BAGIAN KE EMPAT ''Jangan Lakukan karena Orang Lain''


***
    Nara tidak pernah benar-benar bisa mengajaknya berbicara. Meskipun mereka satu kelas, dinding tipis yang amat sangat kuat seolah membentang antara dirinya dan laki-laki yang duduk kursi paling pojok dekat jendela yang menuju koridor. Batas yang membuat Nara merasa amat sangat jauh, pria yang duduk di kursi paling pojok itu tidak tergapai.

    Dan entah untuk keberapa kalinya dalam hari ini Nara menghela napas. Kepalanya ditenggelamkan di atas lipatan tangan  namun tatapannya tertuju pada pria itu. Namanya Fahar, Fahar Haidar. Pria yang sejak dua tahun ini ia taksir. Satu-satunya pria di kelasnya yang amat sangat religius, atau mungkin salah satu dari sekian kecil laki-laki semacam itu di dunia. Pria yang unik dan juga menarik namun seolah tak bisa digenggam.

    Fahar sedang sedang menatap ke luar jendela dengan kedua telinga disumpal earphone. Seperti biasa dia pasti sedang mendengarkan murotal dai ustad terkenal. Sebab wajah Fahar selalu seperti itu saat mendengarkan murotal. Ditambah dengan mulutnya yang senantiasa berkomat-kamit mengikuti dalam hening.

    Fahar dan dunianya, Nara ingin sekali masuk ke dalam sana.

    Nara tidak pernah bosan memandangi Fahar dengan cara seperti ini, meskipun besok paginya belakang lehernya selalu terasa sakit dan posisi tidurnya semalam yang selalu dikambing hitamkan. Pria itu sekarang memainkan ponselnya setelah sekian belas menit teronggok di atas meja.

    Tak lama kemudian, notifikasi muncul. Nama grup kelas beserta foto memenuhi layar ponselnya yang sejak tadi gelap. Nama Fahar Haidar pun muncul dengan huruf yang lebih kecil dan lebih tipis di bawah nama Grup. Tanpa menunggu waktu lama Nara membuka pesan itu.

    Seperti biasa Fahar membagikan brosur pengajian akhir pekan yang selalu dihadirinya setiap hari sabtu. Minggu ini temanya tentang akhir zaman.

    ''Ji,'' Jihan yang baru masuk kelas sehabis jajan bersama Hani menghentikan langkahnya.

    ''Iya, Na?''

    Nara menunjukan brosur digital yang baru saja Fahar bagikan di grup kelas. ''Kuy gak?'' tanyanya sambil menaik-turunkan alisnya. ''Ustad Handy nih.''

    ''Siapa yang kirim.'' tanya Jihan sambil mengambil ponsel Nara. ''Oh, Fahar.'' gumamnya saat melihat nama yang tertera di bagian atas chat.

    ''Kuy ah, kita menabung ilmu sebelum berpulang.'' jawaab Jihan.

    ''Ikut juga gak, Han?'' kali ini Nara menatap Hani.

    ''Kayanya gue gak bisa.'' Jawab Hani. ''Ada acara, cowo gue ngajak gue main ke rumahnya.''

    ''Ini ustad Handy lho, Han.''

    ''Tetep aja gue gak bisa. Gue udah janji duluan sama cowo gue, gak mau batalin gitu aja.'' kata Hani. Dia memang teman sekelas Nara yang paling punya prinsip, tidak mudah di lobi dengan cara apapun. ''Lagian kalau gue sampai batalin janji gue sama cowo gue, gue gak mau hadir di pengajian karena ustadnya siapa, tapi karena keinginan hati gue buat hadir disana.''

    Pernyataan Hani menampar Nara. Bahwa alasan Nara ingin hadir pada pengajian itu adalah karena Fahar, karena Fahar juga akan ada disana. Sehingga ia pun diam.

    ''Yaudah, Na.'' Jihan menepuk pundak Nara. ''Kita berdua aja.''

    Senyum di wajah Nara mengembang. ''Seperti biasa gue jemput ya.''

    Nara mengacungkan jari yang membentuk tanda OK.

    ''Pastikan Kak Aziel ada di rumah.'' Jihan menaik turunkan alisnya nakal.

    ''Apaan coba, genit banget. Kak Aziel udahh punya pacar juga.'' Hani memperingatkan.

    ''Lo lupa sama pepatah ini? Selama janur kuning belum melengkung masih ada kesempatan untuk  menikung.''

    ''Bukan temen gue.'' Hani melangkah menuju kursinya setelah menunjukan muka jijik pada Jihan.

