Bab 53 Sakit.

"Arum keadaanya gimana, Bu? Masih panas? Kita bawa kerumah sakit aja ya, Bu. Takutnya kenapa-kenapa?"

"Panasnya udah turun, Sat. Cuma badanya masih lemes aja. Arum mana mau ke rumah sakit, dari dulu sakit apapun dia paling ngga mau kalau di ajak kerumah sakit. Kamu tau kan dia keras kepala banget, Sat."

Satria menatap khawatir Arum yang masih terbaring di ranjang dengan tubuh yang sangat lemas.

"Terus gimana, Bu. Walau panasnya udah turun dia masih aja pucet dan lemes begini."

"Ibu titip Arum dulu ya, Sat. Jagain sebentar ibu ke apotik beli obat dulu."

"Biar Satria aja Bu, yang ke apotik."

"Ngga usah, kalo ada apa-apa kamu bisa geret Arum ke rumah sakit. Ibu juga mau mampir ke rumah Bu Yuyun ngambil beberapa bahan kue."

"Yaudah ibu hati-hati ya, nanti kalau ada apa-apa telfon Satria aja."

"Iya," ucap ibu Arum yang langsung pergi meninggalkan Arum dan Satria.

Satria mengompres kening Arum dengan kain basah yang sebelumnya di gunakan ibu Arum untuk mengompres Arum.

Sesekali dia mengecek mengecek kening Arum apa kah masih panas atau tidak.

Arum membuka matanya dan bangkit dari ranjangnya.

"Rum? Lu kan masih sakit mau kemana?"

"Gue cuma demam, Sat. Bukan lagi sekarat. Nanti juga sembuh sendiri ngga usah sok khawatir gitu."

"Heh? Udah lu rebahan aja, mau kemana lagi udah tau badanya lemes gitu." Satria mencoba menghalangi Arum yang ingin berdiri dari ranjangnya.

"Gue mau pipis, masa ngga boleh ke WC. Mau gue kencing di sini?"

Satria kemudia membantu Arum berdiri dari kasurnya dan membantu dia berjalan menuju toilet.

"Lu mau ikut masuk juga?"

"Emang boleh?"

"Si kunyuk!" Arum memukul kencang lengan Satria dengan tenaga yang lemah itu.

"Aduh, lu sakit aja masih kuat mukul orang. Udah sana masuk, nanti panggil gue kalo ada apa-apa."

"Ada tai mau?"

"Jorok banget nih anak monyet."

Arum memasuki kamar mandi dan menutup pintunya. Dia melihat pantulan dirinya di cermin. Pantas saja Satria begitu khawatir pada dia. Lihatlah dia, wajah pucat sudah seperti mayat hidup.

"Rum? Lu lama banget di WC," ucap Satria sembari mengetuk-ngetuk pekan pintu toilet yang ada di kamar Arum.

"Berisik banget sih lu." Arum keluar dari toilet menatap sinis Satria, dan melangkah pelan ke ranjang.

"Pelan-pelan." Satria membantu Arum berbaring di kasurnya.

"Gue mau tidur lu mending keluar aja."

"Ngga mau, gue mau nemenin lu di sini."

"Sat, gue ngga kenapa-kenapa serius deh. Gue cuma butuh istirahat besok juga udah sembuh."

"Tapi Rum?"

"Assalamualaikum?" Tiba-tiba terdengar suara orang mengucap salam dari luar.

Arum bangkit dari tidurnya, karena dia sudah mengenali suara orang itu.

"Biar gue aja, lu istirahat." Satria menghalangi Arum dan langsung melangkah menuju pintu.

Benar sekali, saat Satria membuka pintu muncul seorang pria tinggi dan gagah sudah berdiri si sana.

"Ngapain lu ke sini?"

"Gue mau jenguk Arum, katanya dia sakit."

"Arum lagi istirahat, jadi ngga bisa di ganggu."

"Nak Bima?" Ibu Arum datang dan langsung menghampiri Bima.

"Ibu," ucap Bima langsung mencium tangan ibu Arum.

"Kok Mas Bimanya ngga di suruh masuk Satria? Ayo masuk, Nak." Ibu Arum mempersilahkan Bima untuk masuk.

Bima tersenyum dan langsung masuk ke rumah Arum dan duduk di kursi.

"Ibu buatkan teh, dulu ya."

