Karma

Cring~ Gemerincing lonceng tanda kehadiran pengunjung

"Selamat datang di Karma cafe."

Seorang pria paruh baya masuk ke dalam kafe, ia nampak celingak-celinguk menatap setiap interior yang ada di dalam sana. kafe dengan nuansa klasik, dengan ukiran-ukiran aksara jawa kuno di dalamnya menghiasi setiap sudut ruangan. Musik keroncong santai mengiringi ruangan itu. Tentu saja, aroma kopi dan roti menempel pada setiap sisi-sisi kafe ini.

"Selamat datang," ucap seorang waiters dengan senyumnya yang hangat menyambut pengunjung yang baru saja datang. Pria yang paling tampan di kafe ini, matanya agak sipit dibalut senyumnya yang seakan menyembunyikan banyak makna, bisa berarti ramah, bisa juga berarti licik.

"Ini, di mana?" Pria itu masih bingung, bagaimana tidak? Beberapa detik yang lalu ia baru saja tertabrak sebuah mobil yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi, dan sekarang ia berada di sebuah kafe dengan pemandangan ke arah luar yang tak terlalu jelas akibat tebalnya kabut.

"Silakan duduk dulu, Tuan." Pelayan itu membawakan daftar menu. Ia juga berusaha menenangkan pria yang baru saja datang dengan wajah bingung.

Pria itu heran, ia menatap daftar menu yang kosong.

Gimana cara mesennya? Orang jelas-jelas enggak ada tulisannya!

"Apa ada penyesalan yang tertinggal?" tanya si pelayan.

"Penyesalan?" Pria itu memicingkan matanya, menatap pelayan tersebut dengan sejuta tanda tanya.

"Darah dibayar darah, gigi dibayar gigi, telinga dibayar telinga, nyawa dibayar nyawa." Pelayan itu tersenyum pada pelanggannya. "Karma."

"Karma?" Pelanggan itu masih saja bingung.

Si pelayan menghela napas. Ia mengambil pisau untuk memotong roti dari kantong apronnya. Namun, ia tak menggunakan itu untuk memotong roti, tetapi dengan sangat cepat menusuk telapak tangan pelanggannya yang sedang berada di atas meja.

Pelanggannya berteriak histeris. "Apa yang kau lakukan?!" Ia membentak pelayan gila itu.

"Apa itu terasa sakit, Tuan?" tanya pelayan dengan senyumnya yang sama sekali tak mencerminkan rasa penyesalan akibat perbuatannya barusan.

Pelanggan yang tertusuk baru menyadari, bahwa ia sama sekali tak merasakan rasa sakit. Ia hanya terkejut karena pelayan tiba-tiba menusuk telapak tangannya.

"Tentu saja tidak akan terasa sakit. Karena kau sudah mati beberapa menit yang lalu," tuturnya menohok pelanggannya. "Terimalah kenyataan, Tuan."

Pelanggan itu terlihat getir. Ia tak berani menatap mata si pelayan dan hanya menatap meja kosong di hadapannya.

"Perkenalkan, namaku Smiley, tetapi beberapa orang memanggilku Foxy karena menurut mereka wajahku seperti seekor rubah yang licik." Pelayan itu terkekeh sambil mengambil sebuah buku catatan kecil dari kantong kemeja putihnya. "Mari kita lihat. Hmmm ... Santoso?"

Pelanggan itu mendongkak menatap Smiley. "Bagaimana kau tahu namaku?"

"Tentu saja aku tahu, Om Santo. Semua orang yang datang ke kafe ini--adalah mereka yang mengharap sebuah karma! Tentu saja kau mati dengan membawa harapan itu, bukan? Kau ingin mengutuk hidup seseorang yang sudah menghancurkan hidupmu, bukan? Ayolah, jangan membuang waktu." Smiley menyeringai menatap Santoso. "Beri tahu aku, semua detailnya."