***

    Untuk kesekian kalinya Nara mengecek viewers statusnya. Nama Fahar tidak ada diantara 53 orang yang melihat. Ia lalu mencari akun whatsapp Fahar. Terdapat history bahwa Fahar baru saja aktif 15 menit yang lalu. Tiba-tiba saja Nara merasa lesu padahal status itu sudah dibuatnya dua jam lalu, saat ia beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap untuk pergi mengikuti kajian yang Fahar bagikan di grup kelas.

    Ia menghela napas. Mungkin ia memang tidak pernah masuk ke dalam orang yang membuat Fahar tertarik. Barangkali karena penampilan awalnya yang tidak seperti perempuan islami dengan tutur kata yang lembut. Ya, Nara adalah kebalikan jenis perempuan seperti itu, penampilan urakan dan tidak pernah memakai kerudung, serta tutur katanya yang bisa dikatakan jelek sekali.

    Tapi sekarang ia sudah berubah, sedikit demi sedikit memperbaiki tampilannya. Dimulai dengan mengganti celana dengan rok, kemudian mengganti kaos longgar pendek dengan baju berlengan panjang, serta memakai kerudung. Meskipun penampilannya masih jauh dibawah perempuan-perempuan yang datang pada satu kajian yang sama.

    Nara ingin dilihat. Perempuan manapun ingin dilihat oleh pria yang disukainya. Bukan rahasia umum lagi untuk dirinya sendiri bahwa ia menyukai Fahar, amat sangat menyukainya. Bahkan mungkin mencintainya. Sampai membuatnya sedikit demi sedikit memperbaiki kekurangan yang ada dalam dirinya, menambahkan sesuatu yang belum dimilikinya dengan sesuatu yang ia harap bisa membuat Fahar setidaknya menatapnya. Sebab selama 17 tahun hidupnya ia belum pernah melihat pria seistiqomah itu. Tidak pernah bersentuhan dengan perempuan bahkan dengan gurunya sendiri. Fahar amat sangat memuliakan perempuan dan menjaga dirinya sendiri.

    Pada suatu sore ia pernah bilang pada kakak laki-lakinya Aziel saat ia pertama kali mengubah celana dengan rok.

    ''Kesambet apa kamu, Na?'' Aziel yang sedang tiduran santai di depan televisi bahkan sampai bangun.

    Nara mendecih. ''Apaan coba kesambet.''

    ''Aneh banget lihat kamu pake rok.''

    ''Ya bagus kal. Kan katanya cewe itu harusnya emang pake rok bukan celana.''

    ''Kata siapa?'' tanya Aziel seolah tak percaya ada manusia bodoh yang mengatakan hal seperti itu.

    ''Ada lah pokoknya.'' jawab Nara sambil duduk di samping Aziel, mengambil remote dan mengoper ke chanel luar negeri yang sedang menayangkan murotal.

    ''Yang ada itu, cewe seharusnya menutup auratnya baik-baik bukan ganti rok sama celana.''

    ''Kan ini lagi pelan-pelan, Mas Aziel. Rok dulu, terus ke baju, terus ke kerudung. Jangan sampai yah nanti kalau tiba-tiba aku pake gamis panjang sama kerudung panjang kamu kejang-kejang saking kagetnya.''

    Aziel geleng-geleng kepala. ''Paling aku nanya, kamu mau solat apa? Jam segini pake mukena.''

    ''Sial.''

    ''Aduh ukhti ini ngomongnya.''

    ''Jangan sampai ya nanti kaget liat perubahan aku, Mas.''

    Aziel mengangguk-angguk sambil terkekeh. Apa yang Nara katakan dianggapnya sebagai angin lalu, hasrat sesaat. Apa sih istilahnya? Tobat sambel. Nah itu. Aziel mengira bahwa kalaupun nanti Nara benar-benar mengubah penampilannya, besoknya Nara akan kembali pada Nara dengan penampilan masa bodo, kaos kebesaran yang seringnya hasil nyolong dari lemari Aziel, dan celana jeans atau celana kain selutut. Iya, Nara yang semasa bodo itu.

    Nara geleng-geleng kepala. ''Dukung kenapa adiknya mau hijrah.''

    ''Iya… iya…'' Aziel terkekeh, mengejek, jelas dia mengejek. ''Mas doain semoga istiqomah.''

    ''Eh,'' gumam Aziel setelah terjadi keheningan seolah baru mengingat sesuatu. ''Kenapa kamu tiba-tiba pengen hijrah?''

