Bab XXVIII Tujuannya datang

Romellia bingung untuk menyikapi situasinya saat ini. Bagaimana bisa dia menjadi orang yang berlutut di podium? Jangankan untuk menebak, untuk memahami situasinya saat ini, dia bingung. Apakah ini ilusi, mimpi atau kenyataan? Atau, apa dia memang benar-benar sudah gila? Mungkin, ini efek terkurung selama tiga hari tanpa tidur yang cukup. Iya, kan?

Carlos, Romellia tiba-tiba mengingatnya, ya, pengawalnya itu mungkin bisa menjawabnya. Jika ini nyata, pria itu pasti ada. Romellia segera mengikuti pikirannya, tapi nyatanya, tidak ada Carlos di mana pun.

Ini gila!

Romellia menggelengkan kepala dengan panik, apa yang barusan terjadi? Apa semua yang terjadi memang hanya halusinasinya, karena dia sudah gila? Tapi ..., oh, ayolah, ini terlalu nyata. Dia tidak gila, dia yakin saat ini dia dalam keadaan sadar sesadar-sadarnya.

Untuk memastikan itu, Romellia mengguncang tangannya yang terpasung kayu. Dia benar-benar merasakan rasa dingin dari sana. Matanya kemudian mulai menjelajah, seperti di mimpinya, pasung kayu itu tampak kotor karena debu dan darah. Di lengannya, ada jejak lebam dan luka yang mulai membusuk. Lebih parahnya, beberapa jari tangannya tidak lengkap. Meski rasanya agak terlambat, perlahan rasa sakit luar biasa di tangannya terasa.

“Argh.” Romellia segera menahan suaranya, tak ingin membuat keributan, karena ia yakin sekali, ini nyata.

Sekali lagi, ini nyata. Ia merapalkan kata-kata itu seperti obat penenang untuk rasa takutnya. Dia ... tidak ingin bahwa apa yang ia mimpikan menjadi kenyataan sekarang.

“Apa kau memiliki pidato terakhir yang belum tersampaikan?” Suara dingin yang terlampaui akrab, berbisik dengan datar di depannya. Romellia tak ingin mendongak, jika situasinya saat ini persis seperti apa yang dia lihat di mimpi, maka sudah pasti wajah pria yang mirip Gideon, sedang menatapnya dengan buas sekarang. Romellia tak kuasa melihatnya. Dia tak mau melihat penampilan Gideon yang mengerikan itu. Tidak sama sekali, cukup di mimpinya saja, dia tak ingin benar-benar melihatnya.

Ada.”

Romellia tersentak kaget. Dari mana suara itu berasal, saat dia sendiri diam?

Jika apa yang tertulis di kuil Dewi benar: bahwa setiap manusia dapat terlahir kembali di kehidupan yang baru, aku ingin terlahir tanpa pernah mencintaimu di sana.”

Suara itu gemetar, namun Romellia percaya, suara itu mencoba menghantarkan rasa benci yang luar biasa.

“Oh, Sayang,” Pria itu tertawa, seolah-olah dia baru saja mendengar lelucon terlucu sepanjang hidupnya. “Apa yang terjadi selama sepuluh hari kau ditahan di penjara bawah tanah? Apa para kesatriaku sangat baik padamu?” Pria itu menarik dagu Romellia untuk menatapnya, bahkan meskipun Romellia saat ini tak ingin menatapnya, matanya seolah tersihir untuk memelototi pria itu dengan ganas, sampai-sampai dia mampu merasakannya: amarah, kebencian dan rasa muak. “Sayang, kau selalu bilang kau sangat mencintaiku. Hanya karena sepuluh hari kita tidak bertemu, kau sudah tidak mencintaiku?”

Genggaman di dagu Romellia mengencang, wajah pria itu mendekat, dia berbisik dengan dingin, “Cintamu sangat dangkal.”

Romellia yang masih sadar, mengernyit. Ini ..., tidak pernah ada dalam potongan mimpinya? Apakah Gideon—tidak, apakah si Pria Berwajah Mirip Gideon ini pernah mengatakan sesuatu sebelumnya? Romellia sangat yakin, tidak pernah.

