Bab XIV Seperti pasangan yang bertengkar
Jika menemukan kalimat yang ambigu, mohon dikoreksi
***
Surat undangan dari istana datang di hari yang masih pagi. Diulangi, surat undangan dari istana. Surat itu berasal dari istana, dan merupakan alasan Romellia, yang belum sepenuhnya sadar setelah bangun, menjadi sadar sepenuhnya.
Ada apa gerangan? Setan apa yang merasuki Gideon sampai pria itu berpikir untuk mengiriminya surat undangan—dengan pemikiran bahwa Romellia menyanggupinya?
Romellia tidak ingin menebak itu. Dia lebih berfokus pada kenyataan bahwa itu adalah surat pertama yang pernah dilakukan Gideon padanya—bahkan mungkin kepada Romellia yang asli. Pria itu tidak pernah memiliki pemikiran seperti ini, bertukar surat dengan tunangannya. Maksudnya, sepengetahuan Romellia, bukankah pria itu tidak senang dengan kedatangannya ke istana dan merecokinya dengan masalah? Lalu, apa maksudnya dengan memberi surat undangan? Tidakkah dia tahu bahwa bahkan tanpa itu, Romellia akan selalu pergi ke istana mencarinya, lebih tepatnya, menyebabkan masalah untuknya.
Bahkan perkara saleb yang beberapa hari lalu dikirimnya—sempat dilupakan Romellia—masih cukup mengherankan. Sejak kapan Gideon menjadi seperti itu? Apakah sejak hari dimana dia melamarnya? Em, ini aneh. Pikiran tentang Gideon dan perhatian lebihnya menimbulkan sensasi merinding. Romellia berpikir dia harus menghindarinya. Itu seperti tanda kecil untuk bencana di masa depan. Entah. Itulah firasatnya. Dan Romellia tidak senang dengan firasat buruknya.
Jadi ketika dia masih bimbang dengan semua sikap baru Gideon, Romellia baru saja turun dari kereta kediaman Amour. Amukkannya kali lalu dalam kereta untungnya tidak sama sekali memberi kerusakan apapun. Kereta keluarga kaya memang berbeda, itu dibuat dari bahan yang lebih kuat dibanding emosi tinggi Romellia.
Romellia melirik ke sisi kiri, di mana Markus memberi penghormatan resmi yang sama sekali berbanding terbalik dengan ekspresi muaknya. Jika ingin berpura-pura setidaknya lakukan dengan totalitas. Romellia memutar matanya dengan malas. Jika di masa lalu, dia akan ragu-ragu dan menganggap Markus adalah pria yang sangat menakutkan. Tapi karena dia sudah berpengalaman, pria itu seperti menantangnya tiap kali mereka bertemu, seolah mengatakan 'apa yang bisa kau lakukan untuk membuatku lebih kesal dari ini?' dan Romellia selalu membalasnya dengan tampilan yang sama menantang, 'aku akan selalu mengacau selama kau masih bernapas di sekitarku'.
Hari ini suasana hati Romellia sedang buruk-buruknya. Madam Florie—pengasuh Romellia, selama menyiapkan Romellia ke istana, terus mendegungkan bahwa undangan istana merupakan pertanda baik antara Romellia dan Gideon, yang justru malah membuat mood Romellia semakin buruk. Siapa yang ingin hubungan mereka menjadi lebih baik? Bahkan Markus, yang merupakan asisten Gideon, akan yakin untuk menjawab, tidak ada yang menginginkannya. Terlebih lagi Romellia yang berniat buruk untuk mengakhiri hubungan itu, jelas merasa dilecehkan dengan harapan dan impian Madam Florie.
Dia tidak pernah mengharapkan kelanjutan hubungan itu. Dan, ada baiknya, jika dapat segera berakhir.
"Yang Mulia telah menunggu, Nona."
Kata-kata Markus –yang terdengar sinis—menarik perhatian Romellia dari lamunannya. Romellia tiba-tiba memiliki ide. Akhir-akhir ini sulit untuk membuat Gideon marah, haruskah dia melampiaskannya pada Markus? Yah, hitung-hitung untuk memberi pelajaran terhadap pria yang terus menatapnya seperti banteng yang siap menyeruduk.
"Markus." Romellia menatap wajah Markus lekat-lekat. "Apakah kau menyukaiku?"
Semua orang tahu bahwa Romellia adalah perempuan paling gila dan bahkan lebih gila lagi dengan kata-katanya. Jelas bahwa Markus sangat membencinya. Leine, di sampingnya, menahan tawanya sampai dia mengeluarkan suara tertahan.
Markus, si orang yang bersangkutan, hampir mendengus jika saja tidak ingat siapa orang di depannya ini.
"Saya pikir, Nona telah salah paham." Pria itu jelas membuat senyuman di bibirnya yang malah terlihat seperti meremehkan.
