Panggung Kematian
Cring~ Gemerincing lonceng tanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Karma cafe."
Hari ini merupakan hari yang berbeda. Yang biasanya hanya ada tiga orang pria di dalam kafe. Hari ini benar-benar berbeda, seorang wanita duduk sambil menatap Smiley yang sedang duduk tanpa senyum khas miliknya.
"Kiddy, kau tau ke mana perginya senyum bodoh orang itu?" Smooky keluar dari base nya dan duduk di depan Kiddy yang sedang bermain game konsol.
Kiddy menatap anak baru yang terus menerus menatap Smiley. Sebenarnya itu hal yang wajar, karena Smiley memiliki wajah tampan dan juga aura yang sangat berkarisma. "Mungkin dia lelah," jawab Kiddy.
Cring~ Gemerincing lonceng tanda kehadiran pengunjung. Semua mata menoleh ke arah pintu. Seorang pemuda masuk ke dalam kafe dengan kedua tangan yang bersembunyi di balik kantong jaketnya.
Smiley yang biasa menangani pelanggan baru, kini terlihat sedang duduk dan tak menghampiri orang itu. Smooky menghela napas dan mengalah, ia meninggalkan posisi baristanya dan berjalan membawa menu kosong.
"Ada yang bi ...."
"Kopi satu," ucap pelanggan itu sambil menatap keluar jendela.
"Mau pesan kopi apa?" tanya Smooky dengan senyum yang tak pernah ia keluarkan. Senyum merupakan fasilitas tak tersirat yang selalu ada di tempat kuliner apa pun, apa lagi ketika berhadapan dengan seorang pelanggan.
"Apa aja, semua kopi sama." Senyumnya perlahan luntur, mendengar jawaban dari pemuda itu, Smooky menendang meja yang berada di hadapannya hingga terlempar ke pojok ruangan.
"Terus fungsinya barista apa? Kalo semua rasa kopi itu sama?" tutur Smooky dengan wajah marah. "Enggak usah ngopi, kalo cuma buat gaya-gayaan. Orang yang enggak ngerti esensi dari cita rasa kopi, enggak pantes berkata kalo semua rasa kopi itu sama!" Ia menarik kursi dan duduk di hadapan pemuda itu. Smooky menyodorkan daftar menu kosong pada pemuda yang tampak terkejut karena sikap Smooky barusan. "Jadi--apa penyesalan anda semasa hidup?"
"Se-semasa hidup?" Seperti pengunjung lainnya yang tak menyadari kematiannya, pemuda itu memasang wajah bingung. Ia mengambil daftar menu yang Smooky berikan.
Namun, Smooky langsung merebut kembali daftar menu miliknya sambil berdecak kesal. Ia sudah kehilangan moodnya. Sambil menggerutu tidak jelas, ia menatap riwayat pemuda yang berada di hadapannya lewat daftar menu miliknya.
Pemuda itu bernama Yogi. Ia adalah seorang musisi soloist yang mengeluti dunia indie folk. Yogi cukup terkenal di dunia hiburan, ia juga memenangkan beberapa penghargaan di ajang musik dan mendapatkan popularitas dari karya-karyanya.
Menjadi seorang yang terkenal tak seenak yang Yogi bayangkan. Banyak teror dari orang-orang misterius. Sejatinya, selalu ada orang yang tak menyukai karya kita, sebagus apa pun itu. Di antara jutaan penggemar, selalu ada haters yang bersembunyi.
Yogi meninggal akibat dibunuh oleh orang yang selalu hadir dalam performanya di atas panggung. Dia bukanlah haters. Ada hal yang harus kalian ketahui, sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada haters, yaitu fanatisme. Sejatinya, sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik, dan akan membawa seseorang pada kehancuran. Baik dirinya sendiri, mau pun orang lain.
"Sering terjadi." Smooky beranjak dari duduknya dan memberikan kembali daftar menu miliknya yang kini telah berisikan detail karma dan harga yang harus Yogi bayar untuk mengaktifkan sebuah karma.
"Jadi, aku benar-benar sudah mati, ya? Ini bukan prank dari penggemar?" Yogi tersenyum getir menatap lantai kafe.
