Bab 7 Dia

"Rum, bagaimana keadaan Mbak Imah itu?" Suara dari Ponsel Arum itu seakan begitu Khawatir.

"Dia baik-baik aja, Mbak. Kata dokter dia butuh perawatan beberapa hari di rumah sakit," sautnya sambil menyambungkan ponselnya mengunakan handset.

"Naila gimana? Dia pasti syok banget. Kamu tau kan traumanya dengan keluarganya dulu?"

"Tadi aku suruh, Rangga buat anter Naila pulang kok, mbak. Jadi mbak Siti ngga usah khawatir." Suara Rum terdengar menggema di MRT yang di isi dia seorang.

"Kamu gimana? Kenapa ngga minta supir buat antar kamu pulang dulu?"

"Ngga apa-apa mbak, saya naik MRT kok, dari MRT nanti saya naik angkot ke rumah. Jadi mbak ngga usah khawatir".

"Yaudah, kamu hati-hati ya, kalau sudah sampai rumah atau ada apa-apa langsung kabarin, mbak ya?"

"Iya Bu bos," ucapnya sembari mengakhiri panggilan telfon dari Siti.

Sudah biasa bagi Arum pulang larut malam sendiri. Takut? Tentu saja namun yang dia takuti bukan hantu, melainkan begal atau orang jahat. Tapi mau bagaimana lagi, ini adalah tanggung jawab dia. Mau mengeluh pun pada siapa? Dia sangat butuh pekerjaan ini, lagi pula pulang lebih awal hanya untuk bertengkar dengan ayah tirinya membuatnya malah semakin lelah dan frustasi.

Arum keluar dari stasiun MRT dan melangkah ke sebuah angkot berwarna biru muda. Waktu menunjukan pukul 10 malam, terlihat hanya Arum seorang yang menaiki angkot itu. Di tengah jalan supir angkot tiba-tiba saja berhenti.

"Kenapa bang?" tanya Arum yang sedikit terkejut melihat mobil angkot yang tiba-tiba saja berhenti.

"Wah, mogok, Mbak," saut supir itu sembari mengecek mesin mobil.

Arum segera turun dari angkot, dia sedikit bingung masalahnya jarak ke rumahnya masih lumayan jauh. Tidak mungkin dia berjalan, tidak mungkin juga menunggu angkot lain, karena setaunya ini angkot jam terakhir.

"Duh, gimana ya, bang? Rumah saya masih jauh," gumam Arum yang merasa kebingungan.

Mau bagaimana lagi, Arum terpaksa berjalan kaki menyusuri jalan.

Tiba-tiba datang sebuah mobil, menurunkan kaca jendela menampakan seorang pria besar dengan kaca mata hitam dan kalung rantai serta wajah yang menyeramkan.

"Ayo, saya antar pulang," ucapnya yang di balas gelengan Arum. Pria itu turun dari mobil dan memaksa Arum untuk menerima tumpangan.

"Maap, pak saya tidak mau. Saya sudah telfon suami saya untuk jemput saya." Arum memberi alasan agar pria itu pergi dan tidak memaksanya lagi.

Tiba-tiba datang sebuah motor Scoopy putih berhenti tepat di depan mobil pria itu. Turun seorang pria tinggi mengenakan kemeja putih yang di lipat sampai bawah siku. Pria gagah dan tegap itu melepas helemnya dan sedikit merapikan rambutnya yang terbang terbawa angin. Dia turun dan mendekati Arum.

"Dia istri saya, Pak. Ada apa ya, pak?"

Pria menyeramkan itu terdiam cangung dan segera pergi meninggalkan Arum tanpa satu kata pun.

"Kamu ngga apa-apa Rum?" tanya Bima sedikit menunduk melihat wajah Arum.

"Ngga apa-apa, Mas," ucap Arum sembari menghela nafas lega.

"Kamu Malam-malam gini baru pulang kerja? Kenapa ngga naik mobil jemputan lembur aja, Rum? Bukanya ada ya?  malam-malam gini bahaya loh, apalagi kamu perempuan," oceh Bima tanpa henti.

"Saya tadi dari rumah sakit, mas. Jadi, ngga naik mobil jemputan," sautnya.

"Yaudah, saya antar pulang," ucap Bima yang di balas Ringisan suara Arum karena tak sengaja lengan Bima menyentuh tangan Arum yang terluka karena tergores sudut meja saat Suami Bu Imah mendorongnya.

Dengan Spontan Bima langsung melihat tangan Arum, yang pergelangan tangan Arum yang sobek dan berdarah.

