Bab Ketiga
"Aza..." aku tercekat, tentu saja. Merasa tak percaya dengan apa yang baru saja kudapati atas tindakannya.
Akibatnya perasaanku menjadi bercampur aduk saat ini. Antara senang, kaget, gak menyangka, dan juga bingung. Hingga sorot matanya yang biasa-biasa aja itu berubah. Bikin aku bergetar, mengunciku dalam gugup yang kian menguat. Tangannya yang masih aku pegang balas menggenggam erat, yang keruan aja membuat aku kewalahan. Aku mengerjap gusar, berpikir tentang bagaimana aku harus bersikap jika sudah begini. Duh kan, aku gak bisa memikirkan apa-apa. Aku belum pernah punya pengalaman dalam hal...
"Yun..."
Pemikiranku buyar, jantungku menyuarakan detak paling kencang meski hanya sekali setelah aku mendengar suaranya yang amat lembut menyebut namaku. Meneguk ludah secara susah payah, tanganku yang berkeringat terkepal begitu menyadari jarak antara wajahku dan juga wajah Aza perlahan-lahan menipis.
Apa Aza berniat nencium aku sekarang? Kalau benar berarti ini akan jadi--aku nggak sanggup lagi berpikir yang macam-macam, maka dari itu aku lebih memilih untuk memejamkan mata rapat-rapat. Kemudian mulai menghitung dalam hati.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Kok nggak ada yang terjadi? Bibirku masih gemetaran tanpa ada rasa lain atau sesuatu yang menempel di sana. Jadi, perlahan-perlahan aku mengangkat kelopak mata dan sedikit terlonjak menangkap wajah tampan Aza yang berjarak amat dekat denganku. Embusan napasnya yang hangat menerpa kulit wajahku.
"Emm, Za?" panggilku kikuk. Inginnya aku menyuruhnya melanjutkan tindakannya yang barusan, tapi rasa maluku jauh lebih besar ketimbang keberanianku.
Aza melepaskan pegangan di tanganku setelah itu menjauhkan wajahnya untuk kembali duduk ke posisi semula. Aku terdiam sambil terus memperhatikannya yang tampak kebingungan. Tapi kan yang seharusnya bingung di sini aku. Tadi dia mau mencium aku kan? Lalu kenapa akhirnya malah nggak ada yang terjadi? Kenapa dia memberikan harapan palsu? Padahal aku sudah sangat menginginkannya!
Aza menolehku yang kontan aja menunduk gugup, nggak berani melawan tatapannya. Wajahku jadi tambah menghangat.
"Mungkin sebaiknya aku pulang, ya," kata Aza tiba-tiba seraya berdiri dari sampingku.
Aku mendongak, sedikit terkejut. Mungkin aku bisa mencegah Aza, memintanya untuk lebih lama berada di sini jika ingin. Tetapi yang ada, aku cuma memberi anggukan, disusul aku yang juga berdiri sesudah itu mengekori Aza yang mulai berjalan ke pintu depan.
Aku hanya bergeming memperhatikan Aza yang tengah mengenakan helm. Dia lalu naik ke atas motor besarnya, membuka kaca helm sesudah itu gantian memperhatikanku. Untuk seperkian detik kami saling melempar tatapan canggung, juga sama-sama bingung.
Aza memutus kontak mata terlebih dulu, menghela napas kemudian berujar lirih, "Maafin aku, ya." aku membelalak mendengar ucapannya. "Sampai nanti, Yun." meski bilang begitu pun Aza masih belum juga menyalakan mesin motornya. Aku bersiap mengatakan sesuatu saat kulihat raut wajah Aza berubah, seolah dia hendak berbicara juga. Jadi aku menunggu, namun suaranya nggak kunjung kedengaran terdengar.
Aza memejamkan mata, memutar kunci lalu menyalakan mesin motor. Ketika motornya mulai melaju dan lekas berbelok, aku masih berdiri memperhatikan arah kepergiannya.
Walau sadar semuanya nggak sesuai harapan, pertemuan melepas kangen yang nggak ada romantis-romatisnya ini tetap saja membuatku tetap mencintainya. Dan aku baru tersadar, bahwa aku telah lupa mengatakan hal itu ketika dia tengah berada di sampingku beberapa saat yang lalu.
-x-
"Yundana!"
Aku terlonjak dari lamunan mendengar teriakan dari Heri. Lantas mendelik gak suka pada kawan sebangkuku itu. "Apaan, sih?!" tanyaku sewot.
"Lo yang apaan! Gue panggil-panggil dari tadi juga!" Heri menggeleng-geleng masygul menghadapi reaksiku. Aku menghela napas lesu. "Lo ngelamunin apa, sih?" tanyanya kemudian.
"Gak ada, kok," jawabku berbohong. Padahal sebenarnya aku memang tengah melamunkan sesuatu. Memikirkan Mama, Aza, juga hari ulang tahunku nanti.
