Bab 56 penculikan.

Suara ketukan pintu terdengar di tengah malam. Membuat Naila tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya. Dia melirik jam menunjukan pukul 02.00 dini hari. Siapa gerangan yang mengetuk pintu malam-malam begini?

Naila memegang gagang pintu dan ingin membuka kunci. Namun tiba-tiba saja perasaanya tidak enak. Kalau bukan orang jahat siapa lagi yang mengetuk pintu selarut ini.

Dia berinisiatif mengintip dari balik jendela. Dia tiba-tiba saja melangkah mundur dengan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Tubuhnya bergetar hebat saat dia menemukan sosok pria dengan pakaian serba hitam berdiri di depan pintunya. Dia melihat dengan jelas wajah pria itu. Itu adalah wajah ayahnya.

Pria itu mencoba memaksa masuk dengan memainkan gangang pintu itu dengan keras.

Naila segera kembali ke kamarnya dan mencari ponselnya. Dia menelfon Rangga dengan tangan gemetar. Namun Rangga juga tidak mengangkat telfonya. Dia mencoba menelfon pemilik kontrakan untuk meminta bantuan tapi nomer pemilik kontrakan tidak aktif.

Dia melihat Arum wattsap Arum bertuliskan online. Dengan segera dia menelfon Arum.

Di sisi lain Arum yang baru selesai menjalankan sholat tahajudnya terkejut saat ponsel dia berdering. Dia segera mengambil ponselnya melihat siapa gerangan orang yang menelfon dia larut malam seperti ini.

"Nai?" gumamnya dan langsung mengangkat telfonnya.

"Iya, Nai ada apa?"

"Mbak Rum, tolong Nai Mbak," ucap lirih Naila dari balik telfon membuat Arum langsung bangkit dari duduknya.

"Kamu kenapa, Nai?"

"Bapak Mbak, Bapak mencoba masuk kekontrakan Nai, Mbak. Nai takut banget, dia juga bawa pisau di tanganya. Mbak tolongin Nai."

"Jangan tutup, telfonnya. Mbak kesana sekarang kamu jangan panik. Kamu tenang dulu."

Arum langsung membuka mukenanya mengambil kerudungnya dan melangkah keluar.

Satria yang baru saja pulang dan tidak sengaja melihat Arum keluar rumah langsung menghampiri Arum.

"Rum, lu mau kemana malem-malem gini," ucap Satria sembari memegang tangan Arum.

"Sat?" ucap Arum dengan wajah paniknya.

"Lu kenapa?" Satria yang melihat wajah panik Arum jadi terkejut dan khawatir.

"Tolongin gue." Arum mengeluarkan air matanya dia terlihat sangat panik dan ketakutan.

"Iya ada apa?"

"Temen gue dalam bahaya."

"Ayo kita kesana." Satria langsung menggeret Arum naik ke motornya. Melajukan motornya dengan cepat menuju rumah Naila.

Jika Arum sepanik itu artinya temanya benar-benar dalam bahaya.

"Suruh dia cari apapun buat ngehalangi pintu. Usahakan orang itu jangan sampai masuk."

"Nai?"

"Iya, Mbak?"

"Kamu cari sesuatu buat ngehalangi pintu. Jangan sampai bapakmu masuk. Kamu paham?"

"Iya." Naila melihat sekelilingnya menemuka kulkas yang berada di samping pintu. Dia segera menggeser kulkas itu untuk menghalangi pintu. Dia mengintip melihat bapaknya masih berusaha menerobos masuk dengan mencongkel pintu kontrakan Naila.

Naila tidak bisa berteriak lantaran kontrakan yang dia tempati dari ujung sampai ujung itu baru saja kosong. Tetangga Kananya yang seorang guru pulang kampung beberapa hari yang lalu. Dan tetangga kirinya bekerja malam hari.

Jika dia berteriak sekalipun tak mungkin ada yang dengar karena kontrakan dia di dekat danau yang lumayan sepi. Kecuali 10 kontrakan yang berjejer itu terisi orang.

"Rum? Suruh temanmu cari senjata apapun. Pisau gunting atau apapun untuk melindungi diri. Dan bilang kita bentar lagi sampai."

"Nai, kamu cari pisau buat lindungi diri kamu," ucap Arum.

