27-28
AKU menjadi orang terakhir yang bergabung di kafe tempat gengku biasa berkumpul. Tanto tadi melempar ajakan untuk bertemu di tempat ini, dan kebetulan semua anggota grup bisa hadir.
"Ini akan jadi acara kumpul-kumpul kita yang terakhir gue berstatus sebagai single," kata Tanto bangga.
Dia sepertinya belum menyadari jika gerbang pernikahan lebih mirip pintu penjara yang akan menyedot habis kebebasannya sebagai laki-laki merdeka. Sekali masuk, dia akan sulit keluar dari sana. Untunglah aku tidak terlibat dalam pernikahan seperti itu. Beberapa bulan lagi, aku akan kembali pada kehidupan lamaku yang bebas.
"Kali ini beneran jadi?" tanyaku skeptis. Bukan apa-apa, rencana pernikahannya sudah dua kali mengalami penundaan. Pertama karena nenek Renjana sakit dan harus dirawat di Singapura cukup lama, dan penundaan kedua terjadi karena giliran ayah Tanto yang mendadak diangkut ke IGD, padahal sebelumnya dia sehat-sehat aja. "Kalau pernikahan lo ditunda sampai tiga kali, lo harus mempertimbangkan untuk membatalkannya, man. Itu artinya semesta memberi tanda kalau Renjana bukan jodoh lo. Mungkin aja lo nggak ditakdirkan untuk menikah. Garis tangan orang nggak ada yang tahu, kan?"
Tanto menatapku sebal. "Mulut lo gatal-gatal kalau nggak mengeluarkan kata-kata yang bikin orang jengkel ya? Tentu aja Renjana sudah ditakdirkan bersama gue. Kali ini nggak akan ada penundaan lagi. Besok, Nyonya Subagyo dan ibu Renjana akan berangkat ke resor untuk mengawasi persiapan acara. Renjana dan keluarga dekat yang lain juga akan ikut. Kita berangkat hari Kamis. Acaranya hari Sabtu jadi kalian bisa istirahat di sana dulu. Senin kalian balik ke Jakarta. Tapi kalau mau tinggal lebih lama seperti gue dan Renjana, terserah kalian aja."
"Jangan suka ngomel. Kasihan Renjana kalau lo pakai tongkat sebelum waktunya dan kehilangan vitalitas karena cepat tua. Ntar dia nyesal udah nikah sama lo. Surga dunianya nggak bertahan lama."
Tanto tertawa. "Lo nggak merasa butuh kaca? Lo bahkan dipanggil "om" sama istri lo sendiri. Itu tanda kalau istri lo bahkan sudah menganggap lo uzur sekarang, nggak perlu tunggu nanti."
Ucapan Tanto disambut gelak teman-temanku yang lain.
"Itu karena hubungan gue sama Faith nggak berbau romantis. "Om" itu panggilan ejekan. Untuk apa bermanis-manis kalau tahu hubungan kami nggak permanen?"
"Orang bilang, ucapan itu doa, bro," kata Risyad. "Jadi lebih baik lo bicara yang baik-baik aja tentang istri lo dan hubungan kalian. Lo sendiri yang akan merana kalau ditinggal saat sedang sayang-sayangnya. Lo harusnya sudah belajar hal itu dari Yudis dan Dyas."
"Kenapa masa lalu gue yang kelam harus lo ungkit-ungkit lagi sih?" gerutu Yudis. "Bagian itu udah gue anggap sebagai mimpi buruk yang nggak nyata."
"Jangan dilupain dong, bro. Kerja keras lo buat dapetin Kayana part dua yang menghalalkan segala cara harus tetap lo ingat supaya lo tetap menghargai dia."
"Gue selamanya akan selalu menghargai Kay," ujar Yudis membalas Risyad. "Kay adalah ibu anak-anak gue, nggak mungkinlah gue berani macam-macam sama Kay. Yang coba gue lupain itu adalah perasaan traumanya. Perempuan yang mandiri itu nggak punya banyak pertimbangan saat memutuskan pergi ketika merasa harga dirinya terluka."
"Nyonya Subagyo bilang, perempuan akan kehilangan sebagian besar kemandiriannya setelah punya anak karena pertimbangan mereka ketika mengambil keputusan bukan lagi berdasarkan ego pribadi, tapi lebih pada kepentingan dan kebahagiaan anak mereka."
