Mantra Karma
Cring~ Gemerincing lonceng tanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Smiley masuk ke dalam ke salah satu coffee shop yang berada di kota Jogja, tempat itu bernama Mantra Coffee. Sambil tersenyum, ia menatap pria yang sedang berdiri di balik meja Bar.
"Mau ambil barang? Tumben kok enggak ngabarin?" ucap pria bernama Dirga.
Memang biasanya Smooky datang untuk mengambil beberapa bahan dasar kopi dan non kopi. Karena suatu kejadian, Karma membangun kerjasama dengan Mantra. Seluruh bahan minuman yang berada di Karma, adalah bahan yang sama dengan milik Mantra Coffee.
"Ah, bukan, bukan. Aku ada perlu dengan Indigo." Smiley duduk di kursi yang berada di depan Dirga. "Dia, ada?"
"Andis, ya." Dirga menoleh ke luar jendela. Ia menatap motor yang baru saja selesai diparkirkan. "Lucky, tuh orangnya baru pulang ngampus."
Lonceng di pintu berbunyi ketika pria bertopi beanie coklat itu masuk. Ia hendak berjalan naik ke lantai atas, mengingat lantai atas merupakan kamar dari empat orang pegawai kafe ini.
"Dis, ada tamu." Dirga melirik ke arah Smiley.
"Oi, Bang Foxy. Mau mesen bubuk kopi?" Sapa Andis yang sepertinya terlihat akrab dengan Smiley. Ia memanggil Smiley dengan nama lainnya.
"Bukan, bukan." Smiley mengisyaratkan Andis untuk duduk sejenak di sebelahnya. "Boleh minta waktumu, Indigo?"
Andis meletakkan tasnya di bawah kursi, lalu ia duduk dan mendengarkan cerita Smiley. Sebenarnya, sudah beberapa hari ini Smiley berada di kota Jogja. Keberadaannya di Jogja bukan tanpa sebab, Smiley sedang mengambil tugas dari Yama, yaitu membawa pulang arwah penghuni kampus yang kerap membuat para pengguna kampus bergidik ngeri.
"Sebenarnya ini bukan keahlianku, jadi aku minta tolong padamu, seorang manusia kepercayaan Bos. Ayolah, kau kan sering memulangkan arwah-arwah penasaran itu." Smiley agak memohon pada Andis.
Andis menghela napas, sambil memasang wajah datar. "Ok, oke, tapi, Abang tetap bantu aku, oke? Aku enggak mau kerja sendirian."
"Oke, oke, besok aku akan datang lagi." Smiley beranjak dan berjalan meninggalkan Mantra Coffee.
Dirga menatap Andis sambil tersenyum. "Arwah ayam kampus, cuk. Gas! Ben ra jomblo mulu."
"Cocote, su!" Andis mengambil tasnya yang ia geletakkan di lantai dan berjalan naik ke atas.
Malam ini begitu singkat. Bagaimana tidak? Hujan turun mengguyur bumi begitu deras, tatkala petir bertahta di atas langit Jogja, sehingga Andis tertidur sangat pulas karena udara yang dingin.
Seperti biasa, Andis memang selalu bangun sebelum subuh dan berdialog dengan Tuhan. Ia menyisihkan sepertiga malamnya untuk bermunajat pada Rabbnya.
Kini, matahari mulai naik dan melengserkan bulan dari singgasananya. Andis yang baru saja selesai mandi, kini turun ke bawah. Smiley sedang duduk sembari menikmati banana coffee latte yang diracik oleh seorang pria tampan dengan sarung tangan hitam. Tama namanya, pria paling tampan di Mantra Coffee--tidak, bukan itu. Paling tampan di tanah Jogja mungkin.
"Temanmu ini paling jago kalo soal racik-meracik, boleh ku bunuh dia? Dan menjadikannya pegawai Karma setelah dia mati?"
