Bab VIII Kau hanya akan menikahi dia
typo alert
.
.
***
Romellia merasa seluruh tubuhnya kram dan rambut-rambut di tubuhnya akan rontok semua. Matanya terbelalak tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan.
Aku ingin awal tahun depan kita menikah.
Kata-kata biadab itu berputar-putar di kepalanya seperti gema ejekan. Sedangkan perusak saraf pikirannya tengah duduk menatapnya dengan mata tajam yang dibulat-bulatkan seperti kucing menggemaskan.
Mengapa Gideon harus bertingkah seperti seorang pria yang mencoba melamar kekasihnya?
Haruskah dia bahagia dan menyebut momen ini sangat manis jika saja mereka ... sepasang kekasih sungguhan. Tetapi nyatanya, tidak. Mereka harusnya tidak berkaitan satu sama lain.
Apakah ada yang salah?
Romellia memutar isi kepalanya dengan cepat, mencoba mengingat kilas balik kisah di novel sialan itu. Tepatnya, bagaimana dan seperti apa alur cerita yang berkaitan sehingga mereka menikah. Nyatanya, tidak ada. Tidak ada alur dimana mereka benar-benar menikah. Hanya ada pertunangan dan itu pun ada karena keterpaksaan. Lalu, apakah ada adegan dimana Gideon melamarnya? Romellia tidak menemukan ingatan seperti itu.
Bukankah pria itu seharusnya membenci Romellia? Dia seharusnya jijik pada Romellia. Dia seharusnya berusaha membatalkan pertunangan mereka. Dia seharusnya tidak berusaha menikahinya.
Seharusnya, seharusnya dan masih banyak sekali seharusnya yang menghantui pikiran Romellia.
Berpikirlah cepat Romellia!
Tetapi otaknya kosong dan tidak memberi ide.
"Aku pikir kita sudah terlalu lama bertunangan." Gideon berujar ringan tetapi sungguh dia sedang sangat gugup sekarang. "Dan sebaiknya lebih cepat menikah."
"Be-benarkah? Aku pikir belum ..."
"Sudah dua tahun." Gideon menyela tajam. Apa perempuan itu melupakan hari terpenting mereka?
Pertunangan yah? Romellia yakin tidak ada detail cerita mengenai pertunangan kedua tokoh itu dalam novel. Ternyata mereka bertunangan dua tahun lalu, setahun sebelum dia muncul. Dia hanya tahu, alasan pertunangan itu terjadi karena kerajaan dalam keadaan krisis keuangan saat itu.
Banyaknya perang yang memakan dana membuat kerajaan nyaris bangkrut terlilit hutang kepada pinjaman usaha persekutuan bangsawan. Berpikir untuk tidak terjerat dalam jebakan hutang bangsawan, yang mungkin sewaktu-waktu akan mengendalikan kerajaan, tawaran Romellia yang datang bak keajaiban Tuhan yang luar biasa.
Sebuah pertukaran bisnis dibuat dimana perjodohan adalah syarat mutlaknya, Gideon dipaksa untuk menjadikan dia Ratu masa depannya. Romellia asli tidak mengejar tahta ataupun kekuasaan. Dia hanya ingin memiliki Gideon. Menguasainya dan mencapnya sebagai miliknya. Seutuhnya. Tetapi karena alasan itu pula, Gideon membencinya. Harga dirinya tercoreng. Dia seolah dijual oleh kerajaan dan dibeli oleh seorang perempuan untuk memuaskan nafsu. Kebebasannya direbut. Dia dijadikan boneka mainan oleh orang lain.
Dan kemunculan Anivirella sang protagonist wanita, bak mata air ajaib di tengah padang pasir keringnya. Perempuan lembut dan polos, perempuan rapuh yang harus dilindungi. Perempuan tanpa kekuasaan untuk menundukannya. Perempuan yang tidak akan bisa memiliki kendali untuk hidupnya. Dan, dia ingin perempuan seperti itu di sisinya. Kekuatan untuk memberontak akhirnya muncul karena belahan jiwa yang di nantinya telah tiba. Dia bebas melakukannya.