"Jadi, menurutmu aku tidak cantik? Tidak menarik? Sampai kau sendiri tidak bisa menyukaiku?" Sambil meletakkan tangannya di dada dengan wajah sombong, Romellia menatap Markus dengan sinis. Dia membenci pria itu.
Markus ingin sekali memutar matanya dengan jengah, tetapi dia ingat itu tidak sopan. Dia memilih tidak membalas. Satu hal yang dia tahu, membalas Romellia sama dengan memperpanjang masalah. Dan dia benci berada di sekitar perempuan itu lebih dari semenit, sebenarnya.
"Markus, aku beri tahu padamu, tidak ada perempuan di Kerajaan ini yang bisa menandingi pesonaku." Romellia melempar senyum sinis. "Kau akan menyesali ini jika tidak segera menyadari pesonaku yang sebenarnya. Yah, masih ada kesempatan untuk menyukaiku. Tetapi ingat," Romellia mengancam dengan serius. "Kau tidak bisa memilikiku."
Markus berusaha keras untuk tidak mendengus. "Saya akan ingat, Nona."
"Eh? Jadi kau akan mencoba menyukaiku?" goda Romellia. Dia belum ingin berhenti.
Markus tidak tahan lagi. Kernyitan dahinya sangat jelas. Sedikit lagi, ya, sedikit lagi, dia akan segera meledak.
"Kau tidak bisa menyukaiku." Romellia memutuskan, dengan ekspresi penyesalan yang dalam. "Aku adalah tunangan Putra Mahkota dan akan menjadi orang yang kau layani. Lebih tepatnya, tetaplah profesional dalam bekerja nanti."
"Apa itu?" Gideon tanpa tanda-tanda datang menyela. Dia dari tadi menunggu Romellia masuk, tetapi keributan di depan pintu ruang kerjanya menarik perhatian.
Romellia berekspresi seperti seseorang yang sekarat dalam dilema hebat. "Markus menyukaiku. Tapi aku adalah orang yang harus dia layani kelak."
Leine, mengalihkan pandangan ke langit-langit istana, guna menyelamatkan diri dari situasi konyol itu, sedangkan Markus yang dituduh, telah mengeluarkan aura dingin. Dia telah menjadi bahan olok-olokkan Romellia.
Gideon menatap Markus dengan penuh pertimbangan, membuat Markus semakin kesal. Apakah Putra Mahkota sekonyol itu untuk percaya?
"Itu betul Markus. Romellia adalah wanitaku." Gideon berujar dingin dan kalimatnya berhasil membuat Romellia bingung. Pria itu baru saja mengakui kepemilikkannya atas Romellia. Hei, dia baru saja mendengar sebuah pernyataan cinta tidak langsung yang membuatnya berdebar kalut.
***
Teh Bulgarian Rose—teh kegemaran Romellia yang dibuat khusus dengan racikan kelas atas—menguarkan aroma mawar yang lembut dari meja pertemuan keduanya, dia dan Gideon saat itu. Duduk di ruang tertutup yang jelas bukan tempat yang cocok untuk jamuan teh seperti kegiatan para bangsawan pada umumnya, membuat Romellia benar-benar sadar bahwa pria di depannya benar-benar kaku dan kurang pergaulan. Jika ini sebuah kencan yang dirancang untuk menarik perhatian Romellia, sudah jelas pria itu gagal total. Di mana dekorasi bunga mawar untuk dinding atau meja mereka? Paling tidak, buatlah kesan romantis yang kasual. Bukan pertemuan seperti rapat dewan kerajaan.
"Bagaimana kabarmu?" Gideon membuka percakapan. Matanya yang tajam memandang dengan lembut—jika Romellia tidak salah menilai. Ya, jelas, itu tatapan lembut sepertinya.
"Baik." Romellia benci obrolan basa-basi. "Kenapa bertanya?"
"Tidak." Pria itu sedikit ragu untuk melanjutkan. "Hanya sedikit khawatir tentang hasil pertempuranmu dengan Nona Redant."
"Oh, tidak perlu khawatir." Romellia mengibaskan tangannya dengan santai dan memasang ekspresi jijik. "Dia lebih buruk dariku." Sudah pasti, Lily lebih babak belur daripada dirinya.
"Syukurlah," gumam Gideon lega. Ya, perempun itu pasti pemenangnya. "Lalu, kenapa kau pulang tiba-tiba kemarin?"
Romellia menegakkan tubunya. Jawabannya sudah jelas, bukan? Ada Marquis Horison yang akan salah paham dengannya. Dia akan menilai Romellia sebagai perempuan tidak beradab yang suka membuat onar. Oke, memang benar dia seperti itu, tapi setidaknya tidak di mata Marquis Horison.
"Ada hal mendesak yang perlu kulakukan," jawabnya ringan.
Gideon tidak menyembunyikan kerutan di dahinya. Dia sudah mendengar laporan tentang aktivitas Romellia setelah kembali dari istana dan itu sangat berbeda dari jawaban perempuan itu. "Begitu? Bukan karena Marquis Horison?" tebaknya curiga. Rumor itu pasti salah. Romellia mana mungkin menyukai pria lain selain dirinya, bukan?
