Bab 69 mati lampu

"Seneng lu ya, pulang larut malem sama cowo yang bukan muhrim."

"Apa sih, lu Sat. Lu ngga liat ujan macet. Nih gue bawain sate, lu belum makan kan?"

"Ngga laper gue."

"Yaudah gue taro kulkas, kalau lu laper tinggal panasin aja." Arum melangkah ke dalam dapur meletakan sate di dalam kulkas.

Arum kemudian masuk kekamar, menganti bajunya dan menyalakan TV dia juga menggelar kasur lantai di ruang tamu. Mengambil beberapa cemilan sembari menonton TV.

"Lu ngga tidur?" tanya Satria yang membuka pintu kamarnya yang berada di dekat ruang tamu.

"Ngga bisa tidur. Lu ngga inget tahun lalu hujan gede gini terus tiba-tiba aja banjir."

"Gluduk gede, lu malah nyalain TV ke samber petir bibir lu tau rasa."

"Berisik banget sih, lu."

Duarrrrrr!

"Allahuakbar!!"

Suara gemuruh petir diikuti padamnya lampu membuat Arum berteriak kencang.

"SAT! SAT LU DIMANA! SAT JAWAB GUE PLIS!" Arum berteriak sembari mencari keberadaan Satria di tengah gelapnya suasana.

"Arum? Gue di sini?"

"Lu di mana?" Arum terduduk meringkung sembari ketakutan. Dia sangat takut pada gelap. Bukan, bukan gelap malam, tapi gelap yang  membuat dia tidak bisa melihat apapun sampai membuatnya merasa sesak nafas.

Satria meraba kantongnya dan mencari pelatik lalu menyalakannya. Arum tepat berada di hadapannya dengan meringkuk ketakutan.

"Satria!" Arum segera memeluk Satria saat dia melihat cahaya dan mendapati sosok Satria berdiri tepat di hadapannya sembari memegang pelatik.

"Lu ngga apa-apa kan? Rum? Arum? Jawab gue?" tanya Satria sembari memeluk Arum dengan erat.

Dia bahkan bisa merasakan detak jantung Arum yang berdetak tak karuan, tubuhnya gemetar dan deru nafasnya terasa tidak teratur.

"Gelap banget, Sat. Gue takut," ucap Arum dengan suara yang gemetar.

"Udah, ngga apa-apa. Ada gue, sini duduk sini." Satria mengarahkan Arum untuk duduk di bawah sembari mengatur nafasnya.

"Sekarang lu tarik nafassss. Terus keluarin." Satria membantu Arum untuk mengatur nafasnya.

Setelah melihat Arum sedikit tenang dia kemudia kembali bertanya pada Arum.

"Lu ngga apa-apa kan? Udah tenang sekarang?"

Arum mengangguk dengan wajah pucatnya. Suara petir itu sangatlah kencang membuat Arum begitu terkejut sampai dadanya berdetak cepat.

"Ini pegang." Satria memberikan pelatik yang masih menyala ke pada Arum.

"Lu mau kemana, Sat?" tanya Arum dengan masih menggengam erat baju Satria.

"Gue mau ambil lilin sama air biar lu di dapur."

"Ngga. Lu gila ninggalin gue sendiri?"

"Gue sebentar doang, ke dapur doang," ucap Satria.

Dengan terpaksa Arum melepaskan genggaman nya dan membiarkan Satria pergi.

Satria melangkah meraba-raba sekitar menuju dapur. Sesampainya di dapur dia menyalakan kompor agar ada sedikit cahaya. Saat dia sudah mulai melihat dia mencari Lilin di laci dan menyalakannya. Dia membawa satu lilin yang menyala, dan dua lilin yang masih padam. Tangan sebelahnya membawa sebuah botol air minum yang dia ambil dari kulkas.

"Ini minum," ucap Satria sembari menyodorkan air ke pada Arum.

"Udah mendingan kan?" tanya Satria lagi sembari menyalakan lilin dua lilin lainya dan meletakkannya di depan dan samping Arum.

"Iya," ucap Arum sembari menarik nafasnya.

"Rum, inget ngga pertama kali kita ketemu?"