"Jadi--apa ada kata sepakat di antara kita?" tegas Smooky sambil mengeluarkan bungkus rokok dari kantong kemejanya.
"Berikan dia karma yang setimpal!" jawab Yogi menatap Smooky dengan sorot mata yang tajam. "Ambil saja sesuai harga."
Kini Smooky menyeringai, terlihat bahwa ia tertarik pada tugasnya kali ini. Ia beranjak dan memanggil si anak baru. "Kau ikut aku. Ambil apa yang bisa kau pelajari." Wanita itu berdiri dan berjalan di belakang Smooky. Mereka keluar kafe dan menghilang di tengah kabut tebal yang menyelubungi Karma.
Seorang pemuda dengan pakaian kemeja flanel, lengkap dengan celana jeans berwarna biru masuk ke sebuah studio musik. Ia menemui seorang wanita dengan name tag bertuliskan Danila Biru Angkasa. "Silakan masuk, Head Manager sudah menunggu di dalam." Wanita itu membuka pintu untuk pemuda yang baru saja dipanggil sebuah agensi musik untuk membicarakan masa depan mereka.
"Terimakasih, Mbak Danila," ucap pemuda itu.
"Biru." Wanita itu tersenyum pada si pemuda. "Panggil saja, Biru." Ia lebih senang dipanggil dengan nama tengahnya.
Mereka berdua masuk untuk menghadap kepala manajer. "Agus Firmansyah, calon musisi besar," ucap seorang pria yang duduk mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga separuh lengannya.
"Pak Suro Hadi Bimantara." Mata Agus berbinar menatap pria yang berada di hadapannya. Bagaimana tidak? Suro merupakan salah satu pencetak musisi terbesar di kota ini.
"Silakan duduk." Suro menyodorkan selembar kertas pada Agus. "Jadi, gimana? Sudah kamu pikirkan baik-baik tawaran saya?"
"Kehadiran saya di sini sudah menjawab itu semua, Pak," jawab Agus sambil melempar senyum.
"Kalo begitu, bisa langsung tanda tangan di sini." Suro memberikan pena pada Agus. "Ini kontrak kita."
Suro memberikan kontrak berdurasi satu tahun. Tentu saja ia tak ingin mengambil resiko, jika musisi yang ia tarik itu gagal. Jika musisi itu bersinar, barulah pihak Karma Record akan mengajukan kontrak baru untuk masa depan yang lebih cerah bagi kedua belah pihak.
Agus menandatangani kontrak itu. Kini ia resmi bergabung dengan sebuah agensi yang cukup besar. "Awal bulan depan, kita debut. Jadi persiapkan single baru untuk kamu bawakan nanti," ucap Suro.
"Baik, Pak!" Agus tampak senang mendapat langkah awal yang cukup baik untuk memulai karirnya di dunia musik. Ia merupakan penggemar dari seorang musisi besar yang baru saja terbunuh beberapa hari lalu, musisi itu bernama Yogi. Agus berusaha mengikuti jejak idolanya tersebut.
Satu bulan telah berlalu.
Selama satu bulan ini, Agus mempersiapkan semua kebutuhan debutnya. Ia menulis lirik dan mulai mengaransemen lagu buatannya. Pihak Karma Record mambantu proses mixing untuk sentuhan akhir lagu ciptaan Agus.
"Sudah siap?" ucap seorang pemuda bertopi beanie yang merupakan stage manager. Agus mengangguk. Pria bertopi itu mempersilakan Agus untuk naik ke atas panggungnya.
Sejujurnya, Agus merasa gugup, mengingat biasanya ia hanya tampil dari balik layar. Pada awalnya Agus hanya sering bermusik dan merekam dirinya menggunakan ponsel seadanya, ia mengunggah video tersebut ke akun sosial medianya, ini benar-benar menjadi penampilan pertama dalam hidupnya.
Namun, debutnya berjalan lancar. Agus dapat membawakan lagunya dengan baik. Hal ini mendapatkan respon positif untuk berbagai pihak, termasuk penggemar-penggemar barunya.
Waktu terus berjalan, nama seorang Agus Firmansyah menjadi nama musisi raksasa yang memegang hampir seluruh bursa musik di Indonesia. Lagu-lagunya selalu menjadi pemenang nominasi di ajang penghargaan bergengsi di televisi.