"Berarti gue harus membujuk Kay untuk nambah anak dong. Karena semakin banyak anak, kemungkinan Kay untuk ninggalin gue akan semakin kecil."
"Istri lo nggak akan pergi selama uang belanja dan performa lo di atas tempat tidur bikin dia puas," selaku bosan. Ini tema percakapan yang selalu berulang. "Selain kenyamanan, perempuan hanya butuh uang dan multiple orgasme untuk bertahan dalam hubungan."
"Seks dalam hubungan itu penting, tapi nggak berarti semua hal jadi tentang seks aja, kan?"
"Pendapat lo nggak valid karena lo dapatin seks kapan aja lo mau, man," sanggahku. "Lo nggak berada dalam posisi gue sekarang. Gue udah jadi biksu sejak gue nikah, padahal sebelumnya gue hidup hanya untuk kerja dan seks doang."
"Lo sama istri lo beneran belum pernah having sex?" Tanto menatapku takjub. "Maksud gue, bisa-bisanya iblis kayak lo nggak tergoda. Padahal biasanya lo langsung horny-an saat ditempel cewek cantik. Dikasih lihat belahan dada dikit aja lo udah angkat bendera putih dan langsung buka kamar. Apa yang kurang dari Faith?"
"Kekurangannya baru aja lo sebutin. Dia nggak punya belahan dada." Aku menggeleng saat teringat telapak tanganku yang pernah melekat di dada Faith. Sial, seharusnya aku sudah melupakannya. "Untuk horny, gue juga punya kriteria, bro. Gue emang berengsek, tapi nggak asal main tabrak aja juga kali. Untuk bangun, Junior gue harus suka dengan apa yang dia lihat dulu."
Risyad berdecak. "Gue lebih percaya kalau lo belum tidur sama istri lo karena dia yang nggak mau."
"Iya, gue juga lebih percaya teori itu." Dyas yang sejak tadi diam, ikut masuk dalam percakapan. "Nggak mungkin memaksa orang yang nggak mau, kan? Itu bisa masuk dalam pasal pemerkosaan."
"Kenapa lo semua nggak percaya kalau gue bisa punya preferensi terhadap bentuk tubuh perempuan sih? Padahal lo semua tahu kriteria gue. Untuk horny, gue butuh dada yang dempetan ada belahannya saat memakai bra, bukan yang musuhan saking jauh jaraknya. Disatuin dalam bra pun ogah dekatan. Gue juga butuh lekuk tubuh. Ada perbedaan ukuran antara pinggang dan pinggul."
"Ukuran dada dan bentuk tubuh udah nggak masuk hitungan kalau lo udah jatuh cinta," kata Yudis. "Gue beruntung dapat istri yang badannya bagus, tapi kalaupun bentuk tubuh dia nggak ideal, gue yakin akan tetap mencintai dia seperti sekarang. Lo bisa sombong gitu karena lo belum jatuh cinta aja sama istri lo."
Aku tertawa mengejek. "Berarti selamanya gue nggak akan pernah tertarik sama Faith karena gue nggak akan jatuh cinta sama perempuan mana pun. Sama yang seksi aja gue nggak ada rasa, apalagi yang menjulang lurus kayak tiang listrik seperti Faith."
"Ngata-ngatain istri sendiri itu dosa lho. Karmanya bisa instan."
Aku hanya tertawa. Aku tidak percaya karma. Ya kali, aku bisa jatuh cinta. Tidak mungkin. Apalagi sama Faith.
**
Faith ada di meja makan saat aku turun untuk sarapan. Dia masih memakai baju tidur Keropi kesayangannya.
"Nggak kuliah?" tanyaku basa basi.
"Jam sepuluh." Dia menghentikan gerakannya mengoles selai pada rotinya dan menatapku. "Dua hari lalu aku diajak ketemuaan sama Kak Renjana di butik. Ternyata aku disuruh fitting gaun bridesmaids. Bulan lalu dia emang pernah nanya ukuranku, tapi aku nggak kepikiran bakalan dijadiin bridesmaids dia. Kok Om nggak bilang kalau Mas Tanto dan Kak Renjana udah mau nikah weekend ini sih?"
