Bab 8 kehidupan rumah tangga

"Arum, gimana kabar, Naila?" tanya Siti yang masih khawatir dengan keadaan Naila.

"Kemarin Arum jenguk Naila, Mbak. Dan katanya hari ini Naila masuk kerja mbak. Keadaan udah jauh lebih baik."

"Assalamualaikum." Naila membuka pintu dan duduk perlahan di meja kerjanya yang tepat berada di samping Arum.

"Gimana, Nai? Udah baikan?" tanya Siti dengan raut wajah yang sangat Khawatir. Siti mengambil kursi yang berada di sudut meja dan duduk tepat di depan Naila.

"Alhamdullilah, baik mbak. Udah mendingan banget kok serius deh, jadi mukanya biasa aja kali mbak. Udah kaya, Nai abis oprasi organ dalam aja," ucap Naila sembari tertawa.

"Kak Nai?????? Kak Nai ngga papa kan? Ada yang luka? Hidung? Mata? Otak masih ada kan?" Lisa datang sebari berteriak dan langsung memeluk Naila dengan anarkisnya.

"Heh, bocil. Gue cuma sakit beberapa hari doang bukan abis tabrak lari," ucap Naila sembari berusaha melepas pelukan Lisa yang sangat erat.

"Ya kan, Lisa Khawatir, Kak. Oh iya Lisa bawa bubur ayam kesukaan Kak Nai. Belum sarapan kan? Sini Lisa siapin." Lisa membuka bungkus bubur ayam dan segera menyuapi Naila. Naila hanya pasrah dan terpaksa menerimanya.

Siti dan Arum hanya tersenyum melihat tingkah mereka berdua. Tak lama kemudian ponsel Siti berbunyi menampilkan sebuah pesan.

"Oh iya, Rum, Nai, Lisa. Mbak pamit pergi sebentar ya, ada janji sama temen," ucap Siti yang langsung mengambil tasnya di meja, di balas anggukan Mereka.

"Nai, kamu cepet sehat ya, dengerin kata adekmu itu."

"Iya, Mbak hati-hati ya mbak," jawab Naila.

"Tenang aja, Mbak, Kak Nai biar Lisa yang rawat." saut Lisa sembari menggerakkan tanganya.

"Hati-hati, ya Mbak. Jangan lupa nanti malam kita ada makan malam bersama di tempat biasa," ucap Arum di balas anggukan Siti.

Siti mengecek ponselnya lagi, ada sebuah pesan dari teman Siti yang menawarkan beberapa perhiasan yang ingin dia jual. Siti sedikit bingung, pasalnya temanya itu sangat menyukai perhiasan bahkan saat dia bekerja uang hasil gajinya dia belikan perhiasaan sebagian.

Namun, setelah menikah, dia sering sekali menjual perhiasan-perhiasan itu. Sitipun tak mau ambil pusing, dia hanya membantu teman-temanya dari pada di jual di tempat lain, Siti menawarkan untuk di jual pada dirinya saja. Jika suatu saat temanya ingin lagi perhiasan itu dia bisa membelinya lagi pada Siti.

Masalahnya, perhiasan-perhiasan yang temanya beli dulu itu penuh dengan kenang-kenangan bagi temanya itu.

Tak selang beberapa lama, Siti berhenti di sebuah rumah sederhana dengan pagar bercat hitam. Dia menekan bel rumah itu, dan selang beberapa lama seorang wanita dengan daster muncul.

Apakah itu Sarah? Teman yang sudah hampir satu tahun tidak ia temui. Walau sering berkirim kabar lewat aplikasi WA namun semenjak temanya menikah dia sama sekali tidak pernah bertemu temanya itu.

Rambut yang di ikat sembarang, perut yang buncit, wajah yang kusam serta daster gombrong melengkapi penampilan wanita yang dulu gelamor dengan baju brand.
Perhiasan mentereng serta wajah yang cantik dengan olesan make up serta perawatan itu dahulu. Sekarang benar-benar berbeda, seratus tiga puluh derajat.

"Siti?" ucap wanita itu yang langsung membuka pintu pagar dan memeluk Siti.

"Apa kabar, Sarah?" saut Siti membalas pelukan Sarah.

"Baik, ayo masuk dulu, kita ngobrol di dalam."

Siti tersenyum sembari membuka kaca mata hitam yang ia kenakan. Wajah cantik dengan rambut terikat rapi itu melangkah masuk.
Dia duduk di sebuah kursi sederhana, matanya mengelilingi setiap sudut ruang tamu.

"Maap, ya Ti, rumahnya lagi berantakan. Tadi abis momong bayi sama ponakan," ucapnya sembari menyodorkan Air putih.

