Bab 62 Vaksin

"Lagi nunggu istrinya Vaksin ya, Mas?" Seorang pria menyapa Bima yang tengah menunggu Arum keluar dari tenda vaksin di area puskesmas.

"Ah, insyaallah Calon Pak," ucap Bima tersenyum ramah.

"Jadi kapan mau nikah?"

"Insyaallah secepatnya, Pak. Doakan saja."

"Mbak yang pake jilbab hitam itukan calonnya Mas? Subhanallah cantik juga ya."

Bima tersenyum sembari menyingkap rambutnya ke belakang.

"Jangan lama-lama loh Mas. Biar cepet halal."

"Iya, Pak saya masih menunggu keputusan dia juga. Insyaallah kalau dia udah setuju saya langsung lamar."

"Adek yang di sana itu, anak baik. Bapak berharap dia dapat menemukan pria yang baik yang dapat mengobati hatinya. Mungkin selama dia hidup dia di perlihatkan oleh pernikahan dan kehidupan rumah tangga yang buruk. Tapi semoga saja dia bisa mendapatkan jodoh yang baik dan hidup bahagia," ucap pria itu sembari menatap Arum dari kejauhan.

"Bapak kenal sama Arum?"

"Saya?" Pria itu menggeleng. "Mungkin saya pernah bertemu dia tapi sepertinya dia tidak mengenali saya," lanjutnya

"Oh iya, Mas. Saya permisi ya sudah di jemput istri saya."

"Iya, Pak. Mari." Bima menyalami pria itu dan melihat dia melangkah pergi

"Mas?" Arum datang sembari memasukan beberapa berkas vaksin ke dalam tas.

"Sudah selesai?"

"Heem." Arum mengangguk.

"Arum mau langsung pulang terus istirahat?"

"Yaelah Mas, ini cuma di vaksin bukan suntik rabies. Mumpung di daerah sini Arum mau mampir ke tukang mie ayam di pertigaan sana. Katanya mie ayam di sana enak," ucap Arum.

"Yaudah, kita pergi ke sana. Nanti kalau merasa demam kita langsung pulang ya?"

"Iya-iya bawel banget sih, Mas." Arum melangkah menuju motor Bima yang di ikuti Bima.

Walau sering pergi bersama Bima masih saja heran dengan tingkah Arum ini. Gadis yang mampu membuat Bima terus ingin di dekatnya itu selalu saja membuat Bima khawatir.

Sesampainya di pertigaan Arum langsung memesan 3 mangkok mie ayam.

"Rum satu mangkok lagi buat siapa?"

"Satu mangkok buat, Mas. Dua mangkok buat Arum."

"Astagfirullah Arum, kamu abis di vaksin nafsu makannya nambah banyak juga?"

"Kenapa? Mas takut Arum gendut?"

"Bukan itu, mas ngga masalah itu tapi mas khawatir aja nanti perut kamu sakit. Jangan makan sambel sebanyak itu Arum," ucap kaget Bima saat Arum menambahkan lima sendok sambal ke mangkok Arum.

"Its oke, Mas. Ini bukan apa-apa Arum bisa nambah sambel tiga sendok lagi."

"Iya-iya, terserah kamu aja." Bima mengambilkan tisu dan mengelap tangan Arum yang terkena percikan sambal.

"Mas mau ngapain?" tanya Arum saat Bima menyentuh botol saus.

"Kenapa?"

"Ngga usah aneh-aneh deh." Arum langsung merebut botol saus dan menjauhkannya pada Bima.

"Itu saus tomat doang, Rum. Ngga apa-apa."

"Ngga ada saus-sausan. Mas pake kecap aja." Arum menambahkan kecap ke mangkuk Bima.

Bima yang tersenyum melihat tingkah Arum itupun akhirnya mengalah. Wajah Arum tiba-tiba sangat khawatir saat tahu Bima ingin menambahkan saus di mangkuknya.

Bima membuka jaketnya dan merapikan lengan kemejanya. Dia juga membuka satu kancing kemejanya karena suhu yang sedikit panas. Cahaya matahari sangat terik membuat Bima sedikit berkeringat.

Arum berdiri dan membalikan kipas yang ada di warung mie ayam ke arah Bima. Pasti Bima merasa sangat kepanasan dia juga mengambil tisu dan mengelap kening Bima yang berkeringat.