"Kamu mau ikut?" Jujur, aku tidak kepikiran untuk mengajak Faith ke acara pernikahan Tanto. Tentu saja aku akan memberi tahunya saat akan berangkat, tapi hanya pemberitahuan, tidak berniat mengajak. Membiarkan Faith berinteraksi dengan teman-temanku dan pasangan mereka selama beberapa jam, berbeda dengan berada di tempat yang sama selama berhari-hari. Hubungan mereka bisa intens, padahal aku tidak berniat terlibat dengan Faith lagi setelah perpisahan kami nanti.
"Tentu saja aku mau ikut, Om! Aku udah dikasih gaun lho. Gaunnya cantik banget lagi. Kak Renjana juga udah wanti-wanti supaya aku harus datang. Katanya resor Mas Tanto bagus banget. Aku udah lama nggak ke Bali, jadi pengin ngerasain nginap di resor pantai lagi."
"Ya udah, siapin barang kamu aja. Kita berangkat hari Kamis." Aku tidak mungkin menolak membawa Faith ikut kalau Renjana yang punya hajat malah menjadikannya sebagai pengiring pengantin.
"Siap, Bos!" Faith memberi gerakan menghormat yang kekanakan. "Urusan koper mah gampang. Besok pasti udah beres. Aku hanya perlu nambah stok sunscreen karena Kak renjana bilang di sana panas banget, dan merek sunscreenyang biasa aku pakai mungkin nggak ada di sana."
Karena itulah aku benci pantai. Kulitku sensitif terhadap paparan sinar matahari, dan semua orang tahu kalau udara di pantai yang bergaram sangat garang. Aku tidak perlu waktu lama untuk berubah menjadi kepiting rebus. Aku tidak relate sama teman-temanku yang mencintai pantai dan bahkan menghelat resepsi di atas pasir, di ujung lidah-lidah ombak. Aku lebih suka menghabiskan liburan di tempat yang sejuk. Tempat di mana kulitku tidak perlu merasakan pedihnya kekalahan karena disengat sinar matahari.
**
DUA PULUH DELAPAN
RESOR keluarga Tanto terletak di Baubau, kota di Sulawesi Tenggara yang terletak di tepi pantai. Setengah jam sebelum pesawat mendarat, hanya laut, laut, dan laut yang terlihat sepanjang mata memandang dari jendela pesawat. Variasinya hanyalah gugusan pulau yang membelah laut itu. Ada pulau yang sangat kecil sehingga mustahil dihuni manusia, sampai pulau besar yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Bandaranya pun bersisian dengan laut.
Bandaranya kecil dan hanya bisa dilandasi oleh pesawat ATR. Jarak dari landasan ke gedung bandara hanya beberapa puluh meter, jadi kami hanya perlu berjalan kaki ke sana. Bis dan mobil jemputan tidak dibutuh di bandara ini.
Hawa panas langsung menghantam begitu aku keluar dari pintu pesawat. Bukan suhu yang bersahabat dengan kulitku. Kalau bukan pernikahan Tanto, aku akan mengabaikan semua undangan yang mengharuskanku berada di tepi pantai. Apalagi aku harus tinggal selama berhari-hari.
Dari bandara, perjalanan menuju resor dilanjutkan menggunakan mobil selama hampir satu jam. Aku sudah pernah ke tempat itu, jadi familier yang rute yang kutempuh, tidak lagi terlalu peduli dengan pemandangan yang kami lalui. Berbeda dengan Faith yang tidak henti-hentinya mengomentari semua yang dilihatnya. Pemandangan lautnya yang kerenlah, perahu nelayan yang membelah ombak hanya bermodalkan dayunglah, gugusan pulau, sampai sawah yang kami lewati pun tidak lepas dia komentari. Faith tampak seperti anak kecil yang baru dilepas dari kurungan dan untuk pertama kalinya menikmati dunia luar, padahal aku yakin dia sudah sering berlibur di berbagai tempat, baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri. Tapi itulah Faith yang selalu riang dan cerewet.
Di resor, Tanto menempatkan aku dan Faith di salah satu cottage, padahal aku sebenarnya lebih suka di gedung hotel yang lebih jauh dari garis pantai. Tapi aku tidak bisa melawan antuasiasme Faith yang langsung berseru kegirangan saat melihat cottage itu.
