Bab 52 Antar Genk.
"Gue yakin, mereka pasti panik banget barang-barang haram itu kita obrak Abrik," ucap Yono yang tertawa puas.
"Itu balasan buat mereka karena udah berani-beraninya ganguin Arum." Satria mengambil jaketnya dan menaiki motornya.
"Lu mau langsung balik?"
"Iya, gue mau balik."
"Udah kangen lu ya sama si Arum."
"Berisik lu njir." Satria melajukan kendaraanya menuju rumah.
Saat dia sampai di sana dia melihat Arum yang terlihat lunglai di antar Bima pulang. Mengapa Arum terlihat sangat lemas dan dia pulang larut malam sekali. Apa Bima berbuat sesuatu pada Arum.
Pikiranya sudah benar-benar tidak bisa dia kontrol. Dia langsung menghampiri Arum yang tengah di tuntun Bima menuju pintu.
"Rum? Lu kenapa?" Satria menghampiri Arum dia terlihat sangat khawatir melihat wajah pucat gadis itu.
"Gue ngga apa-apa kok."
"Lu apain arum?"
"Sat, gue ngga kenapa-kenapa. Gue cuma lemes doang tadi karena jatuh di tempat kerja. Mas Bima bantuin gue tadi makanya gue pulang kemaleman." Arum memberi alasan agar Satria tidak semakin emosi. Jika dia mengatakan kalau dia hampir di culik Satria pasti akan berbuat nekat dan berakhir melukai dirinya saja.
Arum tidak ingin terjadi apa-apa pada Satria. Walau bagaimana pun Satria tetaplah saudara Arum.
Mata Satria menatap tajam Bima, ingin sekali dia memukul pria gagah itu dan menghajarnya bertubi-tubi. Namun dia sudah berjanji pada Arum tidak akan melukai atau memukul Bima lagi.
Bima pun juga menatap tajam ke arah Satria. Apa pemuda ini tidak sadar perbuatanya membahayakan Arum. Dia bertindak tidak pernah memperhitungkan akibatnya.
Kini mereka sudah terlihat sangat menakutkan dengan saling melempar tatapan tajam ke arah masing-masing. Kali ini juga Bima tidak akan tinggal diam. Perbuatan Satria sudah sangat membahayakan Arum.
"Arum masuk ya, trus istirahat." Bima membenarkan jaket yang Arum kenakan. Dia mengelus lembut kepala Arum.
Yang membuat Satria sangat kesal dan cemburu. Satria tidak pernah melihat tatapan Arum yang di berikan kepada Bima seperti itu. Arum tidak pernah menatapnya dengan tatapan seperti itu. Dia sangat iri dan sangat cemburu.
"Iya, Mas. Makasih ya, Mas tadi udah nolongin Arum."
Arum melangkah pergi memasuki rumah dan meninggalkan mereka berdua.
Sebelum Satria melangkah, Bima lebih dulu mencengkram leher Satria.
"Lepasin gue! Harusnya gue yang marah! Lu apain Arum sampe dia kaya gitu!" Seru Satria sembari memberontak dari cengkraman Bima.
"Lu tau! Tadi Arum hampir di culik! Dan gue yakin pasti mereka ada hubungannya sama lu. Gue ngga peduli apa urusan lu sama mereka. Tapi, jangan bawa-bawa Arum dalam hal ini. Lu yang akan bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu sama Arum." Wajah Bima terlihat sangat marah.
Tatapannya seakan ingin membunuh Satria.
"Arum mau di culik? Jangan-jangan-"
"Lu denger!" Bima kembali menekan cengkramannya membuat Satria sedikit kesulitan bernafas.
"Jika terjadi sesuatu sama Arum dan itu karena lu. Gue ngga akan tinggal diam lagi."
Bima melepaskan cengkraman nya dan pergi meninggalkan Satria.
Ini pasti ulang mereka, kali ini Satria benar-benar akan membunuh mereka. Berani-beraninya mereka mendekati Arum.
Satria melangkah masuk, dia begitu khawatir dan ingin langsung mengecek keadaan Arum.
dia mengetuk pintu pelan pintu kamar Arum yang tidak terkunci itu.
"Rum?"
Tak ada jawaban namun, Satria tetap masuk ke kamar Arum. Dia melihat gadis itu tertidur di ranjangnya tanpa mengganti pakaian nya.
