Bab XXII Sulit sekali untuk bahagia


Gideon tidak datang malam itu, dan di malam-malam berikutnya.

Tiga hari Romellia menanti di kamarnya. Tapi, pria itu tidak pernah muncul. Meski Romellia selalu memberi pesan melalui Markus, Gideon tetap tidak muncul.

"Leine," keluh Romellia mengaduh pada Leine seperti anak kecil pada ibunya, "Apa Gideon masih marah padaku?"

Leine menghela napas, mengelus punggung Putri Mahkota yang menangis sambil memeluk erat pinggangnya. Bahu gemetar Romellia bahkan membuat Leine sedikit terguncang.

"Aku sudah minta maaf waktu itu," Romellia menarik ingus yang akan berceceran dari hidungnya. "Aku sudah menunggunya setiap malam. Tapi ... tapi dia tidak datang lagi."

"Bukankah Tuan Ludlow mengatakan bahwa Yang Mulia Putra Mahkota sedang sibuk, Yang Mulia?" Perkataan Leine tidak berdampak baik, justru memicu tangis Romellia semakin kencang.

"Apakah di malam hari juga akan sesibuk itu?"

"... mungkin." Leine tidak tahu, tapi jalan amannya adalah berbicara seolah-olah dia tahu. "Pekerjaan Yang Mulia pasti sangat banyak."

"Dan itu bisa menjadi alasan untuk tidak menemuiku?" Romellia menengadah, memandang wajah Leine dengan memelas. "Tidak menemui istri-sejak-empat-harinya? Begitu?"

Leine hampir saja memijat dahinya, untung dia segera sadar. Sebelum dia membuka suara, Romellia telah lebih dulu bangkit dari kursi meja riasnya.

"Aku akan menemuinya!" Sorot mata Romellia berapi-api, dan Leine yakin malam ini dia akan kesulitan untuk tidur.

***

Romellia datang dengan kesurupan di istana Zarzuq. Menerobos masuk ke dalam kamar pribadi Gideon tanpa mengetuk apa lagi meminta izin, menimbulkan suara benturan keras di pintu.

Apa yang dia temui hampir membuatnya memaki keras. Gideon tengah menarik selimut untuk tidur—dan gerakkan itu terhenti karena kehadirannya yang tiba-tiba.

Romellia segera berjalan ke arah ranjang Gideon dengan berapi-api, akumulasi dari kesal, marah, malu dan rindu. Wajahnya memerah. Bisa-bisanya pria itu berniat tidur ketika dia sedang menunggunya.

Dia menegang saat menyadari alasan-alasan kesibukan beberapa hari yang didengarnya adalah alasan untuk menghindarinya. Sial. Dia menunggunya di sana dengan penuh harapan, tapi lihat, pria itu malah bersiap tidur dengan nyaman.

Hati Romellia bergetar saat dia meneriaki Gideon. "Kau bajingan! Kau brengsek! Aku menunggumu selama tiga malam! Tapi kau ... malah tidur sendirian tanpaku!"

Jari-jari Gideon yang bersiap menarik selimut untuk menutupi dirinya, segera mencengkeram erat, menjaganya tetap di sana, tidak memberi ruang Romellia untuk melonggarkannya—jika perempuan itu berniat menarik paksa untuk menambah kehebohannya. Benar, dia sudah menahannya dan malam ini dia masih bisa menahannya. Apa sulitnya? Dulu dia bisa untuk tidak—Romellia memanjati ranjang, menaiki tubuh Gideon yang masih terbaring dengan selimut yang menutup setengah dan duduk di atas perut pria itu.

"Aku sudah minta maafkan," suara sendu Romellia dan ekspresi penyesalannya tidak sesuai dengan posisi memalukan yang dia lakukan. "Apa itu belum cukup ... suamiku?"

Gideon mengerjap, tersentak ketika Romellia mulai menangis. Hei, dialah orang yang mengusirnya dengan kejam malam itu, lalu kenapa seolah Gideon yang melakukan itu?

"Aku ingin tidur bersama suamiku. Aku ingin malam pertama kita yang tertunda." Suara Romellia terdengar tegas di sela tangisnya. Dia sudah menyiapkan segalanya selama beberapa hari belakang. Mandi bunga, mandi susu, mandi madu. Membakar dupa wewangian yang menaikkan hasrat. Bahkan memikirkan gaya panas untuk malam mereka. Dia sudah sangat menyiapkan segalanya. Tapi Gideon malah tidak pernah datang padanya setelah hari itu. Jangan salahkan dia soal itu, dia juga terpaksa!

