Bab X Apakah kisah cinta para bangsawan memang semenjijikkan ini?

Typo alert!


***

Di sudut Ibu Kota, di antara keramaian malam, sebuah bangunan sederhana yang cukup tua masih tampak ramai dari luar. Beberapa pria memakai penutup wajah dengan baju berjubah serba hitam masih tampak lalu lalang di sekitaran gerbang pintu masuk dan keluar. Bangunan itu adalah markas khusus Serigala Merah.

Pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga kaki adalah ciri khas mereka. Bahkan mata mereka tertutupi kain hitam tipis yang tentu saja tidak menghalangi penglihatan. Terkesan melenceng dari nama, namun begitulah adanya.

Mereka tidak pernah sekalipun menggunakan warna merah dalam tugas. Itu karena Serigala Merah merupakan hewan yang hanya ada dalam cerita rakyat, digambarkan sebagai sosok pahlawan pelindung yang cerdik dan licik dengan ciri khas tubuhnya yang berwarna jingga kemerahan. Tetapi anehnya mati dengan mudah karena memakan racun dari buah apel merah. Lebih anehnya lagi, mengapa serigala merah dalam cerita itu memakan buah?

Karena itulah, merah menjadi tabu. Mereka tidak akan pernah mengaitkan lagi warna merah dengan Serigala Merah karena cerita kematiannya yang tidak keren. Dan, itu juga sebagai bentuk tolak bala. Seluruh properti, furniture, seragam, senjata hingga kuda mereka akan memiliki unsur hitam yang sangat jauh berbeda dengan nama mereka. Untuk penggunaan warna hitam, alasannya sangat sederhana. Hitam warna yang paling cocok dalam kamuflase dan penyamaran. Dan jelas sangat melenceng—lagi—untuk kelompok mereka.

Markus baru saja melewati gerbang masuk setelah memperlihatkan cap kerajaan miliknya. Melihat sekeliling bangunan yang tampak ramai, karena beberapa penyidik Serigala Merah sepertinya baru saja selesai dari tempat penyelidikan. Setelah dia menyerahkan kudanya kepada ajudan, pria itu memasuki ruangan tunggu untuk melaporkan kedatangannya. Tidak menunggu lama, dia diberikan nomor kamar tempat pertemuan.

Kamar itu terletak di lantai tiga, lantai tengah dari enam lantai yang dimiliki bangunan. Markus menaiki tangga batu yang terletak di sudut dan tidak mengalami kesulitan untuk melalui dua lantai sekaligus dalam kurun waktu lima menit. Ketika menemukan papan nama yang dicarinya, dia membuka pintu dan memasuki kamar itu.

Isi kamar tampak sesederhana bentuk luar bangunannya. Hanya ada kursi dan meja kayu dengan pelita sebagai penerang. Markus duduk di kursi sambil menunggu seseorang yang ingin ditemuinya. Biasanya dia hanya akan menunggu paling lama lima belas menit. Tetapi belum tiga menit, seseorang telah memasuki kamar itu.

Seorang pria dengan perawakan tinggi dan kekar dengan wajah yang masih ditutupi kain hitam pekat. Seluruh tubuhnya dibungkus oleh besi baja yang kokoh. Di pinggangnya terikat tali pinggang pedang. Sementara tangannya disarungi pelindung tangan dari besi dan kain yang dibuat khusus. Bunyi langkah kakinya tidak dapat didengar oleh telinga biasa. Itu karena sepatunya khusus dibuat agar tidak mengacaukan kegiatan memata-matai target. Tetapi ketika dia melihat bahwa orang yang ditemuinya adalah Markus, dia melepas penutup wajahnya dan membuka ikat pedangnya. Hal yang tidak mungkin dia lakukan dalam kegiatan biasanya.

"Aku butuh informasi secepatnya."

Markus tidak bisa menunggu lama, waktunya terus diburu. Dia telah menunggu selama empat hari hingga pria di depannya dapat kembali ke Ibu Kota. Malam ini dia harus membawa setidaknya satu atau dua kabar mengenai orang yang dicarinya.

Pria itu menghela napas berat, selepas dia meletakan sarung tangannya dia mengusap wajahnya dengan lelah. "Tidak ada kabar terbaru. Masih sama."

Dia meletakan sebuah laporan yang masih dicakarnya dengan susah payah di perjalanan.

Markus mengernyit tidak senang pada jawaban itu. "Aku pikir, Simon, kau dipilih sebagai pemimpin Serigala Merah bukan tanpa alasan. Bagaimana bisa kau tidak menemukannya?"

