BAGIAN KETIGA ''Sesuatu yang Tidak Dia Tahu"
***
Untuk kesekian kalinya wanita paruh baya itu mengecek ponselnya disela-sela meeting panjang yang sudah berlangsung sejak jam 7 malam. Sekarang pukul 9 malam alat pelacak lokasi yang sejak tadi dipantenginya masih berada di tempat yang sama. Dirinya tersenyum lega. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Satu jam kemudian meeting alot yang membahas tentang maraknya di pasaran para penjual nakal yang memalsukan produk mereka. Proses pencarian solusi berlangsung dengan sangat lama. Semua orang yang hadir pada pertemuan ini sama-sama mengukuhkan ide masing-masing. Namun, semua itu berakhir dengan solusi penarikan semua yang di jual pedagang produk palsu dan mesupply mereka dengan produk yang asli. Sesuatu yang seperti ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Lama-lama akan menimbulkan kerugian yang amat sangat besar bagi perusahaan.
Satu persatu orang di ruang meeting keluar, masing-masing membawa tablet yang dijepit di sela-sela ketiak. Semuanya keluar dengan wajah yang sudah amat sangat lelah. Bagaimana tidak, jam kerja seharusnya sudah berakhir pukul 5 sore tadi namun dikarenakan adanya laporan tentang betapa banyaknya produk palsu yang beredar di pasaran membuat para petinggi mau tidak mau harus melaksanakan meeting dadakan. Meeting yang seharusnya dilaksanakan dua hari lagi.
''Langsung pulang, Si?'' seorang laki-laki seumuran dengannya menyusul langkahnya.
''Enggak, Ton.'' Sasi tersenyum. ''Aku masih harus menyelesaikan sesuatu sebelum pulang.''
''Apa gak sebaiknya kamu pulang aja.'' Anton menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. ''Ini udah malem banget. Kerjain besok pagi aja.''
''Enggak ah tanggung, tadi aku baru ngerjain setengah. Kalau dibesokin takutnya malah lupa apa yang mau aku kerjain.''
''Gak akan lah. Masa seorang Sasikirana lupa apa yang mau dia kerjakan.''
Sasi menghentikan langkahnya, menatap Anton disertai senyum lurus, terlihat bahwa dia juga lelah tapi apa yang sedang dikerjakannya sebelum meeting dadakan itu sangat penting dan tidak bisa ditunda-tunda.
''Sebentar lagi umur aku 40, Ton.'' ujar Sasi.
''Apa yang salah dengan umur? Perasaan aku tidak sedang membicarakan tentang umur barusan.''
Sepertinya Anton tidak bisa menangkap keterkaitan dari ucapannya sebelumnya dengan Sasi yang tiba-tiba membahas tentang umur.
''Maksud aku, karena umurku bentar lagi 40, kemungkinan untuk jadi pelupa bisa datang kapan saja. Aku gak mau kalau tiba-tiba aku jadi pelupa aku belum menyelesaikan pekerjaan yang ini.''
''Bukannya kamu bisa mencatap dulu apa-apa yang mau kamu kerjakan besok supaya tidak lupa?'' Anton belum menyerah.
''Ini udah jam sepuluh, Si. Semua orang sudah pulang sejak tadi sore. Orang-orang yang meeting barusan juga pasti sudah pulang. Kamu memang tidak takut sendirian di gedung besar ini?''
Jujur Sasi amat sangat takut dengan hal-hal yang berbau mistis. Akan tetapi jika ia pulang itu artinya ia akan melewatkan ide yang benar-benar fresh, yang ada dalam kepalanya saat ini. Sebab besok meskipun Sasi masih ingat apa yang hendak dikerjakannya, apa yang tertulis tidak akan sama seperti yang ada saat ini. Seperti menyalin tulisan pada halaman yang berbeda.
''Aku anter pulang nih.'' lanjutnya.
Sudah Sasi kira bahwa ujung-ujungnya Anton ingin mengajaknya pulang bersama. Sudah bertahun-tahun duda beranak dua ini gigih sekali mendekatinya. Semua orang tahu, bahkan Sasi juga tahun namun ia menutup semua akses untuk semua itu. Semenjak kepergian suaminya semua yang berhubungan dengan cinta seorang laki-laki untuknya terasa amat sangat kabur, ia merasa tidak penting untuk bersuamikan laki-laki lain setelah ia melihat betapa terluka putrinya saat kepergian ayahnya. Dia mengurung diri di kamar selama berminggu-minggu, tidak ingin berbicara dengan siapapun bahkan dengan maminya sendiri.
''Gak usah Anton.'' Sasi menepuk pundak Anton. ''Pulang aja sana. Mera sama Meri nunggu kamu di rumah.''
Sama seperti Sasi, Anton juga ditinggalkan istrinya lebih dulu menghadap sang maha kuasa, meninggalakan Anton bersama anak kembar mereka Mera dan Meri yang baru duduk di bangku kelas 5 SD.