Wajah Gideon menjadi suram. Kejadian sewaktu malam pertama itu mengejeknya lagi. Betapa kesalnya dia ketika mengingat Romellia mendorongnya menjauh seolah jijik dengan sentuhannya. Pria itu menertawakan dirinya. Bisakah dia mempercayai kata-kata Romellia? Perempuan itu mungkin berniat menipunya lagi.

Ketika Gideon tenggelam dalam pertimbangannya, Romellia telah melakukan pergerakan lain. Dia bergerak turun. Rasa percaya dirinya sudah pupus. Dia tidak berani lagi untuk bertindak agresif pada pria itu.

Gideon segera menahan tangannya. Ini dihitung sebagai membuka pintu, bukan? Tandanya Gideon tidak akan mengusirnya, bukan? Oh, ayolah, Romellia sudah merasa sangat malu dan akan bertambah malu jika setelah ini dia akan diusir dengan kata-kata yang lebih kejam.

Gideon menatapnya dengan pasrah, menghela napas, dia menarik Romellia ke dalam pelukannya. "Maaf." Hanya satu kata itu yang terucap tapi berhasil membuat seluruh tangis Romellia pecah. Hidupnya, takdirnya, berakhir tragis. Dia meninggal muda di kehidupan pertama tanpa pernah bergelut dalam percintaan. Ketika diberi kesempatan untuk bercinta dalam kehidupan keduanya, akan selalu saja ada yang mengacaukannya.

Gideon mengusap punggung Romellia dengan pelan dan halus. "Maafkan aku. Maafkan aku ..." Nadanya lembut, tidak menuntut atau berpura-pura menyesal. Dia menarik Romellia ke sisi ranjangnya yang kosong dan masih memeluk perempuan yang tengah menumpahkan tangis di dada setengah telanjangnya yang mencuat di sela-sela piama tidur.

Romellia tidak peduli lagi, dia memeluk erat Gideon sambil terus menumpahkan rasa frustrasinya selama ini. Kenapa sulit sekali untuk bahagia?

***

Romellia terbangun ketika suara langkah sepatu berat terdengar sangat dekat dengan telinganya. Rasa dingin yang membekukannya di pipi, membuat dia terpaksa membuka mata.

Dalam sekejap, Romellia menyadari bahwa posisi tidurnya sekarang berada di lantai yang kotor, dan ingatan bahwa dia seharusnya tidur di kamar Gideon membuatnya ingin segera bangun.

Akh! Geraman menahan sakit keluar dari bibir—tidak, dia tidak bisa bersuara. Jeritan kesakitan itu hanya bisa sebatas batinnya yang bergejolak.

Sedikit saja pergerakan yang dilakukannya, Romellia akan merasakan sakit yang teramat di bawah kulit-kulitnya. Ketika dia akan mengangkat tangan, Romellia menyadari bahwa tangannya terpasung kayu. Ada apa ini?

Langkah kaki yang di dengarnya tadi berhenti di depan wajah Romellia. Hanya berjarak beberapa milisenti, sedikit lagi, ujung sepatu berat itu akan mengenai pupil mata Romellia.

Romellia menjerit, sekali lagi dalam batinnya. Dia ingin menjauh dari kaki itu, tapi gerakannya tidak lebih dari hanya menghasilkan rasa sakit. Bahkan menarik napas sudah sama rasanya di tusuk puluhan jarum di ulu hati.

"Sudah bangun?" Suara seorang pria yang bertanya dengan nada mengejek membuat Romellia membeku.

Gideon?

Romellia mendongak, menatap wajah dingin yang tersenyum ... keji padanya.

"Bangun dan berdiri." Romellia menggigil ketakutan ketika tatapan mata Gideon terasa seolah pria itu akan menelannya hidup-hidup. "Perlu aku bantu?" Gideon tertawa. Tawa yang terdengar tidak menyenangkan baginya.

Pria itu menjambak rambut Romellia—yang membuat perempuan itu merintih kesakitan, setiap helai rambutnya yang disentuh membawa rasa sakit irisan pisau tajam di kulit-kulit kepalanya.

Gideon membawa wajah Romellia untuk menatapnya langsung. Pria itu terkekeh dengan seringai lebar.

Ini tidak mungkin! Gideon-nya tidak mungkin ...