Suatu malam, ia duduk bersama dengan Suro dan membicarakan masa depan mereka. "Bagaimana, sudah kau pikirkan baik-baik? Ini sudah satu tahun sejak kau bergabung dengan kami," tanya Suro.
Agus hanya tersenyum. "Saya rasa, langkah yang lebih tepat, adalah pindah ke agensi yang lebih besar dan mendunia. Saya belum puas hanya menjadi top di negara sendiri," tuturnya pada Suro.
"Baiklah, itu pilihanmu. Senang bekerjasama denganmu selama satu tahun ini. Semoga kau mendapatkan apa yang kau cari selama ini. Semoga semua yang kau impikan, mampu terwujud."
"Terimakasih karena telah mengangkat saya hingga bisa berada di titik ini, Pak," balas Agus.
"Besok malam adalah penampilan terakhirmu bersama Karma Record. Nikmatilah malam itu, jadikan itu malam terbaik untuk dirimu, untuk kami, dan untuk seluruh penggemarmu."
Agus hanya tersenyum. Mereka menghabiskan malam ini dengan sedikit canda dan tawa. Sebab malam ini, adalah malam terakhir mereka dapat bersua.
Hari pun berganti.
Malam ini adalah penampilan terakhir Agus bersama agensinya. Setelah panggung ini, tentu saja ada pesta besar-besaran untuk sebuah perpisahan dengan seorang musisi besar.
"Oh, ya. Di mana stage manager yang biasanya?" tanya Agus pada Biru.
"Oh, dia ya. Hari ini dia sedang sakit, jadi saya yang bertanggung jawab untuk seluruh acara malam hari ini."
"Padahal saya mau berterimakasih karena selama ini, dia sudah banyak membantu saya," ucap Agus sambil tersenyum dengan ekspresi sendu.
Namun, ia tetap berusaha profesional dan menyampingkan emosinya. Agus naik ke atas panggung dan membawakan hampir seluruh lagu-lagu ciptaanya. Hingga tersisa satu lagu yang menjadi lagu penutup pada malam hari ini. Agus sangat emosional membawakan lagu tersebut.
Segerombolan mahasiswa lewat di pinggir lapangan. Mereka menatap seorang pria yang tengah berdiri di atas tribun batu sambil bernyanyi tak jelas. Suaranya jelek dan hanya berteriak asal-asalan.
"Berisik tolol! Udah malem," teriak salah satu di antara gerombolan itu.
Namun, orang itu masih bernyanyi dan tak mempedulikan cemooh dan tertawaan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar situ.
Suro yang sedang duduk di tribun bawah menatap Agus tanpa eskpresi. "Baiklah, kita akhiri saja permainan bodoh ini." Ia mengeluarkan pistol dari balik jas hitamnya dan langsung membidik kepala Agus. "Ucapkan selamat tinggal pada mimpi indahmu."
Agus bernyanyi sambil meneteskan air mata. Entah apa yang ia rasakan saat ini. Ia terharu dan tak bisa berhenti bernyanyi. Namun, ketika lagu yang dibawakan oleh Agus hampir sampai pada ujungnya, satu per satu penonton yang ia lihat berubah menjadi kepulan asap. Asap itu berasal dari ilusi milik Smooky. Secara cepat, satu per satu penontonnya melebur dengan angin malam.
Smooky dapat merubah asap-asap rokoknya menjadi berbentuk makhluk hidup dan objek-objek mati. Hanya Agus yang dapat melihat itu semua, penonton, panggung besar, seluruh crew, dan gedung agensi--semua hanyalah ilusi belaka.
Ketika Agus hendak menghentikan nyanyiannya. Tiba-tiba saja secara lambat, sebutir peluru menembus seluruh kepulan asap yang menutupi pandangannya, peluru itu tak berhenti hingga menembus kepala musisi palsu itu. Sedetik sebelum ia mati, Agus menatap Suro yang sedang memegang pistol dan mengarahkan pada dirinya. Tak mampu berkata-kata lagi, Agus tewas karena satu tembakan itu.
