Bab 68 Marah.
"Udah dong, Rum ngambeknya. Sampai kapan kamu mau diemin Mas gini?" tanya Bima yang masih fokus mengemudi mobil. Sesekali dia menoleh ke arah Arum yang masih dengan wajah masamnya.
"Ngga baik loh, marahin Mas gitu terus. Nanti wajah cantiknya ilang loh," rayu Bima yang masih berusaha membuat Arum berhenti cemberut.
"Abis Mas nyebelin. Buat apa coba Mas ngajak Arum pergi ketemu Fatimah ke tempat mewah kaya gitu. Udah tau Arum ngga begitu suka tempat kaya gitu. Bisa kan kita ketemu di restoran biasa di restoran Mas juga bisa. Terus juga Mas ngapain mau di pegang-pegang tanganya sama Fatimah. Mas tau kan dia bukan muhrimnya Mas. Terus juga sok banget perhatian segala bukain tutup botolnya paket acara senyum segala. Kenapa cuma sama Fatimah Mas lembut banget ngomongnya 'iya Aa gini aa gitu' dih nyebelin banget."
"Rum-"
"Stop! Arum belum selesai ngomong. Kok sekarang Mas suka banget motong Arum ngomong. Terus itu juga, ngapain juga Fatimah minta ikut kita jalan ke taman besok dan Mas iyain bisa kan Mas nolak? Bikin alasan apa gitu. Pokoknya kalo Fatimah datang besok Arum ngga mau ikut. Mending Arum di rumah rebahan dari pada kepanasan," Arum terus mengoceh tanpa henti bahkan sampai terengah-engah.
Bisa dilihat dia sangat kesal dan marah. Kalau sudah seperti ini Bima tidak akan bisa berbuat apa-apa.
"Udah? Kalau udah misuh-misuhnya jangan lupa ucap istighfar, Astagfirullahhh,"ucap Bima sembari mengelus dadanya.
"Arum laper."
"Lah, pantes. Sensitif banget. Mas kira lagi Haid ternyata masih laper."
Arum melirik tajam ke arah Bima.
"Oke, tuan putri yang paling cantik mau makan apa?"
"Sate," ucap datar Arum sembari menirukan adegan film horor Susana dengan wajah yang masih kesal.
Bima tersenyum ke arah Arum. Lihatlah hanya dengan tingkahnya saja seperti ini bisa membuat Bima semakin jatuh cinta pada Arum. Bisa-bisanya dalam keadaan marah dia bisa cosplay adegan film Susana.
"Ngapain Mas senyum-senyum? Ada yang lucu? Ngetawain Arum?"
"Udah deh Rum, Jangan buat Mas gemes terus berbuat sesuatu yang ngga kamu banyangin. Mau?" Bima menoleh ke arah Arum dengan senyum seringainya dan tatapan anehnya.
Arum tiba-tiba saja jadi diam karena tatapan Bima. Kini otaknya menjadi treveling kemana-mana.
Tak lama kemudian Bima memarkirkan mobilnya di sebuah warung sate di pusat kota.
Arum dan Bima keluar dari mobil dan menuju warung yang lumayan luas itu. Gerimis tiba-tiba saja datang dengan angin yang membuat suasana menjadi sangat dingin.
Gedung-gedung pecakar langit di pusat ibu kata masih terlihat jelas. Bima membuka jaket hitamnya dan mengenakanya pada Arum.
"Lain kali kalau pergi jaketnya di bawa. Arum kan paling ngga kuat sama angin malam."
"Jaket Mas yang waktu itu belum Arum kembalikan, Arum lupa, Mas."
"Udah ngga usah di pikirin." Bima mengelap kepala Arum yang basah karena terkena tetesan hujan saat masuk ke warung.
"Sate dua porsi dengan lontong satu porsi kan, Mas?" tanya penjaga warung yang datang membawa sate yang sudah di siapkan.
"Ah, iya. Makasih ya, Pak," ucap Bima membantu penjaga itu menaruh piringnya.
"Loh? Kok dua porsi? Bukanya Mas udah kenyang?"
"Tau ngga sih, Rum. Dulu Mas makanya jarang. Kalau ngga makan sama Chandra Mas pasti ngga akan makan. Tapi setelah kenal kamu dan jalan sama kamu Mas jadi makannya Banyak."
