Bab XVIII Nona Amour telah sadar


"Nona Amour telah sadar!"

Teriakan seorang pelayan memberi tahu. Nafas Romellia terdengar berat. Para dokter bergegas memeriksa denyut nadinya. Mereka tengah sibuk ketika Romellia mengangkat tangannya, meminta salah satu dokter yang merawatnya lebih mendekat.

"Ada apa Nona—"

Belum selesai pria paruh baya itu bertanya, kepalan tangan yang kuat mendarat di hidungnya. Membuat dia tersungkur tak sadarkan diri dengan mimisan. Berbeda dengan semua orang yang tampak terkejut, Romellia segera bangkit dan duduk di ranjang dengan wajah biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi.

Sial, dia seharusnya sudah meninju Gideon sebelum dia tidak sadarkan diri saat itu!

Juga, ada apa dengan mimpi setengah-setengah itu? Huh, jika dia diingatkan akan kehidupan masa lalunya, setidaknya buatlah sampai tuntas.

Bahkan dalam mimpi dia juga tidak beruntung. Kenapa juga saat lagi seru-serunya dia harus bangun tiba-tiba.

Keparat!

Romellia tidak menyadari, bahwa apa yang baru saja dilakukannya itu, sudah disaksikan oleh semua orang. Maksudnya, Gideon, Duke Amour, Arnold, Marquis Horison, Lily, Markus dkk, Leine dkk dan ... Raja Salorei, Abore. Dalam ruangan itu, entah mengapa ramai oleh orang-orang yang membuat Romellia benar-benar berharap untuk tidak sadarkan diri lagi. Oh, terang saja, dia langsung mewujudkannya dengan berpura-pura pingsan lagi.

Fuck! Kenapa juga bangunnya harus sekarang, sih?!

***

Pemakzulan, adalah tema rapat pagi itu, yang akan menjadi ke tiga kalinya. Tema sensitif itu membuat wajah Gideon sepenuhnya gelap. Tujuannya bukan untuk dia tapi untuk kekasihnya, Romellia-nya. Mereka—para bangsawan sialan itu, menginginkan calon Ratu baru atau setidaknya, seorang calon selir. Yang mana kedua pilihan itu membuat Gideon ingin sekali, sangat ingin, untuk mencekik satu per satu leher para menteri yang juga bangsawan itu.

Duke Amour juga ada di sana, di sebelah kanan, di tempat duduk kabinet menteri pendukung Raja. Wajahnya tidak terlalu murung, malah cenderung ceria. Bagaimana dia bisa sedih hanya karena pertemuan tentang pemakzulan putrinya. Tidak masalah, yang penting putrinya kemarin sadar sepenuhnya setelah sepuluh hari terakhir antara hidup dan mati.

Raja Salorei duduk di atas kursi kebesarannya, di mana Gideon juga berada di kursi perlambangan posisinya sebagai Putra Mahkota, di sisi bagian kiri kursi raja. Pria bermuka picik itu terlihat tampak semakin serius, Gideon tahu, penghalang terbesarnya sekarang adalah ayahnya sendiri. Jika para menteri kontra-pendukung Raja yang duduk di bagian kiri masih bisa diancam diam-diam setelah rapat, pria tua yang juga ayahnya itu bisa melakukan apa saja, dan tidak mungkin bisa diancamnya dengan mudah. Andai saja Kerajaan ini tidak memiliki aturan, Gideon sudah pasti membunuh Raja sejak dia tahu cara berbicara dan makan sendiri.

Keheningan yang terjadi saat itu bahkan lebih mencekam dibanding dua pertemuan sebelumnya di mana mereka nyaris bertengkar saat adu mulut. Tak ada yang berani buka suara, karena pria yang duduk di singgasana kerajaan, Raja Salorei, rupanya sedang berpikir serius. Seolah-olah pertemuan ketiga hanya untuk mendengarkan keputusan Raja mereka.

