Kinasih/KCiK 25
Resti tertegun menatap sahabatnya yang tengah memohon dengan mata semakin mengembun. Ia meraih tangan Sekar mengajak wanita itu kembali ke tempat duduk semula.
"Minum dulu!" Ia menyodorkan segelas air putih pada Sekar.
Sejenak hening menyelimuti. Hanya sayup terdengar musik mellow membuat suasana semakin sendu.
"Sekar, dengar aku. Ini kabar gembira yang mereka harus dengar. Aku yakin dengan adanya anak itu, sikap Wisnu akan berubah," tutur Resti pelan.
"Aku belum mau berbagi dengan siapa pun saat ini, Resti. Tolong rahasiakan ini!"
Perempuan itu menarik napas dalam-dalam kemudian berkata, "Sampai kapan kamu bisa sembunyikan ini?"
Sekar mengangkat bahu kemudian menggeleng.
"Ini bukan anakku, Resti! Dia ada di sini bukan karena cinta, tapi karena bayang-bayang ...."
"Sekar ... aku tahu sakitnya hatimu, tapi kamu nggak boleh mengatakan itu. Dia anakmu dan kamu ...."
"Bukan! Dia bukan anakku. Ini bukan anakku, Resti! Kamu bisa bayangkan betapa teririsnya hatiku saat itu ... dia sama sekali tidak pernah memikirkanku!" potong Sekar histeris. Tangisnya kembali pecah, kali ini ia bangkit seraya menyeka pipinya yang basah.
"Kamu mau ke mana?"
"Entah! Kamu bahkan tidak menjawab permohonanku untuk sementara berdiam diri di rumahmu," jawab Sekar sengit. Ia terlihat kacau.
"Oke, kita ke rumah aku sekarang!"
Dengan menggunakan taksi daring mereka menuju kediaman Resti. Sepanjang jalan Sekar hanya diam dan sesekali mengusap air mata yang terus mengalir.
***
Wisnu masih bersama Mario dan Vano. Seperti biasa, mereka kongkow di cafe milik mereka bertiga. Sebuah cafe dengan desain modern berkonsep ramah lingkungan. Semua bahan dari kursi hingga hiasan dinding di tempat itu merupakan bahan daur ulang. Tentunya selain menu dan peralatan makan.
Setelah membicarakan bisnis, mereka santai sambil menikmati taman serta air terjun kecil di samping tempat itu yang masih menjadi bagian dari tempat nongkrong milik mereka.
"Jadi Delia mau nerusin bisnis kalian waktu itu?" tanya Mario seraya menyesap capuccino.
Wisnu mengangguk.
"Gimana Sekar istrimu?" Vano menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil menatap Wisnu.
"Kenapa tiba-tiba tanya soal dia?"
Pria berkepala plontos itu terkekeh.
"Aku salut aja, sebab sepertinya pernikahanmu terlihat baik-baik saja. Meski ...."
"Meski awalnya nggak baik, maksudmu?" potong Wisnu. Vano mengangkat alisnya kembali terkekeh.
Mario melirik ke arah Vano, lalu beralih pada Wisnu. Ia menanyakan bagaimana bisa selama itu Wisnu membiarkan istrinya begitu saja.
"Maksud kamu?" Wisnu tak mengerti.
"Mario tanya ... apa selama itu kamu membiarkan istrimu bersegel?" celetuk Vano dengan wajah lucu disusul tawa meledak Mario.
Menyadari kedua sahabatnya tengah meledek, dengan santai Wisnu menggeleng.
"Udah kok!"
"Udah?" Bersamaan Vano dan Mario bertanya.
"Kenapa? Kalian heran?"
"Bisa?" Mario menyelidik.
"Emang kalian pikir aku lemah syahwat apa? Sialan!" gerutunya.
Ucapan itu kembali membuat Vano dan Mario terbahak.
"Akhirnya nggak kuat kan kamu, Bro! Nggak usah sok lah!" sindir Vano seraya menyalakan rokoknya.
Sejenak mereka terdiam. Wisnu tiba-tiba teringat kejadian yang telah membuat luka di hati wanita itu. Mendadak ia merasa tidak nyaman. Hal itu dirasakan oleh Mario.
"Kenapa, Wis? Kok tiba-tiba berubah gitu auranya?"
"Nggak apa-apa," sahutnya datar.
"Masih sering kepikiran Laras?" Vano mengepulkan asap rokok ke atas.