"Romellia. Romellia! Jawab aku." Gideon menatapnya dengan penuh harap.
"A-ada apa..?"
Alis tebal Gideon mengernyit tidak senang. "Aku mengatakan untuk melakukan pertemuan antara Duke of Amour dan kerajaan, minggu depan. Bagaimana pendapatmu?"
"A-aku ... aku tidak bisa ...."
"Tidak bisa apa?"
"Ti-tidak bisa ... menikahi-mu." Karena aku bukan protagonist-mu.
Gideon tertawa mendengar jawabannya. Sudah dia bilang, kan, perempuan itu pasti sakit jiwa setelah jatuh dari kuda.
"Beristirahatlah dulu. Kau belum sembuh total."
Gideon berdiri meninggalkannya, tetapi Romellia tidak bisa bersikap santai. "Kupikir, kau tidak pernah ingin menikahiku."
"Siapa yang mengatakan itu?"
Di novel harusnya seperti itu ... tapi Romellia tidak mungkin bisa mengatakannya. "Ada perempuan lain yang akan kau cintai."
"Apa??"
"Kau ingin hidup bersamanya ...."
"Romellia, apa yang kau katakan."
"..., hanya dengan dia kau merasakan kebebasan ...."
Gideon merenggut bahunya dan menatap mata perempuan itu dengan nyalang. "Siapa yang mengatakan rumor bohong seperti itu?"
"..., kau tidak akan dikendalikan. Kau akan bahagia ...."
Racauan aneh perempuan itu membuat Gideon tidak mengerti, siapa? Siapa yang mengatakan semua hal omong kosong itu? Dia hanya ingin Romellia-nya. Hanya ingin dia.
"Akan kubunuh siapa pun yang mengatakan hal itu!"
"Tidak. Kau sendiri yang mengatakannya." Semua racauannya berasal dari Gideon sendiri. Romellia mengingat setiap kata-kata Gideon dalam novel sebelum mengeksekusi Romellia di hari setelah dia menikahi Anivirella.
"Aku tidak pernah mengatakannya!"
"Tidak. Kau mengatakannya. Kau ingin kebebasan dariku. Kau akan menikah dia."
"Dia? Siapa dia?"
"Anivirella ... kau hanya akan menikahi dia."
Anivirella? Perempuan itu? Perempuan yang dicari-cari Romellia selama ini? Siapa yang mengatakan dia akan menikahi perempuan itu? Apakah Anivirella yang mengatakannya?
"Aku tidak mengenalnya! Aku tidak mungkin menikahinya!"
"Ya, belum saat ini. Tapi, nanti." Romellia tidak bisa tidak mengingat cerita dimana mereka bertemu dan saling jatuh cinta, lalu dia ... dia akan menyakiti keduanya. "Kau akan bertemu dan meni—"
"Tidak akan pernah!" Gideon melepas tatapannya, berdiri dan melangkah jauh dari Romellia. Dia sangat marah. Saat ini, apapun akan dia lakukan untuk meyakini perempuan itu jika dia ditolak, tetapi dituduh akan menikahi perempuan lain saat dia pun tidak mengenalnya membuat dia sangat marah.
Cinta masa kanak-kanak mereka hingga sekarang masih ada dalam hati Gideon. Dia tidak pernah merasa kebebasannya diambil. Dia tidak merasa dikendalikan. Lalu, mengapa perempuan itu menuduhnya seperti itu? Apakah perempuan itu benar-benar sudah tidak menginginkannya lagi? Apa benar dia telah bosan padanya?
Apapun jawabannya, itu sudah pasti karena perempuan bernama Anivirella! Ya, ya, perempuan sialan itu, yang bahkan tidak pernah dia temui, menjadi penghalang. Harus dia apakan perempuan itu? Menyingkirkannya saja tidak cukup. Akan dia buat perempuan itu meminta ampun untuk kematiannya.
