3. Not a Goodbye

Apa kalian menyukai sebuah dongeng?

Ada sedikit cerita yang ingin kubagi, mungkin bisa menjadi kisah singkat yang menghibur kalian, menjadi mantra ajaib pengantar tidur, atau mungkin, menjadi kunci yang akan membuka ingatan lama kalian. Karena saat menceritakan dongeng ini pun, aku menyelami ingatan dalam-dalam demi meraih satu kenangan.

Pernah dengar istilah, manusia berubah namun tidak dengan kenangan?

Tidak ada peristiwa identik yang terjadi sampai dua kali. Tidak ada sesuatu yang sifatnya abadi. Namun hati selalu sulit untuk melupakan sesuatu yang menyenangkan atau bahkan memilukan, karena itulah kenangan tercipta. Bukti mahluk hidup mengalami perkembanga itu, dilihat dari sebanyak apa mereka berubah memenuhi tuntutan waktu. Semakin dewasa, semakin dihadapkan oleh banyak persoalan, dituntut bisa menentukan mana prioritas utama hingga meninggalkan sesuatu yang dulunya sangat dijaga.

Tidak-tidak, ini bukan kisah memilukan tentang seseorang yang harus melepas hal berharga dalam hidupnya karena tuntutan dunia. Justru kupikir, ini kisah hangat tentang kenangan indah seseorang. Hal yang ditinggalkan bukan berarti tidak berarti, sampai-sampai tidak pantas diprioritaskan. Hanya saja, sepasang tangan kecil tidaklah mampu untuk merangkul semua. Tapi hati, punya cukup ruang luas guna menyimpannya sebagai memori indah.

.

.

Dahulu kala, di sebuah dataran luas bernama Rêver, berbagai jenis ras hidup berdampingan. Sampai suatu ketika, perang besar berkepanjangan membuat para pemimpin ras memutuskan memisah wilayah satu sama lain dengan mendirikan tembok. Kebebasan mereka memang akan terenggut nantinya, meski begitu semua orang sepakat bahwa kebebasan adalah harga murah demi melindungi keluarga dari kebinasaan.

Namanya Akira, seorang lelaki biasa yang kala itu berada di ujung usia remajanya. Dia adalah manusia, ras paling lemah namun memiliki napsu terbesar diantara ras yang lainnya. Mungkin karena itu, tiap harinya setelah bekerja keras mengerjakan pembangunan tembok dengan para pemuda lain dari wilayahnya, diam-diam Akira selalu melompati sisi tembok yang masih belum terbangun sempurna.

Mendirikan tembok besar dari bongkahan batu tentu bukan hal mudah, karenanya pembangunan sudah dilakukan sejak Akira belum lahir, dan masih berlangsung hingga sekarang. Kini, bisa dibilang pembangunan tembok itu sudah nyaris selesai, tinggal meninggikan beberapa bagian saja. Hal itulah yang membuat jiwa remaja Akira bergejolak, Sejak kecil selalu diajarkan mengetahui batasan membuat ruang lingkupnya amat terbatas. Dia merindukan kebebasan yang tak pernah ia icip. Maka bermodal perasaan ingin tahu akan dunia luar, beberapa waktu belakangan ini dia sering memanjat tembok utara.

Tembok sisi utara masihlah setinggi dua meter, tergolong mudah dipanjat. Apalagi posisinya paling jauh dari desa, dekat hutan dan juga sepi. Seolah memang memberi Akira kesempatan untuk menikmati dunia luar sebelum akses kebebasannya benar-benar tertutup akhir musim nanti. Akira tidak susah payah memanjat tanpa memiliki tujuan, di luar tembok, dia punya sebuah tempat kecil yang sangat pantas disebut sebagai rumah baginya.

.

.

"Akira!"

"Kak Akira!!"

"PAMAN!!!"

Dia tersenyum miring ketika langkahnya berujung pada sebuah gua kecil yang terletak di tanah tak berpenghuni. Tempat itu diputuskan menjadi perbatasan dari semua wilayah, satu-satunya lokasi yang paling aman untuk dikunjungi walau seharusnya tidak ada mahluk hidup yang boleh menjamahnya. Akira pikir, hanya dia anak bodoh yang mau memanjat tembok, ternyata setiap ras memiliki pemberontaknya. Ketika pertama kali menginjak dunia luar, Akira memang sendiri, lalu makin hari tiap dia kembali, dia bertemu dengan anak-anak dari ras lain. Awalnya Akira merasa takut, namun lama kelamaan dia justru merasa nyaman. Mereka semua memang berbeda, tapi ada satu kesamaan yang membuat mereka terus bertemu secara rutin sebelum matahari turun ke peraduan, mimpi. Mereka sama-sama menggenggam mimpi yang besar di tangannya, menolak kenyataan bahwa hidup memiliki banyak batasan.