“Baiklah,” pria itu tertawa, dia melonggarkan genggamannya dan mengelus dagu runcing Romellia dengan lembut, yang jauh berbeda dari tatapannya yang seolah-olah ingin menelan hidup-hidup tubuh orang di depannya. Sentuhan itu membuat Romellia merinding, rasanya terlalu nyata. Rasanya sama seperti setiap kali Gideon melakukannya ketika mereka selesai bertarung di ranjang. Namun bedanya, Gideon-nya menatap penuh cinta. “Jika itu benar, maka aku yang akan mencintaimu. Tidak seperti saat ini—“

Najis,” Romellia meludahi wajah pria itu. Demi apa pun, itu bukan kemauannya. Dia benar-benar ingin mengutuk sekarang. Bagaimana bisa dia masih berani memprovokasi macan gila di depannya itu? “Jika itu terjadi, aku memilih untuk merasakan semua rasa sakit yang aku derita karenamu, Bajingan!!”

Pria itu tergelak, tawanya menguasai pendengaran Romellia. Setelah tawanya mereda, pria itu menatap Romellia dengan semakin buas. “Maka matilah, lagi dan lagi, Sayang. Berharaplah Romellia, kita tidak pernah bertemu. Karena jika itu terjadi, kita akan mengulangi tragedi yang sama.”

Seharusnya, bukan aku yang dipanggil monster. Seharusnya, aku berhasil membunuhmu malam itu. Bukan aku yang pantas kerajaan ini sebut sebagai penjahat. Tapi—

“Ya, ya ..., kita tahu betul siapa monster itu, bukan?” Pria itu tersenyum mengejek. “Dan kita tahu siapa yang pantas mereka sebut sebagai penjahat. Tapi Romellia, kesalahan siapa semua ini? Siapa yang memulai permainan konyol ini?”

Tak ada sahutan.

Pria itu tertawa. “Kau tahu, aku tidak pernah menyesal dalam kehidupan ini bertemu denganmu, bahkan, aku juga tidak akan menyesal jika kita mengulangnya dari awal lagi.”

Bajingan!”

Pria itu segera menghentikan tawanya, dan memunculkan wajah berwibawa di depan semua orang. Dia mengatakan sebuah pidato panjang lebar mengenai kebenaran dan keadilan. Penampilannya yang seperti itu persis sama seperti bagaimana Gideon berbicara. Pada titik ini, Romellia sedikit bingung, dia tidak bisa menampik bahwa pria itu adalah Gideon.

Pria itu berbalik—lagi—ke arah Romellia. “Jika kehidupan ini adalah kesalahan, aku tidak sungkan untuk mengulangnya, lagi dan lagi. Selama kesalahan itu adalah kau, Romellia. Aku akan bahagia.” Sekilas, sebuah senyuman ejekan terpatri. “Maka tugasmu, berdoalah agar Dewi mendengarmu. Berharaplah bahwa kita tidak akan bertemu, Romellia. Karena sampai ujung dunia mana pun, aku akan selalu ada di hidupmu ..., untuk membawamu pada kematian, Sayang.”
Dia mengambil pedangnya, dalam hitungan detik suara slash terdengar.

Kepala perempuan berambut pirang dengan tatapan sendu menggelinding di bawah kaki Romellia.

Argh!!!”

“Yang Mulia!” Seseorang mengguncang pundaknya.

Romellia mendongak, wajah Carlos yang pucat menariknya segera.

“Apa yang Anda pikirkan?” Mata pria itu bergetar takut.

Napas Romellia agak putus-putus. Dia masih terkejut saat melihat kepalanya terjatuh di tanah lapangan. Sial. Gambaran jelek itu sama persis dengan kematian sang antagonis di novel. Jadi, apakah mungkin mimpi itu adalah potongan adegan dari novel?

Atau, mungkin adalah masa depannya?

“Carlos!!” Romellia menangis, “Kenapa kau tidak datang dan menyelamatkanku? Kau pengawalku, kau harus membantuku!”