Satria menyelimuti tubuh Arum dan mengelus pelan kepala Arum.
"Maafin, gue ya. Karena gue lu jadi di ganggu sama mereka. Gue janji gue bakal ngelindungi lu apapun yang terjadi."
***
"Mbak Siti, Mbak Arum hari ini ngga masuk, katanya dia sakit."
"Arum sakit? Yaudah Nai bilang sama arum buat istirahat dulu aja. Ngga usah mikirin kerjaan dulu."
"Iya mbak, tadi aku juga udah bilang gitu. Hari ini kita ada sidang hak asuh anaknya Lisa. Tapi di tunda karena anaknya Lisa tiba-tiba jatuh sakit dan pihak keluarga sana tidak bisa menghadiri persidangan karena alasan menjaga Jasmine."
"Hah? Itu jangan-jangan alasan mereka saja, Nai."
"Oh iya, Mbak tadi aku suruh supir buat ke bengkel ganti oli dan servis beberapa masalah di mobil Mbak Siti. Nanti Mbak Makai mobil yang biasa aja ya?"
"Ngga apa-apa Nai, Mbak ambil aja nanti di bengkel."
"Mbak ngga lagi nyari alasan buat ketemu pak ustadz Aziz kan?"
"Kamu ini, Nai." Siti segera pergi meninggalkan Naila dan menuju ke bengkel di antar supir.
Sesampainya di sana Siti segera melangkah menemui seorang pemuda dengan baju bengkelnya.
"Assalamualaikum," ucap Siti melangkah ke arah Aziz yang tengah sibuk di bengkel.
"Waalaikumsalam salam, Mbak Siti."
"Gimana mobilnya, Ziz? Udah bisa aku ambil?"
"Bisa Mbak tapi harus di coba dulu."
"Yuk coba," ucap Siti yang langsung naik kemobil.
"Sama saya?"
"Kenapa? Kamu ngga mau?"
"Ma-mau mau." Aziz langsung menghampiri Siti dan menyalakan mobil.
Pemuda tinggi dengan badan yang sedikit kurus serta senyum yang jika mengembang itu membuat kedua matanya membentuk bulan sabit. Terus-terusan tersenyum saat melihat gadis pujaannya tengah duduk di sampingnya.
"Kayanya udah lancar, deh Mbak. Oh iya, boleh ngga saya manggil Mbak Siti. Siti aja?" ucap Aziz yang membuat Siti sedikit terkejut
"Kalau kamu nyaman ngga apa-apa kok, jadi boleh saya manggilnya?-"
"Abang, Abang juga ngga kenapa-kenapa," saut Aziz.
"Tapi kamu sama saya lebih tua saya loh umurnya? Kamu ngga risi saya panggil Abang."
"Tingkat umur seseorang hanya sebatas angka. Jika dari kedewasaan saya lebih dewasa dan lebih tua."
"Ah, lebih dewasa toh," ucap Siti sembari menyembunyikan wajah malunya.
"Jadi kita mau kemana?" tanya Aziz yang masih sibuk menyetir mobil Siti.
"Enaknya kemana?"
"Siti udah makan? Di depan sana ada warung sate. Enak loh."
Siti yang tadi sudah menyantap stik sapi menggelengkan kepala. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kali ini.
"Yaudah kita makan di sana."
Tak beberapa lama Aziz memarkirkan mobil Siti di dekat warung sate. Mereka keluar dan memilih tempat duduk.
Aziz membawakan sepiring sate kambing dan menaruhnya di atas meja.
"Wah baunya enak sekali." Tanpa berpikir panjang Siti menyantap sate itu yang masih terlihat hangat.
"Saya ngga ngira, orang kaya seperti Siti ini suka juga makan sate pinggir jalan?"
"Makan pinggir jalan udah sering karena Naila dan Arum juga sering ngajak saya makan di pinggir jalan kaya gini. Dulu sih, sedikit kaget karena ngga biasa tapi lama-lama jadi ketagihan."
"Lain kali Abang ajak makan sate taichan di Deket Sudirman enak loh di sana."
"Wah, adakah di sana? Siti kira di sana ngga ada tukang jajanan pinggir jalan."
"Kalau Siti sama Abang nanti akan sering main di pinggir jalan, ngga apa-apa kan?"
"Heem," ucap Siti antusias.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top