"Suara ombaknya kedengaran dari sini, Om! Tempat ini bahkan lebih bagus daripada tempat liburanku di Bali dulu."
Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini aku semakin sering mengalah pada Faith. Berinteraksi dengan anak itu membuatku belajar tentang kesabaran. Berdebat dengan anak seperti dia hanya akan menghabiskan energi. Tidak ada manfaatnya. Mengalah membuatku hidupku lebih tenteram karena tidak perlu berhadapan dengan mata yang mendelik sebal, cibiran, dan jangan lupakan betapa menyebalkannya Faith kalau sedang merepet.
"Gue pilihin tempat yang paling terisolir, man," bisik Tanto. "Pendapat lo tentang belahan dada dan lekuk tubuh itu pasti akan berubah setelah lihat istri lo mondar-mandir pakai bikini doang selama berada di sini." Dia menunjuk kolam renang di samping cottage. "Dia nggak mungkin nggak tergoda untuk berenang. Dan dia nggak akan berenang pakai kaus dan jeans. Gue yakin 99,99%, periode biksu lo akan terhenti karena ini tempat yang sempurna untuk buka puasa. Kecuali kalau lo memang sudah kehilangan kemampuan untuk menaklukkan perempuan. Tapi Rakha yang gue kenal nggak pernah gagal. Kasihan kalau reputasi lo hancur di tangan anak ABG." Dia menepuk punggungku kuat-kuat dan berseru memanggil Faith yang sedang menjelajahi cottage. "Faith, kita makan siang dulu yuk. Setelah itu kamu bisa istirahat biar punya tenaga untuk eksplor resor nanti sore. Sunset-nya cantik banget. Bagus untuk latar foto Instagram." Tanto mengedipkan sebelah mata sebelum pergi.
Sialan. Aku pikir aku adalah satu-satunya bajingan dalam geng kami.
Di restoran, aku duduk semeja dengan teman-temanku. Faith bergabung dengan calon mempelai wanita dan para pengiringnya yang lain. Katanya ada yang perlu mereka bahas. Perempuan memang makhluk yang ribet. Berbeda dengan kami, laki-laki, yang mengutamakan kepraktisan.
"Gue mau berenang di laut nanti sore. Ada yang mau bareng?" Risyad menatap kami satu per satu, mencoba mencari sekutu.
Aku langsung menggeleng. "Nope. Gue nggak akan menyentuh air laut sebelum resepsi Tanto selesai. Gue nggak mau kelihatan seperti Tuan Krab di foto pernikahan dia. Kalau mau berenang, gue akan berenang di kolam aja."
"Gue ikut," sambut Dyas. "Udah lama banget gue nggak berenang di laut."
"Gue juga ikut," kata Tanto. "Berenang bikin stamina gue terjaga. Gue harus kelihatan fit di hari besar gue."
"Renjana butuh lo fit di ranjang untuk waktu yang panjang, bukan hanya di hari H aja," godaku.
"Gue jadi wasit aja," ujar Yudis. "Tadi gue udah janji sama Kay untuk nemanin anak-anak gue main di pantai. Dia mau nyobain spa."
"Apa pun untuk kayana ya?" ejekku. "Gue yakin kalau Kayana suruh lo mandi lumpur, tanpa diminta dua kali lo bakal langsung terjun. Lo harus mempertimbangkan untuk konsultasi sama psikolog atau sekalian psikiater karena Kayana untuk lo itu bukan hanya sebagai istri doang, tapi udah jadi obsesi. Kayaknya luka trauma lo karena pernah ditinggalin belum beneran sembuh."
"Nyenengin pasangan itu kewajiban," jawab Dyas. "Bukan berarti obsesi. Tapi konsep itu kayaknya bakal sulit lo cerna sih. Ya, setidaknya sampai lo beneran jatuh cinta. Cinta bikin lo nggak berhitung tentang untung-rugi ataupun utang budi. Cinta itu bertentangan dengan hukum ekonomi."
Aku tertawa. "Itu cinta atau perbudakan? Kedengarannya nggak jauh beda."
"Mau lo bilang itu obsesi atau perbudakan, gue nggak masalah sih selama Kay ada di sisi gue," sahut Yudis enteng. "Itu yang terpenting. Goal utama gue adalah bikin dia dan anak-anak gue bahagia. Apa pun yang mereka ingin gue lakukan, selama itu masih dalam batas kemampuan gue, pasti akan gue lakukan."