Simon tidak tersinggung. Dia menyandarkan punggungnya di kursi dengan santai. Malam yang melelahkannya harus ditutup dengan memakan makanan lezat atau pulang ke pelukan istrinya. Tetapi sialnya, malam ini dia masih harus menyelesaikan pekerjaannya.

"Sungguh. Aku sama sekali tidak menemukannya. Aku telah berkeliling, kau harus percaya padaku, Markus."

"Yang Mulia Putra Mahkota tidak akan mendengarkan alasan ini lagi."

"Kau bisa meminta Putra Mahkota untuk menemuiku langsung."

Markus mendelik tidak suka, siapa yang harus menemui siapa. "Dia menginginkan laporan secepatnya."

"Tetapi tidak ada laporan. Kau bisa melihat setiap peta Kerajaan yang kucoret. Perempuan itu tidak ada di mana pun."

"Bahkan yang berganti nama?"

Simon menggeleng. Markus meraih laporan Simon, membolak-balik setiap halaman dan membaca setiap detail dengan cepat.

"Hei, sepertinya Tuan Muda dari kediaman Amour juga mencarinya. Aku bertemu ajudannya yang menanyai tentang perempuan itu," gumam Simon.

"Itu pasti atas perintah Nona Amour."

"Ya, pasti." Simon tampak berpikir dan dengan ragu bertanya. "Apa kau tahu alasan Nona Amour mencarinya?"

Markus tersenyum culas, wajah liciknya tampak sangat mengejek Simon. "Jika aku tahu, aku yang akan mencarinya, bodoh."

Simon sekali lagi tidak tersinggung, sebagai sahabat karibnya dia sangat mengenal karakter kurang ajar Markus yang senang membuat orang kesal. Lagian, bukan itu yang lebih penting untuk dipikirkan saat ini.

"Untuk apa Putra Mahkota mencarinya juga?"

Simon sangat penasaran, jika bukan karena Markus adalah teman baiknya sekaligus tangan kanan Putra Mahkota, dia tidak akan mau membocorkan kegiatan kliennya, Romellia. Tetapi di atas bisnis masih ada solidaritas antar kawan, lagi pula jika Putra Mahkota memintanya langsung dia juga tidak bisa menolak. Dalam hal ini, Simon merasa dia tidak salah untuk melanggar kontrak, yaitu membocorkan isi bisnis mereka dengan Romellia kepada Putra Mahkota.

"Terkadang akan sangat bagus jika tidak tahu apa-apa." Markus menjawab sekenanya. Dia meletakan laporan itu kembali di meja. "Tetapi karena kau bertanya akan kuberi tahu. Nona Amour mengatakan bahwa perempuan itu, si Anivirella adalah selingkuhan Putra Mahkota."

"Selingkuhan?" Simon nyaris tertawa, apakah masih bisa mereka saling bercanda dalam situasi ini? "Beri tahu saja atau aku tidak akan membocorkan apa—"

"Aku juga tidak tahu. Hanya itu garis besarnya. Nona Amour memang sedikit ... aneh, tetapi aku juga tidak tahu kalau dia akan menjadi sangat tidak masuk akal. Karena itu Putra Mahkota semakin penasaran apa hubungan Nona Amour dengan perempuan itu."

Simon terperangah. Apakah kisah cinta para bangsawan memang semenjijikkan ini? Satu orang menuduh yang lain berselingkuh dengan orang yang tidak nyata, yang lain malah memata-matai kegiatan yang satunya.

***

Bayangan-bayangan besar para pria terpantul dari cahaya penerang sepanjang koridor istana. Malam yang seharusnya menjadi waktu beristirahat menjadi waktu pertemuan yang tidak tepat. Jika saja bukan karena titah seorang Putra Mahkota, seorang bangsawan tingkat tinggi seperti Duke Amour tidak akan ada di sana untuk menyempatkan waktu. Selepas sekembalinya dia dari perjalanan bisnisnya di luar Ibu Kota, salah satu ajudan Gideon menemuinya dan memintanya ke Istana.

Entah pertemuan apa itu sampai-sampai Gideon tidak bisa menunggu hingga pagi, tidak bisa bersabar dan memberinya waktu untuk beristirahat barang sejenak.