"Hei Katsu, aku masih terlalu muda untuk kau panggil paman!" Katsu adalah seorang Yokai gurita yang tinggal di wilayah tepi laut. Dia anak pertama yang Akira temui di luar tembok. Akira sempat kerepotan mengimbangi energi anak itu yang seolah meluap-luap tiap kali berbicara,tapi ujungnya dia terbiasa juga. Meski sering protes di beri panggilan 'paman', Akira tidak benar-benar menolaknya secara serius.

"PAMANpamanPAMANpamanPAMAN."

Lihat, percuma saja kan dia protes? Lagi pula ada juga yang memanggilnya ayah.

"Paman! Lihat, hari ini lukisan Ares di buku terlihat makin tampan!" Akari menghampiri wanita dari ras elf itu sembari melirik buku yang dipegangnya. Dalam buku itu terdapat lukisan sosok lelaki bersurai keemasan, dengan mata merah tajam dan seringaian ala antagonis yang khas. Dialah Ares, tokoh fiksi kesayangan Freya.

"Seleramu tak pernah berubah ya, kak." Elf seperti Freya memang terkenal dengan usia yang panjang, Akira yakin usia Freya sudah mencapai tiga digit angka, meski begitu, ia masih kalem-kalem saja dipanggil paman. Memang yang bisa membuat urat kesalnya keluar itu hanya Katsu, entah karena apa. Bisa jadi kareana bakat alami si yokai gurita itu.

"Kak Freya, kak Akira! Aku mau lihat Ares juga."

Akira menepi, memberi ruang agar anak dari ras iblis itu bisa ikut melihat. Ras iblis adalah ras yang paling kerap bertikai dengan manusia, tapi nyatanya Akira malah akrab dengan Nao. Seperti kebanyakan iblis lain, dia terlihat bar-bar di luar tapi semakin Akari mengenalnya, ras iblis tidaklah seseram itu. "Nao, sejak kapan kau suka cerita Fate? Kak Freya, kau meracuninya?"

Mereka berdua sudah asik tenggelam pada dunianya sendiri jika sudah membahas Ares, sulit bagi Akira memasukinya. Dia pun memilih duduk di sisi lain gua, menghampiri Asa si yuki onna, dan Aerin si yokai kappa. Di mata Akira, mereka berdua sama-sama berperawakan tenang. Mereka tipe pendengar yang baik ketika yang lain sibuk bercerita. Tapi tak jarang, mereka juga membicarakan hal yang mereka sukai seperti sekarang. Selera mereka soal buku bisa dibilang hampir sama, salah satunya buku tentang pedang samurai yang memiliki wujud manusia atau apalah itu. Akira tidak terlalu ingat meski dia kerap dipaksa ikut membacanya.

Ya, kebanyakan dari mereka memang menyukai buku, dan menulis, walau dengan aliran berbeda. Sedang Akira, dia tidak memiliki ketertarikan yang spesifik, dia akan ikut bicara saat menyukai topiknya, dan diam mendengar ketika tidak mengerti. Karena yang paling Akira suka disini, adalah mendengar berbagai macam cerita dari teman-temannya. Mereka berbeda dari teman manusia Akira di desa, dan perbedaan itulah yang membuatnya tertarik.

"Tembok di desaku, sudah hampir selesai sepenuhnya. Kurasa aku tidak akan bisa bertemu kalian lagi." Suara Aerin memecah canda tawa mereka.

"Aku juga," kini giliran Asa yang menimpali. "Kabur keluar tembok secara diam-diam begini, aku merasa bersalah karena meninggalkan tugasku di desa. Aku sudah semakin dewasa, tidak bisa terus bermain dan mengabaikan kewajiban."

Memang seperti itulah mereka, kadang setelah canda tawa bodoh baru saja terdengar, topik yang begitu berat tiba-tiba muncul entah dari mana. Mungkin pengaruh rasa nyaman membuat mereka tak ragu mengungkapkan kebimbangan terdalamnya, meski pada dasarnya mereka tak punya banyak waktu lagi untuk terus bersama dengan keadaan yang terus berubah.