Angin kipas menerbangkan helai rambut Bima, membuat dia terlihat sangat mempesona. Wajah tampan dan tegas itu mampu membuat wanita mana saja mabuk kepayang olehnya.

"Rum?"

"Hmm? Kenapa, Mas?"

"Selain kamu suka pedes dan ngga begitu suka kacang apalagi yang kamu suka dan ngga kamu suka?"

"Hmmm apa ya?" ucap Arum melihat ke arah jalan raya sembari berfikir.

"Kalau bicara itu lihat Mas." Bima menyentuh dagu Arum dan membelokan kepala  agar Arum menatapnya.

Apa pria ini sudah gila? Sengaja Arum memalingkan wajahnya agar tidak terus menatap pria di hadapannya itu. Bima malah dengan santainya menyuruh Arum terus menatap ke arahnya.

Jika terus seperti ini, iman Arum benar-benar bisa goyah. Semakin lama dia dengan sendirinya tidak bisa mengelak jika dia juga sangat menginginkan pria di hadapannya itu.

Tapi tidak. Arum tidak boleh kalah dan tidak boleh lemah. Ingat, semua pria sama saja. Walau dia menyukai Bima, tapi pria ini tidak boleh memiliki seluruh hatinya.

Karena jika wanita sudah benar-benar jatuh cinta dan memberikan seluruh hatinya dia tidak akan pernah berfikir mengunakan otaknya lagi.

"Arum? Kok malah ngelamun? Mas ganteng ya? Sampe Arum natapnya begitu," ucap Bima sembari menyeringai ke arah Arum.

"Astagfirullah! Mas? Sejak kapan kamu ke pedean gini?"

Bima tertawa lepas saat melihat ekspresi wajah Arum yang terlihat sangat lucu.

"Makanya kalau di ajak bicara sama Mas itu liat Mas bukan liat jalan raya."

Arum memanyunkan bibirnya melihat Bima terus saja meledeknya.

"Mas ngga suka pedes, Mas suka kopi dan minum susu jahe. Mas suka masak tapi lebih suka di masakin. Mas suka gelap dan juga Mas suka?" Bima menatap Arum.

"Apa?" tanya Arum yang melihat Bima menghentikan ucapannya.

"Mas suka Arum," lanjut Bima yang membuat wajah Arum bersemu merah.

"Jadi ngga napsu makan Arum, denger Mas gombal."

"Biar Mas tebak. Arum ngga suka kacang, Arum suka pedes. Arum ngga begitu suka ikan. Arum juga suka bunga matahari dan juga suka lihat matahari. Warna favorit Arum beige, coklat dan orange. Arum ngga begitu suka manis."

"Wah? Mas kok bisa tahu?" ucap Arum yang terkejut mendengar Bima mengetahui beberapa hal tentang Arum.

"Tebak aja sendiri, Mas tahu dari mana." Bima tersenyum kearah Arum.

"Is is is, ternyata nyebelin juga ya, Mas ini." Arum kembali menikmati mie ayamnya.

"Arum mau punya anak berapa?"

Arum yang mendengar pertanyaan aneh Bima langsung tersedak.

"Astagfirullah, ini minum dulu Rum?" Bima menyodorkan segelas air putih ke arah Arum yang langsung Arum minum.

"Mas ini, lama-lama kaya Chandra ya, nanya aneh-aneh aja," ucap Arum yang masih Syok dengan pertanyaan Bima.

"Maaf, Mas cuma bercanda," ucap Bima dengan senyumannya tanpa rasa bersalah.

"Lagian Mas ini, orang nikah dulu, baru tanya mau punya anak berapa."

"Arum sendiri yang masih belum kasih jawaban ke Mas. Mas kan pengen cepet-cepet nikahin Arum. Biar halal."

"Kalau Mas ngga sabar, kawin aja noh sama kambing. Tuh." Arum menunjuk kambing betina yang terlihat ingin kawin.

"Astagfirullah, Kasian Chandra masa punya mama kambing."

"Mas?"

"Hmm?"

"Arum serius loh, kalau Mas merasa bertebebani sama jawaban Arum. Lebih baik Mas ngga usah nunggu Arum."

"Mas juga serius loh, Rum. Kalau Mas bakal nunggu Arum. Selama apapun itu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top