    ''Emang kenapa?''

    ''Pasti ada alasannya.'' todongnya. ''Kamu jatuh cinta kan?''

    Pertanyaan itu tidak Nara jawab.

    Kemudian Aziel melanjutkan. ''Jangan sampai perubahan kamu ini karena hal itu. Mas gak mau karena kamu gak dapet apa yang kamu mau, cowo yang kamu suka pergi lalu kamu kemudian berubah jadi lebih buruk dari sekarang. Gak ada perubahan yang baik kalau itu karena kamu suka seseorang.''

    Nara termenung di depan teras. Teringat apa yang Aziel katakan sore itu.

     ''Gak ada perubahan yang baik kalau itu karena kamu suka seseorang.''

    Apakah benar seperti itu?

    Nara tidak menyangkal bahwa perubahannya memang ada hubungannya dengan Fahar. Bahwa alasannya mengganti pakaiannya dengan pakaian serba panjang dan tertutup seperti sekarang adalah karena Fahar.

    Ia geleng-geleng kepala. Ia harap perubahannya ini membawa dampak yang baik sampai nanti. Terlepas dari nanti apakah Fahar akan memilihnya atau tidak. Ia harap tidak akan sekecewa itu atas usahanya mengubah segala sesuatu yang ada dalam dirinya demi Fahar jikalau nanti Fahar tidak kunjung melihatnya. Jangan sampai terjadi seperti itu.

    Tak lama kemudian beat hitam berhenti di depan pagar rumahnya. Itu Jihan.

    ''Nara… Nara…''

    Jihan memanggil-manggil namanya padahal ia tahu bahwa dia tahu bahwa Nara menunggunya di teras.

    ''Nara ayo kita berangkat!!''

    Memang Jihan selalu seperti itu. Dia melakukannya supaya Aziel tahu bahwa Jihan datang. Biasanya saat Jihan berteriak-teriak seperti itu Aziel akan keluar.

    ''Eh, Jihan.'' Aziel menyapa Jihan.

    ''Hai, Mas Aziel.'' Jihan tersenyum. Senyum yang terlalu lebar, mengerikan.

    ''Dasar caper.'' ucap Nara tanpa mengeluarkan suara.

    Jihan yang melihat hal itu mencebik.

    ''Pasti mau kajian ya?'' tanya Aziel jelas sekali hanya sekadar keramah tamahan.

    ''Iya Mas.'' jawab Jihan.

    ''Yaudah sana hati-hati.'' ujar Aziel karena Nara sudah naik ke boncengan Jihan. ''Kalian berdua nyari ilmunya yang bener. Jangan belok liatin cowo-cowo berbaju koko.''

    ''Gak akan lah, Mas. Ngapain ngeliatin mereka kan ada Mas Aziel yang lebih enak dipandang.'' kata Jihan membuat Aziel tertawa.

    Nara juga tertawa. Jihan memang tidak pernah absen untuk menggoda kakak laki-lakinya. Jihan sama sekali tidak peduli dengan Aziel yang sudah punya pacar dan sudah menjalin hubungan 4 tahun. Katanya…

    ''Yang pacaran 10 tahun aja bisa putus dan nikah sama orang yang baru ditemuinya beberapa bulan. Yang terpenting dalam sebuah hubungan itu kecocokan bukan waktu.''

    Tak hanya itu, Jihan juga pernah mengatakan hal ini…

    ''Selama janur kuning melengkung masih ada kesempatan untuk menikung.''

    Jihan memang jenis pelakor yang patut untuk diwaspadai sepanjang waktu. Dia berbahaya.

    ''Yaudah Mas Aziel. Kita berangkat ya. Hati-hati ya.'' ucap Jihan sambil cekikikan.

    Kening Aziel dan Nara mengernyit. ''Hati-hati?'' gumam Nara dan Aziel bersamaan.

    ''Iya, hati-hati.'' Jihan tertawa. ''Hati-hari jaga hati Mas Aziel buat aku.''

    Nara memutar bola mata, datangnya dari mana teman macam ini, teman yang memalukan.

    ''Udah ah sana berangkat. Ngemodus mulu.''

    Jihan tertawa. Sebelum berangkat mereka melambaikan tangan pada Aziel yang dibalas hal serupa oleh pria yang berdiri di teras itu.

    Perjalanan menuju mesjid tempat kajian dilaksanakan tidak terlalu jauh. Hanya cukup menempuh waktu lima belas menit. Suasana dipelataran mesjid ramai. Seorang pria muda, kira-kira 20 tahunan usianya sedang sibuk memarkir motor yang berdatangan. Pria itu menunjuk satu celah pada barisan ke dua supaya Jihan memarkir motornya di sana. Nara turun lebih dulu membiarkan Jihan memarkir motornya.