Bukannya Sasi tidak tertarik pada Anton. Jika saja keadaannya tidak seperti sekarang, mungkin sudah sejak lama Sasi membukakan jalan agar Anton masuk ke dalam kehidupannya. Tetapi keadaannya terlalu sulit untuk saat ini. Atau mungkin keadaannya menjadi serba sulit lima tahun ini setelah kepergian suaminya. Hubungan Sasi dan Zanna--anaknya yang menjadi amat sangat rumit membuat keadaan selalu sulit.
''Mungkin enggak untuk sekarang.'' Sasi lagi-lagi tersenyum. ''Mungkin nanti kalau keadaannya sudah sedikit membaik.''
Sasi tidak hanya menjawab tentang tawaran Anton untuk mengantarnya pulang, tetapi juga menjawab untuk pinangan yang tidak dia ucapkan tapi dia tunjukan melalui tindakan. Ya, Sasi dan Anton sudah sama-sama mengerti dan sudah sama-sama berumur. Perkara soal asmara tidak lagi perlu diungkapkan secara lisan, dengan melihat perlakukan sehari-hari Anton pun Sasi sudah mengerti maksud Anton selama ini.
Wajah Anton mendadak murung. Dia rupanya mengerti maksud dari perkataan Sasi yang tak hanya menolak tawaran tumpangannya untuk saat ini, tapi juga menolak pinangannya.
Senyum di wajah Anton yang seakan tidak pernah luntur kali ini mengendur untuk sesaat. Dia butuh waktu beberapa saat untuk mengerti keadaan, untuk menelan pil pahit tolakan itu sebelum tersenyum kembali.
''Baik, gak masalah.'' katanya.
Nada bicaranya terdengar lain. Sasi harap Anton tidak sakit hati. Sasi harap Anton menunggunya sampai ia menemukan waktu yang baik untuk mereka berdu. Sampai Sasi bisa memperbaiki hubungannya dengan Zanna meskipun sampai saat ini ia tidak tahu dimana letak kesalahannya.
''Aku tunggu sampai waktu itu tiba.''
Kemudian Anton pergi. Sasi pun menuju ruangannya, ruangan besar yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan akan ia tempati. Ruangan yang menuntut perjuangan berdarah-darah dan pengkhianatan. Dan Sasi sudah melewati masa itu sampai akhirnya bisa duduk disini.
Busa kursinya empuk sekali, tidak kalah nyaman dengan kasurrnya di rumah. Membuat ia amat sangat nyaman terus-terusan bekerja dari pagi sampai malam seperti kuda yang diperas tenaganya. Ia pun mulai berkutat dengan pekerjaannya yang sempat terjeda karena meeting itu.
Tepat pukul 12 malam apa yang dikerjakannya pun usai. Ia keluar dengan perasaan yang amat sangat lelah. Selalu terasa lelah seperti ini, namun Sasi menikmatinya sehingga ia tidak merasa bosan apalagi jenuh. Bukankah apapun yang kita kerjakan tergantung kepada apakah kita suka atau tidak? Semakin seseorang menyukai pekerjaannya semakin senang hatinya tidak peduli dengan rintangan berat dan betapa lelah pekerjaannya.
Sasi mencintai pekerjaannya.
Ia membelah lantai basement yang dingin dengan cahaya remang-remang setelah turun dari lift. Di parkiran hanya ada tiga mobil. Dua diantaranya adalah milik pemilik perusahaan, sengaja ditinggalkan di parkiran basement entah karena apa. Mungkin garasi di rumahnya tidak mencukupi. Ya, semua orang tahu bahwa pemilik perusahaan amat sangat suka mengoleksi mobil. Dan dua mobil itu adalah salah dua koleksinya.
Sasi melajukan mobilnya di jalanan yang mulai sepi dan tiba di rumah besarnya 20 menit kemudian. Lampu-lampu sudah dimatikan. Zanna dan Santi--asisten rumah tangganya pasti sudah tidur. Sasi menghempaskan tubuhnya pada sofa empuk di ruang tamunya. Melepaskan sepatu hak tingginya dan merebahkan diri sesaat sebelum ia teringat sesuatu.
Wanita yang enam bulan lagi menginjak usia 40 tahun menenteng sepatu hak tingginya dan meletakan di rak sepatu. Ia masih menyukai sepatunya yang ini dan akan memakainya esok hari.
Langkah kakinya membawa Sasi ke lantai dua tempat kamar anak tunggalnya berada. Ia membuka pintu pelan-pelan, dilihatnya Zanna sedang tidur dengan selimut menyelubungi seluruh tubuhnya. Senyum di wajah Sasi mengembang, ia ingin masuk tetapi takut mengganggu tidur putri semata wayangnya. Sehingga yang dilakukannya hanya melihat tubuh terbungkus selimut itu dari ambang pintu. Hampir 15 menit ia melakukan hal tersebut sampai akhirnya kantuk hebat menyerangnya.
''Selamat tidur, Zan. Mami sayang kamu.''
***
Ditengah pekatnya malam seseorang menghentikan motornya tak jauh dari gerbang rumah bercat putih, rumah yang lebih terlihat mencolok daripada rumah di sekitarnya. Seorang gadis turun dari boncengannya bersamaan dengan laki-laki yang mengendarai motor itu mematikan mesin.
