8. Ama no Jaku
1
Aku merasa kesepian, untuk beberapa hal aku merasa bahwa rasa kesepian ini berbeda dari rasa kesepian yang penah kurasakan. Bahkan dalam imajinasi terliarku aku tak pernah merasakan perasaan semacam ini.
Mungkin ini yang dikatakan oleh orang-orang, sakitnya cinta masa muda.
Aku tak pernah berani memikirkan bahwa diriku telah jatuh cinta. Perasaan yang tidak mungkin orang seperti diriku miliki. Ini seperti seorang yang super miskin memiliki sebuah gedung bertingkat yang dilapisi emas.
Ini memang gila, namun sepertinya aku jatuh cinta padanya. Seorang pengecut sepertiku.
Hal yang mungkin tidak pernah aku sadari, bagi orang yang selalu sendiri sepertiku cinta itu seperti sebuah dosa yang jika kulakukan menyenangkan di awal namun menghancurkan di akhir.
Ah... aku tak bisa memikirkannya lagi.
Seberapa kerasnya aku berusaha, perasaan itu menempel erat pada dadaku. Tidak bisa kulepas meski dengan sejuta cara.
Untuk beberapa saat, aku menangisi kenyataan yang mengaduk-ngaduk hatiku. Jika saja langit bisa mewakili tangisanku, aku tak keberatan untuk membawa payung ke sekolah untuk beberapa hari.
Jika saja aku tak terlahir seperti ini bisakah aku tak merasa kesepian semacam ini?
Jika saja aku tak terlahir seperti ini bisakah aku memegang tanganmu lebih lama?
Jika saja aku tak terlahir seperti ini bisakah aku mengatakan bahwa aku mencintaimu?
2
Pulang sekolah terasa lebih menyebalkan sekarang, memang tidak ada suara berisik atau pun kejadian luar biasa yang mengharuskanku untuk tidak mengayuh sepeda.
Tapi ini lain, rasa sepi ini menggangguku.
Apakah aku merindukannnya? Entahlah, mungkin iya.
Meski kami masih tetap bertemu di kelas dan berbicara seperti biasanya. Tapi aku merasa ada sebuah jarak yang kini membentengi kami. Tak terlihat namun terasa kuat.
Ini menyebalkan, bahkan bagiku yang selalu cuek.
Sebuah sifat yang akhirnya membuatku menjadi seorang pengecut.
Ya, aku mengakuinya, meski aku tak mengatakannya. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh adikku yang tidak normal itu.
Aku seorang pengecut, yang hanya bisa diam ketika semua rasa itu memenuhi dadaku hingga meluap, tanpa ada wadah lain yang bisa menampungnya.
Hari dimana ia memberikan semua perhatiannya padaku adalah wadah kosong yang selalu kucari-cari. Namun sekarang hari-hari itu telah menghilang.
Kemana harus kubuang semua perasaan ini?
Aku merasa resah untuk hari-hari selanjutnya, perasaanku berceceran seperti daun-daun kering di musim gugur yang tak pernah disapu, mengotori tanah-mengotori hatiku.
Jika kesempatan itu masih ada, bisakah aku mengatakannya?
Bisakah aku mengatakan bahwa aku memerlukannya lebih dari yang kukira?
Bisakah aku mengatakan bahwa suaranya adalah hal yang paling aku rindukan?
Bisakah aku mengatakan bahwa aku menyukainya lebih dari yang ia pikirkan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top