"Kita batalkan rencana perni—"

"Saya tidak terima!" Gideon telah berdiri dengan wajah berang, para pengawal Raja berdiri siaga. Tidak peduli meski dia Putra Mahkota, mereka memiliki hak untuk memenggal kepalanya jika melanggar batas. "Tidak ada yang bisa—"

"Aku bisa membawa Pangeran Govin kembali ke sini untuk menjadi Putra Mahkota jika kau ingin tahu apa yang ada dalam pikiranku." Raja Salorei sama sekali tak membuang waktu untuk bernegosiasi. Siapa peduli, dia rajanya di sini.

Gideon tercengang. Pangeran Govin, saudara tiri dari selir ayahnya, yang juga merupakan pesaing terberatnya. Dia bersusah payah untuk menyingkirkannya dengan membuat Govin diasingkan di bagian terjauh Kerajaan.

"Bagaimana?" Raja Salorei tidak peduli pembicaraan seperti itu disaksikan oleh semua orang. Lagipula, sebenarnya tidak ada yang namanya diskusi antar anggota di Kerajaan meskipun itu masalah pribadi.

Gideon tahu itu mungkin akan menjadi ancaman utama untuk menghalangi pendapatnya, tapi dia tidak bisa untuk tidak ikut licik seperti ayahnya itu. "Jika Anda membatalkan pernikahan antara saya dan Nona Amour, maka Duke Amour berhak menarik semua pinjamannya dengan semua bunganya pada hari keputusan akan dibuat."

"Dan menurutmu itu dapat mengancamku?"

"Mengapa tidak, Yang Mulia," tantang Gideon. "Bukankah Anda sendiri pernah menjual putra Anda untuk itu?"

"Ya, kau benar, tapi sekarang aku punya lebih banyak uang untuk membayarnya." Pernyataan itu membuat Gideon kehabisan cara. "Apa yang bisa kau lakukan sekarang?"

Gideon tertawa seperti orang sinting. "Tidak masalah. Silahkan makzulkan saya juga."

"Gideon!" teriak Raja Salorei. Dia mengira putranya akan mundur seperti biasa.

"Bawa Pangeran Govin, Yang Mulia," kata Gideon dengan santai, "Saya sendiri akan menyerahkan kekuasaan saya."

Raja Salorei terkekeh dengan nuansa mengerikan. "Baiklah, kau boleh menikahinya. Tapi kau juga harus memiliki selir dan memilihnya juga pada saat ini."

"Saya menolak!" Gideon menjawab dengan lugas.

Raja Salorei meremas pegangan kursinya dengan kuat. Putranya yang gila baru saja keluar dari pikirannya. "Apa yang kamu coba lakukan, Putra Mahkota?" tanyanya dingin. "Menurutmu siapa pun bisa mengubah keputusanku?"

Para menteri di ruangan itu tahu bahwa itu ditujukan kepada mereka juga, sebuah ancaman tersirat, dan kedengarannya cukup berbahaya. Jelas bahwa mereka tidak bisa menuruti ancaman Putra Mahkota—yang tampaknya lebih mudah dihadapi daripada raja hutan mereka, untuk membantunya.

"Lagi pula, perempuan yang sakit tidak bisa memberikan keturunan yang baik untuk Kerajaan. Apakah sulit menemukan perempuan lain?" tambah Raja Salorei.

"Tapi dokter telah mengatakan bahwa itu bukan karena tubuh Nona Amour sakit," bantah Gideon bersikeras.

"Itu hal yang paling aneh, asal kau tahu saja."

"Tapi saya bisa mengubahnya, Yang Mulia," sela Duke Amour tiba-tiba. Senyum cerahnya merekah dengan cara yang tidak menyenangkan untuk Raja Salorei. Temannya tahu bahwa ketika dia tersenyum seperti itu, itu pertanda dia sudah banyak mempersiapkan diri untuk Raja.

Duke Amour tidak akan tinggal diam, melihat bahwa calon menantunya itu masih mau menerima putrinya yang aneh, juga mengingat bahwa Romellia sudah berjuang dengan susah payah, upaya mereka telah mencapai titik hampir berhasil. Tidak pernah ada sejarah dalam darah keturunan Amour yang agung untuk tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Termasuk mendapatkan Gideon dan tahta Kerajaan.

