Yang Lebih Berharga

Cring~ Gemerincing lonceng tanda kehadiran pengunjung

"Selamat datang di Karma cafe."

Seorang bocah dengan perawakan fisik dan usianya yang tak begitu berbeda jauh dari Kiddy masuk ke dalam kafe. Ia berjalan ke arah bar dan duduk di hadapan Smooky. Jarak mereka hanya terpisah oleh meja bar saja. Ia menatap Smooky yang sedang menatapnya juga.

"Apa ini akhirat?" Anak itu menatap Smooky dengan wajah tenang.

"Tak banyak orang yang sadar ketika mereka mati. Kau tampaknya pintar, bocah." Bocah itu menoleh. Ia menatap Kiddy yang berucap padanya. "Bukahkah kita seusia? Kenapa kau memanggilku 'bocah'?" balas bocah itu. Kiddy menatap Smooky dan juga Smiley yang baru saja keluar dari toilet. "Bocah ini milikku," ucapnya menyeringai.

Kiddy memerintahkan anak itu untuk mendekat padanya. Mereka mengobrol dan terlihat cukup akrab. Anak itu tak panik atau pun bertingkah aneh, bahkan ketika ia tahu bahwa ia telah meninggal. Anak itu bernama Faza. Ia dan Kiddy tampak menertawakan sesuatu.

"Jadi--apa ada penyesalan yang tertinggal? Atau kau ingin membalas perbuatan seseorang?" Kiddy memberikan Faza daftar menu kosong.

Faza mengambil menu itu dan menatapnya sambil mencari sesuatu yang bisa ia baca. "Ini--kosong?"

Kiddy hanya tersenyum sambil mengambil daftar menunya. "Coba ke sini." Ia meminta Faza untuk berdiri di belakangnya. Faza pun menuruti Kiddy, ia berdiri dan berjalan ke belakang Kiddy sambil menatap daftar menu yang ia tatap barusan.

Sebuah tayangan terlihat jelas, bak sedang menonton video di sebuah tablet. "Keren, kan?" Kiddy tersenyum pada bocah itu. Faza sangat antusias dengan daftar menu yang menampilkan cuplikan kehidupannya.

Faza adalah anak yang pintar. Ia selalu mendapat rangking satu dalam segala mata pelajaran. Hingga orang tuanya harus pindah rumah karena tuntutan pekerjaan. Faza dan orang tuanya kini tinggal di ibu kota. Tentu saja Faza harus beradaptasi dengan sekolah barunya.

Sekolah SMP swasta yang menjadi sekolah baru Faza merupakan sekolah unggulan dan sekolah terbaik nomor satu di provinsi DKI Jakarta. Faza adalah anak yang mudah bergaul, ia memiliki teman sebangku bernama Dika.

Persahabatan mereka cukup baik. Dika dan Faza sering menginap di rumah mereka secara bergantian ketika akhir pekan tiba. Faza adalah anak yang pintar dalam pelajaran, sementara Dika adalah anak yang tangkas dalam olahraga. Mereka saling melengkapi.

Pada suatu hari, sekolah mengadakan ujian penjaskes berupa lari jarak jauh, yang merupakan andalan Dika dalam mengharumkan nama sekolah, dalam ajang olimpiade lari jarak jauh di jenjang SMP. Dika merupakan pelari yang hebat, ia sering berlatih sejak ia masih kecil. Dika memiliki mimpi menjadi seorang atlet lari jarak jauh yang kelak akan menghadiahkan medali emas untuk Indonesia di ajang Asian Games.

Namun, harapan itu sirna. Faza bukan hanya pandai dalam pelajaran di kelas. Kini anak itu sedang berlari di depan Dika. Dika tak mampu mengejar Faza, dan hanya mampu menatap punggungnya yang kian menjauh.

Cemburu, iri, benci. Ya, itulah yang tumbuh di dalam dada seorang Dika. Semenjak Faza hadir, ia merebut segalanya. Faza menjadi orang yang akan mewakili sekolah ini dalam ajang olimpiade nasional. Bukan, Dika.

Timbul sebuah dinding raksasa tak kasat mata yang berdiri di antara Dika dan Faza. Hanya saja, Faza tak menyadari itu. Hingga suatu saat kejadian naas itu terjadi.

Faza mengalami kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit. Akhirnya wali kelas mereka memutuskan untuk menjenguk Faza dengan membawa beberapa perwakilan. Tentu saja, Dika menjadi salah satunya, meski pun ia sempat beberapa kali menolak. Namun, pada akhirnya ia mengalah dan ikut menjenguk sahabatnya itu.