Arum tersenyum, dia masih sangat ingat saat pertama kali Arum dan Satria bertemu.

Ya, saat itu kejadian mirip sekali seperti saat ini. Satria tiba-tiba saja sudah berada di rumahnya saat ibunya selesai menjalankan ijab qobul. Saat itu dia dan Satria berada di rumah berdua. Dua orang yang asing tak saling kenal, tiba-tiba saja harus menerima kenyataan bahwa mereka harus menjadi saudara.

Saat itu Arum menangis kencang karena dia sangat takut gelap. Padahal saat itu, ibu dan ayah tirinya tengah pergi ke bandung untuk menjenguk putri yang tiba-tiba saja mengalami kecelakaan.

Mereka berdua berada di kegelapan dengan suara tangisan Arum yang tak kunjung berhenti. Satria yang bingung saat itu hanya bisa diam karena tidak tahu harus berbuat apa pada gadis yang menangis sesenggukan itu.

"Nggak nyangka ya, Sat waktu berjalan begitu cepat." Arum kini benar- benar sudah sangat tenang.

"Nih, pakai selimut lu. Makanya kalau gue bilang jangan nyalain TV ya jangan di lakuin." Satria memberikan selimut pada Arum.

"Is, lu sih yang bilang-bilang kesamber petir. Jadi geluduk beneran kan, Sampai mati lampu gini."

"Iya, iya maaf. Gue kan ngga tau kalo beneran ada petir."

Arum menggeser tempat duduknya mendekati Satria.

"Mau ngapain lu?" tanya Satria saat mendapati Arum kini berada di sampingnya.

"Nanti kalau ada pertir lagi gimana?"

"Geser kesonoan lu, jangan deket-deket gue. Nanti gue hilaf berabe."

Arum menatap sinis Satria dan kembali berada di tempat duduknya semula.

"Sat, gue mau mules," ucap Arum.

"Yaudah tu ambil satu lilinnya." Satria menyodorkan satu lilin yang masih tersisa dan memberikannya pada Arum.

"Anterinlah. Nanti kalau ada gluduk lagi gimana?"

"Yaelah, manja banget sih lu." Satria berdiri dan melangkah menuju kamar mandi dekat dapur.

Arum langsung bergegas mengikuti Satria.

"Sono buruan, apa mau di anter sampe dalem?"

"Dih, mesum aja lu otaknya." Arum menutup pintu kamar mandi.

"Sat!" seru Arum memastikan Satria masih berada di luar pintu.

"Ape sih! Boker aja berisik lu."

"Cerita apa gitu, kek. Biar ngga sepi-sepi amat."

Satria menghela nafas, baru kali ini dia di minta mendongengkan orang buang hajat.

"Lu kalau mau boker buruan aja sih, ngga usah ribet-ribet minta di ceritain."

"Yaelah Sat, pelit banget sih lu."

"Rum?"

"Hah? Apah?"

"Lu inget jembatan sebelum rumah kita ngga?"

"Iya, kenapa emang?"

"Gue kemarin ketemu orang aneh, masa Rum. Ada kabar di situ katanya ada penunggunya. Tapi gue ngga percaya ya, jadi pas gue pulang kisaran jam 2 malam. Tiba-tiba aja ada cewe nyetop gue. Terus minta tumpangan."

"Terus? ucap Satria.

Setelah selesai Arum langsung keluar kamar mandi sebelum Satria lebih panjang menceritakan cerita horor. Namun, dia  tak menjumpai Satria di sana.

"Sat? Lu di mana?"

"Di sini," ucap Satria yang muncul tiba-tiba mengagetkan Arum.

Arum yang terkejut dan ingin lari namun terpeleset karena kakinya yang basah. Satria dengan sigap menangkap tubuh Arum dan menariknya ke pelukannya.

Jantung Satria kini berdetak kencang saat dia dengan leluasa memeluk tubuh mungil itu. Tubuhnya kini benar-benar terdiam kaku tidak tahu harus berbuat apa. Seakan dia tidak ingin melepaskan pekukan Arum.

Arum yang sadar langsung mendorong tubuh Satria dan melangkah mundur menjaga jarak.

"Setan lu, ya Sat."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top