Namun tiba-tiba saja saat Naila ingine gambil pisau pintu sudah terbuka. Ayahnya mendorong keras pintu yang membuat kulkas itu terjatuh.

"Anak bapak sudah besar ya?" ucap pria itu saat melihat Naila yang terduduk ketakutan.

"Bapak mau apa? Jangan ganggu Naila lagi! Naila mohon pak."

"Uluhuluh anak bapak yang cantik jangan nangis. Kita liat badut yuk, sama ibu," ucapnya dengan mata yang sangat mengerikan.

Dia pasti terpengaruh alkohol karena Naila mencium aroma alkohol yang sangat kuat. Sama saat kejadia waktu itu. Kejadian dimana bapaknya membunu ibunya.

"Pergi dari sini pak!"

"Dasar anak nakal!" Pria itu mengarahkan pisaunya ke arah Naila. Belum sempat pisau itu menyentuh Naila. Satria datang dan langsung menghajar pria itu.

"Nai!"

"Mbak Rum?"

Arum langsung menghampiri Naila dan memeluk erat Naila.

"Kamu ngga apa-apa Nai?"

Tubuh Naila bergetar hebat, dia benar-benar sangat ketakutan.

Di sisi lain Satria berjuang melumpuhkan pria itu yang bertubi-tubi mengarahkan pisaunya ke arah Satria.

Sesekali pisau itu berhasil mengores lengan Satria yang membuat Satria kesakitan. Namun tiba-tiba saja Rangga datang membantu Satria melumpuhkan pria itu.

Karena bantuan Rangga akhirnya pria itu dapat di lumpuhkan dengan cepat. Pak RT datang bersama polisi dan yang langsung menangkap pria itu.

Kini Naila bahkan tak sadarkan diri di pelukan Arum.

"Ngga? Naila pingsan."

Rangga langsung mendekati Arum dan Naila.

"Kita bawa kerumah sakit, Mbak." Rangga mengangkat tubuh Naila dan membawanya ke rumah sakit dan di susul Satria dan Arum.

Naila langsung di tangani pihak rumah sakit yang mengatakan Naila hanya pingsan karena syok dan meminta mereka untuk tidak khawatir.

"Makasih ya, Mbak Rum dan?"

"Satria." Satria mengulurkan tanganya.

"Saya Rangga, makasih ya Satria kalau ngga ada lu, gue ngga tau lagi apa yang terjadi pada Naila. Sekali lagi terima kasih."

"Iya, sama-sama."

Arum yang memperhatikan lengan Satria yang terluka itu bahkan jaket Jeansnya robek dan mengeluarkan darah.

Rangga masuk menemui dokter dan meninggalkan Arum dan Satria.

"Lu mau kemana Rum?"

"Lu tunggu sini sebentar gue mau ngambil sesuatu."

Arum melangkah ke sebuah ruangan dan kembali membawa kotak p3k.

"Sini duduk." Arum menggeret tubuh Satria untuk duduk di kursi.

"Gue ngga kenapa-kenapa. Ini cuma luka kecil udah biasa mah gue."

Arum tak mendengar ocehan Satria dan fokus mengobati luka goresan di lengan Satria.

"Makasih ya, Sat. Kalau ngga ada lu tadi gue ngga tau harus kaya gimana. Mungkin Nai?"

"Rum?" Satria mengangkat dagu Arum yang menunduk. Dia menatap mata yang mengeluarkan air mata itu. Dia mengusap lembut pipi Arum.

"Lu tenang ya, semua udah aman."

Arum benar-benar bersyukur tidak terjadi sesuatu pada Naila. Dia pasti akan menyalahkan dirinya jika terjadi sesuatu pada Naila.

Dia bahkan tidak bisa berpikir tenang saat itu hingga memutuskan untuk pergi kerumah Naila tanpa siapapun karena paniknya.

"Udah jangan nangis?"

"Tapi lu jadi terluka gara-gara gue." Tangis Arum semakin kencang.

"Heh, ini bukan apa-apa serius. Udah jangan nangis. Cengeng banget sih lu."

Satria mencoba menenangkan Arum yang masih menangis. Justru dia bersyukur karena dia melihat Arum saat ingin pergi. Jika tidak Arum pasti akan pergi ke rumah Naila seorang diri dan itu pasti akan membahayakan dirinya.

Satria benar-benar bersyukur tidak terjadi sesuatu dan dia datang tepat waktu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top