"Nggak usah ditanggapin," sela Tanto. "Gue yakin sudut pandang Rakha tentang cinta dan hubungan nggak lama lagi akan berubah. Orang yang sudah telanjur mengharamkan komitmen memang butuh waktu untuk mengakui konsep itu. Fase denial-nya bakal lumayan panjang. Tapi kita semua tahu, sekuat apa pun kita bertahan, kata hati akan selalu menang."
Empat lawan satu, aku tidak akan memenangkan perdebatan. Faith sudah melatihku untuk sabar, jadi lebih baik menertawakan mereka daripada harus menarik urat leher. Toh aku tidak butuh validasi mereka untuk tahu bahwa aku benar.
**
Aku terjaga saat merasakan betisku ditepuk-tepuk. Sebenarnya bukan ditepuk, tapi dipukul. Setelah kembali dari restoran, aku menghabiskan waktu dengan membaca buku elektronik yang sudah lama kubeli, tapi belum sempat kubaca. Faith kutinggalkan di restoran karena pembicaraan dengan calon pengantin dan para pengiringnya belum selesai. Aku jatuh tertidur sebelum menyelesaikan bacaan.
Aku tidak terbiasa tidur siang. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan di tempat ini karena aku menghindari paparan sinar matahari yang tidak berperikemanusiaan di luar sana. Resor seperti ini hanya menarik pada saat matahari sudah kehilangan keperkasaan. Sepertinya aku akan memilih menjadi makhluk nokturnal selama berada di sini.
"Om, bangun dong!" Pukulan di betisku semakin kuat, diikuti oleh suara Faith.
Aku membuka mata pelan-pelan. "Apaan sih, Faith?" gerutuku merasa terganggu.
"Bangun dong, Om! Pemandangan di luar bagus banget."
Aku kembali memejamkan mata. "Aku sudah pernah ke sini, jadi udah tahu gimana pemandangannya."
"Tapi aku belum pernah. Cepetan bangun, Om. Ntar aku ketinggalan sunset-nya." Dari betis, Faith beralih memegang pergelangan tanganku, mencoba menarikku. Tapi tenaganya tidak mungkin cukup untuk membuatku bergerak.
"Kalau kamu nggak mau ketinggalan, kamu keluar aja, nggak usah ngajak aku." Aku ingin tidur sedikit lagi sebelum mandi dan makan malam.
"Tapi nggak seru kalau aku selfie doang. Pemandangannya nggak bisa keambil semua. Aku butuh fotografer. Ayo dong, Om. Bangun!"
Aku membuka mata. "Kamu bisa minta tolong sama orang lain. Pantai pasti rame banget sore gini."
"Kalau cuman ngambil satu-dua foto sih aku masih bisa minta tolong orang, tapi aku butuh banyak foto. Nggak enak kalau nyuruh orang lain yang jadi fotograferku. Ayolah, Om, bangun!"
Faith akan terus merengek kalau permintaannya tidak diikuti. "Kamu keluar duluan. Setelah kencing dan cuci muka, aku susul ke pantai."
"Asyik. Om terbaik deh!" Faith langsung melompat keluar sambil menenteng kamera DSLR-nya. Aku tidak bisa membayangkan pasangan teman-temanku bersikap seperti itu. Perempuan dewasa bergerak dengan anggun, tidak melompat ke sana kemari seperti bajing.
Nilaiku di mata Faith selalu berubah-ubah tergantung suasana hatinya. Sekarang aku 'terbaik' karena mengikuti keinginannya. Nilai itu bisa berubah jadi 'menyebalkan' setengah jam kemudian, kalau foto yang kuambil tidak sesuai harapannya.
Langit sudah berubah warna saat aku keluar dari cottage. Bulatan matahari yang besar dan sempurna tampak jingga kemerahan. Orang-orang yang berada di sepanjang pantai untuk menikmati pemandangan tampak mulai menyerupai siluet. Aku mengedarkan pandangan mencari Faith.
"Om, di sini Om!" teriak Faith sambil melambaikan tangan di atas kepala sambil melompat-lompat.
Aku menghampiri Faith dan mengambil alih kamera yang disodorkannya.
"Ayo, cepetan, Om. Sebelum mataharinya beneran tenggelam!"