"Sebelum itu terjadi, kepalamu duluan yang akan terlepas dari lehermu." Dirga berdiri di belakang Smiley menggunakan topeng pusaka milik keluarga Martawangsa. Namun, itu sama sekali tak membuat Smiley terkejut. Ia justru terkekeh. "Aku hanya bercanda. Jika aku membunuhnya, aku tidak akan bisa pulang ke Karma. Benar begitu, Indigo?" Ya, tentu saja, Andis tak akan mau membantu Smiley, jika itu terjadi.
"Bisa kita bergerak? Lebih cepat, lebih baik, kan?" tutur Andis.
Smiley menyeringai. "Itu baru namanya semangat muda!" Mereka segera menuju ke tempat arwah penasaran yang membuat Smiley tak dapat pulang ke Karma, karena tak mampu membawa pulangnya ke hadapan Yama.
Perjalanan mereka berakhir di sebuah kampus yang tak ingin disebutkan namanya. Smiley dan Andis mengelilingi fakultas ilmu dan budaya Universitas Gadjah Maja, mencari keberadaan arwah itu.
"Dia sering berada di situ." Smiley menunjuk sebuah bangunan yang tampaknya sangat sepi. "Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini, mengingat dia pasti akan segera kabur jika melihatku."
Andis memasang wajah datar. "Emangnya, abang ngapain itu arwah? Kayaknya--nganu."
"Udah, sana. Lebih cepat, lebih baik, kan?" balas Smiley mendorong Andis ke depan. Ia bukan orang yang pandai merayu. Ia terlalu trauma untuk merayu seorang gadis.
Lagi-lagi Andis sudah menduga akan seperti ini jadinya. Ia menghela napas dan berjalan naik ke lantai tiga bangunan ini. Seorang wanita duduk sambil menatap langit pagi, Andis berdiri di sebelahnya.
"Capek, ya? Sendirian."
Arwah itu sontak menatap ke arah Andis. Orang ini bicara denganku? Atau dia sedang berbicara sendirian?
"Biarin aku nemenin kamu ya," ucap Andis tersenyum pada hantu itu. "Kalo kamu enggak suka, kamu boleh pergi, tapi kalo kamu butuh aku, aku ada di sini." Ia duduk bersandar di dinding dan mengeluarkan ponselnya.
"Kamu bisa lihat aku?" tanya arwah itu.
"Bukan cuma bisa lihat kamu," jawab Andis. "Aku juga bisa lihat seberapa cantik kamu." Ia memalingkan wajah dari ponselnya sambil menatap arwah itu dengan senyumnya yang tulus.
"Kamu enggak takut? Aku hantu, loh!"
"Hantu itu cuma istilah. Sebenernya hantu itu--ya, cuma 'mantan orang'. Dulunya orang, sekarang juga orang sih, tapi enggak keliatan aja," balas Andis sembarang.
Hantu itu malah tersenyum mendengar ucapan Andis, bahkan membuatnya tertawa. "Cuma kamu, yang enggak takut sama aku, loh." Arwah itu memuji Andis sambil bertepuk tangan.
"Setelah manusia meninggal, mereka akan pergi ke Alam Suratma, tetapi kamu ada di sini." Andis menatap arwah itu. "Apa ada yang membuat kamu merasa enggak tenang? Kalo kamu butuh temen cerita, aku siap dengerin."
Hantu itu terlihat getir. Ia bercerita pada Andis, bahwa dia adalah mahasiswa di kampus itu. Ia hampir lulus tahun lalu, tetapi teman-temannya membuat gadis itu memilih jalan untuk membunuh dirinya sendiri.
Menjadi korban bullying bukanlah hal yang menyenangkan. Kekuatan dan mental, sangat mempengaruhi faktor-faktor seorang yang dibully untuk bisa terus bertahan, atau bahkan keluar dari zona bullying. Namun, ada pula yang tak tahan dengan semua itu dan berujung pada depresi tak berujung. Mereka memiliki pressure dan trauma yang cukup tinggi, hingga kebanyakan dari mereka takut untuk bersosialisasi di masyarakat. Bahkan tak jarang yang membunuh dirinya sendiri karena merasa tertekan.
Apakah pebully akan berhenti setelah seseorang mati? Belum tentu. Bisa saja iya, tetapi bisa juga-- mereka mencari korban lain.