Tak ada kata yang terucap di antara mereka berdua. Hingga wali kelas dan yang lain memutuskan untuk pamit. Namun, Dika tak bergerak, ia memutuskan untuk berbaikan dengan Faza ketika suasana sudah sepi.

Ketika seluruh orang sudah pergi meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu. Faza menatap Dika yang sedang berjalan ke arahnya. Dika meminta maaf karena ia merasa iri pada Faza, tentu saja Faza memaafkannya. Ia merasa, Dika tak memiliki salah padanya.

Namun, bisikan-bisikan itu muncul begitu saja. Bisikan yang membakar niat baiknya pada sahabat yang telah merebut kesempatannya untuk tampil di panggung nasional. Secara diam-diam, Dika merebut bantal milik Faza dan menutup wajah sahabatnyta itu menggunakan bantal hingga membuat Faza tak sadarkan diri, lalu memutus selang infusnya. Setelah itu Dika pergi meninggalkan Faza begitu saja.

"Dan di sinilah aku sekarang. Sebuah kafe bernama karma." Faza tersenyum menatap Kiddy. "Aku ingin Dika mendapatkan karma yang setimpal, tapi jangan bunuh dia. Aku tidak ingin ada nyawa yang terbuang."

"Hmm ... anak yang baik." Kiddy mencatat sesuatu di daftar menu kosong miliknya. Kemudian ini menulis rincian karma untuk Dika dan memperlihatkannya pada pelanggan kecilnya. Faza tersenyum lebar hingga pinggiran bibirnya sobek. Ia bersalaman dengan Kiddy sebagai bentuk deal.

"Senang berbisnis denganmu, Faza." Kiddy menyeringai, lalu berjalan membawa daftar menunya keluar kafe. Ia menghilang ditelan kabut suratma.

Pagi ini begitu cerah. Mentari bersahabat dengan para awan-awan putih. Mereka bercengkerama di hamparan padang biru yang luas membentang. Anak itu duduk di kursi kantor, seorang guru berjalan ke arahnya. "Ayo, kita segera masuk ke kelas barumu." Anak itu berjalan mengikuti guru yang akan menjadi wali kelas di sekolah barunya.

Semua mata terpana menatap anak laki-laki yang masuk bersama wali kelas. Ia tak tampan, tetapi cukup menarik dipandang, ditambah tatapan matanya memancarkan aura dingin yang mampu meluluhkan beberapa kaum hawa.

"Perkenalkan, nama saya Genta Lohia ...." Genta memperkenalkan dirinya secara singkat di depan kelas.

"Genta, kamu bisa duduk di sebelah Dika." Wali kelas menunjuk kursi kosong yang berada di samping laki-laki bernama Dika. Ya, kursi itu adalah kursi bekas Faza yang persis dua hari lalu meninggal.

Bocah itu sudah mati dua hari. Pantas saja dia menyadarinya. Berarti bocah ini adalah client langsung dari Tuan Suratma.

"Salam kenal, Dika." Genta memberikan senyumnya pada Dika. "Ya, salam kenal, Genta." Dika membalas senyum Genta.

Mereka berdua tampak akrab, persis seperti ketika Dika dan Faza pada awal pertemuannya. Beberapa hari berlalu, kejadian seperti de javu untuk Dika. Seperti ia berada di titik yang sama. Setelah kepergian Faza, Dika mendapat teman sebangku yang persis seperti Faza. Ia pintar dan mampu segalanya. Selain itu, Genta juga populer di kalangan gadis-gadis. Bahkan dia lebih semupurna daripada Faza.

Hari berlalu begitu cepat. Kini ujian akhir semester akan segera digelar. Selain teori, ada juga pengambilan nilai praktikum untuk beberapa pelajaran.

"Praktik lapangan kali ini adalah lari jarak jauh," ucap guru olahraga.

"Heh, mau berlomba?" Genta mengajak Dika untuk berlomba, mencari tahu siapa yang lebih cepat.

"Apa sih, ini kan emang perlombaan," jawab Dika ketus.

Ketika peluit tanda start dimulai, Genta langsung melakukan sprint dan berlari meninggalkan semua orang.

Sprint? Hey! Ini kan lari jarak jauh. Jika melakukan sprint di awal, maka akan kehabisan napas di pertengahan loh.

Dika hanya tersenyum, ketakutannya menghilang. Ia pikir Genta lebih baik darinya, seperti Faza, tetapi nyatanya Genta langsung menghabiskan seluruh napasnya di awal pertandingan.