Aku mengikuti perintah Faith tanpa membantah. Aku berulang-ulang mengambil gambarnya dengan latar matahari, dermaga, alun ombak, dan tentu saja pasir pasir.
"Foto di sana dong, Om!" Faith menunjuk dermaga dengan penuh semangat. Dia berlari kecil tanpa menunggu jawabanku.
Aku mengikutinya. Kameranya kugantung di leher. Aku merogoh saku untuk mengambil permenku yang kesekian dan menjejalkan beberapa butir sekaligus di dalam mulut. Mulutku terasa asam setelah bangun tidur. Aku sudah minum, tapi permen yang disediakan resor membuat tenggorokanku lebih lega. Rasa dan aroma mint-nya yang kuat membuatku benar-benar terjaga.
Sore ini dermaga tidak menjadi pilihan para tamu resor karena tempat itu kosong. Faith memanfaatkan kondisi itu dengan berpose di segala sudut. Aku rasa foto yang aku ambil hari ini cukup untuk diunggah setiap hari selama 6 bulan di Instagramnya.
"Udah cukup, Faith." Menjadi fotografer dadakan dan sekaligus mengambil ratusan foto ternyata tidak gampang. Pegal juga karena sudut pengambilan gambar harus menyesuaikan dengan pose Faith. Matahari sudah benar-benar tenggelam. Penerangan telah diambil alih oleh lampu-lampu. "Udah malam. Aku mau mandi sebelum makan malam."
"Satu lagi dong, Om." Faith memanjat pembatas gazebo dermaga. "Latar hotel ya. Lampu-lampunya cantik banget."
"Faith, nggak perlu manjat," cegahku. Berurusan dengan anak-anak yang kelebihan hormon lincah ternyata sangat merepotkan. Faith bertingkah seperti balita yang kelebihan asupan gula. "Latar hotelnya tetap akan kelihatan walaupun diambil dari bawah kok. Bahaya kalau kamu sampai jatuh ke laut malam-malam gini."
"Aku nggak mungkin jatuh. Keseimbanganku sangat bagus kok."
Keseimbangannya mungkin bagus di siang hari. Tapi di malam hari dengan penerangan seadanya di dermaga, aku tidak yakin. Kekhawatiranku terbukti. Tubuh Faith tampak oleng saat berusaha duduk di kayu pagar pembatas. Papan kecil yang ada di atas pagar pembatas dermaga itu didesain untuk kepentingan estetik karena terlalu kecil untuk dijadikan tempat bertumpu, walaupun orang itu sekurus Faith.
Aku melepas kamera dan cepat-cepat menarik tangan Faith sebelum tubuhnya yang doyong ke belakang benar-benar jatuh dan tercebur ke laut. Repot urusannya kalau itu sampai terjadi.
Faith terjatuh dalam pelukanku. Aku memegang erat pinggangnya. Tangan Faith memeluk di leherku. Kakinya otomatis melingkar di pinggangku, bertahan supaya tidak terjatuh ke lantai dermaga. Aku seperti sedang menggendongnya. Bukan sepertinya, aku memang menggendongnya.
Kami bertahan dalam posisi itu beberapa saat sebelum Faith pelan-pelan melepaskan tangannya dari leherku. Wajah kami berada dalam satu garis lurus, sangat dekat. Aku bisa merasakan embusan napasnya yang hangat di wajahku. Aku menatap bibirnya, lalu beralih ke wajahnya. Faith balas menatapku dengan berani.
"Apakah kita akan ciuman?" tanyanya. Dia tampak penasaran.
Aku kembali menatap bibirnya. "Tergantung. Kalau kamu ngasih izin, kita akan ciuman. Kamu yang bilang kalau ciuman juga butuh consent, kan?"
Faith mengangkat bahu. "Aku mau tahu gimana rasanya ciuman dengan consent."
Aku hanya butuh mendengar kata-kata itu sebelum melahap bibirnya. Faith membalas ciumanku dengan canggung. Tapi dia belajar menyesuaikan dengan cepat. Kami saling memagut.
Tanto sangat mengenalku. Dia tahu aku hanya butuh pemicu untuk menghidupkan makhluk buas dalam diriku. Kurasa aku memang akan mengakhiri periode biksu di resor ini. Malam ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top