"Aku pergi, sepertinya kau masih sakit."
Gideon meninggalkan ruangan dengan menutup pintu dengan keras secara sengaja. Melampiaskan seluruh amarah dan frustrasi di sana, tidak peduli bunyi debum keras yang membuat seluruh orang dapat terkejut mengelus dada.
***
Lantai marmer putih koridor Istana Zarzuq menjadi saksi bisu letupan amarah Gideon. Langkah terburu-buru yang mirip sapuan tapak kuda balapan milik Gideon menimbulkan bunyi debum yang mengganggu. Tetapi siapa yang dapat menegur sikap tidak sopan anggota kerajaan apalagi seorang Putra Mahkota seperti Gideon?
Bayangan tinggi Markus muncul di depan pria itu. Kemudian dia membungkuk memberi hormat, tetapi Gideon tidak mempedulikan. Dia memilih terus berjalan, memasuki koridor baru dari ruangan yang lain. Markus tidak tersinggung dan memaklumi, tampaknya Putra Mahkota sedang dirundung masalah besar.
Memasuki ruangan kerjanya, Gideon tak lantas memberi izin Markus untuk terus mengikutinya. Dia menutup pintu dengan bantingan keras. Menendang ujung sofa kayu hingga patah, melempar furniture atau pun hadiah hiasan ruangannya ke lantai. Apa saja yang dia lihat saat itu akan dia hancurkan. Suara barang-barang pecah berkecamuk dalam ruangan.
Markus—yang masih berada di depan pintu—tidak berkomentar. Sebagai ajudan terdekat, dia telah hafal sikap agresif Gideon ketika kesal. Itu bahkan jauh lebih baik dengan Gideon melampiaskan emosinya dalam ruangan. Jika tidak beruntung, mungkin para pelayan istana yang akan menjadi pelampiasannya. Kebanyakan dari mereka memiliki akhir dengan tewas mengenaskan setelah di siksa Gideon, dan Markus akan menjadi orang yang membereskan mayat mereka tanpa ketahuan. Ini rahasia mereka.
"Markus," panggil Gideon.
"Ya, Yang Mulia, saya di sini."
Markus memasuki ruangan yang sangat berantakan. Suasana dalam ruangan kiranya telah menjadi tenang namun suara yang menyisakan napas memburu Gideon terdengar agak menakutkan. Tetapi Markus bukanlah manusia penakut. Meskipun Gideon bertingkah seperti monster barusan dia tidak akan pernah bisa menyakitinya. Dan jika pun terjadi, Markus bukanlah ksatria biasa. Dia dapat melawan dan mampu menghentikan tingkah Tuan-nya. Keberadaannya sebagai tangan kanan telah membuktikan seberapa luar biasanya dia.
"Beri perintah kepada Serigala Merah untuk secepatnya menemukan perempuan bernama Anivirella."
Gideon telah duduk di bangku kerja kebanggaannya. Bersandar santai memandang langit-langit ruangan. Seolah dia bukanlah orang yang telah mengacaukan ruangan kerjanya hingga sedemikian rupa.
"Baik, Yang Mulia."
"Aku tidak ingin menunggu lama." Suara dingin dan serak Gideon yang terdengar bagi orang biasa dapat sangat menakutkan, tetapi sekali lagi, orang yang berhadapan di depannya bukanlah orang biasa melainkan Markus, ajudan sekaligus ksatria kelas atas.
"Baik, Yang Mulia."
Selepas itu, Gideon mengusirnya dengan lambaian tangan malas. Markus pikir pria itu telah tenang tetapi tampaknya dia salah kaprah. Setelah dia menutup pintu, Markus dapat mendengar patahan kayu yang dipukul kuat-kuat, kemudian bunyi barang-barang pecah belah yang sama berisiknya kembali dibanting.
***
TBC, 06 Dec. 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top