Kini manik kecoklatan Akira melihat kearah birunya langit. Bunga-bunga lonceng sudah bermekaran, memberi semburat warna ungu di sepanjang hijaunya hamparan rumput, menandakan bahwa musim panas akan segera berakhir. Waktunya juga sudah tidak banyak.

"Mau bagaimana lagi, kan? Toh sudah banyak dari kita yang sudah tidak bisa keluar tembok."

Kata-kata Katsu barusan membuat Akira mengingat hal yang sudah berlalu. Rii si yokai kucing yang suka sekali menjahili Akira yang dasarnya tidak suka kucing, agak kampret memang. Si panda yang terlalu suka anak kecil Miru, si kapas Ilo, Yuma, Ia, dan masih banyak lagi hingga tak bisa disebut satu persatu.

"Tidak ku sangka waktu cepat sekali berlalu, padahal mimpiku belum semua terwujud tapi tembok pembatas sudah menghadang saja di depan jalan." Akira agak tertawa menlihat Freya yang mengeluh dengan mata yang masih sibuk mengagumi Ares.

"Kenapa ya harus ada tembok? Pasti menyenangkan kalau kita bisa terus hidup berdampingan, bertemu tiap hari."

Celetukan polos Nao membuat Akira ingin ikut menyuarakan keinginan hati. Dia tahu, mustahil tembok yang dibangun demi kebaikan semua orang akan diruntuhkan hanya demi kepuasan hati beberapa individu saja. Karena itu ia ingin bertanya, apa mereka semua tetap mau tinggal di gua ini bersamanya dan tak usah kembali ke dalam tembok? Tapi, dia mengurungkan niatnya itu. pertanyaan tadi terlalu naïf, karena nyatanya ia juga tidak sanggup jika harus meninggalkan segala hal dibalik tembok.

"Jangan khawatir, kita masih bisa mengejar mimpi masing-masing meski dibalik tembok." Satu kebohongan terucap, sejujurnya Akira juga sama khawatirnya. Kata-kata tadi bukanlah bentuk dari keyakinan atau keoptimisan diri Akira, namun sebuah harapan. "Dan selama kita memperjuangkan mimpi itu, kita akan terus dihubungkan oleh perasaan yang sama."

.

.

Pemuda yang baru menginjak usia dewasa itu susah payah memanjat pohon tertinggi di desanya. Dua tahun berlalu, tembok itu kini sudah benar-benar membuat Akira tidak bisa menemui mereka lagi. Ia memegang erat-erat sebuah kertas yang sudah dibentuknya menyerupai pesawat. Dia tidak tahu, sekarang di mana keberadaan teman-temannya, tidak pula tahu kabar mereka. Tapi ingatan tentang waktu menyenangkan yang pernah mereka lalui walau singkat, masih tersimpan rapi di hatinya. Dan dia berharap, perasaan yang dia simpan itu akan mencapai teman-temannya suatu saat nanti, meski ia tidak tahu kapan itu akan terjadi. Menantang tembok yang menjulang, kertas berisi coretan tangan Akira itu terbang jauh melintasi cakrawala. Membuat si pemilik tersenyum senang.

Hei, apa kabar kalian disana? Disini aku baik, dan kadang kala aku teringat tingkah konyol kalian. Kuharap di tempat yang jauh itu, kalian kembali menemukan orang-orang baru yang bisa membuat kalian nyaman, sehingga bisa bertingkah konyol sepuas hati.

Tidak ada hal yang bagus dari kata perpisahan. Karena itu, meski kita tidak akan pernah bisa bertemu lagi sekalipun, aku enggan mengucap pamit. Ini bukanlah perpisahan, karena selama kita masih bisa tersenyum memperjuangkan hal-hal yang kita anggap berharga, selama itulah kita masih akan terus dihubungkan dengan perasan yang sama.

Kebersamaan kita memang sangat singkat. Tapi kuharap, itu cukup bermakna hingga mampu menghangatkan hati kalian tiap kali teringat. Aku minta maaf, sebagai teman, masih banyak hal yang tidak bisa kulakukan.

Tapi lebih dari kata maaf, aku ingin mengucapkan terimakasih banyak atas waktu berharga yang pernah kalian berikan.

.

.

.

TAMAT

Aizahikari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top