Bab XVII Hadiah yang lucu

Have a nice day!

***

Markus benar-benar membutuhkan cuti, sepertinya. Seminggu rasanya berlalu seabad, dan dia tidak pernah turun dari kudanya selama lebih dari lima menit sama sekali, kecuali ketika dia kembali untuk melaporkan hasil tugasnya ke istana. Bertugas sebagai tangan kanan Putra Mahkota membuatnya agak dapat mirip dikatakan bekerja seperti kuda siang-malam tanpa istirahat. Argh, dia memang pria sejati, ksatria berpangkat tinggi dan pria bangsawan yang dikenal karena pikirannya yang brilian, tapi dia juga butuh istirahat. Sayang sekali, ramalan zodiak bintangnya mungkin sedang tidak beruntung bulan itu, karena tuannya, yang adalah seorang diktator berhati keras yang sekarang—mungkin—sudah tidak waras, tidak menerima alasan, selain hasil yang diinginkannya.

Dan rasa frustrasi itu dituangkan ke dalam keinginan yang lebih besar untuk mencekik dokter kediaman Amour sialan yang kabur entah ke mana! Apakah pria tua itu sudah benar-benar aman dalam pelariannya? Karena jika Markus menemukannya, dia tidak akan mengirimnya dalam keadaan utuh ke istana lagi! Lihat saja nanti! Sialan. Brengsek. Keparat.

"Bagaimana?" Leon, datang dengan secangkir anggur merah yang tidak mengandung alkohol. Temannya itu benar-benar tahu kapan harus menenangkannya.

Dia meraih benda yang disodorkan Leon dan meminumnya langsung seperti sangat kehausan—yang sebenarnya dia juga baru saja minum sesuatu, dia hanya ingin benar-benar menunjukkan bahwa dia sedang tidak sabar lagi.

"Aku tidak tahu ke mana bajingan itu melarikan diri," katanya dingin.

Ke segala pelosok, ke luar Ibu Kota, baik itu mata-mata terbaiknya ataupun anggota Serigala Merah, tidak ada yang menemukan jejak dokter kediaman Amour yang rupanya telah melarikan diri—sebenarnya, berpindah tempat tinggal, tetapi Markus tidak sudi menyebutnya seperti itu. Mungkin, pria tua itu telah menjadi rakyat dari kerajaan lain. Dia mungkin telah melintasi perbatasan dengan kapal imigran ilegal. Atau, kemungkinan besar, dia sudah mati. Diserang oleh binatang buas, jauh lebih baik —Markus berdoa dengan tekun untuk itu.

Leon menghela napas, dia tahu akan seperti itu lagi. Untung saja dia sudah meminta Peter datang dan membantunya menangani Putra Mahkota yang sebentar lagi beraksi, menggantikan waktu jaga dari tiga ksatria lain, Bargon, Morgan dan Ordta.

Keduanya berada dalam ruangan istirahat khusus ksatria Kerajaan. Duduk sambil menunduk atau terkadang hanya menatap langit-langit ruangan, sudah menjadi kebiasaan para ksatria khusus selama beberapa hari terakhir. Kewarasan mereka sedikit demi sedikit digerogoti Gideon. Tidak ada istirahat, tidak ada bantahan, tidak ada kegagalan. Semuanya harus berjalan sesuai kehendak Gideon, jika tidak, pria itu akan memukuli mereka seperti samsak tak bernilai. Sialnya, semesta senang melihat mereka menderita. Minggu ini, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Dan lebih sialnya, mereka tidak tega untuk memprotes. Karena orang yang benar-benar kehilangan kewarasan sekarang sudah pasti Gideon.

***

"Saya berharap, Anda akan mengatakan dengan sejujurnya, apa yang terjadi pada Romellia di masa lalu?" suara Gideon terdengar sangat dingin. "Saya sudah menunggu selama seminggu. Dan saya benar-benar tidak bisa menunggu lagi." Meski dia sedang berbincang dengan Duke Amour, tatapannya tidak luput dari para Dokter dan pelayan kerajaan yang masih sibuk melakukan segala macam cara agar Romellia bangun.

Memangnya mereka berani berhenti barang sedetik ketika mata tajam hyena selalu menilai pergerakan mereka? Tidak, kawan, mereka tidak berniat uji nyali menuju pintu kematian bernama Putra Mahkota. Masih ada orang terkasih yang menunggu mereka di rumah. Mereka bahkan lebih bersyukur hanya dipelototi, dibandingkan pria itu benar-benar melakukan ancamannya kepada mereka secara nyata.