"Duke Amour ..." Tatapan Raja Salorei berubah seperti serigala pemburu yang tidak ingin melepaskan mangsanya. "Apakah tersinggung dengan fakta yang dijelaskan?"

"Tidak, Yang Mulia, tapi saya hanya ingin mengubahnya."

***

Gideon masih memikirkan kejadian heroik Duke Amour yang membantunya dan mengubah seluruh keputusan. Orang tua itu diam selama ini, nyatanya, dia memiliki sesuatu yang bahkan bisa membuat seorang raja tidak bisa bergerak. Ketika dia bertanya saat mereka dalam perjalanan pulang, Duke Amour hanya menjawab sekilas seperti angin lalu, "Ini rahasia untuk orang tua, anak muda tidak perlu tahu. Bagaimanapun, Yang Mulia dan saya juga pernah muda dan nakal." Orang tua itu menutup pembicaraan mereka dengan senyuman aneh.

"Berhenti memaksaku minum racun itu," bentak Romellia pada Leine.

"Ini bukan racun, Nona. Ini obat. Tolong diminum," sahut Leine keras kepala. Dia dengan sangat sopan memasukkan sesendok cairan ramuan setelah dengan paksa membuka mulut Romellia, yang mengumpat di kepalanya karena ketidakberdayaan tubuhnya sekarang. Dia tidak bisa melawan karena dia terlalu lemah.

Gideon memperhatikan kedua perempuan gila di depannya itu yang tidak pernah diam barang sejenak. Apakah dia baru benar-benar sadar bahwa keduanya terlihat mirip? Dalam hal kepribadian yang tidak menyenangkan, mereka benar-benar membuatnya pusing.

"Biarkan aku yang memberikannya." Gideon mengajukan diri. Dia pusing melihat keduanya berinteraksi satu sama lain sebelumnya. Leine melepaskan tugasnya dan mengundurkan diri setelah merasa bahwa dia akan mengganggu mereka.

Romellia memelototi Gideon. "Aku tidak ingin minum lagi."

Gideon meneliti mangkuk ramuan yang hanya berisi beberapa sendok tersisa. Dia menyerah dan menyingkirkan mangkuk itu. Tingkah lakunya yang sabar membuat Romellia terkejut. Hei, ini adalah kesempatan bagus untuk membuat pria itu marah.

"Kirimkan surat ke kediaman Horison bahwa aku ingin Marquis Horison datang menemuiku lagi," perintah Romellia dengan arogan. Hehehe, dia sudah mengetahui salah satu titik lemah Gideon. Seorang pria tidak suka jika pria lain lebih hebat darinya.

Gideon memberikan tatapan tajam. "Untuk apa bertemu dengannya?"

"Uh, aku terlalu lemah dan butuh kekuatan," suara centil Romellia dibuat sedemikian rupa. "Aku butuh energi dari hanya melihatnya."

"Apa aku tidak cukup?"

"Aku lebih suka Marquis Hori—"

"Minumlah ini." Gideon meraih mulut Romellia dan memaksanya untuk minum langsung dari mangkuk dengan paksa.

Romellia menatap dengan marah. Pria sialan!

Kekuatan Gideon bukanlah lawan kecil bagi Romellia. Secara paksa, cairan pahit melewati mulutnya dan langsung membuat Romellia berteriak minta air.

Melihat perempuan itu tersiksa, Gideon mau tidak mau menggodanya. Dia mengambil secangkir air tetapi tidak segera memberikannya kepada Romellia.

"Berikan itu!" pinta Romellia sedikit merengek. Huek, dia berharap besok lidahnya mati rasa jika harus meminum ramuan itu lagi nanti.

"Katakan sesuatu yang dapat membuatku bahagia."

Huh? Brengsek, mana sudi dia. "Berikan itu!" teriak Romellia. Ya, ampun. Kenapa juga malah dia yang jadinya dibuat marah?

"Katakan sesuatu yang dapat membu—"

"Aku mencintai ..." Romellia memandang Gideon dengan agresif. " ... Aaron Horison, yang tampan!"