Siti melipat kakinya dan tersenyum ke arah Sarah," Ngga apa-apa kok Rah,  jangan sungkan gitu sama saya. Kita kan teman."

"Oh iya, gimana kabarmu?" tanya Sarah.

"Alhamdullilah, baik. Kamu sendiri gimana?"

"Ya beginilah keadaan aku sekarang Ti. Jadi ibu rumah tangga. Oh iya, ini ada beberapa perhiasan kamu jadi mau beli kan? Soalnya aku butuh banget uang itu buat modal usaha aku." Sembari menyodorkan beberapa perhiasan.

Sara langsung, membuka Ponselnya dan mengirimkan sejumlah uang ke rekening Sarah.

" Jadi dong, uangnya udah aku transfer ya, kamu kalau ada apa-apa ngomong ya, Sar, biar aku bisa bantu."

"SARAH! SARAH!" Panggil suara keras seseorang dari dalam dapur.

Seorang pria dengan kaos putih dan rambut acak-acakan keluar dari dapur. Pria itu terdiam saat dia melihat seorang wanita cantik, tinggi dan mempesona duduk di ruang tamu bersama istrinya.

"Iya, Bang. Tadi Sarah mau masak tapi beras abis. Jadi ngga sempet," ucap Sarah menghampiri suaminya itu.

"Ah, gitu. Oh iya itu siapa?" Menunjuk Seorang wanita dengan baju rapi dan berhak tinggi.

"Ah, itu teman aku, Bang. Namanya Siti, dia kesini mau beli sisa perhiasan aku buat modal usaha kita." Sarah langsung memperkenalkan Siti dengan suaminya itu.

Siapa yang tidak terpesona dengan Siti. Wanita dengan pesona luar biasa itu selalu dapat menghipnotis seseorang pada kesan pertamanya.
Namun, Siti sudah bisa menebak seperti apa suami Sarah itu. Pria pengangguran yang hanya mengandalkan istrinya saja. Malas bekerja dan hanya menjadi benalu saja. Siti awalnya masih bisa menghibur Sarah saat Sarah bercerita jika suaminya itu malas dan tidak mau mencari pekerjaan. Walau ada yang menawarinya pekerjaan sekalipun dia akan selalu pilih pilih.

Namun setelah melihatnya langsung, pantas saja hidup Sarah berubah drastis setelah menikah.

Pria itu menyuruh, Sarah membuatkan kopi untuknya dan dia langsung duduk di ruang tamu bersama Siti.

"Nama saya, Doni. Kamu pasti Siti, istri saya sering kali membicarakan kamu." Seorang wanita cantik  kaya raya dengan harta yang melimpah, dan karir yang luar biasa sukses. Siapa yang tidak mau dengan wanita seperti itu.

Doni kembali menatap Siti dari ujung kaki sampai ujung kepala. Sempurna. Siti adalah wanita yang sangat sempurna, akan sangat beruntung jika Doni dapat memiliki Siti.

"Siti ini udah temenan lama ya sama istri saya?" ucapnya sok kenal. Namun hanya di balas anggukan Siti sembari meneguk air putih yang di sediakan Sarah.

Cih. Dia pikir Siti akan tergoda dengan penampilan pria seperti itu. Oh tentu tidak. Siti malah merasa risih semakin risih saat Pria itu meminta nomer ponsel milik Siti.
Siti menatap tajam, Doni ingin sekali dia menampar, menjambak bahkan memutilasimya saat itu juga.

"Oh, boleh minta nomer WAnya ngga, Ti? Mungkin nanti ada loker di tempat Siti bisa hubungi, Abang."

Sangat tidak tahu diri, berani-beraninya dia meminta nomer ponsel wanita lain saat istrinya tengah membuat segelas kopi untuknya. Mata Siti menatap tajam pria itu, seakan dia ingin sekali menendang wajah bak toples rumah itu. Dari pada dia semakin kesal, Siti meutuskan untuk pergi saat itu juga

"Oh, saya harus segera pergi." Tanpa mempedulikan Doni yang sedang bertanya nomer ponsel. Siti berdiri dan mengambil perhiasan dan memasukanya ke dalam tasnya.

Tak lama kemudian, Sarah datang membawa segelas kopi.

"Loh, mau kemana Ti?" tanyanya yang melihat Siti sudah bersiap untuk pergi.

"Mau langsung ke pabrik, Sar. Ada tamu penting datang, tadi barusan saya di kabari," ucap Siti mencari alasan agar dia segera pergi.

Mereka mengantar Siti sampai Siti menaiki mobil mewahnya. Tak henti-hentinya Doni suami Sarah menatap takjub pada Siti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top