Dika sudah memasuki pertengahan jalur, tetapi Genta tak terlihat. Kemana si Genta? Masa sih dia kuat lari terus dengan kecepatan segitu? Emangnya paru-paru dia apaan?

Di sebuah tikungan tajam, Dika yang berada di posisi dua meninggalkan teman-temannya jauh di belakang, kini melihat Genta yang sedang duduk di lurusan sebelum tikungan itu.

"Kehabisan napas?" tanya Dika tersenyum.

"Heh, mau berlomba?" Genta mengulang pertanyaannya.

"Kita kan memang sedang berlomba!" jawab Dika agak emosi sambil menghentikan langkahnya.

"Jika melewati lurusan ini, kau akan berakhir di ujung jalan ini, sebab jalur lari kita memutar." Genta menunjuk sebuah kebun yang memiliki pohon-pohon belimbing. "Aku akan berjalan hingga ke ujung sana. Kita lihat, siapa yang lebih cepat. Aku yang memotong jalan sambil berjalan, atau kau yang berlari di jalur."

"Itu namanya curang, Genta!" Dika memprotes Genta.

Genta mengambil sebuah tablet yang ia sembunyikan di dalam bajunya. Ia menunjukkan pada Dika, cuplikan ketika Dika membunuh Faza. Kini bocah itu berwajah suram. "Dari mana--kau mendapatkan video ini?"

Genta hanya tersenyum dan langsung berlari masuk ke dalam kebun. "Jika aku menang, akan ku sebar video ini ke internet." Sementara Dika menatap Genta yang berlari masuk ke dalam kebun. "Baiklah, baiklah jika itu maumu." Ia berlari mengejar Genta masuk ke dalam kebun.

Genta tak secepat di awal pertandingan, ia terlihat kehabisan napas. Sementara Dika baru saja memulai untuk serius dan mempercepat larinya. Dika terus fokus menatap Genta yang berlari sambil membawa tablet.

Aku harus mengancurkan barang bukti!

Jarak di antara mereka semakin tipis. Menyadari jarak yang semakin tipis, Genta melempar tabletnya ke depan. Tablet itu terlempar keluar kebun dan tergeletak di jalanan. Dika beralari membalap Genta dan mengincar tablet itu. Ketika Dika berlari semakin cepat, Genta justru menghentikan langkahnya. Ia tersenyum dan mengambil sebuah bidak catur dari kantong celananya. "Checkmate ...," gumamya lirih menggenggam erat bidak caturnya.

Sebuah klakson mobil terdengar nyaring diiringi suara ban yang berdecit dengan aspal jalan karena rem diinjak habis. Suara benturan terdengar, tubuh Dika tergeletak di jalan, sementara mobil yang menabraknya, kabur melarikan diri.

Genta menghampiri Dika, lalu berjongkok di sampingnya. Ia menatap anak itu tanpa rasa iba. "Tenang saja, kau tidak akan mati. Takdirmu masih jauh dari kematian, jadi biar bagaimana pun, kau akan tetap hidup. Dan--mati itu, masih jauh lebih baik dari apa yang akan terjadi setelah ini."

Karena benturan yang cukup keras, Dika hanya mampu meringis memegangi kakinya yang penuh dengan luka. Selain luka yang terlihat, ia juga mengalami beberapa patah tulang.

"Kau akan belajar, tentang apa yang lebih berharga daripada sebuah impian." Genta beranjak dan berjalan meninggalkan bocah itu. "Kelak, kau akan merindukan saat-saat ketika kau mampu berdiri dengan kedua kakimu sendiri."

"Ada yang lebih berharga ketimbang sebuah impian." Kabut mulai bermunculan menyelubungi area di sekitar Dika. Genta berjalan di tengah kabut itu dan menghilang tertelan lebatnya badai kabut. "Yaitu, kebahagiaan."

Dika mengalami cacat akibat kecelakaan yang ia alami. Jangankan meraih mimpinya sebagai atlet lari, bahkan untuk berdiri saja ia tak mampu. Ia benar-benar tak pernah merasakan kebahagiaan lagi dalam hidupnya. Bocah itu tenggelam dalam keputus asaan tak berujung.

"Faza, bocah itu. Menginginkan Dika lebih menderita daripada mati. Bocah yang gila! Dia benar-benar jahat!" ucap Kiddy sambil tertawa terbahak-bahak sepanjang jalan pulang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top