Duke Amour melirik sebentar dengan ragu. Apakah dia terlalu yakin bahwa Putra Mahkota pasti sangat mencintai putrinya, bahkan jika dia tahu bahwa Romellia memiliki riwayat penyakit aneh, dia mungkin masih menerimanya? Tetapi, sebagai anggota kerajaan, bukankah Gideon memiliki hak untuk melanjutkan keturunan dari rahim perempuan normal dan sehat, yang mungkin tidak dimiliki putrinya? Ia menyesal pernah berbicara tentang penyakit Romellia. Dia tidak ingin putrinya dicampakkan, setelah apa yang dia perjuangkan.

"Duke Amour, ini perintah Putra Mahkota," ucap Gideon tidak sabaran. "Anda tahu dengan jelas, apa yang dapat dilakukan jika tidak menuruti perintah?"

Duke Amour mengalah. Bagaimanapun, Gideon memiliki hak penuh jika ingin membatalkan pertunangan mereka. Toh, pria itu sudah lama mereka rantai dengan hutang piutang Kerajaan, sudah waktunya untuk melepaskan rantai itu.

"Maafkan saya, Yang Mulia," ujar Duke Amour dengan lemah. "Saya tidak berniat menyembunyikan ini. Memang benar, Romellia pernah mengalami hal serupa seperti ini. Dia tidak keracunan makanan seperti yang kita duga—seperti sekarang. Dia terjatuh dari tangga dan mengalami pendarahan hebat."

Gideon menahan rasa marah yang muncul ketika dia mendengar bahwa Romellia pernah terluka separah itu dan dia tidak pernah tahu. Dia selalu berpikir bahwa Romellia, yang seharusnya mencarinya, karena bukankah dia benar-benar dibutuhkan dan dicintai oleh Romellia? Apapun yang perempuan itu lakukan, dia akan selalu diberitahu olehnya secara langsung. Tetapi tentang kejadian sial itu, jika Duke Amour tidak membuka mulutnya, dia tidak akan pernah tahu. Dan bagaimana bisa dia membiarkan Romellia melewatinya seorang diri, tanpa dia di sisinya?

"Romellia hampir dapat dikatakan telah meninggal saat itu juga," lanjut Duke Amour.

Gideon berpaling menatap Duke Amour dengan mata memerah melotot. Apa yang ...

"Tapi untungnya, ada sedikit harapan dari denyut nadinya yang masih terasa meskis sangat lemah," tambah Duke Amour. "Setidaknya itulah yang membuat saya menantikan hari dimana putri saya akan membuka matanya."

"Apa ... maksud Anda?"

Duke Amour menatap lekat wajah pucat putrinya yang sedang diberi ramuan—entah apa itu oleh Leine meski dia tidak sadarkan diri. "Hampir tiga bulan dia tidur nyenyak, seperti itu, di sana."

Gideon dapat merasakan kakinya berubah menjadi lemah. Dan dia benar-benar tidak pernah tahu kisah menyedihkan Romellia yang itu.

***

Menatap kosong ke langit-langit di ruang kerjanya adalah hobi baru Gideon dalam kesendirian setelah dia terlalu lelah untuk menunggu Romellia membuka matanya. Waktu-waktu seperti itu tidak digunakan dengan cara biasa: istirahat dan memikirkan langkah selanjutnya. Dia senang seperti itu saja, menatap kosong ke arah langit-langit ruangannya.

Ruangan kerjanya—mungkin tidak disadari olehnya sendiri, telah berganti desain beberapa kali dalam seminggu terakhir. Markus adalah pelakunya. Membereskan kekacauan yang dibuatnya tanpa meminta pendapat atau memberi tahu dia. Markus adalah orang yang tahu cara bekerja tanpa memberi banyak kesulitan. Tapi tangan kanannya itu telah pulang dalam beberapa hari terakhir dengan kekalahan telak. Dan itulah alasan kenapa Gideon menjadi pria yang suka menatap langit-langit ruang kerjanya dengan tatapan kosong.

Suara pintu terbuka terdengar dan langkah seseorang masuk tanpa permisi. Gideon mengalihkan pandangannya. Dia menemukan seseorang yang terlalu berani untuk datang saat itu.

Leine dengan sikap tanpa gentarnya sedang menatap dengan keteguhan hati yang mantap.

Gideon menghela napas berat. Pandangannya kembali beralih ke langit-langit ruangan. Dia sudah terlalu lelah dan benar-benar tidak sanggup untuk meladeni pelayan gila Romellia. Bahkan seputar pertanyaan mengapa pelayan itu berani masuk ke ruangannya tanpa etika yang baik sudah tidak ingin Gideon tanyakan. Bukankah pelayan itu sama gilanya dengan majikannya yang belum bangun itu? Ah, mengingat itu membuat Gideon merasakan rasa perih kembali di hatinya.