Suro membakar ujung rokok dan mulai menghisapnya. Ia membuang asapnya hingga mengepul di udara. "Pernah mendengar nama John Lennon?" tanya Suro pada Biru. "Salah satu personil band raksasa dunia, the beatles."
"Ya, aku tahu." Biru duduk bersandar di bahu Suro. "Dia mati dibunuh oleh penggemarnya sendiri."
"Banyak hal yang terjadi. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Manusia memang makhluk yang menarik," balas Suro. "Ketika obsesi membunuh logika."
Suro membuang rokoknya yang semakin memendek dan menginjaknya. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan pulang. Sepanjang jalan, Biru terus menerus mengamati Suro. Ia tersenyum.
"Ada hal yang lebih menarik dari sekadar tampan ...," gumamnya lirih.
"Hah? Kau bilang apa barusan?" Suro tak terlalu mendengar ucapan Biru.
"Ajak aku lagi dalam tugasmu yang selanjutnya, Smooky," timpal Biru sambil tersenyum manis.
"Lain kali--kau akan menjalankan tugasmu sendiri." Raut wajahnya berubah. Seketika itu, senyum manis Biru hilang mendengar jawaban Suro.
Sesampainya di Karma, Smooky segera kembali ke posisinya. Sementara Biru duduk di samping Kiddy.
"Lagi main apa?" tanya wanita itu pada Kiddy.
"Ah--Sky. Bagaimana pengamatanmu tentang tugas Smooky?" tanya Kiddy.
"Sky?" Biru, Smooky, dan Smiley menatap ke arah bocah itu.
"Namanya Danila Biru Angkasa. Dari nama tengah dan belakangnya, sudah mencerminkan nama barunya, Sky," tutur Kiddy.
"Aku suka nama itu," ucap Sky sambil tersenyum pada Kiddy. "Aku juga suka denganmu, kau yang paling menarik rupanya, bocah tampan."
Tak seperti Smiley yang tampak waspada dengan wanita karena masa lalunya, atau Smooky yang tidak peka karena sifatnya yang tak peduli terhadap sekitar. Kiddy tampaknya lebih menarik. Mendengar pernyataan itu, Kiddy tersenyum dan meletakkan game console miliknya di atas meja.
"Sepertinya kau lebih menarik dari mainan lamaku. Mau berdansa, Sky?" Kiddy mengulurkan tangannya, mengajak Sky berdansa. Tentu saja, Sky menyambut tangan itu dan mereka berdua berjalan ke tengah kafe. Kiddy menjentikan jarinya, seketika itu, lagu jazz klasik mengisi setiap sudut ruang di Karma Cafe. Ia menggenggam tangan Sky dan melingkarkan tangan yang satunya dipinggang wanita itu.
"Seandainya kau lebih dewasa sedikit, Kiddy." Sky mulai berdansa. Ia berusaha mengimbangi langkah Kiddy yang cukup lihai.
"Tutup matamu." Kiddy memerintah Sky untuk menutup matanya. Ucapan Kiddy bagai menghipnotisnya dan langsung membuat Sky menutup kedua matanya. Wanita itu merasakan ada yang aneh, genggaman tangan kecil yang ia rasakan agak berubah, rasanya seperti tangan itu membesar. Tangan Sky yang berada di belakang Leher Kiddy juga ikut terangkat, seperti pria yang sedang berdansa dengannya bertambah tinggi secara perlahan.
"Kau hanya boleh membuka matamu, jika aku memerintahkannya. Aku tak suka dipandang dalam bentuk ini." Kiddy tersenyum sambil meneruskan dansanya. "Apa itu masalah untukmu?"
"Tidak masalah. Tidak mengapa terus menutup mata. Cukup--jangan lepaskan tanganmu dariku. Kita nikmati lagu ini sampai malam ini habis," jawab Sky sambil membalas senyum Kiddy.
"Kau cantik jika tersenyum." Kiddy terus berdansa hingga lagu yang ia putar berhenti dengan sendirinya. Sementara Smiley dan Smooky berwajah pucat. Mereka berdua tak berani menatap sedikit pun ke arah Kiddy. Tidak, tidak ada searwah pun yang berani mengambil resiko mati untuk yang kedua kalinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top