"Apa yang bisa kau lakukan sekarang?"

Romellia tidak bisa menjawab. Pertama, tenggorokannya perih, mulutnya kering dan bibirnya terasa sakit. Kedua, dia kebingungan. Apa-apaan semua ini? Kenapa dia—Romellia terbelalak ketika mendapati penampilan tubuh bagian bawahnya kotor dan berbau busuk. Gaun yang entah berwarna apa itu bercampur debu dan darah, membentuk kain kumal yang tidak mungkin akan dipakainya, jika bukan ... jika bukan gaun itu tidak pernah digantinya selama berhari-hari.

Gideon tertawa lagi—entah karena apa, tapi yang pasti suara tawanya terdengar semakin menakutkan. Romellia membungkuk sedikit, sebisa mungkin ingin menjauh. Gideon di depannya bukan lagi ...

"Romellia!" Elusan halus di pipinya terasa hangat dan nyaman. "Romellia!" Dorongan tangan itu lembut, tapi mengganggu. "Romellia!" Suara hangat Gideon menyentak Romellia.

Hei. "... argh! Menjauh!" teriak Romellia.

Gideon mengerutkan kening. Wajah pucat dan keringat yang berjatuhan di dahi Romellia membuatnya ingin membantu menghapus jejak basah itu. Tapi tangan perempuan itu memukul kasar tangannya.

Bahu Romellia gemetar dan matanya memerah. Gideon menyimpulkan dia pasti bermimpi buruk.

"Hei, ini aku. Suamimu," suara hangat Gideon berusaha meyakinkan Romellia. "Ada apa? Jangan takut, ini aku."

"... hhh ... Gi-hhh... hhh... Gi-hhh...."

Romellia mencoba menarik napas. Pelan-pelan mencoba rileks seperti ajaran Madam Florie dengan mengambil dan membuang napas secara teratur saat terserang panik. Lalu matanya menatap penuh selidik pada Gideon di depannya yang sudah rapi dengan seragam militer biru tua gelapnya.

"Ada apa?" Gideon menaruh tangannya di punggung Romellia, mengelusnya pelan dan hati-hati. Mimpi itu pasti buruk sekali.

Romellia masih linglung, sangat ragu-ragu menyimpulkan seluruh situasi.

Gideon ini ... apakah dia nyata? Gideon yang tadi ... siapa?

"Aku akan memanggil dokter Kerajaan," Gideon semakin khawatir dengan Romellia yang menjadi bungkam. Tapi langkahnya terhenti ketika Romellia meraihnya dan menggeleng pelan. "Aku hanya akan memanggil Markus yang berada di depan, aku tidak per—"

"Tetap di sini." Dan yakinkan aku kalau kau suamiku yang nyata. Bukan orang jahat tadi.

Gideon menarik Romellia ke dalam pelukannya, mengelus kembali punggungnya, bahkan menepuknya dengan lembut. Napas perempuan itu telah teratur dan Gideon sadar, dia telah tertidur kembali dengan cepat.

"Siapa di luar?" teriak Gideon.

"Saya Leine, Yang Mulia," sahut suara dibalik pintu kamar mereka.

"Masuk," perintah Gideon.

Leine melangkah masuk dengan pemandangan Romellia yang berada dalam pelukan Gideon. Pria itu seperti patung, gerakan bernapasnya bahkan tidak terlihat, seolah takut Romellia akan terbangun karena itu.

"Panggilkan Veronica. Ah, tidak. Panggilkan dokter kediaman Amour," ucap Gideon, "dan bantu menyiapkan Romellia untuk berbaring nyaman di kasur."

Seluruh pelayan telah berhasil menidurkan tubuh Romellia dengan hati-hati di atas ranjang, agar dia tidak terbangun atau terkejut.

"Beri tahu Romellia jika dia mencariku, aku sedang menghadiri rapat pengadilan di Kementerian Keamanan. Aku akan pulang saat malam." Meski berbicara kepada Leine, Gideon tidak menoleh tetapi mengunci pandang pada penampilan Romellia yang terlelap dengan damai. Sangat damai. Berbeda ketika dia baru saja selesai berpakaian dan mendapati perempuan itu berkeringat, dan meringis dalam tidurnya.

"Aku akan pulang sebelum malam," putusnya tiba-tiba.