Santoso merupakan pengusaha yang sukses, bahkan selama beberapa tahun terakhir ia mampu menjadi pengusaha terkaya di Indonesia. Kesuksesan itu adalah sebuah hal yang lucu. Bagaimana tidak? Ada orang yang senang dengan prestasi dan kesuksesan seseorang, tetapi di balik itu, ada pula yang iri dan membencinya. Sebuah hukum yang sudah mendarah daging. Di mana ada yang mencintaimu, pasti ada pula yang membencimu.

Media dan fitnah adalah hal yang tak bisa dipisahkan. Di mana kebenaran sangat mudah putar menjadi sebuah kesalahan, dan sebaliknya. Mombolak-balikkan fakta, itulah media. Tentu saja, uang menjadi faktor yang paling menjamin untuk melakukan hal tersebut.

Perusahaan yang dipimpin oleh Santoso hancur dari dalam. Herman, yang merupakan rival bisnisnya mengirim orangnya untuk bekerja di perusahaan Santoso dan menjadi mata-mata. Mata-mata ini bertugas untuk memotong seluruh jalur bisnis dan mengopernya pada majikan aslinya, sehingga relasi yang dibangun oleh Santoso bertahun-tahun, hancur begitu saja dan diambil alih oleh Herman.

Anak buah Herman yang berada di perusahaan Santoso adalah seorang wanita, ia merupakan wanita simpanan Herman. Suatu hari terjadi kecelakaan, ya sebuah kecelakaan permainan antara Herman dan kekasih gelapnya itu. Wanita itu hamil dan melimpahkan kesalahan pada Santoso yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Media terus memojokkan Santoso hingga satu per satu kepercayaan orang-orang menghilang darinya, bahkan keluarganya sendiri. Tentu saja, Herman adalah orang yang tertawa di balik layar, menatap kesengsaraan Santoso.

Kehancuran bisnis dan rumah tangga Santoso membuat pria malang itu kehilangan segalanya. Ia mengendarai mobil sambil melampiaskan emosinya dengan sebotol minuman keras. Akibat mabuk saat berkendara, terjadi adu banteng antara mobil yang ia kendarai dan juga sebuah mobil berukuran besar yang sedang melaju cepat. Sebelum Santoso menyadari semuanya, ia berada di dalam sebuah kafe.

"Menarik." Smiley kemudian menulis sesuatu di buku catatannya. Lalu ia memberikan buku itu pada Santoso. "Itu semua berdasarkan detail yang kau ceritakan. Estimasi harga untuk karma yang akan diberikan pada kompetitormu cukup mahal. Mengingat karmanya adalah kematian."

"Pahala?" Santoso mengernyit menatap paparan detail harga yang ditulis oleh Smiley. "Jika pahalaku habis, apa yang akan terjadi?"

"Yah, entahlah." Smiley beranjak dari duduknya. "Pikirkan baik-baik, memaafkan orang itu, atau membalasnya adalah pilihanmu."

"Aku ingin dia lebih menderita." Santoso menatap tegas ke arah Smiley.

Kini Smiley menampakkan seringainya. "Ekstra penderitaan?"

"Ambil semua yang kau butuhkan," jawab Santoso.

"Baiklah, kami akan segera memberikan karma pada orang yang kau kehendaki, ditambah ekstranya." Smiley kini menulis pada daftar menu yang semula kosong, kemudian ia berjalan ke arah barista yang sedang merokok. Aroma bunga kamboja keluar dari gumpalan asap-asapnya. Smiley memberikan daftar menu itu pada si barista. "Smooky, tugas ini milikmu."

Smooky membuang asap rokoknya ke wajah tampan Smiley. "Kau memang tak pernah mau mengotori tanganmu sendiri ya, jika kasusnya berkaitan dengan nyawa, Smiley?" Ia mengambil daftar menu itu dan melepas apron yang ia kenakan. "Beri tahu Bos. Aku butuh waktu untuk tugas ini." Ia berjalan keluar dari kafe. Perlahan sosok Smooky tertelan oleh kabut tebal yang menyelubungi kafe itu.