''Makasih.'' gadis yang mengenakan jaket kebesaran abu-abu tersenyum amat sangat lebar. ''Aku seneng malem ini.''
Mereke berdua berjalan beriringan dengan si laki-laki mendorong motornya.
''Besok kita keluar lagi kan Zanna?''' tanya di laki-laki.
''Iya.'' jawab Zanna, gadis 15 tahun yang baru mendapatkan menstruasnya setahun lalu itu. ''Zanna suka keluar sama kamu, Farel.''
Tidak ada embel-embel kak atau apapun meskipun umur mereka berdua terpaut amat sangat jauh. Zanna yang baru berusia 15 tahun dan saat ini duduk di bangku kelas 2 SMP. Sementara Farel pria berusia 24 tahun, mahasiswa abadi yang belum lulus selama 6 tahun ini.
Namun tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut. Selama Zanna dan Farel sama-sama nyaman. Panggilan apapun yang diucapkan tidak menjadi masalah. Bukankah hal terpenting dalam menjalin hubungan apapun dengan orang lain, mau itu berteman, bisnis, pacaran, atau bahkan berumah tangga sekalipun adalah rasa nyaman? Dan Zanna nyaman memanggil Farel dengan Farel saja.
Begitupun dengan Farel, ia sama sekali tidak keberatan tidak Zanna panggil dengan embel-embel Kak atau semacamnya. Atau barangkali Farel tidak tahu bahwa umur Zanna terpaut jauh 9 tahun darinya.
''Besok kamu kuliah jam berapa?'' tanya Farel.
Ya, Farel memang tidak tahu bahwa usia Zanna jauh sekali di bawahnya. Penampilan Zanna yang tidak seperti gadis kebanyakan membuat dia mengira bahwa Zanna hanya berbeda satu atau dua tahun darinya. Cara berpakaian Zanna yang terlihat jauh dewasa dari usianya mengaburkan umurnya. Ditambah lagi dengan polesan make up dan lipstick ke-orange-an yang dipakainya.
Yang baru saja melihat Zanna barangkali akan banyak yang mengira bahwa usia Zanna 20 tahunan.
''Besok.'' Zanna berfikir sejenak. ''Aku besok masuk pagi.'' selalu itu yang keluar dari mulutnya. Memangnya siapa yang berharap jam sekolah menengah pertama sefleksibel itu.
Namun, Farel tidak bertanya-tanya sama sekali terkait jawaban yang selalu Zanna lontarkan. Atau mungkin Farel sebenarnya pernah bertanya-tanya terkait hal tersebut tetapi tidak mau ambil pusing.
''Mama kamu udah pulang.'' kata Farel saat melihat honda brio terpakir di depan pintu. Farel menatap Zanna yang juga menghentikan langkah beberapa meter dari gerbang rumah gadis itu.
''Paling dia langsung tidur.'' jawab Zanna. ''Gak akan nyadar aku pulang jam segini.''
Jawaban yang diberikan Zanna membuat Farel tersenyum lega.
''Aku masuk ya, Rel.'' Zanna melambaikan tangan.
''Zan.'' Farel menahan tangan Zanna sebelum gadis itu masuk.
Zanna menunggu apa yang akan Farel katakan.
''Kamu gak keberatan kan kalau kita jadian?''
Zanna mematung. Apakah yang barusan didengarnya adalah sebuah pernyataan dari seorang pria, pernyataan cinta. Cara menyatakan Farel yang tidak mengatakan bahwa dia memiliki perasaan padanya terlebih dahulu entah kenapa terdengar amat sangat romantis.
''Aku udah kenal kamu sebulan dan kamu juga. Kita udah sama-sama cocok dalam banyak hal.''
Tidak terlihat kegugupan di wajah Farel. Mungkin karena Zanna sendiri terlalu sibuk mengurusi hatinya yang meledak-ledak mendengar pernyataan cinta dengan cara yang aneh itu.
''Kita pacaran ya?'' tanyanya.
Hening beberapa saat. Sampai kemudian Zanna mengangguk.
Lalu yang terjadi kemudian terjadi secara alami, saat sebelah tangan Farel menarik pinggang Zanna mendekat padanya dan mereka berciuman. Ciuman pertama di hari pertama jadian. Rasanya mendebarkan.
Ditengah pengalaman mendebarkan yang pertama dirasakan Zanna itu ia tiba-tiba teringat pada maminya. Tapi tidak ada rasa takut sedikitpun saat melakukan hal tersebut. Melainkan lebih kepada penasaran apa yang akan maminya lakukan jika dia tahu Zanna keluar setiap malam dan pulang amat sangat larut bahkan sampai diri hari lalu pada hari ini ia jadian dengan pria yang jauh lebih tua darinya dari berciuman di hari pertama jadian, di depan rumah pula.
Zanna penasaran reaksi seperti apa yang akan ditunjukan maminya.
***
Gak ada anak yang nakal tanpa alasan, mereka mencari perhatian.
Sejauh ini gimana menurut kalian?
Jangan lupa vote dan komentarnya yaa
Sending hug
Iis Tazkiati Nupus
180420
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top