Rombongan Duke Amour berhenti di depan pintu kerja Gideon. Setelah ajudan Gideon memberi tahu kedatangannya, Duke Amour kemudian dipersilahkan masuk. Terlihat Gideon masih sangat sibuk dengan tumpukan berkas yang menggunung di meja kerjanya. Namun pria itu segera berdiri menyambutnya kala dia terlihat melangkah masuk.

"Salam kepada Yang Mulia, Putra Mahkota. Saya Duke of Amour, Rozenct Andreass Amour, menghadap pewaris Solerai."

"Selamat malam, Duke. Maaf telah menyela waktu istirahat Anda."

Keduanya kini duduk saling berhadapan. Keheningan malam dan dinginnya udara satu-satunya yang menemani. Duke Amour mengamati ketidakhadiran tangan kanan Gideon, Markus, yang malam itu tidak biasanya tidak ada di sisi Gideon. Tetapi rasa penasaran itu tidak diungkapkannya.

"Tidak masalah, Yang Mulia." Duke Amour menjawab sekenanya dengan senyum tipis.

"Saya tidak bisa menunda pembicaraan ini lebih lama dari yang saya harapkan."

Duke Amour yang mendengar itu memusatkan seluruh atensinya pada apa yang akan dibicarakan. Apakah mereka mengalami masalah di perbatasan lagi? Ataukah Kerajaan akan menarik dana pinjaman lagi kepadanya? Ataukah mungkin meminjam tenaga militer kediaman Amour? Atau mungkin, mereka harus bersiap untuk perang? Atau ada pember—

"Saya ingin segera melangsungkan pernikahan dengan Romellia."

Em? Tidak bisakah itu dibicarakan besok saja, Yang Mulia, ketika matahari bersinar cerah dan burung-burung berkicau? Tidak bisakah hal seperti itu tidak dibicarakan saat tengah malam seperti saat ini? Dimana bahkan tikus-tikus kecil di loteng sudah pulang tidur selepas mencuri makanan. Lalu, bagaimana bisa hal seperti itu dibicarakan seolah-olah itu adalah hal yang mendesak, semendesak keamanan kerajaan yang terancam? Duke Amour nyaris tidak bisa mempertahankan wajah datarnya.

"Baik. Saya tidak akan menahan keinginan Yang Mulia," jawab Duke Amour.

"Ya, saya tahu itu. Tetapi bukan itu yang saya maksud."

Duke Amour kali ini tidak bisa menahan ekspresi penasarannya. "Apa yang Anda inginkan, Yang Mulia?"

"Romellia menolak menikahi saya."

Apa dia tidak salah dengar barusan? Putrinya menolak lamaran Putra Mahkota? Ini mengejutkan. Sejak kapan putrinya bisa menolak Gideon? Seorang Romellia ternyata dapat melakukan hal seperti itu. Dia sangat yakin, putrinya pasti telah menjadi orang lain. Bagaimana bisa dia yang dulunya menyusun taktik utang piutang kerajaan menjadi pertunangan malah menolak sebuah pernikahan?

"Dia tidak berniat menikahi saya. Entah karena apa."

"Soal itu ... saya tidak dapat—"

"Saya ingin Anda melakukan segala cara untuk membuat dia setuju."

Duke Amour kembali terkejut. Apakah sepanjang malam ini dia akan selalu dikejutkan? Tadi putrinya yang menolak, sekarang Putra Mahkota yang memaksa. Sebenarnya, apa yang telah terjadi?

"Saya pikir itu semua tergan—"

"Tidak. Saya ingin Anda memaksanya. Karena saya tidak menerima penolakan."

Gideon menutup kalimatnya dengan tegas. Seolah ungkapan tadi adalah titah besar untuk menyelamatkan krisis kerajaan.

Duke Amour ingin tertawa melihatnya. Apakah putrinya dan Putra Mahkota telah bertukar jiwa? Dulu, pemandangan yang tampak di wajah keras Gideon biasanya akan dia temui di wajah Romellia yang memaksa dan tidak mau ditolak.

"Baik. Akan saya coba Yang Mulia."

Selepas itu, Duke Amour tidak berlama-lama lagi. Dia berjanji ini dan itu untuk memaksa Romellia jika dia masih menolak pernikahan.

Gideon pikir selepas kepergian Duke Amour, dia dapat melanjutkan pekerjaannya yang tertunda, tetapi siapa yang mengira bahwa tamu yang tak dia undang akan datang malam itu.

"Raja Solerai, Yang Mulia, Abore Ruzaa Bartolome, memasuki ruangan."