"Yang Mulia," Leine tidak peduli lagi, dia benar-benar harus meyakinkan orang di depannya itu, "Anda tidak bisa terus diam, jika bisa, cobalah uji apa yang saya usulkan."

Gideon tidak menyahut. Kemarin-kemarin, dia mungkin akan mencekik Leine, mungkin juga melempar perempuan itu keluar dari jendela. Ah, atau bisa saja dia mencincang tubuhnya dengan pedang miliknya sendiri. Tapi setelah pikiran-pikiran agresif itu tidak dapat dia wujudkan—karena untuk apa pula dia lakukan hal sekonyol itu, dia benar-benar merasa sudah kebal dengan Leine dan sikap anti gentarnya.

Leine manarik napas berat. "Yang Mulia, tolong marahlah kepada Nona. Jika Anda melakukan itu, saya yakin Nona akan segera bangun." Tetapi lawan bicara Leine sedang asik sendiri dengan langit-langit yang dipandanginya. "Yang Mulia, mohon percaya—"

"Apa yang sedang kau lakukan?" Markus datang dan langsung menyeret Leine ke luar ruangan. Tidak bisakah satu orang ini menyingkir?

"Tuan, mohon jangan menghalangi saya." Leine tidak takut, tidak lagi. Dia harus menyadarkan mereka. "Anda telah mencari segala cara, bukan? Dan saya, memiliki solusi jitu."

Apa itu solusi jitu? Markus mendengus, itu solusi tidak masuk akal. Apa-apaan dengan menyuruh Putra Mahkota memaki-maki Nona Amour yang sedang tidak sadarkan diri di ranjang. Bukannya jitu, yang ada Putra Mahkota akan benar-benar terlihat seperti orang tidak waras sungguhan.

"Aku akan benar-benar mencekikmu jika masih bicara tidak masuk akal," ucap Markus dingin.

"Silahkan!" tantang Leine. "Saya pikir, jika Anda dapat melakukannya, Anda pasti bisa mencekik saya." Leine tahu bahwa orang di depannya seorang bangsawan yang perlu dia hormati, dan tentu, dia masih menghormatinya sekarang. Hanya saja, perlu cara yang keras untuk membuat seseorang benar-benar sadar.

Markus tertawa frustrasi, apakah dia terlambat menyadari bahwa perempuan itu tidak berbeda jauh dengan satu perempuan gila yang masih belum sadarkan diri? Argh, dia sakit kepala sekarang. Kenapa perempuan-perempuan yang dilihatnya selalu hanya bisa berbuat onar.

"Pergi," perintah Markus.

Leine ingin memprotes tetapi setelah pikir-pikir sedikit, dia mengalah.

Setelah memastikan bahwa Leine benar-benar telah pergi, Markus kembali memasuki ruangan Gideon untuk melaporkan pekerjaannya. Dan penampilan tuannya yang dia temukan tampak semakin aneh dari hari ke hari. Gideon masih menatap langit-langit dengan tatapan tak bernyawa seperti kemarin.

"Yang Mulia," panggil Markus. "Mengenai dokter kediaman Amour, kami belum dapat memastikan keberadaannya. Kami telah menyelidiki seluruh tempat di Kerajaan, kami juga menyelidiki perbatasan dan laporan penyeberangan. Kami juga menyelidiki beberapa tempat imigran gelap. Dan kami akan memperluas penyelidikan lagi untuk menemukannya."

Gideon melemparkan vas bunga di mejanya ke arah Markus meskipun pandangannya tidak bergeser dari langit-langit ruangan.

Markus tidak menghindari. Akibatnya dahi kirinya tergores sedikit dan darah keluar perlahan. "Yang Mulia, saya pamit undur diri."

Gideon tidak menjawab, dan masih melihat langit-langit ruangannya.

***

Wajah pria itu tampak lucu ketika bermuram durja dan sedikit darah yang keluar dengan malu-malu di dahi kirinya hampir membuat Simon menertawakan Markus, kawan seperjuangannya itu, ketika dia memasuki ruangan rapat darurat mereka. Maksudnya, ruangan istirahat ksatria khusus Putra Mahkota. Wajar saja jika dia mengubah nama ruangan itu, karena fungsinya pun ikut berubah. Dulunya itu memang ruangan istirahat, tapi sekarang berbeda. Sebelum mereka pergi berperang, mereka akan rapat darurat dulu di sana untuk persiapan.