"Nah, Tuan. Sekarang kau adalah pelanggan resmi kami. Silakan memilih menu untuk menunggu." Smiley memberikan menu yang berbeda dengan menu sebelumnya, kali ini tertulis aneka ragam menu makan dan minuman dengan catatan harga yang dipukul rata, gratis.

"Suro Hadi Bimantara."

Seorang pria dengan perawakan usia kira-kira tiga puluh dua tahun kini berdiri setelah namanya dipanggil. Pria itu memiliki rambut klimis yang rapi lengkap dengan berewok yang tak terlalu tebal, tetapi terlihat rapi dan menawan. Rahang tegasnya bersembunyi di balik berewoknya. Matanya terlihat dingin, tetapi auranya memancarkan kehangatan.

Beberapa wanita meneguk ludah menyaksikan parasnya yang sebetulnya tak terlalu tampan, tetapi cukup manly dan terlihat seperti seorang pria sejati.

Dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga separuh lengan, membuat rambut-rambut di tangan pria itu yang tidak bisa dibilang tipis, terlihat menggoda untuk dibelai mesra. Pria bernama Suro itu berdiri di depan seorang HRD untuk melakukan interview di sebuah perusahaan yang cukup besar dan ternama. Ya, setelah kehancuran pesaing terberatnya, kini perusahaan ini menjadi salah satu perusahaan terbesar di Indonesia.

Tak butuh waktu lama, Suro keluar dari ruang interview dengan status pegawai baru, dan mulai bisa masuk bekerja esok hari.

Suro adalah pegawai yang kreatif. Ia mampu memberikan inovasi-inovasi baru dalam perusahaan. Hal itu membuat direktur utama tertarik pada Suro. Suro sering mengikuti rapat direksi dan memaparkan ide-ide unik yang mampu menaikkan omset perusahaan hingga sepuluh kali lipat.

Prestasinya itu membuat Suro dipercaya oleh direktur utama dan meraih jabatan yang tinggi hanya dalam beberapa bulan.

"Kapasitas kamu itu tak perlu diragukan lagi," tutur direktur.

"Terimkaiash, Pak." Suro tersenyum pada direktur Herman.

Hal itu membuat kecemburuan pada wanita yang selama ini menjadi tangan kanan Herman. Selama Suro hadir, keberadaan wanita itu seolah tak berarti di mata Herman, karena pencapaian Suro jauh lebih besar. Bahkan, jika Suro hadir sebelum perusahaan milik Santoso hancur, Herman yakin, tanpa cara kotor ia mampu menyusul pesaingnya itu dengan kehebatan Suro.

Memang, Herman dan kekasih gelapnya tampak tak akur di kantor, tetapi di luar kantor mereka masih sering berhubungan. Beberapa kali mereka bermesraan di sebuah kafe, dan beberapa kali juga mereka menyewa hotel.

Pada suatu siang, Suro berpapasan dengan wanita itu di sebuah lorong yang terletak di lantai dua puluh enam. "Suro, bisa kita bicara sebentar?"

Wanita itu mengajak Suro ke rooftop untuk berbincang. "Sebaiknya kamu mengundurkan diri dari perusahaan ini. Sejujurnya, tanpa kamu sekali pun, sekarang perusahaan ini mampu menjadi perusahaan nomor satu di Indonesia," ucap wanita itu.

"Wah, kenapa tiba-tiba begitu?" Suro tampaknya tak suka dengan ucapan atasannya barusan.

"Saya bisa mengeluarkan kamu dengan cara paksa, tetapi saya memberikan kamu kesempatan untuk keluar secara baik-baik dari kantor ini."

"Jika saya menolak untuk mundur?" Suro menegaskan raut wajahnya pada wanita itu.