Romellia tersentak, Gideon pintar menebak. Hanya saja dia tidak tahu, tanggapannya barusan menimbulkan amarah di sudut hati Gideon. Mungkinkah perempuan ini tidak berniat menikahinya karena Marquis Horison? Heh, keunggulan apa yang bajingan itu miliki dibading seorang Putra Mahkota?
"Itu benar—maksudku, tidak. Ya, benar." Romellia gugup entah karena alasan apa. Mungkin karena mendadak dia merasa suhu ruangan turun, atau karena insting bertahan hidupnya menyala. "Aku tidak ingin ada orang lain yang salah paham bahwa aku agak kurang ajar."
"Tidak akan ada yang berani," sahut Gideon tajam.
"Tentu saja, siapa yang berani, bukan?" Romellia tertawa untuk mengatasi rasa canggung yang dia rasa. "tapi tetap saja, aku tidak senang."
"Bukan karena kau menyukainya?"
"Huh? Tentu saja, tidak!" balas Romellia panik. "Dia memang tampan—tidak, maksudku, dia tetap saja seorang bangsawan dan aku sebagai putri petinggi harus tetap menjaga sikapku, bukan? Dan, hei, mengapa jadi aku seolah dituduh sedang berselingkuh?"
"Mungkin," jawab Gideon dengan malas. "Kau memang melakukan seperti itu dan menuduhku sebaliknya."
"Menuduhmu?" suara Romellia naik satu nada. "Kapan aku melakukannya?"
"Sudah lupa?" Gideon tersenyum culas. "Siapa kemarin yang menuduhku akan menikahi perempuan lain? Jika aku ingat dengan benar, itu seorang putri dari petinggi."
Romellia berdehem, mengapa percakapan mereka berubah seperti pasangan yang bertengkar? Ya, seolah-olah mereka saling cemburu.
"Aku tidak menuduh, itu kebenaran," gumam Romellia. "Di masa depan kau—"
"Sebenarnya aku penasaran," potong Gideon dengan dingin. "Siapa yang menyebar rumor buruk soal diriku?"
Romellia tidak langsung menjawab. Kosakatanya langsung habis. Sial, dia tidak mungkin mengatakan bahwa semua itu berasal dari novel yang dia baca, bukan?
"Ini tidak lucu. Aku tidak tahu!"
"Iya, kan? Aku setuju, itu tidak lucu."
Romellia menyesali komentar sembarangannya yang membuat Gideon akhirnya menatapnya dengan serius. Dia seharusnya tidak meremehkan kekuatan efek halo para prontagonis utama, tentu saja mereka pasti dianugerahi kecerdasan, berbeda dengannya yang malah tertimpa musibah sebagai antagonis. Pria itu pasti tidak akan tinggal diam selanjutnya.
"Sebenarnya," ujar Romellia menantang. "Apa kau sedang mengajakku bertengkar?" Jika, ya, terima kasih. Romellia tidak perlu repot jadinya.
"Tentu saja tidak." Gideon berdehem, menenangkan saraf di kepalanya yang mengerut dan menurunkan tensi emosinya. "Aku hanya penasaran, kenapa kau begitu mudah percaya pada rumor?"
Romellia menarik napas dalam-dalam, dan sedikit tidak senang dengan jawaban acak yang akan dia berikan untuk menyelamatkannya dari situasi yang membingungkan. "Karena aku bodoh. Tidak sepertimu."
Gideon terkekeh. Jawaban Romellia sedikit menenangkannya. "Tidak peduli kau bodoh, aku akan tetap mencintaimu."
Romellia tidak bisa menanggapi kata-kata itu, karena sebelum dia bisa berpikir cepat, hidungnya mimisan. Darah mengalir seperti sungai dari hidungnya.
"Romellia??" pekik Gideon. Pria itu segera meraih bahu Romellia yang akan terjatuh.
"Sakit—" ucap Romellia tertahan, saat darah lain keluar melalui mulutnya. Jantungnya yang berdebar menimbulkan sensasi tertusuk jarum di seluruh tubuhnya. Ada apa ini? Dia tidak melakukan sesuatu yang salahkan? Efek hadiahnya masih ada. Lalu kenapa tubuhnya beralih ke efek penghancur dari tubuh antagonisnya?
"Romellia?? Jawab aku!!" teriak Gideon. "Markus!!!" panggilnya campur aduk. Panik, takut, bingung, menjadi satu. Romellia-nya baik-baik saja tadi. Mengapa bisa ini terjadi?
Penglihatan Romellia mungkin perlahan mengabur bersamaan dengan rasa sakit yang terus menjalar, tapi dia bisa melihat seperti apa ekspresi ketakutan pria itu, yang mana dia tidak pernah melihatnya atau bahkan berekspetasi bahwa pria itu akan sangat ketakutan karena khawatir padanya.
***
tbc, 30/12/2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top