Gideon membeku sesaat saat mendengar suara ajudannya yang sepertinya gemetar. Namun secepat mungkin dia bersikap biasa dan berpura-pura menyambut ayah kerajaannya dengan hangat.

"Saya menghadap kebesaran Solerai, Sang Penguasa, Yang Mulia Raja Solerai Agung."

Pria tinggi dengan wajah penuh wawasan dan perhitungan yang picik. Kumis tebal yang dibentuk meruncing pada masing-masing ujungnya. Mata elang tajam yang tahu cara menilai langkah tepat untuk solusi krisis kerajaan. Dan mata orang itu kini sedang menilai Gideon yang masih berdiri di depannya.

"Apakah baru saja aku tidak salah lihat, itu adalah rombongan Duke Amour?"

"Ya, Yang Mulia."

Raja Abore mengambil duduk di kursi dengan satu kaki menopang kaki yang lain. Gideon tidak mengikutinya, menurut peraturan hanya berdasarkan titah Raja dia dapat duduk bersama.

"Lalu, apa yang dibicarakannya?"

"Ini ... mengenai pernikahan antara saya dan Romellia."

"Begitu?" gumam Raja Abore sambil mengamati keseluruhan ruangan kerja Gideon. "Ruangan ini tampak baru saja diperbaharui."

Gideon mengetatkan kedua telapak tangan di samping tubuhnya. Keringat dingin perlahan tampak di dahinya.

"Kali lalu bukan seperti ini bukan?"

"Saya sedikit bosan dengan desain yang lalu, Yang Mulia."

Raja Abore kini beralih mengamati anaknya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Adakah yang tidak kuketahui akhir-akhir ini?"

"Tidak ada, Yang Mulia. Seluruh laporan kera—"

"Bukan," potong Raja Abore tegas. Dengan isyarat mata dia berhasil mengusir seluruh orang tidak penting dalam ruangan dan menyisakan hanya dia dan Gideon. "Sebagai ayahmu, adakah yang aku lewatkan?"

***

Romellia menggoyangkan gelas wine-nya dengan gerakan elegan tanpa peduli beberapa pasang mata yang mengamatinya sedari tadi. Jiwanya sedang tidak berada di pesta yang diadakan kediaman Forbes itu. Pikirannya masih mengelana mengenai pembicaran seminggu yang lalu tentang keinginan Gideon yang ingin mereka segera menikah. Meskipun sampai seminggu ini belum ada pergerakan dari Gideon untuk memaksanya, tapi Romellia merasa bahwa ketenangannya saat ini seperti kedamaian sebelum terhantam badai besar. Apa yah, seolah bahaya selalu ada di ujung pelupuk matanya tetapi dia tidak menyadarinya.

Lily Redant berulang kali tertangkap basah tengah mengamatinya dan bagusnya itu juga tidak membuat Romellia jengah. Dia hanya melihat seluruh pengunjung pesta—sederhana itu—sebagai para bunga-bunga taman yang tidak perlu diamati berlebihan. Bahkan meski terang-terangan mereka menyebut namanya.

Duduk di ujung bangku meja jamuan, Romellia bersikap santai mengamati satu per satu wajah para putri bangsawan yang mengharapkan drama darinya. Tapi sungguh, jika saja bukan karena dia terlanjur membeli gaun untuk pesta, dia sangat tidak ingin menginjakkan kakinya di sana.

"Mengapa Nona Amour tidak berulah?"

"Entahlah. Mungkin dia menunggu sesuatu yang tepat."

"Semakin lama dramanya dimulai akan semakin mendebarkan kejadiannya. Kita hanya perlu bersabar saja."

Bisik-bisik antar kelompok putri bangsawan itu melingkupi Lily Redant yang masih belum banyak berkomentar. Dia anti bergosip seperti mereka tetapi jauh daripada itu dia juga sebenarnya sangat penasaran. Hanya saja dia terlalu malas untuk memprediksi isi pikiran Romellia yang teracak-acak.

Romellia yang tahu seluruh isi pikiran orang-orang berdiri dari bangku kebesarannya. Seluruh mata mengikuti segala gerakannya yang tiba-tiba itu, padahal dia hanya berniat mengambil potongan kue dari meja jamuan lain. Namun gerakannya terhenti ketika dia melihat seorang pelayan perempuan yang baru saja menurunkan kue dan menuju kembali ke dapur tampak mirip dengan orang yang dicarinya selama ini.

Mungkinkah dia muncul bukan di pesta kedewasaan tetapi di pesta ini?!

***

TBC, 14/12/2020


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top