Bagus! Itu berhasil membuat wajah Gideon memerah dan mungkin mengeluarkan asap dari kepalanya. "Katakan sesuatu yang—"

"Aku sangat ingin menikah dengannya!"

Baiklah, jika itu maunya Romellia. Gideon menjauhkan cangkir air—tunggu, dia mendapat ide bagus, ada baiknya dia meminum semua air dalam ruangan itu tanpa bersisa. Terang saja, dia berhasil membuat Romellia mengumpatinya tanpa jeda.

"Kupikir," kata Romellia dengan marah, "memang Marquis Horizon lebih baik darimu!"

Oh, benarkah?

Gideon meninggalkan Romellia sendirian dengan pintu dibanting keras setelah dia keluar. Tapi setelahnya, pria itu menemukan ide untuk membalas perbuatan Romellia. Untuk apa dia repot-repot marah jika bisa membuat perempuan itu menangis karena pengobatannya? Dia juga akan membuat peraturan agar Romellia—bukan, mereka untuk menghemat air dan tidak boros ke depannya.

***

Romellia sehat kembali, duduk bersandar dengan wajah sombong di tempat tidur karena baik ayahnya maupun kakaknya tidak percaya dia baik-baik saja. Tentu saja, dia baru sadar kemarin dan pulih dalam waktu singkat berkat Gideon yang marah.

Omong-omong, terima kasih untuk Gideon. Bajingan itu lebih ampuh daripada ramuan dokter tua bangka sialan milik kediaman Amour. Orang tua itu harus berterima kasih kepada Romellia yang sembuh dengan cepat. Entah berapa banyak hadiah yang diberikan oleh dua pria berdarah Amour untuknya itu. Padahal ramuan dokter sialan itu lebih mirip racun, sejujurnya.

Tapi ada buruknya juga dia jadi pulih lebih cepat. Masalahnya, wajah serius Gideon yang menatap kedua pria Amour di depannya membuatnya gugup. Mengapa mereka terlihat seperti berada dalam pertemuan darurat sebelum perang? Wajah mereka terlihat menyeramkan.

Ketiganya duduk di sofa yang disiapkan di ruangan tempat di mana Romellia di rawat. Romellia sedikit risih soal ruangan yang ditempatinya, dia ingin cepat-cepat pulang. Berdasarkan penjelasan Leine, ruangan itu hanya boleh ditempati anggota kerajaan dan dia baru saja menempati ruangan itu tanpa status yang jelas—yang justru membuatnya takut jika diberi status jelas untuk bisa berada dalam ruangan itu.

"Menurut saya ini pembicaraan yang terlalu terburu-buru, Yang Mulia," kata Duke Amour membuka percakapan. Romellia dengan hati-hati memasang telinga untuk mendengarkannya. Dia berjarak agak jauh dari ketiga orang itu.

"Kita tidak punya waktu untuk menunda lagi," sahut Gideon, "malam perayaan debutan ini, aku berhasil mendesak Raja untuk mengumumkan pernikahan kami."

Apa-apaan?! Romellia langsung mendekati ketiganya yang mana membuat tiga pria itu langsung panik—takut-takut Romellia akan collapse.

"Aku tidak mau menikahimu!" Romellia berkacak pinggang dengan kesal. "Sudah kubilang aku tidak ingin menikahimu!"

"Romellia!" Duke Amour tahu putrinya baru saja sembuh tapi salahkah jika dia berharap perempuan itu pingsan saja dulu, dia malas melihat ulah putrinya lagi. "Sebaiknya kau—"

"Tidak, Ayah." Romellia membantah dengan sikap tegas. "Pria brengsek ini harus diberitahu!" Duke Amour sangat ingin membekap mulut putrinya yang kurang ajar. "Aku tidak mungkin menikahinya ketika aku mencintai—"

"Kau berselingkuh dariku?" Gideon berang, "sudah kuduga—"

"Hey, siapa yang berselingkuh? Jangan menuduhku dengan omong kosongmu! Lagi pula, siapa kau?"