Carlos dalam kebingungannya, hanya bisa diam. Entah mengapa, ia merasakan perasaan penyesalan yang amat dalam saat mendengar Romellia berbicara kata demi kata, seolah-olah dia telah meninggalkan perempuan itu. Padahal, jelas-jelas dia sudah lama berdiri di sana dan memanggil namanya dengan panik.

“Kau dan Gerald, kalian berdua harus menyelamatkanku.” Tangis Romellia semakin memilukan, bagaimana bisa nasibnya begitu mengenaskan? “Kalian pengawalku, bukan?”

*

Gideon menatap lembaran laporan di depannya tanpa  fokus. Pikirannya terbagi-bagi, dan suara Markus yang menjelaskan laporan hanya sampai sebatas masuk-telinga-kiri-keluar-telinga-kanan. Dia tidak terlalu memperhatikannya.

“Jadi ..., dia menyuruh mereka untuk membunuhnya?”

Markus menahan desahan napas frustrasinya yang akan keluar di depan Putra Mahkota. Bukankah sudah jelas dia mengatakan itu—berulang kali?

“Ya, Yang Mulia. Putri Mahkota meminta Serigala Merah untuk membunuh perempuan bernama Anivirella.”

“Membunuhnya, ya?”

Markus tak menyahuti, ucapan itu bukan pertanyaan tapi pernyataan.

“Hm, membunuhnya ..., apa yang dia pikirkan?” Gideon menatap lembaran itu dengan tidak minat. Bahkan meskipun Romellia agak sinting dan kurang ajar, perempuan itu tidak pernah benar-benar melakukannya.

Selama ini, rumor bohong mengenai Romellia yang mencelakai para perempuan bangsawan tersebar seperti jamur di musim dingin, namun Gideon tahu betul, semua itu tidak benar.

“Yang Mulia Raja Salorei, memasuki ruangan.” Teriakan salah satu pengawal ksatria Raja terdengar dari pintu masuk ruang kerja Gideon.

Kedua pria yang tadinya sibuk dengan percakapan mereka berdiri terpaku, menatap sang Raja.

“Bisakah aku berbicara dengan putraku barang sebentar?” Suara itu tampak lesu. “Tuan Ludlow, bisakah Anda mengizinkan saya dan putra saya berbincang hangat? Hanya sebentar.”

Markus pulih dari kejutannya dengan linglung. “Ah, itu ..., maafkan atas rasa kurang peka saya, Yang Mulia. Mohon nikmati waktu Anda.” Markus bahkan langsung pamit tanpa memberi salam kehormatan pada Raja.

“Yang Mulia ...?” Dan Gideon lebih terkejut lagi.

Raja Abore mempersilahkan dirinya sendiri dengan santai, untuk duduk di kursi tamu yang ada di ruang kerja Gideon. Gideon mengikutinya dengan patuh, dalam keadaan bingung.

“Santai, Nak.” Raja Abore memberi senyuman tulus. “Pria tua yang duduk di hadapanmu bukanlah rajamu, tapi ayahmu.”

Gideon tampak malu mendengarnya. Dia tidak terbiasa dengan situasi hangat seperti itu. “Ada apa, Yang Mu—“

“Ayah.” Raja Abore mengingatkan dengan lembut.

Gideon masih kaku untuk memanggil pria di depannya itu dengan panggilan akrab. “A—ayah ..., ada apa?”

Raja Adore tersenyum saat melihat putranya berusaha bersikap sopan padanya. Matanya menatap dalam, seolah mencoba melihat ke inti diri putranya. “Apa akhir-akhir ini kau sengaja menghindari pertemuan, di mana aku juga berada di sana?”

Gideon kelabakan. “Tidak, Yang Mulia—maksudku, Ayah, tidak. Aku sama sekali tidak sengaja.”

“Ah, benar, tidak sengaja.” Raja Abore mengulangi jawaban retoris putranya. “Aku yang seorang Raja sepertinya kalah sibuk dengan seorang Putra Mahkota.”

Gideon seketika mengernyit, bingung harus menanggapi apa.

“Aku sepertinya terlalu merindukanmu sampai-sampai aku mendatangimu ke sini.”

Gideon menahan napas, apa sebenarnya yang pria itu coba lakukan?