"Kamu, kenapa bisa terluka gini, Rum?" tanya Bima.

Arum segera menarik tanganya dan membunyikan lukanya. Dia saja baru sadar kalau tanganya terluka sampai mengeluarkan darah.

Bima menghela napas panjang, dia sangat paham dengan wanita yang beberapa bulan dia temui itu. Wanita yang selalu menganggap dirinya kuat, yang selalu berusaha tidak membutuhkan siapapun, wanita yang selalu merasa dirinya bisa tanpa orang lain. Wanita yang membuat Bima mengerti bahwa tidak semua wanita sama.

Arum berbeda, sangat berbeda, bagi Bima Arum adalah wanita yang membuat dirinya melihat sisi lain dari seroang wanita. Dia tidak melihat sisi manja, atau bahkan sisi lemah dari seorang wanita. Wanita yang bahkan tak membiarkan siapapun masuk kedalam hati dan kehidupannya.

Arum yang merasa tidak ada pilihan lain selain menerima tumpangan Bima itupun hanya diam dan mengikuti Bima. Arum yang terpaksa menumpang Bima dengan menaiki motor Scoopy putih itupun hanya diam sepanjang jalan.

Bima menghentikan motornya di depan Alfamart yang beroperasi 24 jam itu dan memarkirkannya.

"Rum duduk dulu di kursi itu, Mas mau beli beberapa barang," ucap Bima yang menunjukan sebuah kursi kosong di depan Alfamart.

Tak beberapa lama, Bima keluar dengan secangkir kopi dan beberapa obat-obatan seperti kapas, perban dan obat merah.

"Sini, tanganya tadi yang luka, biar Mas Obatin," ucap Bima sembari mengulurkam tanganya.

"Ngga usah, Mas. Nanti juga sembuh sendiri," ucap Arum yang masih enggan menunjukan lu pergelangan tangannya yang terluka. Bagi Arum luka sepeti itu sudah biasa, dia akan obati sendiri atau bahkan luka itu akan sembuh sendiri.

"Luka kalau ngga di obatin emang sembuh sendiri tapi kalau kena infeksi bakal makin parah, ngga usah keras kepala atau sok kuat, Arum bisa bersikap kaya wanita beneran kok."

"Wanita beneran? Emang Mas kira Arum ini wanita boongan?" Arum mengerutkan dahinya sembari memanyunkan bibirnya.

Bima tersenyum samar, dia selalu berhasil membuat wanita keras kepala ini marah. Dan ekspresi marahmya Arum selalu berhasil membuat Bima tersenyum.

"Ya kali, Temanan sama Lucinta Luna," ucap Bima yang di balas tatapan sinis Arum.

Namun, Bima tetap memaksa mengobati luka Arum, Arum yang terpaksa pun diam saja ketika tangan kekar itu membalut kain perban ke pergelangan tanganya. Bukankan dia seperti boyfriend material? Wajahnya tampan, tubuhnya tegap bahunya lebar, dia benar-benar terlihat sangat tampan dengan lengan kemeja yang di lipat sampai siku itu.

Ah, lagi-lagi Arum memikirkan hal yang aneh. Ayolah Arum, semua laki-laki itu sama saja. Mereka akan berusaha sekuat tenaga mendapatkan wanita yang dia sukai namun setelah itu dia akan meninggalkannya. Namun entah mengapa dia merasa hal yang berbeda pada Bima. Arum segera menghilakan pikiran anehnya dan bertanya tentang Candra.

"Mas emang dari mana? Kok ngga sama Chandra? Chandra di rumah sendiri?" Chandra sendiri? Arum terdiam menyadari bahwa Bima pergi tanpa Chandra. Dia langsung berdiri dan menarik tanganya yang hampir selesai di perban itu.

Bagaimana bisa Bima meninggalkan anak berumur 6 tahun sendirian di rumah.

"Lu ninggalin anak lu sendirian malem-malem, Mas?" tanya Arum yang terlihat khawatir.

Namun Bima hanya terdiam, melihat tingkah aneh Arum yang tiba-tiba saja panik setelah menyadari Bima pergi tanpa Chandra. Sedangkan yang Arum tahu, Nur baby sitternya Chandra hanya ada saat siang hari, setelah Bima pulang dia akan selalu mengajak Chandra kemanapum. Karena mereka hanya tinggal berdua tidak mungkin Bima meninggalkan anaknya sendirian di rumah.

"Kamu tu-"

"Ayo, pulang!" Potong Arum yang langsung mengambil Helem dan menarik tangan Bima menuju motor.





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top