Gimana nggak kepikiran kalau saat ini mama sudah berada di Singapura untuk menjenguk Kakakku, kak Lily yang sedang sakit, sekaligus melepas rindunya pada papa. Kak Lily merupakan kakak perempuanku, berkuliah di Singapura sebab dirinya mendapatkan beasiswa. Dan sebagai sosok yang over-protective, papa memutuskan untuk menemani kak Lily selama tinggal dan ber-study di sana. Kalau nggak terdesak materi pelajaran yang menumpuk, aku juga mau banget sebenarnya ikut ke sana. Mama aja berberat hati sekali saat hendak meninggalkan aku sendirian di rumah. Sedangkan Aza...
Aku mendengus malas. Nggak ada tanda-tanda kalau dia mengingat hari ulang tahunku yang jatuh besok. Hubungan kami pun tetap berjalan nggak sesuai harapan seperti biasa. Aku mengira setelah kedatangannya ke rumah hari itu akan ada sedikit perubahan sikap gitu darinya, ternyata menaruh harapan terlalu banyak cuma bikin kesal sendiri.
Aku menekuk wajah lalu tersenyum kecut kepada Heri yang jadi sibuk sendiri memeriksa tugas kliping kami yang harus dikumpulkan beberapa jam lagi. Mungkin sebaiknya aku juga mengalihkan pikiran, supaya perasaan mengganggu ini nggak terus-terusan menumpuk.
--
Aku berjalan sendirian menyusuri koridor tak ubahnya seperti para murid lain yang baru keluar dari dalam kelas masing-masing. Hari ini aku benar-benar capek. Capek hati, pikiran serta perasaan. Mau cepat-cepat sampai ke rumah terus tidur sore lah, kelamaan berada di sekolah tambah bikin runyam. Hari ini aku mau izin untuk nggak belajar bareng dulu, deh. Belajar bersisian setiap hari pun nggak pernah ada kemajuan kan.
Ya Tuhan. Kenapa aku jadi bertambah kesal begini?
"Yundana?!"
Seruan dari suara yang tak asing itu membuat aku menghentikan langkah. Menengok ke kiri, bersamaan dengan beberapa pasang mata lain yang ikut tertarik perhatiannya akibat seruan tadi. Tumben Aza memanggilku terang-terangan begitu.
Kulihat cowok tinggi itu berjalan santai dengan kedua tangan yang dia masukkan ke kantung celana seragamnya (tapi toh tetap terlihat keren) mendekatiku.
"Ada apa, Za?" aku bertanya ketus begitu Aza sudah berdiri di hadapanku.
Aza mengernyit, jelas heran mendapati reaksiku. "Hm, kamu gak apa-apa? Ada masalah?" balasnya bertanya. Aku menggeleng cepat menjawabnya. Dia lalu manggut-manggut, tangan kirinya terulur. "Pinjam tas kamu," pintanya. Ada apa sih dengannya?
"Buat apa?" meski bertanya begitu, aku tetap menyerahkan tas selempenganku padanya.
Aza menarik tasku pelan. "Cuma mau meriksa hasil kerjamu belakangan ini," jawabnya yang lalu mulai membuka-buka tasku, mengaduk-aduk isinya menggunakan tangan kanannya. Entah apa yang sebenarnya Aza cari. Kalau mau meriksa tugas harusnya dia mengeluarkan bukuku dan membacanya kan? "Gak ada pelajaran bahasa Inggris, ya?" tanyanya sambil mengerlingku sekilas, sedangkan tangannya masih terus mengaduk-aduk tas.
Aku menggumam sebal. "Ini hari Selasa tau! Bahasa Inggris itu pelajaran hari Senin dan Jumat!" Sergahku menjawabnya agak jengkel, membuat bibir merahnya membulat menyebalkan.
Aza setelah itu menutup retsleting tasku, menyerahkannya kembali padaku. Aku menarik benda itu dengan kasar darinya. "Udah kan? Itu aja?" aku mendengus sambil mulai menggunakan tasku lagi. "Hari ini aku nggak mau belajar bareng dulu," kataku sesudah itu.
Aza menekuk bibirnya. "Kebetulan. Hari ini aku baru mau nyuruh kamu pulang sendiri aja. Soalnya aku ada janji sama temenku juga. Dah, Yun." setelah berujar demikian, Aza berlalu begitu aja dari depanku.
Mataku menyipit penuh amarah menatap tubuh tingginya yang kian menjauh dariku. Sisi tas yang kukenakan kuremas kuat.
Nggak bisa kah dia peka sedikit terhadap perasaanku saat ini?
Lalu sewaktu kedua mataku menangkap sosok seorang gadis yang muncul dan langsung saja memeluk lengan Aza dengan mesra, amarahku seketika membakar seluruh tubuh. Luar dan dalam.
Tampaknya selama ini aku memang salah menaruh terlalu banyak harapan padanya. Mungkin sejak awal, aku tak seharusnya jatuh cinta kian dalam seperti ini. Karena semakin dalam cinta itu, semakin memungkinkan dirimu akan tersakiti olehnya kan?
--
Aku membanting pintu keras-keras setibanya di dalam rumah. Berjalan menghentak menuju ke kamar dan melakukan hal yang sama pada pintu ini. Bahkan tas pun aku banting secara sembarang saking kesalnya.