"Itu hadiah yang lucu," canda Simon, sambil menunjuk dahi kiri Markus. Dan pria di depannya itu dengan santai mengusap noda darah kecil itu seolah-olah dia baru saja mengusap sebutir keringat.

"Oh, aku pikir Yang Mulia sudah tidak pandai berekspresi," ucap Peter dengan terpana pada dahi kiri Markus. Paling tidak, itu menunjukkan bahwa Putra Mahkota masih memiliki jiwa yang sadar meskipun itu hanya terjadi ketika dia mendengar hal-hal yang tidak disukainya..

"Kenapa kau masih di sini?" tanya Markus pada Peter yang seharusnya berjaga bersama Leon sekarang, karena pria itu tadi menuju ruangan bersama Leon dan ketika kembali masih menemukan Leon seorang diri sebagai ksatria tingkat satu dengan beberapa ajudannya, yang menurut Markus agak sedikit berbahaya. Leon harus ditemani karena jika sewaktu-waktu Putra Mahkota mengamuk, itu tidak akan menjadi tumpukan masalah yang lain—yang setidaknya meringankan pikirannya—jika langsung dibereskan.

"Ohho! Apa kau tidak menganggapku ini?" Simon menyela pembicaraan mereka sambil tertawa ringan. "Aku perlu teman bicara, kawan. Dan dia bersedia menemaniku sampai kau datang."

"Teman bicara sialan!" desis Markus dengan kesal sebagai jawaban pada sahabatnya itu. "Situasi ini sangat genting sekarang dan kau masih berpikir—"

"Tenang, tenang," potong Simon masih dengan sikap yang santai meski sahabatnya itu sudah bersiap menggigit lehernya, "aku datang dengan membawa kabar baik."

'Kabar ba—tunggu, Peter, sebaiknya kau pergi sekarang!" Markus memelototi Peter yang masih berpikir dia bisa bersantai di sana. Dan pria yang dia perintahkan mendengus sebagai jawaban. "Apa kabar baiknya?"

"Ini berita tentang dokter di kediaman Amour—wo, woah, sabar kawan!" Simon memegang tangan Markus yang memegang kerahnya dengan erat. "Dengarkan aku dan tolong tenang."

"Di mana pria tua bangka sialan itu?"

"Kita akan membahasnya, hmm? Tapi baiknya turunkan tanganmu. Aku bukan dia, kau tahu." Simon terus merayu Markus untuk bersikap santai. Hei, bagaimanapun Markus ini terlihat agak—mungkin, sangat menakutkan sekarang dibandingkan hyena lapar mereka itu. "Izinkan aku bercerita dengan suasana damai dan santai ... tenang, kawan."

Menghela napas, Markus akhirnya melepaskan cengkeramannya dan mengendurkan bahunya. Sejujurnya, berita itu adalah berita yang paling ditunggu-tunggu dan berita yang paling membuatnya kesal. Putra Mahkota selalu mendesaknya untuk segera menangkap pria tua itu.

"Dokter itu berada di Kerajaan Samorald, dia sudah menetap selama setahun. Kau tahu apa yang dia lakukan di sana?" kata Simon dengan nada penuh kelakar yang malah membuatnya dipelototi Markus yang tidak sedang sabar. "Oke, maaf," lanjutnya, "Dia berubah menjadi pertapa hutan. Semacam pendeta yang berpuasa—"

"Kapan kau dengar kabar ini?" potong Markus tidak sabaran. Sebelum memukul dokter yang berubah jadi pertapa itu, dia mungkin akan memukul Simon lebih dulu karena tidak sabar lagi.

Simon berdehem, sudah waktunya berhenti bercanda dan serius. "Seorang anggota Serigala Merah yang merupakan mata-mata di sana mengirimkan pesan dari telinga ke telinga. Jadi bagaimana?"

Markus berpikir sejenak. Kerajaan Samorald bisa ditempuh paling cepat empat hari—untuk level seorang ksatria. Dia harus memikirkan cara untuk memperpendek waktunya. "Bisakah kita sampai di sana selama sehari atau dua hari?"

"Kau gila?!" pekik Simon tidak percaya. "Orang biasa melakukan perjalanan tercepat satu atau dua minggu—"

"Ya, ya, aku paham." Markus malas berdebat. Dia berdiri meninggalkan Simon, yang meskipun memanggilnya untuk duduk dan bersantai sedikit lebih lama. Dia terlalu sibuk untuk meladeninya.

***


TBC, 16/01/2021

Chapter pertama yang tembus 2000 words (berdasarkan hitungan wattpad, sih)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top