"Hidup kamu akan hancur," jawab wanita itu.

Suro mengambil rokok dari saku kemejanya. Ia mulai membakar ujung rokok itu dan kemudian bersandar di dinding yang berada di samping pintu. "Hancur, ya?" Kepulan asap memudar ditelan angin. "Saya tunggu." Suro menantang wanita itu untuk menghancurkan hidupnya.

Wanita itu tertawa dan berjalan ke arah pintu. "Jangan pernah menyesal!" Ia pergi meninggalkan Suro sendirian di atap.

Menyesal, ya? Sudah lama rasanya aku tak pernah merasakan penyesalan. Aku rindu. Suro menghabiskan sebatang rokoknya, lalu ia kembali bekerja.

Direktur Herman memanggil Suro untuk ke ruangannya. Di sana ada wanita yang memang selalu berada di ruangan itu bersama direktur.

"Ada apa, ya, Pak?" Suro berdiri di depan meja direktur. Sementara direktur dan wakilnya duduk di kursi yang tersedia di masing-masing sisi meja.

"Kamu memang pegawai terbaik, dan saya mengangkat kamu sebagai general manager bukan tanpa sebab, Suro. Namun, bagaimana pun itu, tindakan pelecehan tetap disalahkan di sini." Herman menatap tegas pria yang beberapa minggu lalu diangkat menjadi general manager di perusahaannya.

"Maksudnya--gimana, Pak?" Suro tampak tak mengerti dengan ucapan Herman.

"Wakil saya mengadu, bahwa kamu mengancamnya jika mengadu perihal tindakan asusila yang kamu lakukan padanya."

"Saya tidak melakukan apa-apa, Pak," jawab Suro.

"Semua penjahat kelamin akan selalu berkata seperti itu!" bentak wanita yang duduk di samping Suro.

Suro menghela napas dan mengambil ponselnya. Ia meletakkan ponselnya di atas meja direktur.

"Sebaiknya kamu mengundurkan diri dari perusahaan ini. Sejujurnya, tanpa kamu sekali pun, sekarang perusahaan ini mampu menjadi perusahaan nomor satu di Indonesia."

Wanita itu tampak pucat mendengar rekaman yang keluar dari ponsel Suro.

"Wah, kenapa tiba-tiba begitu?"

"Saya bisa mengeluarkan kamu dengan cara paksa, tetapi saya memberikan kamu kesempatan untuk keluar secara baik-baik dari kantor ini."

"Jika saya menolak untuk mundur?"

"Hidup kamu akan hancur."

Suro menghentikan rekaman itu, lalu menatap waita yang memberikan tuduhan palsu terhadapnya. "Apa ini, cara anda mendepak saya dari perusahaan? Atas segala kerja keras yang saya lakukan selama ini?" Suro menatap Herman tak kalah tegas. "Saya akan membawa ini ke jalur hukum perkara tuduhan palsu."

"Tak perlu sejauh itu, Suro," tutur Herman. "Apa yang kau inginkan?"

Suro tersenyum menatap wanita simpanan Herman. "Saya ingin orang ini dipecat. Jika permintaan saya tidak dituruti, saya akan membawanya ke jalur hukum."

"Oke, saya akan pecat orang ini karena tuduhan palsu."

"Pak!" Wanita itu berdiri sambil menatap Herman.

Herman hanya menghela napas. "Saya kecewa. Suro ini salah satu ujung tombak kesuksesan perusahaan kita. Kenapa harus mendepaknya keluar? Apa ada orang yang membayar kamu lebih besar lagi? Sehingga kamu mau menghancurkan perusahaan saya dengan mendepak pegawai terbaik saya?"

Pertikaian hebat terjadi. Pada akhirnya wanita yang selalu berada di sisi Herman telah dipecat. Sementara Suro dipercaya menjadi orang yang bekerja di dalam ruang yang sama dengan direktur, sebagai wakil direktur.