***

Sir Fraun, dokter kediaman Amour, memiliki firasat buruk ketika ketukan pintu buru-buru di rumahnya terdengar. Saat itu dia baru saja memberi makan burung-burung merpatinya. Dan Markus menerobos masuk dengan tidak sopan. Tapi karena Sir Fraun memiliki pengalaman buruk dengan ksatria tidak sabaran itu, dia hanya bisa pasrah bahkan ketika Markus memilih menggendongnya ke kereta istana. Dia diam saja.

Tidak ada komentar, tidak ada pertanyaan. Kerjakan apa yang perlu dikerjakan. Itu kontrak tidak tertulis antara mereka. Sir Fraun memilih mengikuti dibanding protes, bisa-bisa ksatria bernama Markus Ludlow itu akan menghisap seluruh darahnya jika dia mencoba bersuara.

Tapi menghadapi Romellia Rozenct Amour secara langsung nyatanya lebih menakutkan dibanding berhadapan dengan Markus. Tangan pria itu gemetar hebat saat mencoba memegang nadi Romellia.

"Ya-yang Mu-mulia Putri Mahkota da—lam ke—adaan b-baik-baik saja. Ti—dak a-ada yang perlu dikha—watirkan," suaranya sekarat.

"TIDAK ADA?!" adalah Markus yang bertanya dengan bentakan.

"Ti—dak a-ada."

Markus tidak lagi berkomentar tapi matanya memelototi Sir Fraun dengan terang-terangan. Tidak tahu kenapa, setiap kali melihat orang tua itu, dia menjadi gampang naik darah.

"Yang Mulia, jika Anda masih memiliki keluhan lain mohon untuk dikatakan," Leine tidak ingin menanggapi seperti apa situasi antara Markus dan Sir Fraun, mereka tidak penting di matanya. Meski yah, agak mengejutkan bahwa Markus yang terlihat seperti orang yang cukup sabar dan tidak mungkin marah, berubah menjadi orang gila yang cepat naik darah.

Romellia menggeleng lemah. Satu-satunya yang dia inginkan adalah semua orang meninggalkannya seorang diri sekarang. Dia butuh waktu untuk berpikir. Dia butuh fokus yang baik. Mimpi tadi ... apa itu benar-benar bisa disebut mimpi? Bagaimana jika bukan mimpi tapi masa depannya?

"Sa—ya a—kan me-meresepkan ra-mu—an."

Apakah itu firasat? Atau, apakah itu pertanda? Mungkin saja plot tidak pernah menyimpang?

"Yang Mulia, saya akan menyiapkan susu hangat untuk Anda. Katakan jika sesuatu yang tidak nyaman yang Anda rasakan."

Bisa saja Gideon akan menatapnya seperti itu, menatap buas seperti di mimpi buruknya tadi. Dia ... bukankah Gideon terlihat bahagia dengannya saat mereka menikah? Apakah dia akan berubah di masa depan?

"Saya akan mengantar Sir Fraun kembali."

"Apa harus menggendongnya seperti itu, Tuan Ludlow?"

Atau, apakah selama ini Gideon tidak bahagia? Dia hanya berpura-pura. Dia hanya mempermainkannya. Mungkin ... ya, mungkin dia ingin membalas 'Romellia' dengan menikahinya?

"Um, saya bisa berjalan sendiri, Tuan Ludlow. Terima kasih atas—"

"Anda terlalu lambat!"

"Tuan, saya pikir Sir Fraun cukup ku—"

"Tidak, tidak. Dia lemah. Lihat, kakinya sekali lihat akan tampak patah dan terlepas."

"Sa-saya baik-baik—"

"Anda! Kaki Anda akan patah jika berjalan!"

"... oh, oke?"

Jika benar, apakah ujung kehidupannya akan berakhir tragis seperti di novel? Gideon ... apa benar pria itu yang akan memenggalnya? Hei, itu terlalu sadis dan tidak berperi kemanusiaan. Jika di plot awal Gideon memenggalnya sebagai tunangan, itu masih agak baik-baik saja. Tapi istri? Novel ini benar-benar ...

"Yang Mulia! Kenapa Anda menangis? Yang Mulia? Tolong katakan sesuatu ..."

"Kau bilang Yang Mulia baik-baik saja, sialan! Lalu kenapa Yang Mulia menangis?!"

"... Saya dokter, Tuan. Saya hanya tahu gejala penyakit, bukan alasan mengapa Yang Mulia mena—"

"Jangan banyak alasan! Obati Yang Mulia secepatnya."

***

Tbc, 31/01/21

Makasih buat votenya ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top