Aku mengumpat tanpa suara seraya menghempaskan tubuh ke pembaringan. Melirik jam dinding yang jarum pendeknya menunjuk ke angka lima, mataku lalu beralih tatap pada foto yang ada di meja belajar untuk lalu aku tutup kasar. Aku hanya butuh tidur saat ini. Nggak perlu berpikir apa-apa. Masa bodo walau aku sedang lapar sekarang, yang aku butuhkan cuma ketenangan.
-x-
Aku mengerjap-ngerjapkan mata disambut keremangan di sekitarku. Mataku yang masih sedikit buram langsung kubawa untuk melirik jam dinding yang sekarang menunjukkan pukul setengah dua. Mataku seketika melotot ngeri.
Yang benar aja? Setengah dua dini hari? Sudah selarut ini? Ya Tuhan!
Aku segera saja berlari keluar kamar dengan panik. Kunyalakan lampu-lampu, mengunci pintu depan dan jendela-jendela yang lupa aku kunci, setelah itu memeriksa keadaan rumah. Kayaknya belum ada maling yang sempat masuk. Puji syukur Tuhan. Saking capek dan kesalnya, aku sampai melupakan beberapa tanggung jawab. Kalau Mama tau, dia pasti akan menceramahi habis-habisan.
Aku menghela napas lesu, berjalan menuju ke dapur untuk mengisi perutku yang terasa kosong. Di sekolah pun tadi aku nggak sempat makan pada jam istirahat sebab lebih memilih menghabiskan waktu di perpustakaan bareng Heri sembari coba mencari ketenangan. Sejak ditinggal Mama pergi, yang aku makan cuma roti, mie instan, juga beberapa makanan siap saji yang kupesan dari luar. Inginnya sih aku makan sambil jalan-jalan bersama Aza supaya kami bisa tampak berkencan sesekali. Tapi... ah, sebaiknya aku jangan memikirkan Aza dulu.
Aku melahap roti yang kuolesi selai kacang dengan pelan. Kalau sudah begini, aku kangen Mama dan segala masakannya.
"Ma, cepet pulang," rengekku merasa sedih.
Rasanya sepi sekali. Seperti tak memiliki siapa-siapa. Tak ada yang bisa kumintai bantuan atau dijadikan tempat bersandar. Aku benar-benar lelah dengan semua ini.
Selesai memakan roti dan merasa sudah cukup kenyang, aku kembali ke kamar dengan perasaan yang sedikit membaik. Mendudukkan diri ke tepi ranjang, aku melihat jam dinding yang kini menunjukkan pukul dua lewat beberapa menit. Aku menghirup napas banyak-banyak, menciumi aroma kurang sedap dari badanku sendiri. Baru sadar, aku kan belum mandi sejak pulang sekolah tadi gara-gara tidur.
Aku mendengar nada dering pesan yang berbunyi dari dalam tas yang tergeletak di dekat kursi belajar. Aku membungkuk untuk mengambilnya, merogoh kantung tas bagian depan dan mengeluarkan hape dari sana. Yang bikin aku heran adalah ketika melihat keterangan adanya 21 chat masuk dari beberapa aplikasi yang kumiliki. Ini semua bukan iklan kan?
Aku mengernyit sembari mulai membuka isi chat itu satu per satu. Membuat aku tertegun, dengan mata membulat setelahnya. Semua pesan-pesan ini berisikan kata-kata; 'Happy birthday', 'Met ultah', 'HBD', dan semacamnya. Jadi...
"Ini hari... ulang tahunku?!" aku berseru konyol lebih-lebih pada diriku sendiri.
Ternyata rasa capek dan kesalku benar-benar membuatku lupa. Lupa dalam arti sesungguhnya. Dari lupa mengganti seragam, lupa makan, lupa beres-beres, lupa mandi, bahkan sampai melupakan hari lahirku sendiri. Aku jadi tertawa pelan, sedangkan mataku tetap fokus ke layar hape, membaca dua pesan yang tersisa sambil mengulas senyum sumringah.
Rupanya pesan yang paling duluan masuk ke hapeku adalah pesan dari nomor kak Lily. Aku merasa bahagia mendapati ucapan ulang tahun darinya. Ketika berniat membalas pesannya, aku sadar bahwa sudah nggak ada chat masuk yang tersisa.
Seketika senyuman dan tawa bahagiaku langsung sirna selekasnya aku membaca ulang seluruh pesan. Kuperiksa ulang sekali lagi pesan-pesan itu, pun hasilnya tetap mengecewakan. Nggak ada pesan dari Aza untukku. Nggak ada sama sekali. Missed call atau sms atau e-mail atau apapun... gak ada.
"Kamu gak ingat hari ultahku, Za?" tanyaku lirih dengan pandangan yang mulai memburam. Tanganku meremas hape kuat-kuat.
Kenapa akhirnya harus selalu semenyakitkan ini? Apa harapan ini lebih baik aku lepaskan saja?
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top