"Ngga usah repot-repot Bu," ucap Bima.

"Ngga apa-apa. Kalau mau liat Arum ada di kamar masuk aja ngga apa-apa."

Bima mengangguk dan tersenyum kearah ibu Arum. Di sisi lain Satria menatap tajam Bima menunjukan ketidak sukaanya.

"Mas Bima?" Arum melangkah mendekati Bima saat dia mendengar pria itu datang menjenguknya.

"ARUM,"ucap Satria dan Bima secara bersamaan.

Mereka dengan cepat mendekati Arum dan membantu Arum.

"Kamu kalau masih sakit di kamar aja Rum," ucap Bima.

"Rum kan tadi gue udah bilang, lu istirahat aja," ucap Satria.

"Kalian berdua kenapa sih? Arum cuma demam dan udah mendingan bukan lagi sekarat besok mau mati."

"Rum, jangan bicara seperti itu." Bima membantu Arum masuk ke kamar.

"Lu kalo ngomong itu jangan sembarangan itu doa loh," ucap Satria yang juga membantu Arum menuju kasurnya.

Kini Arum sudah berada di kasurnya dengan posisi bersandar di bantal.

"Mas bawain bubur kesukaan Arum." Bima mengeluarkan bungkusan berisi bubur ayam dan membukanya.

"Kalau beliin Arum bubur jangan pakai kacang. Dia ngga suka kacang."

Bima menatap Satria yang kini juga menatapnya. Seperti ada aura yang besar di antara mereka.

Arum yang merasa bingung melihat mereka saling menatap tajam selama akan saling membunuh itupun menghela nafas.

"Kacangnya bisa di pinggirin kan, orang sedikit ini," ucap Arum memecahkan keheningan di antara mereka.

"Maafin, Mas ya. Mas ngga tau kalau Arum ngga suka kacang. Biar mas pinggirin kacangnya."

"Sini gue aja yang siapin." Satria mengambil bubur ayam yang ada di tangan Bima. Namun, Bima menahanya. Dengan tatapan datar dan tajam pria itu lagi-lagi menatap Satria tanpa ekspresi. Satria pun kini juga tengah menatap sini ke arah Bima.

"Sini biar gue makan sendiri. Ribet banget kalian ya. Gue bukan anak kecil juga."

Arum langsung merebut bubur yang ada diantara tangan mereka dan langsung melapnya tidak perduli dia nafsu atau tidak yang pasti dia tidak ingin ada perkelahian di rumahnya.

"Pelan-pelan..," ucap mereka berdua melihat Arum yang tengah menyantap bubur.

"Nak, Satria tehnya di meja ya," ucap ibu Arum meletakan secangkir teh di atas meja tamu.

"Satria, bisa bantu ibu angkat galon."

"Iya, Bu." Satria melangkah keluar kamar Arum  dengan masih menatap tajam Bima.

Bima mengeluarkan tisu dan mengelap pelan bubur yang menempel di wajah Arum.

"Kalau makan pelan-pelan nanti Arum tersedak," ucap Bima tersenyum manis ke arah Arum.

"Mas tau dari mana kalau Arum sakit?"

"Kamu ngga ngecek Hp kamu. Dari tadi pagi Mas Chat kamu terus bahkan nelfon berkali-kali tapi kamu ngga jawab. Mas jadi khawatir dan nelfon Mbak Siti. Katanya kamu ngga masuk kerja karena sakit. Jadi Mas langsung ke sini."

"Mas?"

"Hmm?"

"Jangan bilang siapa-siapa soal kejadian semalam ya? Terutama Ibu dia pasti jadi makin khawatir sama Arum. Satria juga, kalau dia tahu dia pasti akan berbuat nekat. Arum ngga mau ada masalah lagi, Mas."

"Arum tenang aja, Mas ngga akan cerita apa-apa sama Ibu kok." Bima mengelus lembut rambut Arum.

"Udah? Kalau udah jenguknya sialhkan pergi." Satria datang menepis tangan Bima yang tengah mengelus rambut kepala Arum.

"Arum harus istirahat," lanjutnya.

Bima yang sudah berjanji tidak akan membuat keributan dengan Satria itupun langsung bangkit.

"Mas pulang dulu ya, Rum. Cepet sembuh Chandra nanyain terus soalnya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top