Bintang tak nampak di kanvas malam, entah, mungkin karena kegelapan di hati manusia terlalu pekat, ia enggan untuk menyinari langit malam.

"Herman sudah mendepak wanita itu dari kantor," ucap Suro pada seseorang di sebuah kafe.

Orang itu memberikan sebuah amplop cokelat pada Suro. "Itu adalah data-data yang kau butuhkan selanjutnya. Di situ juga ada beberapa barang bukti. Sisanya biar aku yang urus." Orang itu beranjak dan pergi meninggalkan Suro sendirian.

Suro duduk sambil menikmati secangkir espressonya. Kopi apa ini? Rasanya seperti--kekalahan.

Ia beranjak dan segera pergi dari kafe setelah membayar menu.

Suro tinggal di sebuah apartemen mewah di lantai teratas. Ia sering menghabiskan waktu di atap sambil merokok, atau menikmati pemandangan kota Jakarta dari lantai tertinggi gedung apartemen. Angin malam memanjakan dirinya, tak jarang ia tertidur di atap bermandikan cahaya bulan.

Suro mempelajari semua data-data yang berada di dalam amplop cokelat. Ia menyeringai mendapati sebuah fakta menarik yang baru saja ia temukan.

Kini mentari pagi ini bersinar dengan anggun, menampilkan senyum hangatnya persis seperti pria yang sedang menatap layar ponselnya sambil tersenyum puas. Sebuah berita heboh menggemparkan warganet. Berita perselingkuhan seorang direktur utama dan mantan wakil direkturnya.

"Bagaimana bisa semua ini terbongkar?!" Herman membanting ponselnya dan menggaruk kepalanya. Sejak berita ini tersebar, Istrinya langsung mengajukan gugatan cerai dan memiliki hak asuh terhadap anak-anaknya.

"Setelah dipecat, wanita itu pasti melaporkan semua tindakanmu, Pak." Suro memberikan opininya pada Herman. Sudah pasti wanita itu yang menjadi penyebab semua berita di media ini, bukan?

"Apa maunya si jalang itu?! Aku sudah menjanjikannya hidup mewah meskipun aku memecatnya dari sini!"

Karena skandal tersebut, perusahaan lain yang bermitra dengan perusahaan Herman akhirnya memutuskan hubungan kerjasama. Satu per satu realasinya mulai menghilang. Seakan sebuah karma menghukumnya.

"Apa salahku sampai harus mengalami ini semua?" Herman menatap layar laptopnya.

Apa salahmu? Suro menatap Herman yang terlihat sangat frustasi.

Pertama, Herman kehilangan wakil direktur dan skandalnya tersebar luas. Kedua, ia kehilangan keluarganya akibat skandal tersebut. Tentu saja, skandal tersebut berpengaruh pada citranya dan berdampak besar terhadap perekonomian perusahaan. Kini Herman berada di titik terendah karirnya.

"Sialan!" Herman memukul meja kayu yang ada di hadapannya. Ia masih menatap layar laptopnya sambil memantau grafik perusahaannya yang sedang mengalami penurunan omset besar-besaran. "Bisa bangkrut kalo gini!"

"Sabar, Pak," ucap Suro berusaha menenangkan. Mereka hanya berdua di dalam ruangan kerja direktur.

"Ini sudah diambang kehancuran! Sudah tujuh puluh persen pegawai yang terpaksa harus saya pulangkan ke rumah mereka. Bisa saja, kamu yang selanjutnya, Suro!" Herman mengambil bungkus rokok di kantong kemejanya, ia membakar ujungnya, lalu menghisapnya. Kepulan asap keluar dari mulutnya. Ia tak peduli lagi dengan ruangan yang ber-AC ini, mengingat stres yang sangat tinggi telah menyetubuhinya

Tak lama setelah menghisap tembakaunya, Herman memegang dadanya, ia mencengkeram dadanya sendiri sambil menatap Suro yang berada tepat di depan mejanya. "Tolong ...," ucapnya lirih memohon pertolongan. Tangan kanannya masih memegang dada kirinya, sedangkan tangan satunya berusaha meraih Suro.