"Aku tunanganmu dan calon suamimu," Gideon menyahut cepat. "Jelas sekali kau berselingkuh—"

"Sudah kubilang, aku—"

"Tunggu!" sela Duke Amour pusing. "Bisakah kalian berbicara tanpa bersikap kasar? Ini benar-benar tidak berkelas. Dan Arnold, berhentilah tertawa. Dasar anak kurang ajar! "

Jika Duke Amour pusing untuk meredakan percakapan tegang antara Romellia dan Gideon, maka Arnold, yang mengerti bahwa itu adalah kesalahpahaman yang lucu, telah tertawa selama itu. Dia senang melihat pertarungan mereka.

"Siapa pria itu?" Gideon bangkit dari kursinya dan melangkah dengan dingin menantang Romellia. Hal ini membuat Duke Amour pun ikut berdiri dan menjadi penengah di antara keduanya.

"Ohho? Kau ingin tahu? Coba tebak siapa dia." Romellia mengangkat dagunya dengan arogan.

"Apakah itu Aaron?" tebak Gideon dengan jengkel. Demi apa, dia akan membunuh pria sialan itu!

Romellia tersenyum bangga saat tebakan Gideon meleset. "Nah, jika aku bisa menikahinya, aku akan menikahinya juga."

Gideon tercengang. Jadi, berapa banyak pria yang di-koleksi Romellia? "Siapa dia?! Aku bersumpah akan segera memotong lehernya!"

"Jika Putra Mahkota yang agung bisa, coba lakukan saja!"

"Arnold, ini bukan waktunya untuk tertawa. Bangun dan pisahkan mereka sekarang!" pinta Duke Amour kesal pada putranya yang hampir kehilangan akal karena tertawa. Tetapi Arnold hanya melambai dengan lemah sebagai jawaban bahwa dia kesulitan berhenti tertawa.

"Siapa dia? Siapa?" Gideon mendesak.

Romellia tidak takut. "Tebak sendiri. Dia orang terhebat di Kerajaan ini. Dan, oh, tidak, dia yang terhebat di dunia. Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia."

Gideon tertawa sarkas. "Adakah yang lebih hebat dariku? Aku yakin dia hanya pria tolol yang tidak—"

"Jaga omonganmu, brengsek!" Romellia sudah akan menampar mulut Gideon. Bisa-bisanya dia mengatai Duke Amour pria tolol. Heh, yang tolol, brengsek dan keparat hanya Gideon, bukan ayahnya!

Duke Amour menahan tubuh putrinya yang akan berbuat onar lagi. "Tidak bisakah kau—"

"Tapi ayah, dia mengejekmu!" Romellia akan menangis karena Duke Amour bukannya membela dia.

Huh? Siapa yang dia ejek? Gideon pikir yang dia katai adalah pria brengsek yang mau-mau saja jadi selingkuhan Romellia. Kapan dia mengatai Duke Amour?

"Romellia, bisakah kau tidak membuatku sakit kepala?" ucap Duke Amour sambil menahan tubuh Romellia yang siap memberontak.

"Tapi dia mengatai Ayah pria tolol!" Romellia akhirnya menangis. "Aku tidak suka, Ayah! Sudah kubilang, pria itu ingin memisahkan kita, kan? Lihat, dia bahkan memanggilmu begitu! "

"Tunggu," sela Gideon, bingung. "Kapan aku bersikap kasar terhadap Duke Amour? Yang aku maksud—"

"Hey, brengsek!" tunjuk Romellia kesal. "Aku hanya mencintai ayahku, dan aku hanya akan menikahinya. Kau mengerti?!"

Gideon tertegun. Mencerna setiap kejadian selama beberapa menit terakhir dengan bingung. Sementara itu, Arnold yang menjadi penonton hampir pingsan karena tertawa.

***

tbc, 20/01/21

Di dunia nyata, kehidupan perkuliahan tidak pernah semanis cerita Dosen-Mahasiswa wattpad. SEM-ASEM-ASEMNYA!

siapa pun kalian yang sedang pusing seperti saya, semoga kita bisa melewatinya!

Hahaha curcol dikit yahh ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top