Faith. Tante, Om, dan sepupu-sepupu Faith yang lain bergilir menjenguk, tapi yang biasanya tinggal cukup lama hanya Jane dan Jessie. Dan tentu saja Katty. Sahabat Faith itu akan mampir setiap hari. Dia biasanya masih ada di ruang rawat Faith saat aku datang.

Galih menyuruhku libur untuk menunggui Faith di rumah sakit, tapi aku menolak ide itu. Apa yang akan kulakukan di rumah sakit kalau tinggal di sana? Faith lebih butuh Bu Zoya daripada aku. Dia tidak mungkin merengek manja padaku saat bosan terus-terusan berbaring seperti yang dilakukannya pada Bu Zoya. Aku juga tidak mungkin memberi Faith terapi pelukan seperti yang diberikan Bu Zoya atau Pak Tua.

Aku tidak memeluk perempuan yang berpakaian lengkap. Aku terbisa memegang pinggul dan bokong telanjang saat sedang berhubungan seksual. Yang akan segera kulepas begitu sesi itu selesai. Tidak ada cuddling atau apa pun yang bisa menimbulkan kesalahpahaman bahwa aku menginginkan lebih daripada seks.

Hari keempat Faith dirawat adalah hari Sabtu, sehingga aku tidak punya pilihan kecuali tinggal di rumah sakit. Kondisi Faith sudah semakin membaik. Dia sebenarnya sudah minta pulang dan melanjutkan perawatan di rumah karena bosan dengan suasana rumah sakit, tapi Pak Tua menolak permintaannya. Dia berkeras bahwa Faith harus tetap tinggal di rumah sakit sampai dokter mengizinkan Faith pulang saat dia sudah benar-benar sembuh.

Setelah mengelap tubuh Faith serta menemani dan menyakinkan Faith menghabiskan sarapannya, Bu Zoya minta izin pulang untuk membawa pakaian kotor sekalian membuatkan Faith puding. Pak Tua yang ikut menginap di rumah sakit sudah pulang lebih dulu.

Begitu Bu Zoya menutup pintu, aku mendekati ranjang Faith yang terpisah dari ruangan yang disiapkan untuk keluarga. Dia sedang duduk bersandar pada bagian atas ranjang yang dinaikkan.

Aku berdeham, "Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa bilang sama aku. Bu Zoya mungkin agak lama baru balik ke sini."

Senyum jail Faith spontan terbit. Seri di wajahnya sudah kembali. Tidak ada lagi ringis kesakitan seperti saat dia baru masuk rumah sakit. Obat yang dimasukkan untuk melawan bakteri di tubuhnya benar-benar manjur.

"Om bisa pesenin aku sate kambing? Aku bosen makan bubur hambar terus. Kalau minta sama Ibu pasti langsung diomelin. Bisa ya, Om? Nggak ada yang bakal tahu kok. Kan hanya kita berdua di sini. Kalaupun ada yang datang, bilang aja itu makanan kamu."

Aku memasukkan tangan di dalam saku supaya tidak tergoda mengetuk dahinya dengan buku jariku.

"Sebaiknya kamu nggak usah minta apa-apa sampai Bu Zoya, Tante Rose, Jessie, atau Katty datang." Aku duduk di kursi di sebelah ranjang Faith. "Perasaan kamu sekarang gimana?"

"Om nanya? Om bertanya-tanya?" Ekspresi Faith berubah sebal. "Menurut kamu aku baik-baik saja setelah empat hari nggak diizinin turun dari ranjang kalau nggak ke kamar mandi? Aku pengin mandi bukan dilap-lap doang. Aku pengin joging. Aku pengin latihan taekwondo. Aku pengin berenang. Aku nggak didesain untuk duduk dan berbaring aja! Aku bukan remaja jompo. Kalau kayak gini terus, ototku bisa atropi."

Aku jadi menyesal berbasa basi menanyakan keadaannya. "Orang nggak akan mengalami atropi otot kalau hanya bed rest selama seminggu, Faith!" Aku mencoba memblokir apa yang mendadak terlintas di kepalaku saat Faith menyebut kata "berenang".

"Bosan banget, Om!" keluh Faith. Nadanya menurun. Dia benar-benar tampak bosan.

"Tahan sedikit lagi," hiburku. "Besok atau lusa kamu pasti sudah diizinin pulang."

"Lusa itu bukan sebentar, Om. Sehari di sini rasanya seperti setahun. Aku benci rumah sakit."

"Itu wajar. Nggak ada orang waras yang suka jadi pasien di rumah sakit."

Faith mengembuskan napas pasrah. "Om, ambilin iPad-ku dong. Mumpung nggak ada Ibu, daripada aku ngomel-ngomel nggak jelas, lebih baik aku nonton drama ongoing yang aku ikutin. Kalau Ibu datang, aku pasti dilarang nonton lama-lama dan disuruh tidur aja. Aku udah mirip beruang yang sedang hibernasi."

"Kamu lebih mirip jerapah daripada beruang sih," godaku.

Faith langsung cemberut. "Itu body shaming, Om. Kamu bisa aku tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan."

Aku tertawa. Kelihatannya Faith sudah benar-benar sembuh. Dia hanya butuh pemulihan. "Kamu kurang update.MK sudah mencabut pasal itu. Terlalu sering dijadiin dasar untuk saling tuntut hanya gara-gara pertengkaran di media sosial. Terutama oleh artis dengan sesama artis atau hater-nya."

Aku mengambil iPad Faith dan membiarkannya dia menghibur diri dengan tontonannya. Biar nanti Bu Zoya saja yang melarangnya. Faith lebih menuruti perintah pengasuhnya itu daripada aku.

Setelah Faith tenggelam dalam drama yang ditontonnya, aku kembali ke sofa dan membuka laptop yang aku bawa supaya bisa tetap bekerja selama di rumah sakit.

Aku sedang asyik bekerja saat mendengar pintu diketuk. Aku membiarkannya. Biasanya ketukan itu diikuti oleh pintu yang dibuka oleh perawat yang akan memeriksa atau membawa obat untuk Faith.

Tapi pintu tidak langsung terbuka. Ketukan itu terulang lagi, lebih keras daripada sebelumnya. Aku melepas laptop dan bergegas menghampiri pintu. Sosok di depan pintu yang terbuka membuatku mengernyit. Sama seperti orang itu yang tampak terkejut melihatku.

"Eh... selamat pagi, Om," sapa Brian, si tamu. "Saya datang untuk jenguk Faith."

Aku bersedekap menatapnya. "Apa om-om!" bentakku. "Saya bukan om kamu!"

"Ooh... eh...." Bocah itu tampak salah tingkah. Dia mengulurkan keranjang yang ditata cantik berisi buah-buahan yang dibawanya. "Ehm... saya boleh ketemu sama Faith?"

"Faith sedang tidur, dia belum bisa dijenguk sekarang!"

"Siapa, Om?" teriak Faith dari dalam. "Suruh masuk aja. Aku nggak tidur kok."

"Permisi, Om." Brian menyerbu masuk setelah mendengar suara Faith. Dia mendorong keranjangnya di dadaku, sehingga aku tidak punya pilihan selain memegangnya supaya tidak terjatuh.

Dasar bocah kurang ajar!

**

PO Rakha udah resmi dibuka ya. Yang pengin punya versi cheta, sila menghubungi Nomor WA atau akun Shopee belibuku.fiksi

Untuk yang udah baca di Karyakarsa, nggak Usah beli lagi. Sama aja kok. Kecuali kalau kepengin bonusnya. 

Tengkiuuu....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top