"Sekiranya, apa yang bisa bisa aku lakuin, biar kamu merasa tenang?"
Gadis itu terkekeh. "Rupanya, kamu juga mau ngusir aku dari sini?"
"Kamu boleh pergi, kalo kamu mau, tapi kalo kamu mau tetep di sini. Aku pastiin kamu enggak akan kesepian." Andis melempar senyum pada gadis itu. Sejujurnya, Andis bukan pria yang tampan dan juga menarik, tetapi senyumnya itu tak pernah berbohong. Ketika ia ingin tersenyum, maka ia akan tersenyum. Berbeda ketika ia sedang menyembunyikan sesuatu. Senyumnya getir dan terlihat sendu.
"Kenapa harus peduli sama hantu? Sementara kamu hidup dan bisa melakukan apa aja."
"Enggak peduli apakah itu arwah, atau manusia. Ketika seseorang terlihat kesepian, aku enggak bisa biarin dia sendirian. Aku bukan orang yang berguna, tapi seenggaknya, ketika aku nemenin seseorang yang kesepian, hadirku berguna." Andis beranjak dari duduknya. "Sebaik-baiknya manusia, adalah yang berguna untuk seluruh makhluk, apa pun itu."
"Makasih, ya ...." Arwah itu tampak berpikir memikirkan nama orang yang berada di sampingnya.
"Andis. Namaku Andis," celetuk Andis sambil terkekeh.
"Makasih ya, Andis. Udah mau berbagi hadir sama hantu kayak aku. Dari sekian banyak orang, aku cuma butuh dipahami."
Kabut perlahan mulai menyelubungi area kampus. Smiley muncul dan menuntun arwah itu menuju ke tempat yang seharusnya. "Nice job, Indigo!" ucapnya sambil mengacungkan jempol pada Andis. Sementara Andis hanya tertawa kecil sambil bersandar di dinding balkon.
Ketika ada seseorang yang terlihat kesepian, jangan tanyakan apa yang membuatnya merasa sendirian. Cukup tawarkan bahumu, dan berikan hadirmu, temani dia. Berkatalah bahwa kamu ada di sampingnya, telingamu bersedia menjadi samsak celotehnya, sesimpel itu. Terkadang ia tak menunjukkan bahwa ia merasa lebih baik, tetapi percayalah--hadirmu cukup untuk membuatnya merasa tenang. Raut wajah dan guratan di sekitar bibirnya mungkin bisa menipu, tapi binar matanya terlalu jujur untuk sebuah tipuan. Terkadang, manusia hanya ingin dimengerti, bukan diinterogasi.
Andis berjalan ke parkiran motor, dan segera tancap gas menuju Mantra Coffee.
Semenara itu, Yama berada di samping arwah gadis yang telah Andis buat tenang. Ia kini mengambil alih hak untuk mengantarnya menghadap Tuan Suratma.
Tak lama setelah gadis itu menuju Nirvana, Yama kembali ke Karma. Ia memutar tulisan close yang tergantung di pintu, hingga berganti dengan open. Kini tulisan close yang selalu menghadap ke arah dalam, berganti menghadap ke arah luar. Menandakan kafe ini tutup.
"Ayo, sesekali kita semua berlibur ke dunia manusia," tutur Yama sambil tersenyum. "Kita akan berpesata bersama teman-teman hidup, arwah gadis yang tadi."
"Ide bagus, kita memang butuh refreshing." Smooky membakar ujung rokokya. Asap mengepul mengeluarkan aroma bunga kantil.
Smiley melempar daftar meu kosong yang ia pegang. "Akhirnya aku memiliki kesempatan memanjakan diri."
Kiddy menyeringai dengan tatapan kosong. "Ah, saya tidak sabar."
Sementara Sky hanya menatap Kiddy sambil tersenyum.
Setelah memberikan kabar libur, Yama kemudian berjalan keluar kafenya. "Aku akan mengurus segala persiapan. Kalian bersiap-siaplah. Kita akan memainkan musik orkestra di pulau tak berpenghuni." Ia menunduk sambil menyembunyikan seringainya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top