Pertanyaan itu tak dijawab oleh Wisnu. Seolah sudah menduga, kedua sahabatnya itu diam tak lagi bertanya.
"Istrimu tahu kalau kamu ...." Vano menatap Wisnu serius.
"Tahu, dia tahu. Bahkan ... sangat tahu." Wisnu melirihkan kata terakhir.
"Lalu?" Lagi-lagi pria plontos itu ingin tahu.
"Dia ...."
"Dia protes? Marah?" desak Mario.
Wisnu menarik napas dalam-dalam kemudian menyesap kopi hitam yang tak lagi panas. Kedua pria di depannya itu saling melempar pandang memberi waktu untuk Wisnu menjawab rasa penasaran.
"Wanita itu aneh."
"Aneh?" Kembali Vano dan Mario bersamaan menimpali.
Mengangguk, ia menceritakan perihal permintaan Sekar untuk bercerai.
"Aku nggak mungkin menceraikan dia!" Pria berkaus polo putih itu mengangkat bahu.
"Dia sudah banyak memberi kebaikan juga cinta di keluargaku ...."
"Termasuk ke kamu?"
"Entah."
"Dia wanita yang baik, Bro. Aku yakin nggak semua wanita bisa seperti Sekar-mu itu!" tutur Vano.
"Itu satu alasan kenapa aku menolak menceraikan."
"Lalu kamu? Kamu mencintainya kan?" Mario bertanya dengan mata membidik tajam.
"Kalian belum tahu rasanya kehilangan saat semua rencana tersusun rapi! Kalian nggak merasakan bagaimana rasanya setiap hari dibayangi oleh wanita yang sangat kalian cintai dan ...."
"Wisnu! Berhenti hidup dalam bayangan Laras jika kamu nggak mau kehilangan Sekar! Kalau terus begitu ... aku rasa cepat atau lambat kamu akan kehilangan juga!" potong Vano.
"Aku sedang mencoba memantaskan diri sebenarnya. Kalian tahu kan, siapa Sekar dan keluarganya? Mereka orang yang agamis dan ... aku sebenarnya ...."
"Sebenarnya apa?" desak Mario.
"Sedang belajar untuk jadi suami yang baik meski ... mungkin belum bisa mencintainya!"
Hening, mereka bertiga saling diam. Ucapan Wisnu cukup memberi penjelasan seperti apa rumah tangga pria itu. Ada kekesalan terlukis di wajah kedua sahabatnya. Meski mereka tahu perasaan Wisnu, tapi mereka tidak setuju dengan sikap pria itu yang masih bermain dengan bayangan mendiang Laras.
Wisnu terlihat mengambil ponsel dari kantong bajunya, kemudian menghubungi seseorang.
"Apa dia masih sakit?" gumamnya.
"Siapa yang sakit?" Mario yang mendengar bertanya.
Wisnu tampak enggan menjawab.
"Sekar sakit?"
Meski terlihat enggan bercerita, tapi pria itu mengatakan bahwa pagi tadi Sekar muntah-muntah saat makan bubur ayam.
"Muntah?" tanya Vano seolah ingin penegasan. Pria berambut sedikit gondrong itu mengangguk.
"Jangan-jangan dia kayak kakakku ...."
Mendengar celotehan Vano kedua kawannya menatap penuh tanya.
"Kakakmu? Kenapa kakakmu?" Mario bertanya.
"Hamil lah, kenapa lagi coba!" jawaban Vano santai itu tentu mengejutkan Mario terlebih Wisnu. Namun, tak lama wajah Mario berubah jenaka. Ia menepuk bahu sahabatnya mengucapkan selamat.
"Apa-apaan sih kalian! Ngaco!" tangkis Wisnu.
"Kalau benar dia hamil, itu artinya kamu bakal jadi papa dan kamu punya keponakan, Bro!" jelas Mario tertawa menatap Vano.
"Dan itu artinya ... kita berdua masih bujang lapuk, woi!" seloroh Vano terbahak. Wisnu hanya menarik bibirnya ke samping. Ia tidak yakin dengan kesimpulan kedua sahabat yang menurutnya aneh itu.
"Wait! Kalian jangan berasumsi sembarangan dulu. Aku baru sekali dan itu ...."
Tawa keduanya kembali meledak.
"Meski sekali kalau tokcer, kamu bisa apa? Lagian dia istrimu, Wisnu!"
Kini senyuman lebar terpeta di wajah tampannya. Ada hati berharap sang istri benar-benar hamil seperti yang dikatakan dua pria yang masih terkekeh menatapnya.