“Nak, kita sudah lama tidak memiliki percakapan yang hangat sebagai Ayah dan Anak, bukan?” Raja Abore mengedarkan padangan, menghela napas tanpa disadari Gideon.
Beberapa waktu berlalu dengan keterdiaman mereka. Sampai kemudian, Raja Adore—lagi—yang mengawali percakapan. “Lalu, apa kabarmu?”

“..., tentu saja, baik, Ayah.”

“Syukurlah.” Raja Abore terdengar tulus saat mengatakan itu, dia menundukkan pandangannya, ragu-ragu untuk menatap putranya, yang bukan merupakan kepribadian seorang raja egois dan keras kepala yang sering dia lakukan. “Lalu, bagaimana dengan istrimu? Apa kabarnya?”

“Apa yang Anda coba lakukan?” Gideon akhirnya tahu tujuan rubah licik di depannya.

“Nak,” Raja Abore mendesah, lelah. Dia menatap putranya dengan sendu untuk pertama kalinya.

“Istri saya bukanlah hal yang perlu Anda ketahui.”

“Apakah salah seorang mertua menanyakan menantunya yang tidak pernah muncul di depannya, karena dia dikurung seperti seorang tahanan?”

Gideon menatap Raja Abore dengan marah. “Anda hanya seorang mertua. Apa yang saya lakukan adalah sebaik-baiknya seorang suami bersikap!”

“Tidak sepatutnya seorang suami memperlakukan—“

“Lucu sekali, ketika seorang pemain seperti Anda mengajarkan cara seorang suami bersikap.”

Keduanya terdiam. Raja Abore menarik napas letih, memijat dahinya yang mulai keriput. Dia berbicara dengan putus asa. “Terlalu banyak dosa yang aku lakukan di masa lalu, sampai-sampai aku tak berhak untuk menyesalinya. Tapi ketahuilah Gideon, aku tidak pernah menyesal menunjukmu sebagai seorang penerus.”

“Jika Anda lupa, saya memperoleh gelar ini setelah melalui seluruh hidup saya dengan perang berdarah.”

“Aku hanya menyesali satu hal, Nak.” Kali ini Raja Abore menatap langsung putranya. “Membiarkan Putri Amour menjadi istrimu.”

Keduanya melempar tatapan tajam.
Raja Abore kemudian berdeham. “Sebagai Raja kerajaan ini, aku menyesali sikapku yang tidak adil kepada salah satu rakyatku. Aku tidak bisa mencegahnya—“

“Ayah!” Gideon untuk pertama kalinya meneriaki ayahnya dengan frustrasi. “Kau bahkan gagal menjadi seorang ayah!”

“Karena itulah aku menyesali hidupku, Nak.”

“Keluar!” Gideon menahan geram. “Selagi aku masih menghormatimu, keluarlah, Ayah.”

Raja Abore tersenyum kecil, terlampau kecil sehingga putranya tak melihat senyumannya. “Apa kau sama sekali tak memberi kabar pada keluarga gadis istrimu?” Gideon yang mendengar pertanyaan itu, menatap Raja Abore dengan kesal. “Oh, sepertinya aku melakukan kesalahan.”

Raja Abore berdiri, bersiap meninggalkan kursi empuk yang didudukinya tadi. “Terima kasih untuk waktumu, Nak. Dan, uh, bersiaplah menyambut mertuamu. Dia sepertinya akan membuat pawai heboh di istana ini.” Sebelum pria tua itu benar-benar pergi dari hadapan Gideon, dia mengulas senyum kemenangan hingga matanya menyipit serupa bulan sabit. Sialnya, itu berhasil menyulut ego putranya.

Ya, memang ..., itu tujuannya datang.

*

Tbc, 09/06/21

So, sorry, bab ini seharusnya sudah lama di update. Tapi karena saya mengalami kendala teknis alias seluruh ketikan saya kehapus, saya jadi males update :(

Sekaligus, saya mau bilang, untuk ke depannya cerita ini mungkin akan mempercepat plotnya. Jadi, jangan kaget ;))

Thanks for reading!
*sorry for typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top