"Jadi, kalau Arum gendut Mas juga gendut. Gitu maksut, Mas?"
"Kok jadi ngomongin itu. Nggalah, Rum. Justru Mas jadi seneng Maag Mas jarang kumat. Karena makan teratur. Aaaaa?" ucap Bima sembari membuka mulutnya meminta Arum untuk menyuapinya.
"Kalah ya, Sama Chandra. Sekarang Mas juga manja." Arum menyodorkan Sendok ke mulut Bima.
"Kalau Arum jadi istri Mas." Bima terdiam menatap Arum.
"Kalau Arum jadi istri Mas? Kenapa?" ucap Arum.
Kini Bima dan Arum saling menatap, Bima seketika tidak mampu lagi bicara saat menatap gadis itu. Bahkan sekarang dia mulai tidak mampu berfikir lagi saat menatap gadis itu. Yang kini dia inginkan adalah dia terus bersama Arum.
"Ngga apa-apa udah abisin makanya. Terus kita pulang keburu malam dan ujan makin gede."
Setelah selesai menghabiskan makananya Arum dan Bima pergi pulang. Hujan semakin besar menimbulkan petir dan angin yang kencang.
Bima benar-benar sangat berhati-hati mengendarai mobilnya. Belum lagi hujan yang sebentar menimbulkan genangan air yang lumayan dalam.
"Jakarta, hujan sebentar saja udah banjir dan macet di mana-mana," gumam Arum yang masih heran dengan kondisi ibu kota.
"Kayaknya kita bakal telat pulangnya Rum. Kamu kabarin ibu aja kalau kamu telat pulangnya. Macetnya parah banget ini."
"Ibu di kampung Mas, sama Raka sama Bapak. Paling pulang Minggu depan."
"Kamu di rumah sendiri?"
"Ngga kok, ada Satria. Tapi dia emang pulangnya tengah malem terus."
"Kalian berdua doang di rumah?"
Arum mengangguk.
Bima kembali teringat, Satria punya peluang yang besar untuk dekat dengan Arum. Ingin sekali Bima tahu lebih dalam kedekatan Arum dan Satria. Tapi dia juga tidak boleh terlalu posesif pada Arum. Walau Satria dengan tekadnya menyukai Arum. Tapi ada tembok besar yang Satria tidak bisa lewati begitu saja.
Dia percaya Satria tidak akan berbuat nekat atau aneh pada Arum. Bagaimanapun, Bima tahu Satria sangat menjaga arum. Tapi tetap saja dia khawatir.
Suara dering ponsel Arum berbunyi, dan Arum segera mengangkat telfon itu.
"Lu dimana sih, Nyet! Udah jam 11 kagak ada di rumah!" seru Satria dari balik telefon.
"Macet, tau. Ini masih di jalan. Lagian tumben amat lu udah pulang, biasanya kek kalong lu pulangnya jam 2 atau jam 3."
"Eh, anak monyet. Gue sengaja pulang cepet karena ujan angin deras banget Ama gluduk juga. Lu di rumah sendiri. Tau gitu lu masih di jalan gue jemput tadi. Lu di mana emang? Biar gue jemput."
"Ngga usah, gue pulang sama Mas Bima. Lu ngga usah khawatir."
"Siapa yang khawatir, Nyet. Gue cuma takut ibu nanyain lu ke gue."
"Iya-iya, berisik banget lu. Ini udah bentar lagi sampe." Arum menutup telfonnya.
"Satria ternyata peduli banget ya, sama kamu Rum?" tanya Bima yang tak sengaja mendengar percakapan Arum dan Satria.
"Walau dia kek preman sebenarnya dia baik kok, Mas. Dia juga suka bantu Arum dan Ibu. Makanya ibu sayang banget sama dia kaya anak kandungnya."
"Hmmm gitu toh."
Tak lama kemudian Bima dan Arum sampai di rumah. Bima segera turun dari mobil dan memayungin Arum dengan tubuhnya menuju rumah.
"Ya ampun, Mas jadi basah semua."
"Ngga apa-apa, Rum. Nanti sampai rumah Mas langsung mandi terus ganti baju."
Arum mengelap rambut Bima yang basah karena hujan.
"Arum! Masuk!" Satria muncul dan langsung menyuruh Arum masuk.
Dengan tatapan tajam pada Bima dia mendekati mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top