    Selama waktu itu ia mengedarkan pandangan, mencari sosok Fahar ataupun motornya. Dadanya bergemuruh penuh dengan rasa senang. Fahar tidak kelihatan di manapun, mungkin di sudah masuk. Ia mengambil ponsel dari dalam tas selempang kecilnya dan berkaca. Tidak ada yang bermasalah dari tampilannya.

    ''Yu.'' Jihan ternyata sudah selesai memarkir motornya. Mereka pun masuk ke dalam mesjid. Di dalam mesjid  sudah sangat ramai. Para laki-laki duduk dengan rapi di depan sementara untuk perempuan di bagian belakang. Sekat solat yang memisahkan bagian laki-laki dan perempuan di gulung dan di ikat pada tiang penyangganya membuat akses pandangan tidak terhalangi. Ustad Handy belum datang. Panitia juga masih sibuk membereskan barisan para jemaah yang baru datang. Belum ada kesibukan berarti. Kali ini Nara dan Jihan tidak datang terlambat sepeti minggu kemarin.

    Nara memanjangkan lehernya mencai sosok Fahar. Namun, tidak ditemukaannya. Bahkan sampai kajian selesai pun Nara tidak menemukan Fahar. Mungkin dia duduk di tempat yang terhalangi sehingga Nara tidak bsia melihat kehadirannya.

    ''Solat magrib dulu di sini.'' ujar Nara pada Jihan saat yang lain bergegas pulang setelah acara selesai.

    Jihan mengangguk.

    Mereka berdua duduk semakin ke pojok setelah sebelumnya keluar untuk mengambil wudhu. Jihan memainkan ponselnya, entah menghubungi siapa. Begitupun dengan Nara, ia juga memainkan ponselnya.

    Tak lama kemudian seseorang mendekat. Pria berbaju koko putih tanpa kopiah. Kopiahnya dia selipkan pada saku baju kokonya.

    ''Si Fahar.'' ucap Nara girang seperti baru saja bertemu dengan teman lama.

    Fahar tidak menatap pada Nara sama sekali, entah apakah dia benr-benar tidak sadar ada Nara atau karena memang dia terlalu fokus berjalan dan menghampirri Jihan.

    ''Ji.''

    Fahar datang untuk Jihan.

    Rasanya sedikit kecewa melihat Fahar dan Jihan yang terlihat amat akrab. Apa Nara bisa seperti itu?

    ''Eh, ada Nara juga.'' Fahar akhirnya menyadari perempuan yang duduk di samping Jihan adalah Nara.

    Nara hanya nyengir.

    ''Kirain kamu dateng sama siapa, Ji.''

    Jihan tidak menjawab, dia mengambil benda kecil dari tas selempangnya dan meletakannya di atas karpet. Cara memberikan sesuatu supaya tidak bersentuhan. Meskipun Nara yakin kalau Jihan tidak melakukan hal itu Fahar akan mengambil flashdisk itu sebisa mungkin tanpa bersentuhan.

    ''Ada film apa aja di dalemnya?'' tanya Fahar setelah mengambil flashdisk tersebut.

    ''Yang kamu minta aja.''

    ''Gak ada tambahan gitu.''

    ''Enggaklah. Aku ngasih apa yang emang kamu minta. Takutnya kalau aku tambahin kamu gak suka sama filmnya.''

    Oh, jadi Fahar meminta film kepada Jihan. Nara lagi-lagi merasa kecewa, kenapa Fahar meminta pada Jihan padahal satu kelas tahu bahwa orang yang paling update pada perfilman adalah Nara.

    Apa Fahar suka pada Jihan?

***

Masih seputar jatuh cinta, beberapa orang atau mungkin kamu juga yang baca ini pernah mengalami dimana ingin berubah demi orang yang disuka. Dan aku salah satunya. Percayalah, berubah karena orang lain gak bakal bisa benar-benar merubah kamu. Sebab, ya... karena alasannya juga manusia kalau gak dapat, ya bakal balik lagi ke keadaan sebelumnya bahkan ada beberapa (mungkin) yang jadi lebih buruk dari sebelumnya. Jadi, jangan pernah  berubah karena jatuh cinta, karena seseorang. Berubahlah untuk diri kamu sendiri, karena kamu ingin dan juga bukan karena tren.

Iis Tazkiati N
230820

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top