"Pak! Kenapa?" Suro hanya mampu menatap direkturnya yang tampak sedang kesakitan.

"Jantung saya ...," Ia berusaha bangkit, tetapi karena rasa sakit yang ia derita, dirinya justru terjatuh di lantai.

Namun, bukannya membantu, Suro malah menyeringai dan berjalan menjauhinya. Pria berewok itu melangkah menuju satu-satunya pintu masuk dan keluar di ruangan itu, lalu mengunci pintunya. Suro mengambil rokok yang berada di kantong kemejanya, serta sebuah buku catatan kecil dari kantong celananya. Ia berjalan balik ke arah direktur sambil membakar ujung rokoknya. Suro berjongkok di depan Herman yang sedang berbaring di lantai, lalu menghisap sebatang rokok yang beraroma bunga kantil.

"Kali ini bunga kantil, ya?" ucap Suro sambil berjongkok menontoni Herman yang sedang sakaratul maut.

"Darah dibayar darah, gigi dibayar gigi, telinga dibayar telinga," ucapnya, lalu menghisap rokoknya kembali sambil membaca buku catatannya. "Nyawa dibayar nyawa," lanjutnya lagi diiringi kepulan asap.

Kini Herman telah terbujur kaku tak bernyawa di hadapan Suro, Herman memang memiliki riwayat sakit jantung. Begitulah data medis yang terpampang pada isi amplop cokelat yang diberikan oleh Smiley.

"Tinggal bagaimana cara kita memicunya kan, Tuan?" ucap Suro sambil menutup buku catatannya. Ia berbicara pada seorang pria yang muncul entah dari mana. Pria itu memakai pakaian yang serba hitam, mulai dari topi panjangnya, hingga sepatu yang ia kenakan. Pria itu juga membawa tongkat.

"Kerja bagus, Smooky." Seringai pria itu mengiringi pujiannya pada Suro, alias Smooky.

"Begitulah karma," ucap Smooky sambil sesekali menghisap rokoknya, lalu membuang asapnya sembarang. "Bukan begitu, Tuan Yama?"

"Mari kita pergi." Yama membawa arwah Herman yang kini telah keluar dari jasadnya. Herman menatap Smooky dengan wajah yang tak mampu dituliskan dengan kata-kata.

"Terima saja karmamu." Smooky berjalan di belakang Yama sambil membunyikan lehernya yang terasa pegal.

Smooky melemparkan amplop berwarna putih pada Smiley. "Itu jatahmu, sepuluh persen dari pekerjaanku."

"Aku kan sudah membantumu dengan data dan juga menyebarkan berita itu. Apa tidak terlalu sedikit--sepuluh persen itu?" Smiley tak puas dengan pembagian itu.

"Sepuluh, atau tidak sama sekali? Seharusnya itu kan pekerjaanmu. Masih untung aku berbaik hati untuk menggantikanmu," balas Smooky.

Smiley dan Smooky memang tak pernah akur, mereka selalu meributkan hal dari yang sepele sampai yang besar.

"Dasar Om-om tua pelit!" ledek Smiley.

"Om-om? Ketika Tuan Yama menyelamatkanku, beginilah keadaanku, bodoh! Jadi sekarang aku hanya mengikuti penampilan terakhirku ketika hidup. Aku tidak setua itu!" Smooky membersihkan beberapa peralatan kopi. Rokoknya masih saja menempel pada mulutnya. "Kau seharusnya tahu, siapa yang paling tua di antara kita, kan?"

Smooky dan Smiley menatap seorang anak kecil yang sedang duduk manis menatap mereka berdua.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top