"Papa pasti senang jika ini benar!" batinnya.
"Aku cabut dulu deh! Nanti aku kabari lagi yang sebenarnya terjadi!" Wisnu bangkit lalu melangkah meninggalkan kedua sahabatnya.
"Semoga kalian berbahagia, Bro!" teriakan Vano di balas lambaian tangan Wisnu.
***
Selepas Zuhur, Wisnu tiba di rumah. Ia langsung ke kamar untuk menemui Sekar. Namun, harapannya pupus karena sang istri tidak berada di kamar. Kembali ia menghubungi wanita itu seperti saat di cafe tadi. Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban dari ponsel Sekar. Pria itu tampak sedikit frustrasi.
Ia keluar kamar mencoba mencari tahu.
"Mbok, Sekar ...."
"Mbak Sekar pergi, Mas. Katanya sudah pamit ke mas Wisnu kalau Mbak Sekar mau ketemu temannya ...."
Mendengar penjelasan Bi Mirah, ia mengusap wajah kasar.
"Mbok tahu dia lagi sakit kan? Kenapa nggak dicegah?" sesalnya.
"Saya nggak tahu, Mas. Tapi tadi Mbak Sekar sepertinya baik-baik saja," jelasnya.
Wisnu mengangguk kemudian berkata, "Dia kasi tahu di mana rumah temannya itu?"
Bi Mirah menggeleng pelan.
"Oke, Bi. Saya pergi dulu!"
"Ke mana, Mas?"
"Cari Sekar!"
***
Resti bingung karena sejak siang hingga sore menjelang, Sekar menolak untuk makan. Wanita itu memilih memejamkan netra dan menghabiskan air mata.
"Sekar, kalau suamimu tahu kondisi kamu sebenarnya, dan aku membiarkanmu tidak makan, bisa-bisa aku dipecat!" gerutunya kesal.
"Dia nggak akan pernah tahu aku di sini, dan dia juga nggak akan berbuat seperti itu, Res!" balas Sekar datar, "kamu tenang aja."
"Tapi ini sudah sore, Sekar. Dia pasti bingung mau cari kamu ke mana, apalagi telepon kamu matikan."
"Aku akan pulang, tapi nanti kalau sudah lega," jelasnya.
"Kalau begitu, makan dulu aja yuk!"
Sekar menggeleng.
"Kamu bisa sakit, Sekar! Asam lambungmu bisa ...."
"Resti, tolong. Biarkan aku memberi keputusan atas diriku," mohonnya mengusap air mata.
Perempuan itu mendekat pada Sekar.
"Kamu sahabatku, Sekar. Aku pasti ada bersamamu dalam kondisi apa pun, tapi maaf untuk urusan kesehatan ... aku nggak mau kamu sakit! Kamu tahu setiap orang berhak berubah, paling tidak beri kesempatan untuk suamimu tahu kondisi ini."
"Jika bukan untuk Wisnu, setidaknya untuk calon anak kalian ... makan ya."
Sekar terisak, wanita itu mengepalkan tangan kuat seolah ingin menyalurkan perasaan yang berkecamuk saat ini.
"Aku benci keadaan ini, Resti! Harusnya dia bisa menerimaku jika dia enggan menceraikan aku. Bukan menyiksaku seperti ini!"
Resti memeluk tubuh sahabatnya. Matanya ikut berkaca-kaca.
"Apa aku perlu bicara ke suamimu?"
"Untuk apa? Nggak perlu! Aku nggak nggak mau terlihat lemah di matanya saat ini. Aku ingin dia pun bisa merasakan bagaimana ditolak!"
"Sekar? Kamu sadar apa yang kamu katakan?" timpal Resti menatap tak mengerti pada wanita di sampingnya.
"Aku tahu ini mungkin salah, aku bukan lilin yang bisa menyelamatkan orang lain dari gelap sementara aku harus terbakar!" sanggah Sekar masih dengan mata berair, "setidaknya aku ingin jadi diriku sendiri saat ini. Aku lelah mencintai tapi tak dianggap! Aku juga ingin seperti perempuan lain yang dicintai sepenuh hati, bukan wanita yang dianggap sebagai pelengkap!"
"Aku tahu, aku mengerti, Sekar."
Kedua wanita itu saling berpelukan.
"Lakukan saja apa yang menurutmu benar. Aku tahu kamu orang baik, dan tidak pernah lepas dari Tuhan."
***
Naah, yakaan ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top